Thursday, 24 November 2016

Bab II

Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Bab II
Annisa

Lagi-lagi, dia seperti itu. Tertidur di atas mejanya ketika pelajaran masih berlangsung.
Memang benar jika para siswa mengabaikan perilakunya. Tapi aku tidak bisa. Aku sungguh membenci dia yang tak menghargai pengorbanan orang tuanya.
“Bu Lina!”
Teriakanku sontak menarik perhatian semua orang. Seisi kelas menatapku penuh khawatir. Kecuali dia yang tertidur di atas mejanya.
“Ada apa, Annisa?”
“Setidaknya lakukan sesuatu padanya, Bu!” tunjuk kesalku pada siswa yang duduk paling belakang. Siswa yang sedang tertidur di atas mejanya sejak awal pelajaran. Hardi, lelaki yang paling kubenci segalanya.
“Ta-tak apa-apa. Biarkan saja dia, Annisa.” Ibu Lina malah mengalihkan pandangan. Ekspresi khawatir dan ketakutan sungguh terlihat jelas dari wajahnya.
Para siswa juga menatapku penuh khawatir.
Kenapa beberapa siswa dan guru takut pada lelaki itu. Dia hanya anak berandalan yang tak tau diri. Dia hanya seorang bajingan yang ingin mendapatkan status pendidikan.
“Ba-baiklah, sekarang kita mulai lagi pelajarannya.” Ibu Lina mulai membuka lembaran baru dalam bukunya. Tersenyum khawatir menatap kami selaku siswa.
Aku jadi merasa bersalah padanya. Jadi merasa bersalah pada sekitarku karena membuat suasana canggung datang.
Tidak, ini bukan salahku. Ini semua salahnya. Salah lelaki itu yang berada di dunia ini, sekolah ini, dan kelas ini.
Berandalan seharusnya berkumpul dengan berandalan lainnya. Bukan membaur dengan kami yang berpendidikan.
Sudah dua bulan sejak kejadian yang menggemparkan sekolah itu. Rina yang dulu kuanggap musuh, kini menjadi sahabatku.
Dulu aku tidak tau dan masih menganggap Rina seperti gadis lainnya. Gadis yang sering memandang rendah gadis sepertiku. Sering melakukan penindasan pada masyarakat kecil sepertiku.
Tapi kini aku tau sifat, kebaikan, dan perhatiannya. Dia sungguh berbeda. Dia sungguh peduli pada sekitarnya. Dia bagaikan malaikat yang turun ke sekolah ini.
Julukan Sang Putri memang pantas didapatkannya. Ya meskipun dia gadis yang sedikit cengeng untuk hal-hal yang sepele.
Aku sungguh malu pada diriku sendiri yang pernah menghiraukannya. Menganggap dia sebagai musuhku.
Aku tersadar. Selama ini aku salah, selama ini aku keliru. Tidak semua orang seperti itu. Tidak semua orang yang berada memperlakukanku seperti dulu. Rina dan Geisha adalah bukti nyatanya.
Setelah kejadian itu juga, aku mulai membuka diri pada sekitar. Perlahan, mulai mendapatkan banyak teman yang bisa kupercaya.
Selain Rina, Wafa juga menjadi sahabatku. Dia tidak bersalah saat kejadian itu. Dia hanya diancam oleh Si Bajingan itu.
Julukan Si Gadis Arogan perlahan memudar dan pada akhirnya menghilang. Terlepas oleh julukan baru yang entah kenapa membuat bulu kudukku berdiri.
Si Gadis Pintar.
Ahh, hanya karena aku rangking satu, mereka langsung saja memberikan julukan memalukan itu. Rina, Geisha dan Wafa malah membenarkan julukan itu.
Tapi itu lebih baik dari julukan sebelumnya.
“Baiklah, rumus ini akan keluar di ujian kenaikan kelas nanti. Ibu harap kalian memahaminya.”
Ibu Lina memutari rumus dengan pointer laptopnya. Tampilan laptopnya itu terlihat jelas oleh kami. Hampir memenuhi tembok dengan bantuan proyektor.
Sepertinya, dia baru saja menerangkan rumus yang penting. Lalu di saat dia menerangkan rumus itu, aku malah melamun sambil memikirkan beberapa hal sebelumnya.
Hatiku berdetak cepat. Perasaan cemas dan ketakutan mulai kudapatkan. Aku ingin mengangkat tangan, berharap beliau mengulangi penjelasannya.
Tapi jika aku melakukan itu. Semua siswa akan tahu jika aku tidak memperhatikan dari tadi. Paling parah mereka akan menganggap daya serapku yang lambat.
Aku tak peduli. Masa bodoh dengan anggapan mereka.  Yang terpenting aku ingin bisa ketika ujian nant –
“Ibu Lina ...!”
Suaranya tidak terlalu keras. Tapi nadanya terdengar cukup dalam. Suaranya itu lebih dari cukup untuk membuat suasana tegang di kelas datang.
Seluruh siswa menundukkan kepala. Bergemetar, mendengar dia yang ditakuti mulai bersuara.
“Ad-ada apa, Hardi?” senyum khawatir Ibu Guru  menutup mata.
            “Tolong ulangi pelajarannya. Aku ketiduran,” jawabnya ringan. Mulai menguap menunjukan ketidaksopanan.
            Apanya yang ketiduran. Hampir setiap kegiatan belajar orang itu selalu tidur. Lagipula, nada ringannya itu benar-benar membuat telingaku sakit. Dia tidak punya sopan santun.
            “Se-semuanya? Tapi –“
            “Lakukan saja pekerjaanmu, Bu. Aku tidak menuntut menerangkan semua. Terangkan saja bagian-bagian pentingnya. Contohnya, seperti rumus yang tadi kau katakan.”
            “Itu tidak sopan kan, mahluk tak bermoral! Kau yang tak pernah serius belajar, seharusnya tak pantas berkata seperti itu pada Bu Lina!” aku berdiri. Angkat bicara membela guru kami.
            “Sayangnya aku masih siswa di sini. Aku hanya menuntut hakku,” lelaki itu mengangkat kepalanya. Menatap rendah aku yang memberikan tatapan tajam.
