Friday, 16 December 2016

Chapter 5

Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Chapter V
Permohonan

         Hari berganti, langit sedikit mendung pertanda hujan akan datang. Lisienata berdiri di hadapan gerbang milik istana megah Kerajaan Skyline. Berwajah khawatir, mencuri-curi pandangan  di balik gerbang.



            Dua penjaga gerbang menarik perhatiannya. Salah satu penjaga berubuh kekar bertanya, berjalan mendekati dia yang mencurigakan. Tatapan penjaga lainnya cukup sinis, benar-benar tak menyukai kehadirannya yang bagai pengemis.


            “Hei, Anak Muda. Ini area kerajaan, jika ingin meminta-minta, carilah tempat yang lebih pantas,” ucap penjaga yang berjalan mendekat.


            “Tidak, saya bukan pengemis, Tuan. Saya pekerja dari toko roti. Sa-saya hanya ingin mengantarkan pesanan Sang Ratu,” khawatir Lisienata, memperlihatkan kotak berukuran sedang yang berisi kue.


            Sang penjaga lekas memeriksa kue tersebut. Tidak hanya itu saja, dia juga memeriksa seluruh pakaian Lisienata yang penuh jahitan.


            “Astaga, kau benar-benar pekerja toko itu. Kemana Jony si gempal? Biasanya dia yang mengantarkan pesanan,” senyum sang penjaga, mengendurkan rasa curiganya.


            “Kek Jonjon sedang sakit, jadi aku yang mengantarkan pesanan ini,” Lisieanata membalas senyuman, sedikit tertawa menggaruk-garuk kepala.


            “Hahahaha, lucu sekali kau memanggilnya Jonjon,” sang penjaga mulai tertawa keras, membuat penjaga lainnya semakin berwajah sinis.


            “Evans, lakukan tugasmu dengan benar!!” teriaknya, melirik salah satu penjaga yang bersama Lisienata.


            “Wah, kau tetap kaku seperti biasanya yah, Jonathan,” senyum khawatir penjaga bernama Evans. Setelah itu dia lekas membuka pintu kecil di samping kiri gerbang.


            “Siapa namamu?” Evans mulai menulis di atas buku catatan kecil yang baru ia keluarkan.


            “Ah, anda bisa memanggilku Hendra, Tuan,” senyum Lisienata berjalan mendekati Evans.


            “Baiklah Hendra, setelah melewati pintu ini, terus lurus dan temui penjaga yang berjaga dekat pintu istana. Berikan keras ini padanya,” senyum Evans, merobek selembar kertas berisikan coretan miliknya, lekas memberikanya pada Lisienata.


            “Ya, terima kasih, Tuan.” Lisienata menerima kertas tersebut, menundukkan kepala, memberi hormat.


            “Ah jangan panggil saya Tuan. Evans saja.“


            “Baiklah, Kak Evans.”


“Aku cukup tertarik denganmu, ingin tahu kenapa kau memanggil Jony Si Gempal dengan Jonjon,” Evans menutup mulut, menahan tawanya kembali. Membuat Jonathan kembali memberikan lirikan sinis padanya.


“Y-ya pokoknya itu saja. Semoga harimu menyenangkan, Hendra,” lanjut Evans berwajah khawatir, lekas berjalan kembali ke posisinya. Bersiaga, menjalankan tugasnya.


Lisienata menganggukkan kepala, mulai berjalan melewati pintu yang ditunjukkan untuknya. Hatinya mulai berdegup cepat tak karuan.


Anggapan dia, mengantar pesanan ke istana hanyalah sampai gerbang. Karena mustahil dia yang tak enak dipandang dibiarkan memasuki tempat vital di wilayahnya itu.


Tapi anggapannya itu ternyata dibantahkan oleh kenyataan. Fakta Lisienata yang melewati gerbang kerajaan benar-benar terjadi. Membuat dia terus memasang wajah khawatir. Takut akan suatu hal.


Dia berjalan di atas keramik yang terlihat elegan. Sesekali juga dia memperhatikan sekitar, mengamati secara seksama. Seperti apa tempat tinggal dari keluarga yang membuangnya.


