Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Rina 1
28 April 2022, langit terlihat lebih gelap. Dunia
terasa sedang bersedih ketika menunjukkan langit yang seperti itu. Sungguh
bertolak belakang dengan suasana hatiku.
Aku tersenyum dan memainkan penghapus yang berada di atas meja.
Sesekali bisikan kecil teman-teman terdengar oleh kedua telinga. Suasana terasa
tegang. Dirinya tak henti-henti mengamati kami yang sedang mengerjakan soal.
Rina Rina Rina, panggilan kecil itu terus kudengar dari belakang
tubuh. Mungkin sudah ke sepuluh kalinya mendengar namaku sendiri sejak
dimulainya ujian ini.
Panggilan itu tetap kuhiraukan dan berpura-pura tak mendengar.
Bukan berarti pelit, sombong, dan tak ingin membantu gadis yang memanggil
namaku itu. Tapi aku melakukan ini demi kebaikannya. Apalagi gadis itu adalah
sahabatku sendiri, Geisha.
Jika aku memberi contekan padanya, itu sama saja dengan menyuruh
dia untuk jadi lebih bodoh.
Memang tidak terasa jika perilaku ini dilakukan hanya satu atau
dua kali. Tapi jika dilakukan secara terus menerus akan memberikan dampak yang
merugikan. Karena pada suatu saat nanti pelaku akan menemukan masalah yang
harus diselesaikannya sendiri, tanpa bantuan orang lain.
"Pelit seperti biasanya, yah?"
Aku tersenyum kecil mendengar gerutuannya. Tidak ada satupun
teman-temanku yang menjauhiku karena masalah ini, termasuk Geisha. Aku hanya
perlu menjelaskan alasanku yang tak ingin memberikan bantuan pada mereka.
Ya memang pada awalnya banyak yang mengatakan. "Ah, kamu
terlalu kaku." atau "Ayolah ini 'kan hanya ujian."
Tapi ketika kujelaskan akan dampaknya, mereka hanya
menganggukkan kepala dan memberikan senyuman kagum padaku. Mereka menghargai
prinsipku yang menentang segala bentuk kecurangan.
Air hujan mulai turun membasahi permukaan bumi. Akhirnya, langit
mengeluarkan tangisannya.
Sesaat, hujan gerimis itu menjadi pusat perhatian bagi sebagian
penghuni kelas.
"Yah, hujan. Aku tidak membawa payung." Keluhan Geisha
terdengar olehku.
"Kau bisa ikut denganku seperti biasanya, kan? Hari ini
juga aku dijemput kok," senyumku berbalik dan menatapnya.
"Nomor delapan apa?" senyum Geisha bertanya,
melebarkan kedua mata menatapku penuh harapan.
"Kau memang tak pernah belajar, yah?" Aku mengeluh
sedikit membuang napas. Lekas mengalihkan pandangan darinya.
"Aku sudah belajar! Soal nomor delapan ini saja yang
tingkat sulitnya terlalu tinggi."
"Bukan belajar itu maksudku. Mau sampai kapan kau berharap
kalau aku akan memberikan contekan padamu?" kataku dan melirik kecil
kepadanya.
Geisha mengembungkan pipinya. Terlihat tak senang sambil
mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Aku kan cuman minta satu nomor ...." Ketusnya amat
pelan, tapi masih terdengar jelas olehku.
"Meski satu nomor, curang tetaplah curang. Besar atau
kecil, itu masih tetaplah curang," datarku mulai berbalik dan menghadap
kembali ke depan.
"Kau ini ... sebaiknya jadi pejabat saja sana! Sikap
kejujuranmu itu benar-benar menyebalkan–" keluh kembali Geisha menutup
mata, akan tetapi.
"Geisha, Rina!" teriakan guru kami memotong perkataan.
Seketika, suasana hening berubah menjadi tegang. Seluruh pandangan siswa mulai
tertuju pada kami berdua.
Memang benar aku menyukai diriku yang menjadi pusat perhatian.
