Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Chapter V
Permohonan
Chapter V
Permohonan
Hari berganti, langit sedikit
mendung pertanda hujan akan datang. Lisienata berdiri di hadapan gerbang milik istana
megah Kerajaan Skyline. Berwajah khawatir, mencuri-curi pandangan di balik
gerbang.
Dua penjaga gerbang menarik perhatiannya. Salah satu penjaga berubuh kekar bertanya,
berjalan mendekati dia yang mencurigakan. Tatapan penjaga lainnya cukup sinis,
benar-benar tak menyukai kehadirannya yang bagai pengemis.
“Hei, Anak Muda. Ini area kerajaan,
jika ingin meminta-minta, carilah tempat yang lebih pantas,” ucap penjaga yang
berjalan mendekat.
“Tidak, saya bukan pengemis, Tuan.
Saya pekerja dari toko roti. Sa-saya hanya ingin
mengantarkan pesanan Sang Ratu,” khawatir Lisienata, memperlihatkan kotak berukuran
sedang yang berisi kue.
Sang penjaga lekas memeriksa kue
tersebut. Tidak hanya itu saja, dia juga memeriksa seluruh pakaian Lisienata
yang penuh jahitan.
“Astaga, kau benar-benar pekerja
toko itu. Kemana Jony si gempal? Biasanya dia yang mengantarkan pesanan,”
senyum sang penjaga, mengendurkan rasa curiganya.
“Kek Jonjon sedang sakit, jadi aku
yang mengantarkan pesanan ini,” Lisieanata membalas senyuman, sedikit tertawa
menggaruk-garuk kepala.
“Hahahaha, lucu sekali kau
memanggilnya Jonjon,” sang penjaga mulai tertawa keras, membuat penjaga lainnya
semakin berwajah sinis.
“Evans, lakukan tugasmu dengan
benar!!” teriaknya, melirik salah satu penjaga yang bersama Lisienata.
“Wah, kau tetap kaku seperti
biasanya yah, Jonathan,” senyum khawatir penjaga bernama Evans. Setelah itu dia
lekas membuka pintu kecil di samping kiri gerbang.
“Siapa namamu?” Evans mulai menulis
di atas buku catatan kecil yang baru ia keluarkan.
“Ah, anda bisa memanggilku Hendra,
Tuan,” senyum Lisienata berjalan mendekati Evans.
“Baiklah Hendra, setelah melewati pintu ini, terus lurus dan temui penjaga yang berjaga dekat pintu istana.
Berikan keras ini padanya,” senyum Evans, merobek selembar kertas berisikan
coretan miliknya, lekas memberikanya pada Lisienata.
“Ya, terima kasih, Tuan.” Lisienata
menerima kertas tersebut, menundukkan kepala, memberi hormat.
“Ah jangan panggil saya Tuan. Evans
saja.“
“Baiklah, Kak Evans.”
“Aku
cukup tertarik denganmu, ingin tahu kenapa kau memanggil Jony Si Gempal dengan
Jonjon,” Evans menutup mulut, menahan tawanya kembali. Membuat Jonathan kembali
memberikan lirikan sinis padanya.
“Y-ya
pokoknya itu saja. Semoga harimu menyenangkan, Hendra,” lanjut Evans berwajah khawatir, lekas
berjalan kembali ke posisinya. Bersiaga, menjalankan tugasnya.
Lisienata
menganggukkan kepala, mulai berjalan melewati pintu yang ditunjukkan untuknya.
Hatinya mulai berdegup cepat tak karuan.
Anggapan
dia, mengantar pesanan ke istana hanyalah sampai gerbang. Karena mustahil dia
yang tak enak dipandang dibiarkan memasuki tempat vital di wilayahnya itu.
Tapi
anggapannya itu ternyata dibantahkan oleh kenyataan. Fakta Lisienata yang
melewati gerbang kerajaan benar-benar terjadi. Membuat dia terus memasang wajah
khawatir. Takut akan suatu hal.
Dia
berjalan di atas keramik yang terlihat elegan. Sesekali juga dia memperhatikan
sekitar, mengamati secara seksama. Seperti apa tempat tinggal dari keluarga
yang membuangnya.