            “Kau –“
            “An-Annisa, duduklah. Biar ibu jelaskan sekali lagi rumus ini,” khawatir Ibu Lina. Dia masih muda, masih baru dan belum berpengalaman menjadi guru. Wajar jika dia masih belum bisa bertindak tegas.
            Sesaat, aku memberikan tatapan sinis pada Si Lelaki Bajingan ini. Dia hanya terdiam mengabaikan tatapanku, kembali tertidur tanpa memperhatikan pelajaran.
            Sungguh, benar-benar memuakkan kelakuannya.

         Aku duduk kembali, sesuai dengan permintaan guru yang kuhormati. Seluruh siswa memberikan tatapan khawatir padaku. Aku menghiraukan tatapan mereka. Kembali memperhatikan Bu Lina yang mengulangi penjelasannya.
***
       Ini terjadi lagi. Seluruh pandangan siswa menatap kami. Wafa terus berlindung di balik punggungku, seperti biasanya.
            Ketika aku berjalan di dalam lorong sekolah, mereka selalu memberikan tatapan penasaran pada kami. Sejak kami sering bersama Rina, para siswa mulai memperhatikan kami berdua.
            Kami hanya ingin ke kantin seperti biasanya. Bertemu dengan Rina dan Geisha. Bercerita dengan candaan kecil seperti siswi pada umumnya. Memakan makanan kantin sambil melakukan percakapan menyenangkan.
            “An-Annisa, kau benar-benar terkenal, yah?” pelan Wafa mengamati sekitar. Tubuhnya cukup bergemetar hanya karena menjadi pusat perhatian.
            “Bukan aku yang terkenal, tapi sahabatmu yang satunya lagi. Selain itu ....” Aku meliriknya. Memasang wajah datar melihat tubuhnya yang bergemetar.
            “Seberapa besar pemalunya dirimu ini, Wafa?”
            “Be-berisik. Aku hanya tak menyukai keramaian!” gerutu manis darinya. Wajah gadis itu memerah terlihat menggemaskan.
            Aku tersenyum kecil, kembali menatap ke depan memperhatikan langkah. Sedangkan Wafa, tetap memperlihatkan wajah khawatirnya. Menatap sekitar penuh waspada.
            Dinding kaca transparan kami lewati untuk memasuki kantin sekolah. Dinding kaca itu menjadi pembatas kokoh antara kantin dengan lorong sekolah.
            Arsitektur bangunan kantin kami sedikit unik. Orang-orang yang berniat memasuki ke kantin, bisa melihat kondisi kantin dari luar. Selain itu juga ada beberapa taman kecil, seolah membuat suasana piknik semakin terasa.
            Kami berjalan menghampiri bangku coklat yang berada di ujung ruangan. Tempat biasa kami mengobrol dengan sahabatku yang lainnya. Rina dan Geisha.
            Mereka sudah ada di sana. Geisha memasang wajah khawatir pada Rina yang memakan roti coklatnya. Mereka seperti itu lagi.
            Tapi kini ada yang berbeda dengan sebelumnya. Kulihat seorang gad– astaga manisnya!! Seorang gadis kecil berambut kuning lemon masak tengah duduk di hadapan mereka. Dia yang tersenyum kecil, membuat dirinya semakin terlihat menggemaskan.
            Ap-apa ini?! Senjata biologis?!
Aku terdiam menghentikan langkah, membuka mulut cukup lebar. Tubuhku bergemetar melihat wajah manisnya. Hatiku berdegup kencang, melihat kedua bola matanya yang bagaikan lautan mediterania. Dia bagai peri kecil yang datang dari dunia antah berantah.
Aku menyukainya, aku ingin memeluknya. Sungguh ingin memilikinya sebagai adikk –
“An-Annisa kenapa kau? Wajahmu sungguh terlihat menjjikan,” Wafa menghancurkan pikiranku. Memberikan tatapan datar melihat ekspresi anehku.
Aku memasang wajah kebingungan. Memegang kening, mencoba menenangkan diri. Mencoba mengendalikan nafsu ini.
Perlahan, aku kembali berjalan menghampiri mereka. Wafa mengikuti di belakang, terus memberikan tatapan khawatirnya.
“Astaga ....” Seketika Wafa terdiam menghentikan langkah. Menutup mulutnya yang melebar. Wajahnya memerah bagaikan stroberi matang. Matanya yang berbinar-binar, mulai membesar mengamati dia yang rupawan.
“Kau baru menyadarinya?“Aku meliriknya cukup datar. Bertanya pada dia yang bergemetar takjub melihatnya.
“Siapa gadis manis itu? Adiknya Rina?”
“Entahlah. Tapi kita akan mengetahuinya setelah sampai di sana.” Aku tersenyum lebar, kembali berjalan sambil menarik tangan Wafa. Terus berjalan cepat, sungguh tak sabar ingin mengenal gadis yang berhadapan dengan Rina.
“Ah ..., Annisa, Wafa.” Sesampainya di sana, Rina memberikan senyuman menawannya. Mengabaikan permintaan maaf sahabat dekatnya, Geisha.
“Umm, Rina? Apa aku yang terlalu kecapean atau memang di hadapanmu ada seorang gadis?” aku tersenyum kecil melirik gadis itu. Dia melebarkan mata, memberikan tatapan penuh penasaran pada kami.
Astaga, keindahan wajahnya benar-benar berbahaya. Aku sungguh berusaha keras untuk menerima tatapan matanya.
Berbeda denganku, Wafa terlihat bernafas cepat. Dia terlihat seperti gadis mesum setelah mendapatkan tatapan gadis itu.
“Kau menjijikan,” pelanku meliriknya.
“Ap-apa boleh buat,” ujar Wafa khawatir ketakutan.
Rina memasang wajah kebingunan melihat kami yang saling berbisik. Tapi setelah itu, dia tersenyum menutup mata sesaat. Memperkenalkan gadis di hadapannya.
“Dia siswi pindahan yang baru tiba pagi ini, Liliana Arthurea.”
“Siswi pindahan ... ?“ pelanku terkejut melihat gadis kecil sepertinya. Tapi langsung terdiam ketika ....
“Liliana Arthurea, senang berkenalan dengan kalian.” Gadis itu memberikan senyuman manisnya. Menutup kedua matanya. Memiringkan sedikit kepalanya.
Critical Hit!!