“Woah, Hendra!?” teriakkan seorang gadis dari belakang tubuhnya langsung terdengar, membuat tubuh Lisienata bergemetar. Terkejut ketakutan  dan lekas berbalik. Mulai memberikan tatapan penasaran.


“Eh, Yah!?”


Lapis yang terlihat, memakai pakaian rupawan seperti putri kerajaan. Memakai gaun putih dengan polet merah muda, benar-benar anggun layaknya putri yang dikagumi oleh segala kalangan. Kesenjangan terlihat sangat jelas diantara pakaian yang mereka pakai.


“Lapis?”


“Iya, Lapis!” Lapis memberikan senyuman lebar, bahagia kembali ketika Lisienata memanggil namanya.


“Kenapa kau selalu bahagia sekali ketika kupanggil namamu?” senyum khawatir Lisienata bertanya.


“Senangnya kita bertemu lagi– ahh ..., mungkinkah ini yang dinamakan takdir?” Lapis berucap, terlihat berpikir menyentuh dagu.


“Hei, kau tak menjawab pertanyaanku. Selain itu kita hanya tak sengaja bertemu, kenapa kau bisa ada di istana –“keluh Lisienata, tapi mulutnya terhenti. Dia mulai menyadari sesuatu. Ada yang ganjil dengan sosok Lapis. Saat pertama kali bertemu juga, dia benar-benar didampingi oleh beberapa penjaga. Lalu kini Lapis terlihat berpakaian seperti seorang Putri.


“Aku serius, kenapa kau bisa ada di sini?” Lisienata bertanya, mulai menunjukkan wajah khawatir amat dalam.


“Ah, an-anu soal itu ....” Lapis menghentikan perkataan, takut Lisienata menjaga jarak dengannya ketika mengetahui fakta bahwa dirinya seorag putri.


“La-lapis, cepatlah bawa barangmu yang ketinggalan. Bibi Alysha sama Ibu sudah menunggu. Tak enak!” kesal lelaki rupawan berambut merah muda, wajahnya terlihat khawatir menatap Lapis. Dia tiba-tiba muncul di samping kiri Lapis.


“Berisik, Kak! Lapis sekarang lagi bicara sama teman Lapis!” teriak kesal si gadis rupawan, berbalik menatap tajam kakaknya.


Lisienata mulai mentap arah datangnya lelaki berambut merah muda itu, lalu terlihatlah halaman luas yang tiap sisinya dikelilingi oleh bunga-bunga yang indah, membuat dia tersenyum melebarkan mata. Terpukau melihat keindahan yang ia lihat.


Tapi wajah bahagianya itu tak berlangsung lama ketika melihat sebuah mobil terbang nan mewah mendarat di tengah lapangan. Di sana terlihat Alyshial bersama ibunya yang bersenda gurau, terlihat bahagia.


Dia selangkah mundur, mengkerutkan dahinya. Takut, amat sangat ketakutan jika kehadirannya diketahui mereka. Takut mendapatkan tatapan, teriakan, dan tindakan terhina dari mereka.


“Hee, kau teman Lapis. Hebat, langka sekali ada yang mau memanggil dia dengan tanpa panggilan kehormatan,” senyum lebar lelaki yang menjadi kakak Lapis.


“Kau seorang Putri?” Lisienata semakin berwajah khawatir melirik Lapis. Lapis juga mulai berwajah cemas, menutup mata serapat-rapatnya. "Ma-maaf."


“Hardy, namaku. Aku putra pertama Ibu– maksudku Halsy Aeldra. Kumohon panggil aku dengan nama itu juga, tanpa panggilan kehormatan. Aku juga ingin–“


“Gak bisaaa!! Gak boleh, Kakak gak boleh, no no no!! Kakak tidak diperkenakan memiliki Hendra!” Lapis menyilangkan tangan di depan dada, memasang wajah kesal yang menggemaskan pada sang kakak. Membuat dia menjadi pusat perhatian bagi Lisienata maupun Hardy.


“Hendra sudah dituliskan oleh suratan takdir untuk di sampingku. Dia akan jadi pendamping Lapis nanti.”