“Woah,
Hendra!?” teriakkan seorang gadis dari belakang tubuhnya langsung terdengar, membuat tubuh Lisienata
bergemetar. Terkejut ketakutan dan lekas
berbalik. Mulai memberikan tatapan penasaran.
“Eh,
Yah!?”
Lapis
yang terlihat, memakai pakaian rupawan seperti putri kerajaan. Memakai gaun putih dengan polet merah muda, benar-benar anggun layaknya putri yang dikagumi oleh segala kalangan. Kesenjangan terlihat sangat jelas
diantara pakaian yang mereka pakai.
“Lapis?”
“Iya,
Lapis!” Lapis memberikan senyuman lebar, bahagia kembali ketika Lisienata
memanggil namanya.
“Kenapa
kau selalu bahagia sekali ketika kupanggil namamu?” senyum khawatir Lisienata
bertanya.
“Senangnya
kita bertemu lagi– ahh ..., mungkinkah ini yang dinamakan takdir?” Lapis
berucap, terlihat berpikir menyentuh dagu.
“Hei,
kau tak menjawab pertanyaanku. Selain itu kita hanya tak sengaja bertemu, kenapa
kau bisa ada di istana –“keluh Lisienata, tapi mulutnya terhenti. Dia mulai
menyadari sesuatu. Ada yang ganjil dengan sosok Lapis. Saat pertama kali bertemu juga, dia
benar-benar didampingi oleh beberapa penjaga. Lalu kini Lapis terlihat berpakaian
seperti seorang Putri.
“Aku
serius, kenapa kau bisa ada di sini?” Lisienata bertanya, mulai menunjukkan
wajah khawatir amat dalam.
“Ah,
an-anu soal itu ....” Lapis menghentikan perkataan, takut Lisienata menjaga
jarak dengannya ketika mengetahui fakta bahwa dirinya seorag putri.
“La-lapis,
cepatlah bawa barangmu yang ketinggalan. Bibi Alysha sama Ibu sudah menunggu. Tak
enak!” kesal lelaki rupawan berambut merah muda, wajahnya terlihat khawatir
menatap Lapis. Dia tiba-tiba muncul di samping kiri Lapis.
“Berisik,
Kak! Lapis sekarang lagi bicara sama teman Lapis!” teriak kesal si gadis
rupawan, berbalik menatap tajam kakaknya.
Lisienata
mulai mentap arah datangnya lelaki berambut merah muda itu, lalu terlihatlah
halaman luas yang tiap sisinya dikelilingi oleh bunga-bunga yang indah, membuat
dia tersenyum melebarkan mata. Terpukau melihat keindahan yang ia lihat.
Tapi
wajah bahagianya itu tak berlangsung lama ketika melihat sebuah mobil terbang
nan mewah mendarat di tengah lapangan. Di sana terlihat Alyshial bersama ibunya
yang bersenda gurau, terlihat bahagia.
Dia
selangkah mundur, mengkerutkan dahinya. Takut, amat sangat ketakutan jika kehadirannya
diketahui mereka. Takut mendapatkan tatapan, teriakan, dan tindakan terhina
dari mereka.
“Hee,
kau teman Lapis. Hebat, langka sekali ada yang mau memanggil dia dengan tanpa panggilan
kehormatan,” senyum lebar lelaki yang menjadi kakak Lapis.
“Kau seorang Putri?”
Lisienata semakin berwajah khawatir melirik Lapis. Lapis juga mulai berwajah cemas,
menutup mata serapat-rapatnya. "Ma-maaf."
“Hardy,
namaku. Aku putra pertama Ibu– maksudku Halsy Aeldra. Kumohon panggil aku
dengan nama itu juga, tanpa panggilan kehormatan. Aku juga ingin–“
“Gak
bisaaa!! Gak boleh, Kakak gak boleh, no no no!! Kakak tidak diperkenakan
memiliki Hendra!” Lapis menyilangkan tangan di depan dada, memasang wajah kesal
yang menggemaskan pada sang kakak. Membuat dia menjadi pusat perhatian bagi
Lisienata maupun Hardy.
“Hendra
sudah dituliskan oleh suratan takdir untuk di sampingku. Dia akan jadi
pendamping Lapis nanti.”