Aku suka jika semua orang menatap dan memperhatikanku.
Tapi bukan ini maksudku. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian
yang seperti ini.
"Maaf, Pak! Rina tadi nanyain nomor 8," senyum Geisha
menutup mata. Wajahnya yang berpura-pura tak berdosa itu benar-benar membuatku
kesal.
"Ka-kau menjual sahabatmu!?" kesalku berbisik dan
melotot padanya.
"Rina, kerjakan ujianmu sendiri!" teriak Pak Asep.
"Tapi Pak –"
"Bapak juga daritadi melihatmu yang hanya memain-mainkan
penghapus. Apa kamu kesulitan mengerjakan ujian ini?!"
"Ti-tidak, Pak! Aku sudah selesai sejak 15 menit yang
lalu."
"Lalu kenapa tidak kau kumpulkan lembar jawabanmu
itu," keluh Pak Asep mulai berdiri dan berjalan pelan menghampiriku.
"Tapi bapak bilang tidak ada yang boleh meninggalkan
ruangan ini sebelum ujian selesai. Jadi aku menunggu semua temanku
menyelesaikan ujian ini."
"Kau ini yah ...." Pak Asep hanya tersenyum kecil dan
mengambil lembar jawaban di atas mejaku. Dia mulai berjalan kembali ke mejanya
sambil berkata.
"Tak apa. Sekarang kau bisa keluar, Rina."
"Tapi Pak –"
"Kau bisa keluar," senyum Pak Asep menutup mata
sesaat. Sungguh ... dia terlihat menakutkan ketika memasang wajah seperti itu.
Aku menganggukan kepala perlahan, berdiri, dan mulai berjalan
menuju pintu keluar. Tatapan dari teman-teman padaku masih aku dapatkan.
Suasana terasa hening ketika aku terus berjalan.
"Aku juga sudah selesai, Pak!" teriakan Geisha
tiba-tiba menghancurkan keheningan. Gadis berambut hitam ikal itu terlihat
tersenyum lebar sambal berjalan cepat mengumpulkan lembar jawaban.
"Geisha, bukankah nomor delapan belum kau isi?"
datarku bertanya pada dia yang berjalan mendekat.
"Ah, tak apa. Aku hanya tak menjawab satu soal dari lima
puluh soal. Itu hanya poin kecil." Kami mulai berjalan meninggalkan kelas.
"Memangnya jawaban yang sudah kau jawab itu pasti
benar?" aku meliriknya cukup khawatir.
"Tentu pasti benar." Senyumannya kini malah terlihat
sombong.
"Kau yakin?" tanyaku menegaskan pertanyaan sebelumnya.
"Ayolah, berpikir positif tidak salah, kan?"
"Kau boleh berpikir positif. Tapi jika terlalu berlebihan,
kau akan kesulitan menerima kenyataan pahit yang datang padamu nanti.
Jika sudah seperti itu, kau akan jatuh dan tidak punya selera
untuk menikmati hidup, lalu kau akan stress, pada akhirnya mungkin kau hanya
ingin mati. Jika sudah seperti itu sekitarmu lah yang kena imbasnya juga,
Geisha."
"Kau benar-benar menakutkan yah, Rina ...," Geisha
malah memasang wajah datar padaku. Aku tersenyum simpul melihatnya.
Yah tapi aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan. Tak ada yang
salah dari perkataanku sebelumnya. Kita boleh berpikir positif, tapi tidak
terlalu berlebihan.
"Sungguh, pemikiranmu itu benar-benar mengerikan. Aku
kesulitan untuk mengerti jalan pemikiran gadis jenius sepertimu," Geisha
mulai tersenyum cemas membuang pandangan. Senyuman berbeda yang tak mengenakkan
hatiku.
"Apa itu hinaan untukku?"
"Tidak, itu sebuah pujian. Pujian yang sangat-sangat
tinggi, Rina."
"Benarkah ...." Aku menghentikan ucapan. Suaraku kalah
oleh suara hujan di luar
Hujan turun semakin deras. Langit di luar terlihat gelap.