“Hah ...?” Lisienata dan Hardy berwajah datar, melirik gadis menggemaskan yang masih mengembungkan pipinya. Rasa takut Lisienata seolah ditelan bumi setelah mendengar pernyataan gadis aneh di depannya.


“Ya, kan? –“


“Ya apanya, Bodoh! Kenapa kau tiba-tiba mengatakan seperti itu!?” kesal Lisienata berteriak, wajahnya sedikit memerah.


“Serius?” senyum khawatir Hardy bertanya pada adiknya.


“Serius, kami sudah berikrar,” senyum Lapis menutup mata, membusungkan dada. Terlihat sombong.


“Sejak kapan ...?” Lisienata berwajah semakin datar, meantap gadis di depannya.


“Eh benarkah?” Hardy berwajah khawatir menatap Lisienata.


“Jangan dengarkan dia! Dia berbohong,” keluh Lisienata. Lekas berbalik dan berjalan kembali ke depan.


“Ah Lapis, kau seorang Putri, kan?” tanya Lisienata, berbalik dan menatap Lapis.


“Ya ya, Lapis. Aku Lapis.” Lapis kembali memberikan senyuman bahagianya.


“Bisa aku titip ini untuk Ratu Alysha? Aku di sini sedang bekerja sebagai pengantar kue,” senyum Lisienata memberikan kotak kue.


“Ah bisa bisa,” Lapis menerima kotak kue, tak lama langsung memberikannya pada sang kakak.


“Kasih bibi yah, Kak. Aku ambil barang dulu.”


“Heh ....”  Lisienata berwajah datar menatap Lapis yang melemparkan tugasnya. Setelah itu, Lapis lekas tertawa dan berjalan cepat memasuki istana.


“Astaga, dia memang seperti itu,” Hardy tertawa kecil, menatap punggung adiknya. Dia tak terlihat marah, kasih sayang untuk sang adik benar-benar terlihat.


“Aku akan mengingatnya sifatnya itu,” senyum khawatir Lisienata yang juga melihat punggung Lapis.


“Ah, Hendra,” Hardy mulai berucap memberikan tatapan serius pada Lisienata.


“Ya, apa?” Lisienata kembali mengembalikan pandangan pada Hardy.


“Bisa kutau? Kenapa kau memanggil namanya tanpa panggilan kehormatan?”  tanya Hardy, masih memasang wajah seriusnya.


“Karena dia temanku, tapi setidakanya aku hanya bisa memanggilnya seperti itu saat kami berdua. Setelah mengetahui fakta jika dia adalah putri dari gadis yang diagung-agungkan itu, mustahil aku memanggil namanya langsung saat di hadapan orang lain.”


“Begitu ....”
“Tapi meski terlihat begitu, Lapis hanyalah gadis biasa. Dia juga pasti ingin mendapatkan teman yang sebaya dengannya. Aku berani bertaruh, karena statusnya dia pasti kesulitan mendapatkan teman.” Lisienata menjawab, memberikan senyuman kecil untuknya.


Hardy yang mendengar itu lekas terdiam. Tapi itu tak lama, dia lekas memberikan senyuman indahnya. “Gawat, aku juga jadi ingin menikah dengamu.”


“Astaga, kumohon jangan katakan itu,” kesal Lisienata.


“Hahaha, hanya bercanda. Tapi kini aku tau alasan kau bisa menarik perhatian adikku sebesar itu. Lapis adalah gadis yang kuat, tapi terkadang dia juga benar-benar terlihat egois dan rapuh. Mohon jaga dirinya,” senyum Hardy, memberikan tatapan serius.


“Hentikan itu, bersikap seorang ayah yang sedang  menyerahkan putrinya pada mempelai pria. Aku tak memiliki hubungan apapun dengannya,” datar Lisienata tak senang.


“Hahaha, maaf tapi aku serius. Aku hanya berperan sebagai pengganti Ayah di sini. Kau tau kan, bagaimana ayah kami?”


“Ya ....” Lisienata berucap, berjalan melewati Hardy.

“Aku serius tentang ini, Lisienata ...,” senyum kecil Hardy. Pernyataan Hardy itu sontak membuat tubuh Lisienata bergemetar. Sangat terkejut mendengar Hardy yang mengetahui nama aslinya.