Dia benar-benar meluluhkan hatiku. Membuat seluruh tubuhku lemas seketika. Membuat sirkulasi pernafasanku tak karuan.
Aku menundukkan kepala dan punggung, hampir terjatuh karena tingkah gadis ini. Memegang bangku Rina sebagai tumpuan untuk mempertahankan posisi berdiriku.
Begitu juga dengan Wafa, dia memegang bahuku dengan kedua tangan, sangat erat. Tangan dan tubuhnya bergemetar, karena mendapatkan Critical damage darinya.
Rina dan Geisha memasang wajah datar melihat kami berdua. Merasa jijik pada kami berdua. Bertanya amat datar dengan nada yang kompak.
“Kenapa dengan kalian?”
“Bi-biarkan aku bernafas,” aku masih berusaha keras mengontrol pernafasanku. Berjalan menghampiri bangku sebelah Geisha yang kosong.
“An-Annisaa ...,” Wafa ketakutan menatap bangku yang sejajar dengan Rina, penuh tak ada tempat. Aku tersenyum kecil sambil melirik bangku yang sejajar dengan Liliana.
Wafa mulai berwajah khawatir melirik Liliana sesaat. Setelah itu menundukkan kepala, berjalan melewatiku.
Dia tersenyum kecil menutup mata, berusaha bersikap seramah mungkin pada Si Malaikat Kecil itu.
“Permisi, aku ikut duduk di sini.”
“Silahkan,” Liliana tertawa kecil menutup mulutnya. Suara tertawaanya terdengar lucu dan menggemaskan.
Melihat hal itu, Wafa seketika membuang wajah. Menutup hidungnya yang mulai mengeluarkan cairan merah.
“Ti-tisu ...!”
“Ma-maaf ...,” aku mengalihkan pandangan dari sahabatku, memberikan tisu. Merasa bersalah karena membuatnya seperti itu.
Rina dan Geisha semakin menyipitkan matanya. Memberikan tatapan semakin jijik pada kami berdua.
“Apa kalian ini orang mesum? Kenapa berlebihan seperti –“
“Apa kau tak terpukau dengan wajahnya!! Ke-kecantikan ga-gadis ini tidak normal!” khawatirku cukup ketakutan melirik Liliana. Dia hanya meminum susu coklatnya seperti anak kecil
“Ya, me-memang aku sangat terpukau ketika dia memperkenalkan diri di kelas,” wajah Rina memerah mengalihkan pandangan.
“Ak-aku bi-biasa saja kok,”Geisha terlihat khawatir membuang wajah.
“Apanya yang biasa saja. Kau yang paling ricuh di kelas hingga pembelajaran pertama berlangsung tidak efektif,” keluh Rina menutup mata.
“Ap-apa maksudmu, Rina –“ Geisha ketakutan.
“ ’Kyaaa! Malaikatt!!’ itu yang kudengar,” senyum kecil Rina melirik sahabatnya.
“Aaahhh,” Wafa memberikan tatapan datar yang menghina sahabatnya. Tisu bernoda merah masih menempel di kedua lubang hidungnya.
“Jangan menghinaku!! Urus saja mimisanmu yang menyedihkan itu!!” teriak kesal Geisha dengan wajah memerah dan menunjuk Wafa.
Sesaat, suasana lengang terasa setelah teriakkan Geisha. Aku baru menyadarinya sekarang. Ternyata, seluruh tatapan para siswa benar-benar mengarah  ke sini. Lebih tepatnya ke arah Liliana. Ini lebih buruk dari sebelumnya.
Gadis ini benar-benar menarik banyak perhatian!
Bahkan sampai penjaga kantin juga menatap dia yang rupawan. Apa dia manusia?
“Ap-apa dia manusia?” Wafa mulai menanyakan isi pikiranku. Menunjuk Liliana yang memakan roti coklatnya.
“Tentu saja, apa yang sedang kau tanyakan, gadis mimisan?” datar Geisha menatap Wafa.
“Ak-aku hanya ingin memastikan saja,” khawatir  Wafa menutup matanya  amat rapat.
“Tapi kenapa kau dan Annisa berlebihan seperti itu ketika melihatnya?” tanya Rina khawatir menatap kami berdua.
“Sejak kecil aku menyukai keindahan. Maka dari itulah ....” Wafa tersenyum menundukkan wajahnya yang memerah.
“Lalu soal kau, Annisa?”
“Ak-aku?” gugupku membuang wajah.
“Kalau tidak salah Annisa itu suka anak kecil,” ujar sahabatku, Wafa. Dia menatap langit-langit ruangan, terlihat berpikir. Memasang wajah polos yang benar-benar membuatku kesal.
Suasana terasa sunyi setelah pernyataan Wafa. Rina dan Geisha memberikan tatapan datar dan jijik kepadaku. Lalu.
“Pedofil? –“
“Bukaan, bodoh!!” teriak kesalku menggebrak meja. Melihat Geisha yang merubah tatapannya. Tatapan prihatin yang benar-benar menusuk hati.
“Lalu?” Rina masih memberikan tatapan datar padaku. Aku tersenyum, menjawab pertanyaannya.
“Jangan samakan aku dengan orang-orang mesum itu! Aku berbeda. Aku menyukai anak kecil karena ingin melindunginya, menjaganya, merawatnya hingga mereka bisa tumbuh besar menjadi orang yang berguna.”
“Ah, begitu ...,” malas Geisha mengalihkan pandangan.
“Ja-jadi kenapa kamu dipindahkan ke sini. Lagipula apa kau benar-benar seumuran dengan kami,” aku bertanya khawatir padanya. Sontak, pandangan para sahabat mengarah pada dia yang rupawan.
“Ah, tidak. Kita tidak seumuran. Aku empat tahun lebih muda dari kalian,” senyum Liliana, menutup mata sesaat. Kami terdiam melihat senyumannnya. Kembali memerah mendapatkan tatapannya.
Aku harus membiasakan ini. Jika kita akan sering bersama, aku harus terbiasa mendapatkan senyumannya itu.
“Ja-jadi kenapa kamu bisa ditempatkan di kelas yang sama dengan kami?”
“Kurikulum pembelajaran di luar negeri cukup berbeda dengan kita. Jujur saja, kurikulum pembelajaran kita cukup tertinggal jauh, Wafa.” Rina menjawab pertanyaan sahabatku.