Sepertinya badai akan datang.
Aku sudah tahu akan hal ini. Sudah tiga hari cuaca terus cerah,
maka wajar jika hujan besar akan mengguyur kota hari ini.
Aku masih berjalan di lorong sekolah bersama sahabatku. Hanya
satu tujuan kami, kantin sekolah. Berniat mengisi perut kami yang lapar.
Bisikan kecil beberapa siswa yang berada di lorong mulai
terdengar. Pandangan mereka tertuju pada kami. Tubuh mereka bergerak sendiri,
seolah memberikan jalan untuk kami berdua. Geisha kembali memasang wajah
mengesalkannya. Tersenyum menggodaku ketika dalam situasi seperti ini.
"Seperti biasa, aura berbeda dari Sang
Putri ...."
"Sungguh, bisa kau hentikan hal itu?" tanya pelanku
menutup mata. Mulai menghentikan langkah hingga membuat wajah para siswa
keheranan.
"Kenapa ...? Kau ini cantik, pintar, dan juga terkenal
baik. Lebih dari itu, kau putri dari ketua yayasan sekolah ini. Rambutmu yang
seperti coklat caramel itu semakin membuatmu pantas dipanggil seperti
itu," senyum Geisha berbalik menatapku.
Aku terdiam dan tak membalas ucapan. Hanya mengalihkan pandangan
dengan wajah tak senang.
Aku tak pernah menginginkan panggilan itu. Panggilan yang
seolah-olah menunjukan perbedaan status sosial, perbedaan kasta yang membuatku
merasa berbeda dengan yang lainnya.
Padahal aku sama seperti mereka. Aku menghirup udara yang sama
seperti mereka. Aku memakan makanan apa yang mereka makan. Aku juga menerima
perilaku adil dari ayahku di sekolah.
Aku juga manusia. Aku juga memiliki banyak kekurangan seperti
yang lainnya. Aku tak seistimewa itu hingga pantas diberikan panggilan itu.
***28 April 2022, langit terlihat lebih gelap. Dunia
terasa sedang bersedih ketika menunjukkan langit yang seperti itu. Sungguh
bertolak belakang dengan suasana hatiku.
Aku tersenyum dan memainkan penghapus yang berada di atas meja.
Sesekali bisikan kecil teman-teman terdengar oleh kedua telinga. Suasana terasa
tegang. Dirinya tak henti-henti mengamati kami yang sedang mengerjakan soal.
Rina Rina Rina, panggilan kecil itu terus kudengar dari belakang
tubuh. Mungkin sudah ke sepuluh kalinya mendengar namaku sendiri sejak
dimulainya ujian ini.
Panggilan itu tetap kuhiraukan dan berpura-pura tak mendengar.
Bukan berarti pelit, sombong, dan tak ingin membantu gadis yang memanggil
namaku itu. Tapi aku melakukan ini demi kebaikannya. Apalagi gadis itu adalah
sahabatku sendiri, Geisha.
Jika aku memberi contekan padanya, itu sama saja dengan menyuruh
dia untuk jadi lebih bodoh.
Memang tidak terasa jika perilaku ini dilakukan hanya satu atau
dua kali. Tapi jika dilakukan secara terus menerus akan memberikan dampak yang
merugikan. Karena pada suatu saat nanti pelaku akan menemukan masalah yang
harus diselesaikannya sendiri, tanpa bantuan orang lain.
"Pelit seperti biasanya, yah?"
Aku tersenyum kecil mendengar gerutuannya. Tidak ada satupun
teman-temanku yang menjauhiku karena masalah ini, termasuk Geisha. Aku hanya
perlu menjelaskan alasanku yang tak ingin memberikan bantuan pada mereka.
Ya memang pada awalnya banyak yang mengatakan. "Ah, kamu
terlalu kaku." atau "Ayolah ini 'kan hanya ujian."
Tapi ketika kujelaskan akan dampaknya, mereka hanya
menganggukkan kepala dan memberikan senyuman kagum padaku. Mereka menghargai
prinsipku yang menentang segala bentuk kecurangan.