“Kau ....” Lisienata masih melebarkan mata, terkejut penasaran menatap Hardy.


“Aku sebagai perwakilan Ibu dan dunia. Sungguh meminta maaf atas apa yang terjadi padamu dan Nyonya Zaxia beberapa tahun yang lalu,” Hardy sedikit menundukkan kepala. Membuat Lisienata bergemetar, semakin melebarkan mata menatapnya.


“Sungguh, ini dari lubuk hatiku yang terdalam.” Tubuh Hardy bergemetar.



***

            Waktu berjalan cepat, setelah pertemuannya dengan Hardy. Lisienata semakin sering bertemu dengan Lapis. Terkadang bersama kakaknya.


            Bukan Lisienata yang datang menghampiri mereka, justru sebaliknya. Membuat Lisienata kebingungan, benar-benar tak mengerti. Khususnya Hardy, dia benar-benar terlihat berusaha mendekatkan adiknya dengan Lisienata.


            “Hendra, aku datang lagi, haha!!” Lapis sontak muncul dari hadapan Lisienata yang sedang berjualan sayuran. Sendirian, tanpa sang kakak atau pengwalnya. Lisenata sedikit terkejut, lekas mengkerutkan dahinya ke bawah.


            “Astaga, apa anda tak ada pekerjaan lain selain datang ke tempat ini?” tanya Lisienata, bersikap sopan. Meski nadanya terdengar berat, seolah sedang menahan kekesalan.


            “Eh, ti-tidak boleh ‘kah aku datang?” Lapis mengecilkan kelopak mata, terluka hatinya karena perkataan Lisienata.


            “Aah, bukan begitu ..., hanya saja lihatlah, anda  membuat toko kami menjadi ramai hanya karena ....” Lisienata terdiam, mulai menyadari sesuatu hal yang penting.


            Si lelaki berambut hitam lekas memegang pergelangan tangan Lapis, menarik tubuhnya mendekati dirinya. Membuat wajah gadis rupawan itu memerah, berdetak cepat hatinya.


            “Lapis, kita bisa bermain lebih cepat asal kau membantuku,” bisik Lisienata pada telinganya, membuat wajah Lapis semakin memerah, benar-benar menutup matanya.


            “Hei, kau mendengarkanku?” datar Lisienata bertanya. Kebingungan melihat Lapis yang salah tingkah.


            “Ap-apa, katakan saja!? Aku akan membantumu! Jika kau butuh uang, akan kukasih. Jika kau butuh –”


            “Bantu aku berjualan ...,” senyum Lisienata langsung menatap matanya. Lapis lekas mengalihkan pandangan, menolak langsung kontak mata. Membuat Lisienata terdiam, semakin keheranan dengan tingkahnya.


            Hati Lapis berdetak bagai genderang perang. Dia sendiri sungguh tak bisa mengendalikan tubuhnya yang bergemetar.


            “Kau tak mau? –


            “Aku mau!!” teriak Lapis cukup keras, menarik perhatian sekitarnya.


            “Be-berisik, Bodoh! Jangan teriak juga jawabnya!” bisik khawatir Lisienata, melirik ke belakang. Tempat sang pemilik toko sedang tertidur.


            “Ma-maaf,” Lapis berwajah ketakutan, menutup mata serapat-rapatnya.


            “Ya sudahlah, tak apa. Kemarilah, duduk di sampingku. Hari ini mungkin akan jadi hari yang berat.” Lisienata tak bisa menahan senyuman lebarnya, terus menatap orang-orang yang memperhatikan Lapis.


            “Ap-apa yang harus kulakukan? Aku belum pernah berjualan sebelumnya,” Lapis lekas duduk di samping Lisienata, berwajah khawatir melihat barang dagangan.


            “Kau hanya perlu berteriak menarik pelanggan, urusan transaksi biar aku yang ambil alih.”


            “Eehh hanya itu?” Lapis sedikit mengeluh.


            “Iya hanya itu. Terkadang popularitasmu itu berguna untuk hal ini Lapis.”