“Jadi maksudnya, kalau pelajaran yang kita pelajari saat ini itu sama dengan pelajaran yang diajarkannya?” Geisha terlihat berpikir menutup matanya.
“Itu benar. Tapi ....” Rina memasang wajah khawatir melirik Liana.
“Dia seharusnya di tingkat tiga SMP. Bukan berada di tingkatan yang sama dengan kita, dengan kata lain,” aku mulai angkat bicara, melirik khawatir dirinya yang tersenyum pada kami berempat. Wajahnya seperti anak kecil yang sedang antusias.
“Kepintaran dan pengelolaan otaknya benar-benar menganggumkan,” lirik khawatir Rina pada gadis yang lebih muda dari kami berempat. Gadis itu hanya kembali tersenyum menutup mata, menompang dagu dengan tangan mungilnya.
“Kalian semua benar. Aku termasuk salah satu dari tiga siswa yang masuk kelas akselerasi di sekolahku sebelumnya.”
Kami terdiam. Melebarkan kedua mata, terkejut mendengar pernyataanya.
“Tapi meski begitu, aku mohon bantuannya yah kakak-kakak sekalian. Tolong jaga aku yang masih belum terbiasa di lingkungan sekolah tinggi ini.”
***
            Satu minggu setelah kedatangan Little Pixie ke sekolah. Itu julukan baru bagi Liliana Arthurea. Aku tidak terlalu terkejut. Itu tidak mengherankan, mengingat wajahnya yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata. Dia benar-benar terlihat seperti peri kecil.
            Selain wajahnya. Lili juga terkenal karena kepintaran dan sikap ramahnya.
Kepada siapapun dia bersikap baik dan ramah. Tanpa menunjukkan perbedaan sosial, dia menerima semua orang yang datang padanya. Meski aura di sekitarnya terasa berbeda. Bagai permata berkilauan yang menyinari sekolah ini.
Rina juga bahkan membenarkannya. Jika gadis berambut kuning lemon itu sangat berharga. Dia mungkin keturunan bangsawan eropa ratusan tahun yang lalu, itu katanya.
Di hari yang sama dengan kedatangan Lili. Di kelasku juga kedatangan anggota baru. Bukan seorang siswa, melainkan guru yang sedikit aneh. Mungkin amat sangat aneh.
Hera, namanya. Kami sekelas benar-benar tak mengerti jalan pikiran ibu berambut kuning cerah itu. Dia keturunan orang asing, tapi bisa berbicara fasih bahasa kami. Itu tak mengherankan dari dia yang mendapat gelar Profesor di usia dua puluhan.
Banyak yang kagum akan pengetahuannya. Banyak yang menyukai kecantikan wajahnya, meski sifatnya tetap sangat aneh.
“Baiklah kita adakan tes lagi!” Bu Hera langsung berteriak ketika menginjakkan langkah pertama di kelas. Pakaiannya yang trendi dan glamor, membedakan dia dari guru pada umumnya. Hanya laptop ramping yang dia bawa dengan tangan kirinya.
Dia tersenyum lebar, menompang pinggang, bertindak santai di hadapan kami. Para siswa saling melirik dan berbisik, memasang wajah kebingungan dengan cara mengajarnya yang aneh.
Dia tidak pernah menerangkan satupun pelajaran. Tes tes tes, setiap pertemuan dia selalu melakukan tes.
“Ini tes ke berapa, yah?” Bu Hera berpikir, menatap langit-langit ruangan. Semakin membuat kami selaku para siswa cemas.
“Ah, masa bodoh. Itu tak penting.” Guru rupawan itu mulai menyalakan laptopnya. Membuat kami semakin berwajah khawatir.
“Ayo sekarang keluarkan kertas kalian. Tolong kerjakan ujian ini.” Guru kami menunjuk soal yang terpampang di dinding Screener. Kami kembali mengerjakan soal. Aku sungguh khawatir melihat teman-temanku.
Banyak dari mereka yang nilainya terus menurun. Tingkat kesulitan tes yang diberikan, semakin lama semakin bertambah. Bahkan aku sekarang sudah menginjak angka delapan.
Dia kembali berjalan di antara kami, mengelilingi kelas, bertindak sebagai pengawas. Sesekali tersenyum melihat pekerjaan para siswanya, tertawa kecil melihat kami yang kesulitan mengerjakan soal.
Soal tes ini hanya sepuluh nomor, dengan teknis pilihan ganda. Tapi tingkat kesulitannya benar-benar menakutkan. Mungkin setingkat dengan soal olimpiade.
Wajah Bu Hera sungguh terlihat bahagia melihat kami yang kesulitan. Tapi saat dia melihat Hardi, lelaki yang kubenci segalanya. Bu Hera terdiam, tak menunjukkan eskpresi. Dia hanya melirik lelaki itu yang tertidur di atas mejanya.
Dia melihat lembar jawabannya. Menutup mata sesaat, seakan tak peduli. Berjalan pergi memperhatikan siswa lain.
Itu tidak aneh, mengingat Hardi adalah siswa yang dibenci oleh seluruh siswa. Tak disukai oleh seluruh guru.
Bel berbunyi, tes berakhir. Para siswa mulai mengemas barang-barang, bersiap untuk pulang. Ketika Bu Hera merapihkan lembar jawaban, dia mulai tersenyum. Menundukkan kepala tetap membereskan lembar jawaban.
“Hardi, ikut ke ruang ibu sebelum kau pulang.” Ibu Hera tetap menundukkan kepala. Terus membereskan lembar jawaban kami.
Akhirnya ada guru yang bertindak tegas karena sifat orang itu yang seenaknya. Aku tersenyum bahagia melirik sinis lelaki bajingan itu.
“Kenapa aku harus melakukan itu?” Hardi bersandar pada bangku, menatap tajam Bu Hera. Suasana lengang diikuti ketegangan kembali datang. Membuat seluruh siswa menghentikan pekerjaan, menatap khawatir Bu Hera.
Lagi, dia bersikap tidak sopan di hadapan guru kami. Aku mengkerutkan wajah, berniat berteriak padanya. Berniat membela guruku lagi, akan tetapi.
