Thursday, 24 November 2016

Rina 1

Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Rina 1

28 April 2022, langit terlihat lebih gelap. Dunia terasa sedang bersedih ketika menunjukkan langit yang seperti itu. Sungguh bertolak belakang dengan suasana hatiku.
Aku tersenyum dan memainkan penghapus yang berada di atas meja. Sesekali bisikan kecil teman-teman terdengar oleh kedua telinga. Suasana terasa tegang. Dirinya tak henti-henti mengamati kami yang sedang mengerjakan soal.
Rina Rina Rina, panggilan kecil itu terus kudengar dari belakang tubuh. Mungkin sudah ke sepuluh kalinya mendengar namaku sendiri sejak dimulainya ujian ini.
Panggilan itu tetap kuhiraukan dan berpura-pura tak mendengar. Bukan berarti pelit, sombong, dan tak ingin membantu gadis yang memanggil namaku itu. Tapi aku melakukan ini demi kebaikannya. Apalagi gadis itu adalah sahabatku sendiri, Geisha.
Jika aku memberi contekan padanya, itu sama saja dengan menyuruh dia untuk jadi lebih bodoh.
Memang tidak terasa jika perilaku ini dilakukan hanya satu atau dua kali. Tapi jika dilakukan secara terus menerus akan memberikan dampak yang merugikan. Karena pada suatu saat nanti pelaku akan menemukan masalah yang harus diselesaikannya sendiri, tanpa bantuan orang lain.
"Pelit seperti biasanya, yah?"
Aku tersenyum kecil mendengar gerutuannya. Tidak ada satupun teman-temanku yang menjauhiku karena masalah ini, termasuk Geisha. Aku hanya perlu menjelaskan alasanku yang tak ingin memberikan bantuan pada mereka.
Ya memang pada awalnya banyak yang mengatakan. "Ah, kamu terlalu kaku." atau "Ayolah ini 'kan hanya ujian."
Tapi ketika kujelaskan akan dampaknya, mereka hanya menganggukkan kepala dan memberikan senyuman kagum padaku. Mereka menghargai prinsipku yang menentang segala bentuk kecurangan.
Air hujan mulai turun membasahi permukaan bumi. Akhirnya, langit mengeluarkan tangisannya.
Sesaat, hujan gerimis itu menjadi pusat perhatian bagi sebagian penghuni kelas.
"Yah, hujan. Aku tidak membawa payung." Keluhan Geisha terdengar olehku.
"Kau bisa ikut denganku seperti biasanya, kan? Hari ini juga aku dijemput kok," senyumku berbalik dan menatapnya.
"Nomor delapan apa?" senyum Geisha bertanya, melebarkan kedua mata menatapku penuh harapan.
"Kau memang tak pernah belajar, yah?" Aku mengeluh sedikit membuang napas. Lekas mengalihkan pandangan darinya.
"Aku sudah belajar! Soal nomor delapan ini saja yang tingkat sulitnya terlalu tinggi."
"Bukan belajar itu maksudku. Mau sampai kapan kau berharap kalau aku akan memberikan contekan padamu?" kataku dan melirik kecil kepadanya.
Geisha mengembungkan pipinya. Terlihat tak senang sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Aku kan cuman minta satu nomor ...." Ketusnya amat pelan, tapi masih terdengar jelas olehku.
"Meski satu nomor, curang tetaplah curang. Besar atau kecil, itu masih tetaplah curang," datarku mulai berbalik dan menghadap kembali ke depan.
"Kau ini ... sebaiknya jadi pejabat saja sana! Sikap kejujuranmu itu benar-benar menyebalkan–" keluh kembali Geisha menutup mata, akan tetapi.
"Geisha, Rina!" teriakan guru kami memotong perkataan. Seketika, suasana hening berubah menjadi tegang. Seluruh pandangan siswa mulai tertuju pada kami berdua.