            “Apa itu sebuah pujian?” Lapis sedikit berwajah kesal, tersinggung akan pernyataan Lisienata.


            “Iya, pujian pujian.” Lisienata tertawa kecil, menutup mata sesaat.


            “Ya sudah kalau begitu ...,” Lapis sedikit membuang nafas, mulai membuka mulutnya cukup lebar. Berniat berteriak seperti yang dipinta Lisienata. Akan tetapi dia hanya diam dan membuka mulut, terdiam kembali menutup mulut, menatap Lisienata yang berwajah penasaran.


            “Ap-apa yang harus kuteriakkan?”


            “Apa saja! Misalnya, ayo pak bu beli sayuran dan buah-buahan ini. Masih segar-segar!” keluh Lisienata menjawab, sedikit tersenyum menatap Lapis.


            “Ohh jadi intinya aku menarik perhatian pelanggan gitu?” Lapis terlihat paham, menyatukan kedua telapak tangan tepat di depan dada.


            “Bukankah aku juga mengatakan seperti itu sebelumnya?” datar Lisienata, menatap Lapis yang tertawa kecil.


            Rencana mereka pun dimulai, Lapis mulai berteriak dengan riang memangil orang-orang di sekitarnya. Wajahnya yang menggemaskan, ditambah status dia sebagai seorang putri penguasa benua membuat orang-orang datang mendekat. Saling berebutan membeli sayuran dan buah-buahan yang mereka dagangkan. Lisienata bahkan sampai kerepotan meladenin para pelanggan satu-persatu.


Di saat Lisienata kerepotan, Lapis malah tertawa riang, menjawab pertanyaan orang-orang yang mengaguminya. Tak lupa, memberikan keresek sayur pada orang-orang yang membeli dagangan. Berkata 'terima kasih' dengan nada manisnya.


Hal itu membuat bibir Lisienata terangkat, bahagia melihat gadis di sampingnya seperti itu.


Tidak lebih dari dua jam barang dagang mereka habis tak bersisa, membuat keduanya saling bersandar dengan masing-masing punggung, kelelahan.


Lapis masih memberikan senyuman lebarnya. Bahagia karena merasakan pengalaman pertamanya berjualan. Tapi sungguh bukan itu saja yang membuatnya bahagia. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya berada di sampingnya, ikut berjualan dengannya. Hal itu lah yang membuat gadis manis itu amat senang. Dalam pikirannya, dia merasa seperti pasangan sudah berkeluarga yang sedang berjualan bersama.


Hal yang dipikirkan Lapis tak terlintas sedikitpun ada di pikiran Lisienata. Dia tak memikirkan hal itu. Baik perasaan Lapis, hubungannya yang bisa lebih dari teman, bahkan sampai jika mereka menjadi keluarga.


Dia tahu takdirnya, akan jalan hidupnya. Dia tak seperti mahluk lainnya. Berpikir, jika dia tak pantas mendapatkan kehidupan damai dan kebahagiaan. Karena dirinya tahu bahwa dunia tak menginginkannya, semua mahluk kecuali wanita itu tak menginginkan kehadirannya. Termasuk Lapis.


Berpikir, jika alasan Lapis masih mendekatinya adalah karena gadis itu masih belum tahu, akan betapa mengerikannya sosok dirinya yang menjadi ancaman terbesar untuk dunia. Tapi, pikirannya itu dihancurkan sampai Lapis memulai percakapan yang merubah hatinya.


            “He-hei, Hendra.”


            “Hah, kenapa?” Lisienata bertanya, sedikit menolehkan kepala menatap gadis di belakang tubuhnya.


            “Percayakah kau, jika saat ini ada Dewa yang hidup di dunia ini bersama kita? Kata Kakak mereka berbaur dengan kita,” Lapis memberikan senyuman indah, bertanya melirik Lisienata.


            Pertanyaan Lapis itu sontak membuat wajah Lisienata khawatir. Takut, amat sangat takut jika gadis yang menjadi temannya itu mengetahui tentangnya. Tak mengherankan, Lapis juga merupakan teman pertama baginya.


            “De-Dewa? Kakakmu pasti sedang bercanda hahaha,” Lisienata tertawa, menutup mata sesaat. Berusaha menanggapi pertanyaan Lapis dengan candaan.