“Datang saja, Villain Role ...,” Bu Hera tersenyum kecil menatap Hardi. Lelaki itu terdiam terkejut, tubuhnya bergemetar. Para siswa keheranan melihat Sang Bajingan bersikap seperti itu.
Dia menutup mata amat rapat. Mulai berdiri sambil berkata.
“Ha-hanya sebentar saja, aku ada urusan lain yang harus kuselesaikan.” Nada suaranya terdengar pelan. Bukan dari dia yang biasanya.
“Baik, hanya sebentar.” Hera tersenyum manis menutup mata. Membuat para lelaki di kelas terdiam bergemetar, memerah wajahnya. Jatuh cinta pada wanita yang terlihat masih muda itu.
Aku mulai berdiri, berjalan pulang menuju rumah. Hari ini aku ada shift kerja. Menjadi kasir di supermarket dekat rumah.
Lebih dari 10 menit aku sampai di rumah.
“Aku pulang ...,” pelanku membuka pintu rumah.
Rumahku sangat sederhana. Lorong kecil langsung terlihat ketika pintu terbuka. Lorong yang berfungsi sebagai penghubung antara ruang dapur, toilet dan keluarga.
Aku berjalan lurus, memasuki ruang keluarga. Terus berjalan lurus membuka pintu kamar.
Ada ibuku di dalam. Terbaring lemah di atas kasurnya. Dia tersenyum menyambut kedatanganku.
“Annisa, kau sudah makan?”
Wanita yang sangat kubanggakan ini langsung bertanya mengkhawatirkanku. Dia adalah harta berhargaku.
“Iya Bu, sebentar lagi Annisa makan. Bagaimana dengan Ibu, sudah makan? Sudah minum obat?” aku tersenyum, bertanya pada dia yang kukagumi. Berjalan menghampirinya.
Ibu menutup mata, tersenyum lebar, dan memberikan ibu jarinya. Bersikap seolah segar bugar.
Tapi itu tidak benar. Tubuhnya lemah, sejak dulu, sejak masih kecil. Dia bahkan tidak menyelesaikan sekolah menengah pertamanya.
Bukan hanya karena tubuhnya. Ibu sudah yatim piatu sejak berumur 10 tahun. Dia berjuang keras sendirian, bekerja menjual tisu di kampus-kampus, dekat panti asuhan ia tinggal.
Sampai suatu ketika, dia bertemu dengan lelaki tercintanya, yang menolong dia dari kerasnya hidup. Itu adalah ayah yang masih menjadi mahasiswa di sana.
Mereka memulai hubungan hingga mencapai jenjang pernikahan. Kehidupan ibu sungguh berubah menjadi lebih baik setelah bertemu dengan ayah.
Ayah dengan sabar dan telaten memperhatikan ibu. Mengurus semua kebutuhan ibu. Dia berjuang keras untuk kami. Dia lelaki terhebat dalam hidup kami.
Aku sangat menyanginya. Aku sangat mengaguminya. Aku sungguh ingin seperti dirinya.
Tapi ayah telah pergi, setahun yang lalu. Dia meninggal dalam insiden perampokkan bank. Dia salah satu korban dari tiga korban yang tak bisa diselamatkan.
Kondisi ibu memburuk setelah mendengar berita menyayat hati itu. Setiap hari, setiap malam di saat aku tak berada di dekatnya. Dia menangis menyebut namanya. Menyebut lelaki tercintanya, lelaki yang senantiasa merawat dan memperhatikannya.
Hatiku sakit, sungguh terasa amat sakit hanya dengan memikirkannya. Sungguh, orang macam apa yang sudah memisahkan mereka berdua. Orang? Tidak ..., sebutan Iblis mungkin lebih cocok baginya.
Maka dari itu, aku harus menjadi manusia yang berhasil. Membuktikan pada dunia bahwa aku adalah anak dari mereka yang mengaggumkan.
Biaya sekolah bisa aku atasi dengan uang beasiswaku. Uang untuk kebutuhan masih ada dari tabungan yang ayah tinggalkan.
Cukup banyak tabungan hingga bisa mencapai 20 sampai 30 tahun ke depan. Sampai saat itu, aku harus berhasil dan menjadi orang yang membanggakan mereka.
Tapi untuk berjaga-jaga, aku juga mulai bekerja, membiasakan diri untuk masuk dalam ruang lingkup masyarakat. Memberikan uang tambahan tak seberapa demi ibu dan aku di masa yang akan datang.
“Annisa, Ibu pikir jika Ibu sebaiknya bekerja juga.“ Ibu mengkerutkan dahinya. Menatap khawatir diriku yang sedang mengganti pakaian.
“Tidak boleh, Bu!! Ibu istirahat di rumah saja. Urusan luar, biar Annisa yang selesaikan.”
“Tapi Annisa, Ibu merasa tidak berguna jika –“
“Ibu, aku mohon dengarkan permintaan Annisa ini. Annisa ingin Ibu tetap sehat dan berada di sisiku. Hanya Ibulah satu-satunya keluargaku.” Ibu melebarkan mata, mendengar permintaanku.
Perlahan tapi pasti, dia mulai menyipitkan matanya yang berkaca-kaca. Menangis menutup mata sambil mengangguk pelan menjawab jelas pertanyaanku.
“Ya ....”
***
            Awan tebal menghalangi pancaran matahari, membuat suhu permukaan menurun.
Hanya hitungan detik sampai air mata sang langit membasahi permukaan bumi.
Aku menyelesaikan ujian. Berdiri, berjalan menghampiri guru yang kuhormati, Bu Hera. Dia tersenyum menerima lembar jawabanku. Mulai berbicara dengan nada cukup pelan.
            “Kau gadis yang pintar. Kau akan besinar di masa yang akan datang.”
            “Terima kasih, Bu.” Wajahku memerah, lekas membalas senyumannya. Berjalan pergi meninggalkan kelas.
Ibu Hera tidak pernah main-main dalam mengajar kami. Tes berulangnya itulah bentuk dari pelajaran yang ia berikan. Dia memaksa kami untuk membaca, memahami pertanyaan yang mungkin muncul di ujian ini.
Cara mengajarnya memang unik dan terlihat main-main. Tapi dampak yang kami dapatkan amat sangat luar biasa. Aku bisa menyelesaikan ujian ini lima kali lebih cepat dari sebelumnya.