Memang benar aku menyukai diriku yang menjadi pusat perhatian. Aku suka jika semua orang menatap dan memperhatikanku.
Tapi bukan ini maksudku. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian yang seperti ini.
"Maaf, Pak! Rina tadi nanyain nomor 8," senyum Geisha menutup mata. Wajahnya yang berpura-pura tak berdosa itu benar-benar membuatku kesal.
"Ka-kau menjual sahabatmu!?" kesalku berbisik dan melotot padanya.
"Rina, kerjakan ujianmu sendiri!" teriak Pak Asep.
"Tapi Pak –"
"Bapak juga daritadi melihatmu yang hanya memain-mainkan penghapus. Apa kamu kesulitan mengerjakan ujian ini?!"
"Ti-tidak, Pak! Aku sudah selesai sejak 15 menit yang lalu."
"Lalu kenapa tidak kau kumpulkan lembar jawabanmu itu," keluh Pak Asep mulai berdiri dan berjalan pelan menghampiriku.
"Tapi bapak bilang tidak ada yang boleh meninggalkan ruangan ini sebelum ujian selesai. Jadi aku menunggu semua temanku menyelesaikan ujian ini."
"Kau ini yah ...." Pak Asep hanya tersenyum kecil dan mengambil lembar jawaban di atas mejaku. Dia mulai berjalan kembali ke mejanya sambil berkata.
"Tak apa. Sekarang kau bisa keluar, Rina."
"Tapi Pak –"
"Kau bisa keluar," senyum Pak Asep menutup mata sesaat. Sungguh ... dia terlihat menakutkan ketika memasang wajah seperti itu.
Aku menganggukan kepala perlahan, berdiri, dan mulai berjalan menuju pintu keluar. Tatapan dari teman-teman padaku masih aku dapatkan. Suasana terasa hening ketika aku terus berjalan.
"Aku juga sudah selesai, Pak!" teriakan Geisha tiba-tiba menghancurkan keheningan. Gadis berambut hitam ikal itu terlihat tersenyum lebar sambal berjalan cepat mengumpulkan lembar jawaban.
"Geisha, bukankah nomor delapan belum kau isi?" datarku bertanya pada dia yang berjalan mendekat.
"Ah, tak apa. Aku hanya tak menjawab satu soal dari lima puluh soal. Itu hanya poin kecil." Kami mulai berjalan meninggalkan kelas.
"Memangnya jawaban yang sudah kau jawab itu pasti benar?" aku meliriknya cukup khawatir.
"Tentu pasti benar." Senyumannya kini malah terlihat sombong.
"Kau yakin?" tanyaku menegaskan pertanyaan sebelumnya.
"Ayolah, berpikir positif tidak salah, kan?"
"Kau boleh berpikir positif. Tapi jika terlalu berlebihan, kau akan kesulitan menerima kenyataan pahit yang datang padamu nanti.
Jika sudah seperti itu, kau akan jatuh dan tidak punya selera untuk menikmati hidup, lalu kau akan stress, pada akhirnya mungkin kau hanya ingin mati. Jika sudah seperti itu sekitarmu lah yang kena imbasnya juga, Geisha."
"Kau benar-benar menakutkan yah, Rina ...," Geisha malah memasang wajah datar padaku. Aku tersenyum simpul melihatnya.
Yah tapi aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan. Tak ada yang salah dari perkataanku sebelumnya. Kita boleh berpikir positif, tapi tidak terlalu berlebihan.
"Sungguh, pemikiranmu itu benar-benar mengerikan. Aku kesulitan untuk mengerti jalan pemikiran gadis jenius sepertimu," Geisha mulai tersenyum cemas membuang pandangan. Senyuman berbeda yang tak mengenakkan hatiku.
"Apa itu hinaan untukku?"
"Tidak, itu sebuah pujian. Pujian yang sangat-sangat tinggi, Rina."
"Benarkah ...." Aku menghentikan ucapan. Suaraku kalah oleh suara hujan di luar
Hujan turun semakin deras. Langit di luar terlihat gelap. Sepertinya badai akan datang.