“Hah
...?” Lisienata dan Hardy berwajah datar, melirik gadis menggemaskan yang masih
mengembungkan pipinya. Rasa takut Lisienata seolah ditelan bumi setelah
mendengar pernyataan gadis aneh di depannya.
“Ya,
kan? –“
“Ya
apanya, Bodoh! Kenapa kau tiba-tiba mengatakan seperti itu!?” kesal Lisienata
berteriak, wajahnya sedikit memerah.
“Serius?”
senyum khawatir Hardy bertanya pada adiknya.
“Serius,
kami sudah berikrar,” senyum Lapis menutup mata, membusungkan dada. Terlihat sombong.
“Sejak
kapan ...?” Lisienata berwajah semakin datar, meantap gadis di depannya.
“Eh
benarkah?” Hardy berwajah khawatir menatap Lisienata.
“Jangan
dengarkan dia! Dia berbohong,” keluh Lisienata. Lekas berbalik dan berjalan kembali
ke depan.
“Ah
Lapis, kau seorang Putri, kan?” tanya Lisienata, berbalik dan menatap Lapis.
“Ya
ya, Lapis. Aku Lapis.” Lapis kembali memberikan senyuman bahagianya.
“Bisa
aku titip ini untuk Ratu Alysha? Aku di sini sedang bekerja sebagai pengantar
kue,” senyum Lisienata memberikan kotak kue.
“Ah
bisa bisa,” Lapis menerima kotak kue, tak lama langsung memberikannya pada sang
kakak.
“Kasih
bibi yah, Kak. Aku ambil barang dulu.”
“Heh
....” Lisienata berwajah datar menatap
Lapis yang melemparkan tugasnya. Setelah itu, Lapis lekas tertawa dan berjalan cepat memasuki istana.
“Astaga,
dia memang seperti itu,” Hardy tertawa kecil, menatap punggung adiknya. Dia tak
terlihat marah, kasih sayang untuk sang adik benar-benar terlihat.
“Aku
akan mengingatnya sifatnya itu,” senyum khawatir Lisienata yang juga melihat punggung Lapis.
“Ah,
Hendra,” Hardy mulai berucap memberikan tatapan serius pada Lisienata.
“Ya, apa?” Lisienata kembali mengembalikan pandangan pada Hardy.
“Bisa
kutau? Kenapa kau memanggil namanya tanpa panggilan kehormatan?” tanya Hardy, masih memasang wajah seriusnya.
“Karena dia
temanku, tapi setidakanya aku hanya bisa memanggilnya seperti itu saat kami berdua.
Setelah mengetahui fakta jika dia adalah putri dari gadis yang diagung-agungkan
itu, mustahil aku memanggil namanya langsung saat di hadapan orang lain.”
“Begitu
....”
“Tapi
meski terlihat begitu, Lapis hanyalah gadis biasa. Dia juga pasti ingin mendapatkan
teman yang sebaya dengannya. Aku berani bertaruh, karena statusnya dia pasti kesulitan mendapatkan teman.”
Lisienata menjawab, memberikan senyuman kecil untuknya.
Hardy
yang mendengar itu lekas terdiam. Tapi itu tak lama, dia lekas memberikan
senyuman indahnya. “Gawat,
aku juga jadi ingin menikah dengamu.”
“Astaga,
kumohon jangan katakan itu,” kesal Lisienata.
“Hahaha,
hanya bercanda. Tapi kini aku tau alasan kau bisa menarik perhatian adikku sebesar
itu. Lapis adalah gadis yang kuat, tapi terkadang dia juga benar-benar terlihat
egois dan rapuh. Mohon jaga dirinya,” senyum Hardy, memberikan tatapan serius.
“Hentikan
itu, bersikap seorang ayah yang sedang
menyerahkan putrinya pada mempelai pria. Aku tak memiliki hubungan
apapun dengannya,” datar Lisienata tak senang.
“Hahaha,
maaf tapi aku serius. Aku hanya berperan sebagai pengganti Ayah di sini. Kau
tau kan, bagaimana ayah kami?”
“Ya
....” Lisienata berucap, berjalan melewati Hardy.
“Aku
serius tentang ini, Lisienata ...,”
senyum kecil Hardy. Pernyataan Hardy itu sontak membuat tubuh Lisienata bergemetar.