            “Kau menertawakanku? Jahatnyaaa ...,” kesal Lapis dengan nada panjang yang menggemaskan, lekas melepaskan punggung dari punggung temannya, membuat Lisienata hampir jatuh ke belakang.


            “Hey ....” Lisienata terdiam karena melihat wajah Lapis yang menggemaskan. Gadis itu mengembungkan pipinya, seperti gadis kecil pada umumnya.


            “Ba-baik-baik, aku minta maaf. Tapi jika itu memang benar adanya, pastinya dia bakal dijauhi. Bahkan keberadaannya tak diinginkan oleh dunia,”  senyum kecil Lisienata, menutup mata, mengangkat tangan kanan terlihat menjelaskan.


            “Kenapa dijauhi? Kenapa tak diinginkan dunia?” Lapis bertanya, berwajah khawatir menatap Lisienata.


            “Bukankah sudah jelas, kehadirannya merusak keseimbangan dunia. Mungkin dunia ini sendiri menginginkan dia tak terlahirkan,” senyum kecil Lisienata.


            “....” Lapis terdiam, menurunkan pandangan. Berwajah sedih menganggukkan kepala.


            “Kamu juga berpikir seperti itu, kan? Dunia akan berantakan  hanya dengan kehadiran satu bayi. Jika begitu, lebih baik bayi itu tak dilahirkan. Kehadirannya hanya menganggu –“


            “Kamu benar, Hendra. Jika ada satu mahluk yang terlalu kuat, itu hanya akan menggangu keseimbangan dunia ini. Bahkan itu bisa membawa dunia menuju kehancuran ...,” senyum khawatir Lapis, terlihat berpikir menyentuh dagu.


            “Kan? Jika begitu memang sepantasnya mahluk itu dibunuh sejak dia dilahirkan ke duni –“ senyum kecil Lisienata yang menggambarkan kesedihan. Tapi perkataannya lekas disanggah oleh Lapis.


            “Tapi aku tak setuju dengan pemikiranmu itu. Benar-benar tak setuju,” Lapis mengkerutkan dahi ke bawah, memberikan tatapan tajam pada Lisenata. Gadis itu benar-benar terlihat marah. Membuat Lisenata terkejut penasaran. Itu pertama kalinya dia melihat gadis yang sering tertawa seperti Lapis menunjukan kemarahan.


            “Ke-kenapa tidak setuju?” Lisienata mulai berwajah khawatir. Bergemetar tubuhnya, hatinya ..., bahkan kedua matanya.


            “Bayi itu tak bersalah. Dia mungkin hanya manusia yang tak sengaja dipilih oleh Dewa itu untuk menjadi wadahnya. Lalu membunuhnya hanya dengan alasan itu. Benar-benar tidak masuk akal, sungguh bodoh!” Lapis masih memberikan tatapan tajam.


            “Kau mungkin masih belum tau akan kekuatannya yang mengerikan. Jika dia menjadi temanmu, apa yang akan kau lakukan? Dia bisa saja merenggut orang-orang yang berharga bagimu?“ kesal Lisienata bertanya.


            “Eh, di-dia jadi temanku!?” tanya Lapis terkejut, melebarkan kedua matanya. Tapi lekas berpikir, menyentuh dagunya.


            “Kau pasti takkan mau kan!? Karena mahluk itu mungkin bisa melukaimu dan –“


            “Ke-keren, aku ingin dia menjadi temanku! Coba bayangkan, aku teman dari seseorang yang memiliki kekuatan Dewa! Waaah, aku benar-benar beruntung –“ Lapis terlihat tertawa bahagia, hal itu membuat Lisienata terkejut ketakutan. Semakin memberikan tatapan kemarahan padanya.


            “Kau tak mengerti juga!? Dia berbeda denganmu!! Keluargamu atau orang-orang berhagamu bisa mati karenanya!!”


            “Ta-tapi dia temanku, mustahil dia melukai mereka. Aku sangat mempercayai temanku,” khawatir Lapis, memberikan tatapan penasaran pada Lisienata. Dia benar-benar tak mengerti, alasan Lisienata marah.