“Annisa,” panggilan kecil terdengar di belakang tubuhku. Itu Wafa, sahabat dekatku.
Dia berjalan mendekat, tersenyum kagum padaku. “Seperti biasanya, kau selalu mengaggumkan.”
“Benarkah?” Aku tersenyum memiringkan kepala. Melihat dia yang menutup mata.
“Ya, tentu saja.” Kami berjalan berdampingan, menuju kantin sekolah. Lorong sekolah terasa lengang. Masih terlalu awal bagi siswa meninggalkan kelas.
“Tapi kau juga hebat, Wafa. Tidak biasanya kau keluar secepat ini?” Aku membuka pembicaraan, melirik dia yang sedang memainkan ponselnya.
Tak ada jawaban dari Wafa yang fokus pada ponselnya. Wajahnya mulai terlihat khawatir. Aku memanggil namanya. Menanyakan kondisinya.
“Ma-maaf, Annisa. Apa katamu tadi?” Wafa berwajah khawatir menutup mata.
“Pesan dari siapa? Apa terjadi sesuatu?” Aku bertanya dengan nada pelan. Sesaat Wafa mengalihkan pandangan, tubuhnya bergemetar. Tapi respon yang dia berikan padaku adalah.
“Tidak ada apa-apa kok.” Telah terjadi sesuatu padanya. Aku tau itu.
Jika dia tak ingin cerita, tak apa. Aku akan menunggunya. Sebagai sahabat, aku harus berada di sisinya. Bersiaga mendengarkan curhatannya nanti.
Suasana kantin tidak berbeda jauh dengan lorong ruangan. Hanya ada beberapa penjaga kantin yang membersihkan lantai. Menyiapkan makanan untuk istirahat nanti.
“Astaga, apa pemikiran anak-anak sekarang seperti monster yah?” senyum ringan seorang penjaga kantin, laki-laki. Wajahnya terlihat bodoh dengan beberapa jerawat di pipi kirinya. Dia tersenyum kecil melihat kami berdua.
“Hush! Jangan bilang seperti itu, tidak sopan!” penjaga lainnya menegur dia. Wanita paruh baya berumur 35 tahunan. Cukup besar tubuhnya.
“Aku hanya bercanda. Mari silahkan, putri sekalian. Katakan saja apa pesanan kalian,” senyum ramahnya pada kami.
“Ah, kami hanya ingin dudu –“ aku membalas senyuman ramahnya. Tapi perkataanku terpotong oleh perkataan baruku. Aku terkejut mlihat sosok dirinya. Gadis tercantik di sekolah.
“Liliana!?”
Liliana terlihat duduk di ujung kantin sendirian, tempat biasa kami berkumpul. Sambil meminum jus stroberi, dia mengangkat dan melambaikan kedua tangannya. Memberi sinyal pada kami untuk datang mendekatinya.
Kami tersenyum lebar melihatnya. Berjalan cepat mendekati dia yang tetap menggemaskan.
“Jus Sirsak dua!” senyumku melirik sang penjaga kantin tadi. Dia tersenyum sambil memberikan hormat layaknya prajurit. “Siap komandan!”
Sungguh lelaki yang menarik, pikirku tertawa kecil melihat tingkahnya.
Kami berdua berjalan mendekati Lili. Dia masih memasang senyumannya pada kami. Sudah beberapa hari aku bersamanya. Aku sudah bisa mengatasi senyuman yang mematikan itu.
“Rina dan Geisha belum keluar?” Wafa bertanya. Mulai duduk berhadapan dengannya.
“Emm, belum.” Lili menggelengkan kepala perlahan. Terlihat manis, cukup membuat jantungku berdetak cepat.
“Kalian hebat yah, bisa keluar secepat ini!” lanjutnya tersenyum kagum pada kami. Memberikan tatapan berbinar padaku dan Wafa.
Apa maksudnya? Justru gadis inilah yang menganggumkan. Umurnya empat tahun lebih muda, tapi dia bisa lebih cepat menyelesaikan ujian kenaikan kelas ini.
“Ada apa, Kak Annisa? Ada yang aneh? Kenapa tidak duduk?” gadis berambut kuning lemon itu menatapku penuh penasaran. Kebingungan akan sikapku yang terdiam mendengar pernyataan sebelumnya.
Tidak apa, itu jawabku sambil duduk di samping Wafa. Kami berdua mulai bercengkrama cukup lama, menghabiskan waktu menunggu kedatangan Rina dan Geisha.
Tak lama setelah itu. Kedua sahabat kami itu datang. Memasang wajah yang sudah kuduga sebelumnya. Rina cemberut mengalihkan pandangan dari Geisha yang mengikutinya. Geisha memasang wajah khawatir, membujuk dia untuk memaafkannya.
Aku memasang wajah datar melirik mereka. Menutup mata, mengeluh membuang nafas. Hampir setiap hari, saat istirahat pertama mereka selalu seperti ini.
“Ka-kalian melakukannya lagi?” Wafa bertanya khawatir melihat tingkah mereka. Lili kembali mengeluarkan tertawaaan kecil manisnya.
“Hei, Rina ..., aku bilang kan tidak sengaja.“
“Bagaimana ujiannya Annisa, Wafa?” senyum Rina bertanya. Mengabaikan pernyataan sahabatnya, Geisha.
“Hei, dengarkan aku ...,” Geisha berwajah khawatir, terlihat ingin menangis. Rina sedikit mengeluh memejamkan mata, mendongak, dan melirik sahabatnya.
“Pesankan aku nasi goreng sosis,” senyum kecilnya. Geisha sontak melebarkan mata setelah mendengarkan permintaanya.
“Siap siap!!” Gadis berambut ikal itu berjalan cepat menuju meja pesanan. Wajahnya terlihat bahagia. Sedangkan Rina berjalan mendekati Liliana, duduk di samping gadis yang masih meneruskan tertawaan manisnya.
“Sudahlah, Lili ..., kau hanya membuat kolesterol sekitarmu bertambah.” Sebelum duduk, Rina mengusap pelan kepala gadis itu. Tersenyum bahagia melihatnya yang tertawa.