Sangat terkejut mendengar Hardy yang mengetahui nama aslinya.
“Kau
....” Lisienata masih melebarkan mata, terkejut penasaran menatap Hardy.
“Aku
sebagai perwakilan Ibu dan dunia. Sungguh meminta maaf atas apa yang terjadi
padamu dan Nyonya Zaxia beberapa tahun yang lalu,” Hardy sedikit menundukkan
kepala. Membuat Lisienata bergemetar, semakin melebarkan mata menatapnya.
“Sungguh,
ini dari lubuk hatiku yang terdalam.” Tubuh Hardy bergemetar.
***
Waktu berjalan cepat, setelah
pertemuannya dengan Hardy. Lisienata semakin sering bertemu dengan Lapis. Terkadang
bersama kakaknya.
Bukan Lisienata yang datang
menghampiri mereka, justru sebaliknya. Membuat Lisienata kebingungan,
benar-benar tak mengerti. Khususnya Hardy, dia benar-benar terlihat berusaha
mendekatkan adiknya dengan Lisienata.
“Hendra, aku datang lagi, haha!!”
Lapis sontak muncul dari hadapan Lisienata yang sedang berjualan sayuran. Sendirian, tanpa sang kakak atau pengwalnya. Lisenata sedikit terkejut, lekas mengkerutkan dahinya ke bawah.
“Astaga, apa anda tak ada pekerjaan
lain selain datang ke tempat ini?” tanya Lisienata, bersikap sopan. Meski
nadanya terdengar berat, seolah sedang menahan kekesalan.
“Eh, ti-tidak boleh ‘kah aku
datang?” Lapis mengecilkan kelopak mata, terluka hatinya karena perkataan
Lisienata.
“Aah, bukan begitu ..., hanya saja
lihatlah, anda membuat toko kami menjadi
ramai hanya karena ....” Lisienata terdiam, mulai menyadari sesuatu hal yang
penting.
Si lelaki berambut hitam lekas
memegang pergelangan tangan Lapis, menarik tubuhnya mendekati dirinya. Membuat
wajah gadis rupawan itu memerah, berdetak cepat hatinya.
“Lapis, kita bisa bermain lebih cepat
asal kau membantuku,” bisik Lisienata pada telinganya, membuat wajah Lapis
semakin memerah, benar-benar menutup matanya.
“Hei, kau mendengarkanku?” datar
Lisienata bertanya. Kebingungan melihat Lapis yang salah tingkah.
“Ap-apa, katakan saja!? Aku akan
membantumu! Jika kau butuh uang, akan kukasih. Jika kau butuh –”
“Bantu aku berjualan ...,” senyum
Lisienata langsung menatap matanya. Lapis lekas mengalihkan pandangan, menolak
langsung kontak mata. Membuat Lisienata terdiam, semakin keheranan dengan
tingkahnya.
Hati Lapis berdetak bagai genderang
perang. Dia sendiri sungguh tak bisa mengendalikan tubuhnya yang bergemetar.
“Kau tak mau? –
“Aku mau!!” teriak Lapis cukup
keras, menarik perhatian sekitarnya.
“Be-berisik, Bodoh! Jangan teriak
juga jawabnya!” bisik khawatir Lisienata, melirik ke belakang. Tempat sang pemilik
toko sedang tertidur.
“Ma-maaf,” Lapis berwajah ketakutan,
menutup mata serapat-rapatnya.
“Ya sudahlah, tak apa. Kemarilah,
duduk di sampingku. Hari ini mungkin akan jadi hari yang berat.” Lisienata tak
bisa menahan senyuman lebarnya, terus menatap orang-orang yang memperhatikan
Lapis.
“Ap-apa yang harus kulakukan? Aku
belum pernah berjualan sebelumnya,” Lapis lekas duduk di samping Lisienata,
berwajah khawatir melihat barang dagangan.
“Kau hanya perlu berteriak menarik
pelanggan, urusan transaksi biar aku yang ambil alih.”
“Eehh hanya itu?” Lapis sedikit
mengeluh.
“Iya hanya itu. Terkadang
popularitasmu itu berguna untuk hal ini Lapis.”