            Lisienata terdiam, mulai menundukkan kepala, tubuhnya bergemetar. Membuat si gadis menggemaskan itu kebingungan.


            “Ja-jadi kau akan menerimanya be-begitu?” gugup Lisienata bertanya, masih menundukkan kepala, matanya memerah. Benar-benar kesulitan menahan beban air mata.


            “Ya, aku akan tetap menerimanya. Meski semua orang membencinya, menginginkan dia tiada. Aku akan tetap disampingnya, bersamanya, bahkan jika aku mampu. Aku bisa melindunginya.”


            Tumpah air mata dari lelaki yang tak diinginkan dunia itu. Bersatu dengan tempat duduk di hadapan wajahnya. Benar-benar tak kuasa menahan tangisan. Hatinya sakit, bukan karena kesedihan. Tapi kebahagiaan.


            Masih ada, pikirnya. Dia bersyukur, amat sangat beryukur masih ada orang yang seperti ibunya. Hatinya berdetak cepat, perkataan Lapis sebelumnya benar-benar menyentuh hatinya. Membuat perasaan tak karuan muncul dihatinya. Mulai tertarik dengann- tidak, mungkin sudah memiliki perasaan yang sama.


            “Bu-bukannya aku sombong loh, tapi aku ini cukup kuat hahaha,” Lapis tertawa menutup mata, mengusap hidung. Sedikit membusungkan dada. Masih belum menyadari Lisienata yang menitiskan air mata.


            “Jika kau kuat, bisa aku meminta tolong sesuatu darimu?” seorang wanita dengan tongkat kayu berdiri di samping mereka berdua. Memberikan senyuman kecil pada Lapis.


Itu adalah Zaxia.


Dia mendengar seluruh perbincangan Lisienata dengan Lapis. Matanya juga memerah seperti Lisienata, baru saja menghapus air mata di kedua matanya yang sayu. Melihat hal itu, Lapis lekas berwajah khawatir, mulai mengajukan pertanyaan.


            “Eh, si-siapa?”


            “Aku hanyalah pengasuh anak itu. Kemarilah, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Sesuatu yang amat sangat penting untukku,” senyum wanita itu. Lapis yang melihat wanita itu cukup tak sehat mulai merasa iba. Lekas turun dari kursi, berjalan pelan mengikutinya. Sedikit melirik Lisienata sambil berucap.” Aku pergi sebentar.”


            Lisienata masih menundukkan kepala, tak bisa memperhatikan sekitar. Masih menangis tak kuasa menahan kebahagiaan.


            Lalu di tempat yang cukup jauh dari Lisienata, lapangan yang kosong. Tak ada satupun orang yang terlihat. Hanya bangunan tua yang terlihat di sisi kanannya. Gadung pencangkar langit di sisi kirinya.


            Lapis masih berwajah khawatir menatap wanita itu yang mengusap air matanya kembali. Wanita itu benar-benar kesulita menghentikan tangisan.


            “Ka-kau baik-baik saja Bu?”


            “Aku baik-baik saja. Tapi gadis muda, mungkin kau satu-satunya yang sepertiku. Izinkan aku meminta pertolongan padamu. Apapun yang kau inginkan akan kuturuti, apapun perintahmu akan kulakukan. Tapi tolong penuhi keinginanku ini,” senyum kecil Zaxia, menutup matanya.


            “....” Lapis tetap diam, berwajah khawatir. Menunggu keingingan wanita tua di hadapannya.


            Bersamaan perginya sang mentari, Zaxia lekas menundukkan kepala, bahkan tubuh. Dia bersujud di hadapan gadis kecil dihadapannya. Membuat Lapis terkejut ketakutan, bergemetar tubuhnya. Benar-benar tak mengerti akan alasan dari tindakan wanita tua di hadapannya.


            “Wa-waktuku tidak banyak lagi .... Se-setelah kepergianku, kumohon, aku amat sangat memohon!! Jaga anakku, berikan dia kebahagiaan. Tolong hargai keberadaannya!! Jangan kecewakan kepercayaannya!”
           

***

No comments:

Post a Comment