“Em em,” Lili terlihat nyaman menutup mata. Menganggukan kepala cukup cepat. Sungguh, seberapa manisnya gadis ini? Meski sudah bersama dengannya cukup lama, dia masih tetap membuat jantungku berdetak cepat.
“Jadi?” tanya Rina kembali. Menompang dagunya, menatap kami berdua. Aku dan Wafa.
“Tak ada masalah. Aku yakin mendapat nilai sempurna,” jelasku mulai menyeruput jus sirsak. Menggoyang-goyangkan sedotan, melirik gadis di sebelahku.
“Aku baik-baik saja, tak ada masalah. Meski tak yakin dapat nilai sempurna, setidaknya aku yakin sudah memenuhi nilai standar.” Wafa tertawa kecil, matanya terpejam sesaat.
“Tapi tidak biasanya kamu keluar cukup lama, Rina? Apa ada soal yang membuatmu kesulitan?”
“Ah, soal itu ....” Rina mengeluh sesaat, melirik sinis Geisha yang baru saja datang.
“Ap-apa lagi salahku? Aku baru saja datang dan sudah mendapatkan tatapan itu?”
“Coba dengarkan aku Annisa, gadis berambut ikal ini benar-benar mengganguku saat ujian! Aku sampai kerepotan dan kehilangan konsentrasi karena tingkah lakunya!”
“Ha-habisnya, acara TV malam kemarin yang kutonton benar-benar lucu. Aku sungguh tak sabar ingin membahasnya denganmu, Rina!” Geisha terseyum lebar, berjalan cepat dan duduk di dekat Rina.
“Saat istirahat juga bisa, kan! Gara-gara kau juga aku dimarahin lagi sama Pak Andi!!”
“Sudah-sudah, kalian berdua.” Aku berniat melerai mereka berdua. Hasilnya nihil. Mereka tidak mendengarkanku.
Lili kembali tertawa, kali ini cukup keras. Wafa meminum jus sirsaknya. Tersenyum lebar menatap Lili yang tertawa.
Aku tersenyum melihat kebahagiaan di sekitarku. Kuharap waktu yang kumiliki saat ini berlangsung selamanya. Jika tidak, kuharap kejadian yang saat ini kualami menjadi salah satu kenangan yang pantas kukenang di masa depan.
Selang beberapa menit kemudian, Lili berdiri dan berniat memesan makanan. Dia tergiur pesanan Rina yang baru saja datang.
Saat dia pergi, kami mulai membahas beberapa hal, salah satunya masalah liburan kenaikan nanti. Kami berniat berlibur bersama.
Tapi, seketika suasana sunyi langsung terasa. Seluruh tatapan di kantin tertuju pada meja pesanan.
Terlihat Lili yang berdiri sejajar dengan Sang Bajingan, Hardi. Hanya arah mereka yang berbeda. Hardi terlihat berbalik, telah selesai melakukan pemesanan. Dan tangan kirinya itu tak sengaja menabrak lengan Lili. Cukup pelan.
Tubuhku bergemetar, bulu kudukku merinding. Aku ketakutan jika lelaki menjijikan itu akan melakukan hal buruk pada gadis kecil seperti Lili.
Tidak hanya aku, tapi seluruh penghuni di dalam kantin menatap khawatir dirinya. Ingin menolongnya. Sungguh ingin menyelamatkannya dari dia yang kubenci segalanya.
Tapi, tak ada yang berani.
Aku yang akan maju, itu pikirku sebelum Hardi berjalan selangkah mundur menjauhinya. Menaruh keseganan pada Si Peri Pecil.
Dia membuka mulut, berniat mengeluarkan suaranya. Tapi tak tuntas, langsung terdiam melihat tindakan Lili yang membuat seisi ruangan terkejut bukan main.
Lili mengusap lengan kanannya, layaknya membersihkan noda debu. Memasang wajah datar ke depan. Benar-benar tak melihat dirinya. Aura dari gadis kecil itu terasa berbeda. Tekanan di sekitarnya terasa sangat berat.
“Hei –“ Hardi tersenyum khawatir, berniat mengeluarkan suaranya. Tapi.
“Nasi Goreng Sosis!!” teriak Lili cukup keras. Menutup mata amat rapat. Membuat penerima pesanan berwajah khawatir ketakutan.
Suasana sungguh terasa tegang. Kami menatap penasaran Lili yang terasa berbeda. Aura di sekitarnya lebih mirip seperti aura kemarahan.
Hardi tersenyum kecil, matanya tertutup perlahan. Menundukkan kepala dan punggung, memberi hormat. Kami kebingungan, amat sangat kebingungan melihat dia yang ditakuti bersikap seperti itu.
Hardi berjalan cepat meninggalkan Lili. Tatapan penasaran kami masih tertuju pada dia yang berjalan keluar kantin. Kami benar-benar dibuat terkejut akan tindakannya.
Lepas Sang Bajingan pergi, kini tatapan penasaran berubah menjadi milik Si Peri Kecil. Aura ketegangan di sekitarnya menurun drastis, menghilang seketika.
Dia tersenyum manis, menatap kami cukup kebingungan.
“Ada apa, Kak Rina?”
“Eh, an-anu ..., kau tidak takut?” Rina bertanya, berwajah khawatir. Tidak hanya dia saja. Aku, Geisha, dan Wafa pun memberikan tatapan khawatir padanya.
“Takut karena apa?” Lili tersenyum keheranan. Kembali duduk di bangkunya.
“Tadi kau baru saja menabrak lelaki yang ditakut –“
“Tak ada orang.” Lili menutup mata sesaat. Menyanggah pernyataan Wafa sangat cepat. Kami terdiam cukup lama, menatapnya sangat penasaran.
Geisha membuka mulut, menanyakan pertanyaan Wafa lebih jelas. Tapi hanya kalimat itu yang dia dapat. Tak ada orang, katanya.
“Aku tidak menabrak siapapun, Kak Geisha. Saat di meja pesanan, hanya ada aku seorang.” Lili tersenyum melihat Geisha. Memberikan tatapan seakan bisa melihat langsung ke hatinya.
Kami terdiam. Tak ingin menanyakannya lagi. Telah terjadi sesuatu antara Lili dengan bajingan itu.