“Apa itu sebuah pujian?” Lapis sedikit
berwajah kesal, tersinggung akan pernyataan Lisienata.
“Iya, pujian pujian.” Lisienata
tertawa kecil, menutup mata sesaat.
“Ya sudah kalau begitu ...,” Lapis
sedikit membuang nafas, mulai membuka mulutnya cukup lebar. Berniat berteriak
seperti yang dipinta Lisienata. Akan tetapi dia hanya diam dan membuka mulut,
terdiam kembali menutup mulut, menatap Lisienata yang berwajah penasaran.
“Ap-apa yang harus kuteriakkan?”
“Apa saja! Misalnya, ayo pak bu beli
sayuran dan buah-buahan ini. Masih segar-segar!” keluh Lisienata menjawab,
sedikit tersenyum menatap Lapis.
“Ohh jadi intinya aku menarik
perhatian pelanggan gitu?” Lapis terlihat paham, menyatukan kedua telapak
tangan tepat di depan dada.
“Bukankah aku juga mengatakan
seperti itu sebelumnya?” datar Lisienata, menatap Lapis yang tertawa kecil.
Rencana mereka pun dimulai, Lapis
mulai berteriak dengan riang memangil orang-orang di sekitarnya. Wajahnya yang
menggemaskan, ditambah status dia sebagai seorang putri penguasa benua membuat
orang-orang datang mendekat. Saling
berebutan membeli sayuran dan buah-buahan yang mereka dagangkan. Lisienata
bahkan sampai kerepotan meladenin para pelanggan satu-persatu.
Di
saat Lisienata kerepotan, Lapis malah tertawa riang, menjawab pertanyaan
orang-orang yang mengaguminya. Tak lupa, memberikan keresek sayur pada orang-orang yang
membeli dagangan. Berkata 'terima kasih' dengan nada manisnya.
Hal
itu membuat bibir Lisienata terangkat, bahagia melihat gadis di sampingnya seperti
itu.
Tidak
lebih dari dua jam barang dagang mereka habis tak bersisa, membuat keduanya
saling bersandar dengan masing-masing punggung, kelelahan.
Lapis
masih memberikan senyuman lebarnya. Bahagia karena merasakan pengalaman
pertamanya berjualan. Tapi
sungguh bukan itu saja yang membuatnya bahagia. Lelaki yang menjadi cinta
pertamanya berada di sampingnya, ikut berjualan dengannya. Hal itu lah yang
membuat gadis manis itu amat senang. Dalam pikirannya, dia merasa seperti pasangan sudah
berkeluarga yang sedang berjualan bersama.
Hal
yang dipikirkan Lapis tak terlintas sedikitpun ada di pikiran Lisienata. Dia
tak memikirkan hal itu. Baik perasaan Lapis, hubungannya yang bisa lebih dari
teman, bahkan sampai jika mereka menjadi keluarga.
Dia
tahu takdirnya, akan jalan hidupnya. Dia tak seperti mahluk lainnya. Berpikir,
jika dia tak pantas mendapatkan kehidupan damai dan kebahagiaan. Karena dirinya
tahu bahwa dunia tak menginginkannya, semua mahluk kecuali wanita itu tak
menginginkan kehadirannya. Termasuk Lapis.
Berpikir, jika alasan
Lapis masih mendekatinya adalah karena gadis itu masih belum tahu, akan betapa
mengerikannya sosok dirinya yang menjadi ancaman terbesar untuk dunia. Tapi,
pikirannya itu dihancurkan sampai Lapis memulai percakapan yang merubah hatinya.
“He-hei, Hendra.”
“Hah, kenapa?” Lisienata bertanya,
sedikit menolehkan kepala menatap gadis di belakang tubuhnya.
“Percayakah kau, jika saat ini ada
Dewa yang hidup di dunia ini bersama kita? Kata Kakak mereka berbaur dengan kita,”
Lapis memberikan senyuman indah, bertanya melirik Lisienata.
Pertanyaan Lapis itu sontak membuat
wajah Lisienata khawatir. Takut, amat sangat takut jika gadis yang menjadi
temannya itu mengetahui tentangnya. Tak mengherankan, Lapis juga merupakan
teman pertama baginya.