Aku sudah tahu akan hal ini. Sudah tiga hari cuaca terus cerah, maka wajar jika hujan besar akan mengguyur kota hari ini.
Aku masih berjalan di lorong sekolah bersama sahabatku. Hanya satu tujuan kami, kantin sekolah. Berniat mengisi perut kami yang lapar.
Bisikan kecil beberapa siswa yang berada di lorong mulai terdengar. Pandangan mereka tertuju pada kami. Tubuh mereka bergerak sendiri, seolah memberikan jalan untuk kami berdua. Geisha kembali memasang wajah mengesalkannya. Tersenyum menggodaku ketika dalam situasi seperti ini.
"Seperti biasa, aura berbeda dari Sang Putri ...."
"Sungguh, bisa kau hentikan hal itu?" tanya pelanku menutup mata. Mulai menghentikan langkah hingga membuat wajah para siswa keheranan.
"Kenapa ...? Kau ini cantik, pintar, dan juga terkenal baik. Lebih dari itu, kau putri dari ketua yayasan sekolah ini. Rambutmu yang seperti coklat caramel itu semakin membuatmu pantas dipanggil seperti itu," senyum Geisha berbalik menatapku.
Aku terdiam dan tak membalas ucapan. Hanya mengalihkan pandangan dengan wajah tak senang.
Aku tak pernah menginginkan panggilan itu. Panggilan yang seolah-olah menunjukan perbedaan status sosial, perbedaan kasta yang membuatku merasa berbeda dengan yang lainnya.
Padahal aku sama seperti mereka. Aku menghirup udara yang sama seperti mereka. Aku memakan makanan apa yang mereka makan. Aku juga menerima perilaku adil dari ayahku di sekolah.
Aku juga manusia. Aku juga memiliki banyak kekurangan seperti yang lainnya. Aku tak seistimewa itu hingga pantas diberikan panggilan itu.
***28 April 2022, langit terlihat lebih gelap. Dunia terasa sedang bersedih ketika menunjukkan langit yang seperti itu. Sungguh bertolak belakang dengan suasana hatiku.
Aku tersenyum dan memainkan penghapus yang berada di atas meja. Sesekali bisikan kecil teman-teman terdengar oleh kedua telinga. Suasana terasa tegang. Dirinya tak henti-henti mengamati kami yang sedang mengerjakan soal.
Rina Rina Rina, panggilan kecil itu terus kudengar dari belakang tubuh. Mungkin sudah ke sepuluh kalinya mendengar namaku sendiri sejak dimulainya ujian ini.
Panggilan itu tetap kuhiraukan dan berpura-pura tak mendengar. Bukan berarti pelit, sombong, dan tak ingin membantu gadis yang memanggil namaku itu. Tapi aku melakukan ini demi kebaikannya. Apalagi gadis itu adalah sahabatku sendiri, Geisha.
Jika aku memberi contekan padanya, itu sama saja dengan menyuruh dia untuk jadi lebih bodoh.
Memang tidak terasa jika perilaku ini dilakukan hanya satu atau dua kali. Tapi jika dilakukan secara terus menerus akan memberikan dampak yang merugikan. Karena pada suatu saat nanti pelaku akan menemukan masalah yang harus diselesaikannya sendiri, tanpa bantuan orang lain.
"Pelit seperti biasanya, yah?"
Aku tersenyum kecil mendengar gerutuannya. Tidak ada satupun teman-temanku yang menjauhiku karena masalah ini, termasuk Geisha. Aku hanya perlu menjelaskan alasanku yang tak ingin memberikan bantuan pada mereka.
Ya memang pada awalnya banyak yang mengatakan. "Ah, kamu terlalu kaku." atau "Ayolah ini 'kan hanya ujian."