Air hujan mulai turun membasahi permukaan bumi. Akhirnya, langit
mengeluarkan tangisannya.
Sesaat, hujan gerimis itu menjadi pusat perhatian bagi sebagian
penghuni kelas.
"Yah, hujan. Aku tidak membawa payung." Keluhan Geisha
terdengar olehku.
"Kau bisa ikut denganku seperti biasanya, kan? Hari ini
juga aku dijemput kok," senyumku berbalik dan menatapnya.
"Nomor delapan apa?" senyum Geisha bertanya,
melebarkan kedua mata menatapku penuh harapan.
"Kau memang tak pernah belajar, yah?" Aku mengeluh
sedikit membuang napas. Lekas mengalihkan pandangan darinya.
"Aku sudah belajar! Soal nomor delapan ini saja yang
tingkat sulitnya terlalu tinggi."
"Bukan belajar itu maksudku. Mau sampai kapan kau berharap
kalau aku akan memberikan contekan padamu?" kataku dan melirik kecil
kepadanya.
Geisha mengembungkan pipinya. Terlihat tak senang sambil
mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Aku kan cuman minta satu nomor ...." Ketusnya amat
pelan, tapi masih terdengar jelas olehku.
"Meski satu nomor, curang tetaplah curang. Besar atau
kecil, itu masih tetaplah curang," datarku mulai berbalik dan menghadap
kembali ke depan.
"Kau ini ... sebaiknya jadi pejabat saja sana! Sikap
kejujuranmu itu benar-benar menyebalkan–" keluh kembali Geisha menutup
mata, akan tetapi.
"Geisha, Rina!" teriakan guru kami memotong perkataan.
Seketika, suasana hening berubah menjadi tegang. Seluruh pandangan siswa mulai
tertuju pada kami berdua.
Memang benar aku menyukai diriku yang menjadi pusat perhatian.
Aku suka jika semua orang menatap dan memperhatikanku.
Tapi bukan ini maksudku. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian
yang seperti ini.
"Maaf, Pak! Rina tadi nanyain nomor 8," senyum Geisha
menutup mata. Wajahnya yang berpura-pura tak berdosa itu benar-benar membuatku
kesal.
"Ka-kau menjual sahabatmu!?" kesalku berbisik dan
melotot padanya.
"Rina, kerjakan ujianmu sendiri!" teriak Pak Asep.
"Tapi Pak –"
"Bapak juga daritadi melihatmu yang hanya memain-mainkan
penghapus. Apa kamu kesulitan mengerjakan ujian ini?!"
"Ti-tidak, Pak! Aku sudah selesai sejak 15 menit yang
lalu."
"Lalu kenapa tidak kau kumpulkan lembar jawabanmu
itu," keluh Pak Asep mulai berdiri dan berjalan pelan menghampiriku.
"Tapi bapak bilang tidak ada yang boleh meninggalkan
ruangan ini sebelum ujian selesai. Jadi aku menunggu semua temanku
menyelesaikan ujian ini."
"Kau ini yah ...." Pak Asep hanya tersenyum kecil dan
mengambil lembar jawaban di atas mejaku. Dia mulai berjalan kembali ke mejanya
sambil berkata.
"Tak apa. Sekarang kau bisa keluar, Rina."
"Tapi Pak –"
"Kau bisa keluar," senyum Pak Asep menutup mata
sesaat. Sungguh ... dia terlihat menakutkan ketika memasang wajah seperti itu.
Aku menganggukan kepala perlahan, berdiri, dan mulai berjalan
menuju pintu keluar. Tatapan dari teman-teman padaku masih aku dapatkan.
Suasana terasa hening ketika aku terus berjalan.
"Aku juga sudah selesai, Pak!" teriakan Geisha
tiba-tiba menghancurkan keheningan. Gadis berambut hitam ikal itu terlihat
tersenyum lebar sambal berjalan cepat mengumpulkan lembar jawaban.