“De-Dewa? Kakakmu pasti sedang
bercanda hahaha,” Lisienata tertawa, menutup mata sesaat. Berusaha menanggapi
pertanyaan Lapis dengan candaan.
“Kau menertawakanku? Jahatnyaaa
...,” kesal Lapis dengan nada panjang yang menggemaskan, lekas melepaskan punggung dari punggung temannya, membuat Lisienata
hampir jatuh ke belakang.
“Hey ....” Lisienata terdiam karena
melihat wajah Lapis yang menggemaskan. Gadis itu mengembungkan pipinya, seperti
gadis kecil pada umumnya.
“Ba-baik-baik, aku minta maaf. Tapi
jika itu memang benar adanya, pastinya dia bakal dijauhi. Bahkan keberadaannya
tak diinginkan oleh dunia,” senyum kecil
Lisienata, menutup mata, mengangkat tangan kanan terlihat menjelaskan.
“Kenapa dijauhi? Kenapa tak
diinginkan dunia?” Lapis bertanya, berwajah khawatir menatap Lisienata.
“Bukankah sudah jelas, kehadirannya
merusak keseimbangan dunia. Mungkin dunia ini sendiri menginginkan dia tak
terlahirkan,” senyum kecil Lisienata.
“....” Lapis terdiam, menurunkan
pandangan. Berwajah sedih menganggukkan kepala.
“Kamu juga berpikir seperti itu,
kan? Dunia akan berantakan hanya dengan
kehadiran satu bayi. Jika begitu, lebih baik bayi itu tak dilahirkan.
Kehadirannya hanya menganggu –“
“Kamu benar, Hendra. Jika ada satu
mahluk yang terlalu kuat, itu hanya akan menggangu keseimbangan dunia ini.
Bahkan itu bisa membawa dunia menuju kehancuran ...,” senyum khawatir Lapis,
terlihat berpikir menyentuh dagu.
“Kan? Jika begitu memang sepantasnya
mahluk itu dibunuh sejak dia dilahirkan ke duni –“ senyum kecil Lisienata yang menggambarkan kesedihan. Tapi perkataannya lekas disanggah oleh Lapis.
“Tapi aku tak setuju dengan
pemikiranmu itu. Benar-benar tak setuju,” Lapis mengkerutkan dahi ke bawah,
memberikan tatapan tajam pada Lisenata. Gadis itu benar-benar terlihat marah.
Membuat Lisenata terkejut penasaran. Itu pertama kalinya dia melihat gadis yang
sering tertawa seperti Lapis menunjukan kemarahan.
“Ke-kenapa tidak setuju?” Lisienata
mulai berwajah khawatir. Bergemetar tubuhnya, hatinya ..., bahkan kedua
matanya.
“Bayi itu tak bersalah. Dia mungkin
hanya manusia yang tak sengaja dipilih oleh Dewa itu untuk menjadi wadahnya.
Lalu membunuhnya hanya dengan alasan itu. Benar-benar tidak masuk akal, sungguh
bodoh!” Lapis masih memberikan tatapan tajam.
“Kau mungkin masih belum tau akan
kekuatannya yang mengerikan. Jika dia menjadi temanmu, apa yang akan kau
lakukan? Dia bisa saja merenggut orang-orang yang berharga bagimu?“ kesal
Lisienata bertanya.
“Eh, di-dia jadi temanku!?” tanya
Lapis terkejut, melebarkan kedua matanya. Tapi lekas berpikir, menyentuh
dagunya.
“Kau pasti takkan mau kan!? Karena mahluk
itu mungkin bisa melukaimu dan –“
“Ke-keren, aku ingin dia menjadi
temanku! Coba bayangkan, aku teman dari seseorang yang memiliki kekuatan Dewa!
Waaah, aku benar-benar beruntung –“ Lapis terlihat tertawa bahagia, hal itu
membuat Lisienata terkejut ketakutan. Semakin memberikan tatapan kemarahan
padanya.
“Kau tak mengerti juga!? Dia berbeda
denganmu!! Keluargamu atau orang-orang berhagamu bisa mati karenanya!!”
“Ta-tapi dia temanku, mustahil dia
melukai mereka. Aku sangat mempercayai temanku,” khawatir Lapis, memberikan
tatapan penasaran pada Lisienata. Dia benar-benar tak mengerti, alasan
Lisienata marah.