Tapi ketika kujelaskan akan dampaknya, mereka hanya menganggukkan kepala dan memberikan senyuman kagum padaku. Mereka menghargai prinsipku yang menentang segala bentuk kecurangan.
Air hujan mulai turun membasahi permukaan bumi. Akhirnya, langit mengeluarkan tangisannya.
Sesaat, hujan gerimis itu menjadi pusat perhatian bagi sebagian penghuni kelas.
"Yah, hujan. Aku tidak membawa payung." Keluhan Geisha terdengar olehku.
"Kau bisa ikut denganku seperti biasanya, kan? Hari ini juga aku dijemput kok," senyumku berbalik dan menatapnya.
"Nomor delapan apa?" senyum Geisha bertanya, melebarkan kedua mata menatapku penuh harapan.
"Kau memang tak pernah belajar, yah?" Aku mengeluh sedikit membuang napas. Lekas mengalihkan pandangan darinya.
"Aku sudah belajar! Soal nomor delapan ini saja yang tingkat sulitnya terlalu tinggi."
"Bukan belajar itu maksudku. Mau sampai kapan kau berharap kalau aku akan memberikan contekan padamu?" kataku dan melirik kecil kepadanya.
Geisha mengembungkan pipinya. Terlihat tak senang sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Aku kan cuman minta satu nomor ...." Ketusnya amat pelan, tapi masih terdengar jelas olehku.
"Meski satu nomor, curang tetaplah curang. Besar atau kecil, itu masih tetaplah curang," datarku mulai berbalik dan menghadap kembali ke depan.
"Kau ini ... sebaiknya jadi pejabat saja sana! Sikap kejujuranmu itu benar-benar menyebalkan–" keluh kembali Geisha menutup mata, akan tetapi.
"Geisha, Rina!" teriakan guru kami memotong perkataan. Seketika, suasana hening berubah menjadi tegang. Seluruh pandangan siswa mulai tertuju pada kami berdua.
Memang benar aku menyukai diriku yang menjadi pusat perhatian. Aku suka jika semua orang menatap dan memperhatikanku.
Tapi bukan ini maksudku. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian yang seperti ini.
"Maaf, Pak! Rina tadi nanyain nomor 8," senyum Geisha menutup mata. Wajahnya yang berpura-pura tak berdosa itu benar-benar membuatku kesal.
"Ka-kau menjual sahabatmu!?" kesalku berbisik dan melotot padanya.
"Rina, kerjakan ujianmu sendiri!" teriak Pak Asep.
"Tapi Pak –"
"Bapak juga daritadi melihatmu yang hanya memain-mainkan penghapus. Apa kamu kesulitan mengerjakan ujian ini?!"
"Ti-tidak, Pak! Aku sudah selesai sejak 15 menit yang lalu."
"Lalu kenapa tidak kau kumpulkan lembar jawabanmu itu," keluh Pak Asep mulai berdiri dan berjalan pelan menghampiriku.
"Tapi bapak bilang tidak ada yang boleh meninggalkan ruangan ini sebelum ujian selesai. Jadi aku menunggu semua temanku menyelesaikan ujian ini."
"Kau ini yah ...." Pak Asep hanya tersenyum kecil dan mengambil lembar jawaban di atas mejaku. Dia mulai berjalan kembali ke mejanya sambil berkata.
"Tak apa. Sekarang kau bisa keluar, Rina."
"Tapi Pak –"
"Kau bisa keluar," senyum Pak Asep menutup mata sesaat. Sungguh ... dia terlihat menakutkan ketika memasang wajah seperti itu.
Aku menganggukan kepala perlahan, berdiri, dan mulai berjalan menuju pintu keluar. Tatapan dari teman-teman padaku masih aku dapatkan. Suasana terasa hening ketika aku terus berjalan.
"Aku juga sudah selesai, Pak!" teriakan Geisha tiba-tiba menghancurkan keheningan. Gadis berambut hitam ikal itu terlihat tersenyum lebar sambal berjalan cepat mengumpulkan lembar jawaban.