"Geisha, bukankah nomor delapan belum kau isi?"
datarku bertanya pada dia yang berjalan mendekat.
"Ah, tak apa. Aku hanya tak menjawab satu soal dari lima
puluh soal. Itu hanya poin kecil." Kami mulai berjalan meninggalkan kelas.
"Memangnya jawaban yang sudah kau jawab itu pasti
benar?" aku meliriknya cukup khawatir.
"Tentu pasti benar." Senyumannya kini malah terlihat
sombong.
"Kau yakin?" tanyaku menegaskan pertanyaan sebelumnya.
"Ayolah, berpikir positif tidak salah, kan?"
"Kau boleh berpikir positif. Tapi jika terlalu berlebihan,
kau akan kesulitan menerima kenyataan pahit yang datang padamu nanti.
Jika sudah seperti itu, kau akan jatuh dan tidak punya selera
untuk menikmati hidup, lalu kau akan stress, pada akhirnya mungkin kau hanya
ingin mati. Jika sudah seperti itu sekitarmu lah yang kena imbasnya juga,
Geisha."
"Kau benar-benar menakutkan yah, Rina ...," Geisha
malah memasang wajah datar padaku. Aku tersenyum simpul melihatnya.
Yah tapi aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan. Tak ada yang
salah dari perkataanku sebelumnya. Kita boleh berpikir positif, tapi tidak
terlalu berlebihan.
"Sungguh, pemikiranmu itu benar-benar mengerikan. Aku
kesulitan untuk mengerti jalan pemikiran gadis jenius sepertimu," Geisha
mulai tersenyum cemas membuang pandangan. Senyuman berbeda yang tak mengenakkan
hatiku.
"Apa itu hinaan untukku?"
"Tidak, itu sebuah pujian. Pujian yang sangat-sangat
tinggi, Rina."
"Benarkah ...." Aku menghentikan ucapan. Suaraku kalah
oleh suara hujan di luar
Hujan turun semakin deras. Langit di luar terlihat gelap.
Sepertinya badai akan datang.
Aku sudah tahu akan hal ini. Sudah tiga hari cuaca terus cerah,
maka wajar jika hujan besar akan mengguyur kota hari ini.
Aku masih berjalan di lorong sekolah bersama sahabatku. Hanya
satu tujuan kami, kantin sekolah. Berniat mengisi perut kami yang lapar.
Bisikan kecil beberapa siswa yang berada di lorong mulai
terdengar. Pandangan mereka tertuju pada kami. Tubuh mereka bergerak sendiri,
seolah memberikan jalan untuk kami berdua. Geisha kembali memasang wajah
mengesalkannya. Tersenyum menggodaku ketika dalam situasi seperti ini.
"Seperti biasa, aura berbeda dari Sang
Putri ...."
"Sungguh, bisa kau hentikan hal itu?" tanya pelanku
menutup mata. Mulai menghentikan langkah hingga membuat wajah para siswa
keheranan.
"Kenapa ...? Kau ini cantik, pintar, dan juga terkenal
baik. Lebih dari itu, kau putri dari ketua yayasan sekolah ini. Rambutmu yang
seperti coklat caramel itu semakin membuatmu pantas dipanggil seperti
itu," senyum Geisha berbalik menatapku.
Aku terdiam dan tak membalas ucapan. Hanya mengalihkan pandangan
dengan wajah tak senang.
Aku tak pernah menginginkan panggilan itu. Panggilan yang
seolah-olah menunjukan perbedaan status sosial, perbedaan kasta yang membuatku
merasa berbeda dengan yang lainnya.
Padahal aku sama seperti mereka. Aku menghirup udara yang sama
seperti mereka. Aku memakan makanan apa yang mereka makan. Aku juga menerima
perilaku adil dari ayahku di sekolah.
Aku juga manusia. Aku juga memiliki banyak kekurangan seperti
yang lainnya. Aku tak seistimewa itu hingga pantas diberikan panggilan itu.
***
No comments:
Post a Comment