Lisienata terdiam, mulai menundukkan
kepala, tubuhnya bergemetar. Membuat si gadis menggemaskan itu kebingungan.
“Ja-jadi kau akan menerimanya
be-begitu?” gugup Lisienata bertanya, masih menundukkan kepala, matanya memerah.
Benar-benar kesulitan menahan beban air mata.
“Ya, aku akan tetap menerimanya.
Meski semua orang membencinya, menginginkan dia tiada. Aku akan tetap
disampingnya, bersamanya, bahkan jika aku mampu. Aku bisa melindunginya.”
Tumpah air mata dari lelaki yang tak diinginkan dunia itu. Bersatu dengan
tempat duduk di hadapan wajahnya. Benar-benar tak kuasa menahan tangisan.
Hatinya sakit, bukan karena kesedihan. Tapi kebahagiaan.
Masih ada, pikirnya. Dia bersyukur,
amat sangat beryukur masih ada orang yang seperti ibunya. Hatinya berdetak cepat,
perkataan Lapis sebelumnya benar-benar menyentuh hatinya. Membuat perasaan tak karuan muncul dihatinya. Mulai tertarik dengann- tidak, mungkin sudah memiliki perasaan yang sama.
“Bu-bukannya aku sombong loh, tapi aku
ini cukup kuat hahaha,” Lapis tertawa menutup mata, mengusap hidung. Sedikit
membusungkan dada. Masih belum menyadari Lisienata yang menitiskan air mata.
“Jika kau kuat, bisa aku meminta
tolong sesuatu darimu?” seorang wanita dengan tongkat kayu berdiri di samping
mereka berdua. Memberikan senyuman kecil pada Lapis.
Itu
adalah Zaxia.
Dia
mendengar seluruh perbincangan Lisienata dengan Lapis. Matanya juga memerah seperti Lisienata, baru saja menghapus
air mata di kedua matanya yang sayu. Melihat hal itu, Lapis lekas berwajah khawatir, mulai mengajukan pertanyaan.
“Eh, si-siapa?”
“Aku hanyalah pengasuh anak itu.
Kemarilah, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Sesuatu yang amat sangat penting untukku,” senyum wanita itu. Lapis yang melihat wanita itu cukup tak sehat mulai merasa iba. Lekas
turun dari kursi, berjalan pelan mengikutinya. Sedikit melirik Lisienata sambil
berucap.” Aku pergi sebentar.”
Lisienata masih menundukkan kepala,
tak bisa memperhatikan sekitar. Masih menangis tak kuasa menahan kebahagiaan.
Lalu di tempat yang cukup jauh dari
Lisienata, lapangan yang kosong. Tak ada satupun orang yang terlihat. Hanya
bangunan tua yang terlihat di sisi kanannya. Gadung pencangkar langit di sisi
kirinya.
Lapis masih berwajah khawatir
menatap wanita itu yang mengusap air matanya kembali. Wanita itu benar-benar kesulita menghentikan tangisan.
“Ka-kau baik-baik saja Bu?”
“Aku baik-baik saja. Tapi gadis muda, mungkin kau
satu-satunya yang sepertiku. Izinkan aku meminta pertolongan padamu. Apapun
yang kau inginkan akan kuturuti, apapun perintahmu akan kulakukan. Tapi tolong penuhi keinginanku ini,” senyum
kecil Zaxia, menutup matanya.
“....” Lapis tetap diam, berwajah
khawatir. Menunggu keingingan wanita tua di hadapannya.
Bersamaan perginya sang mentari,
Zaxia lekas menundukkan kepala, bahkan tubuh. Dia bersujud di hadapan gadis kecil
dihadapannya. Membuat Lapis terkejut ketakutan, bergemetar tubuhnya.
Benar-benar tak mengerti akan alasan dari tindakan wanita tua di hadapannya.
“Wa-waktuku tidak banyak lagi .... Se-setelah kepergianku, kumohon, aku amat sangat memohon!! Jaga anakku, berikan dia
kebahagiaan. Tolong hargai keberadaannya!! Jangan kecewakan kepercayaannya!”
***
No comments:
Post a Comment