"Geisha, bukankah nomor delapan belum kau isi?" datarku bertanya pada dia yang berjalan mendekat.
"Ah, tak apa. Aku hanya tak menjawab satu soal dari lima puluh soal. Itu hanya poin kecil." Kami mulai berjalan meninggalkan kelas.
"Memangnya jawaban yang sudah kau jawab itu pasti benar?" aku meliriknya cukup khawatir.
"Tentu pasti benar." Senyumannya kini malah terlihat sombong.
"Kau yakin?" tanyaku menegaskan pertanyaan sebelumnya.
"Ayolah, berpikir positif tidak salah, kan?"
"Kau boleh berpikir positif. Tapi jika terlalu berlebihan, kau akan kesulitan menerima kenyataan pahit yang datang padamu nanti.
Jika sudah seperti itu, kau akan jatuh dan tidak punya selera untuk menikmati hidup, lalu kau akan stress, pada akhirnya mungkin kau hanya ingin mati. Jika sudah seperti itu sekitarmu lah yang kena imbasnya juga, Geisha."
"Kau benar-benar menakutkan yah, Rina ...," Geisha malah memasang wajah datar padaku. Aku tersenyum simpul melihatnya.
Yah tapi aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan. Tak ada yang salah dari perkataanku sebelumnya. Kita boleh berpikir positif, tapi tidak terlalu berlebihan.
"Sungguh, pemikiranmu itu benar-benar mengerikan. Aku kesulitan untuk mengerti jalan pemikiran gadis jenius sepertimu," Geisha mulai tersenyum cemas membuang pandangan. Senyuman berbeda yang tak mengenakkan hatiku.
"Apa itu hinaan untukku?"
"Tidak, itu sebuah pujian. Pujian yang sangat-sangat tinggi, Rina."
"Benarkah ...." Aku menghentikan ucapan. Suaraku kalah oleh suara hujan di luar
Hujan turun semakin deras. Langit di luar terlihat gelap. Sepertinya badai akan datang.
Aku sudah tahu akan hal ini. Sudah tiga hari cuaca terus cerah, maka wajar jika hujan besar akan mengguyur kota hari ini.
Aku masih berjalan di lorong sekolah bersama sahabatku. Hanya satu tujuan kami, kantin sekolah. Berniat mengisi perut kami yang lapar.
Bisikan kecil beberapa siswa yang berada di lorong mulai terdengar. Pandangan mereka tertuju pada kami. Tubuh mereka bergerak sendiri, seolah memberikan jalan untuk kami berdua. Geisha kembali memasang wajah mengesalkannya. Tersenyum menggodaku ketika dalam situasi seperti ini.
"Seperti biasa, aura berbeda dari Sang Putri ...."
"Sungguh, bisa kau hentikan hal itu?" tanya pelanku menutup mata. Mulai menghentikan langkah hingga membuat wajah para siswa keheranan.
"Kenapa ...? Kau ini cantik, pintar, dan juga terkenal baik. Lebih dari itu, kau putri dari ketua yayasan sekolah ini. Rambutmu yang seperti coklat caramel itu semakin membuatmu pantas dipanggil seperti itu," senyum Geisha berbalik menatapku.
Aku terdiam dan tak membalas ucapan. Hanya mengalihkan pandangan dengan wajah tak senang.
Aku tak pernah menginginkan panggilan itu. Panggilan yang seolah-olah menunjukan perbedaan status sosial, perbedaan kasta yang membuatku merasa berbeda dengan yang lainnya.
Padahal aku sama seperti mereka. Aku menghirup udara yang sama seperti mereka. Aku memakan makanan apa yang mereka makan. Aku juga menerima perilaku adil dari ayahku di sekolah.
Aku juga manusia. Aku juga memiliki banyak kekurangan seperti yang lainnya. Aku tak seistimewa itu hingga pantas diberikan panggilan itu.


***

No comments:

Post a Comment