Apa hubungan mereka? Apa masalahnya sampai gadis berhati baik seperti Lili, tak pernah menganggap keberadaanya. Kebenciannya pada Hardi, amat sangat jauh melebihi kami semua.

***
            Ujian kenaikan telah selesai. Waktu liburan telah datang. Kami berencana liburan bersama.
            Pantai pribadi Lili, menjadi tempat tujuan liburan kami. Rencananya, kami berniat berkumpul di gerbang sekolah. Menunggu jemputan Si Peri Kecil.
            Sungguh aku baru menyadarinya, akan betapa luar biasanya Liliana Arthurea. Bagiku Rina sudah termasuk orang sangat kaya, tapi berbeda dengan Lili. Dia benar-benar berbeda, bagaikan tuan putri dari kerajaan antah berantah.
            Pengawal lelaki berambut hitam, berdiri di sampingnya. Sangat tampan, melebihi Rizky. Terlihat gagah, melebihi Si Bajingan. Terus menerus aku dibuat takjub oleh gadis rupawan ini.
            Si lelaki bermata merah tersenyum ramah pada kami. Menawarkan bantuan mengangkat barang. Sesaat, kami terdiam melihat wajahnya, terpesona akan rupanya. Tapi lepas itu kami memberikan barang bawaan kami. Membalas senyuman ramahnya.
            “Te-terima kasih!” ucap kami, cukup kompak.
            “Tak apa, ini memang tugasku.” Lelaki itu kembali tersenyum, membawa beberapa barang bawaan. Memasukkannya ke dalam bagasi mobil mewah, besar. Aku tak tau apa mereknya, tapi yang jelas terlihat mahal.
            Tak lama setelah itu, terlihat Si Bajingan yang memakai pakaian bebasnya. Celana jeansnya sobek di bagian lutut, seperti preman. Dia menundukkan kepala, berjalan mendekati kami. Atau mungkin sekolah.
            Rina dan yang lainnya berwajah khawatir. Mengalihkan pandangan dari dia. Lili memasang wajah datar, seperti biasa tak menganggap keberadaanya. Sedangkan aku menatap tajam dia, tak takut hanya pada dia yang seorang berandalan.
            Tapi ketika Si Bajingan itu mengangkat kepala, sadar akan keberadaan kami. Langkahnya terhenti, memberikan tatapan khawatir pada Lili. Dia berbalik, berjalan cukup cepat.
            Dia ketakutan.
            Heh? Dia bisa ketakutan juga? Mahluk sepertinya?
            Aku sungguh ingin tertawa melihat ekspresi wajahnya. Dia yang terlihat kuat dan perkasa, terlihat seperti kucing pengecut jika berhadapan Lili. Ini benar-benar momen terbaik yang kulihat karena melihat orang yang paling kubenci sepert –
            “Tuan ....”
            EH? Seluruh pandangan tertuju pada lelaki tampan di dekat mobil. Kami benar-benar memberikan tatapan penuh penasaran padanya. Kecuali Lili yang membuang wajah.
            Hardi berbalik, tertawa kecil. Ekspresi wajah yang membuat kami terkejut. Cukup membuat mulut kami terbuka.
Selama aku mengenalnya, aku belum pernah melihat wajahnya yang seperti itu.
            “Su-sudah lama yah, Adam ...,” Hardi mengalihkan pandangan darinya. Mulai tersenyum khawatir menutup mata sesaat.
            “Tuan ....”
            Adam berjalan mendekati dia, tersenyum bahagia dengan mata yang melebar. Dia benar-benar bahagia bertemu dengan Sang Bajingan itu.
            “Lama tidak bertemu, Tuan! Ini benar-benar suatu keajaiban hingga bisa berte –“
            “Adam, kembali ke sini. Kenapa kau berbicara sendiri?” Lili menutup mata. Nadanya terdengar berat, mulai membuat kami berwajah khawatir.
            Hardi berjalan mundur, tersenyum menggerakkan kepalanya ke samping. Sebagai isyarat menyuruh Adam untuk datang mendekatinya.
            “Tapi Lili, ini Kakakmu. Sudah lebih dari tiga tahun –“
            “JANGAN PERNAH MENYEBUT IBLIS ITU SEBAGAI KAKAKKU!!” Liliana menggeram amat dalam. Menundukkan kepala menatap tajam tempat ia berpijak. Sungguh mengepalkan kedua tangannya. Tubuhnya bergemetar, kemarahannya memuncak.
            Rina menutup mulut, berwajah ketakutan melihat si peri kecil yang murka. Geisha memasang wajah khawatir, tubuhnya bergemetar. Wafa juga terlihat ingin menangis, tak menyukai kejadian yang seperti ini.
            Berat, sungguh terasa amat berat tekanan di sekitarnya. Tegang, sungguh terasa sangat tegang suasana di sekelilingnya.
            “Tak peduli kau sudah bersamaku sejak kecil, kuhabisi kau jika mengatakan hal seperti itu lagi, Adam.” Lili menatap tajam Adam. Lelaki berambut hitam itu menundukkan kepala, mengepalkan erat kedua tangannya, bergemetar. Maaf, hanya kata itu yang terdengar dari mulutnya. Entah ditunjukan untuk siapa.
            Dia berjalan menghampiri Lili, menatap khawatir gadis rupawan yang marah itu.
            Hardi tersenyum sedih menutup mata. Membalikkan badan, berjalan pergi meninggalkan kami.
            Kakak? Lili itu adiknya Hardi?! Mustahil, benar-benar sangat mustahil. Tidak terlintas sedikitpun dalam pikiranku, jika mereka bersaudara.
            Baik secara pengetahuan, sifat, bahkan fisik benar-benar tak terlihat. Mustahil, ini pasti kesalahan. Bagaimana mungkin lelaki bajingan seperti Hardi itu adalah kakaknya Lili, gadis manis yang dikagumi segalanya. Benar-benar tak masuk akal!!
            Tapi setelah melihat kejadian tadi aku mulai sedikit percaya. Perkataannya, tidak terlihat seperti sebuah kebohongan. Dari sikap ataupun perkataannya, Adam terlihat sangat menghormati Hardi.
            Selama di dalam perjalanan pesawat aku sungguh memikirkan ini. Kebenaran hubungan antara Lili dan Hardi. Aku ingin menanyakan pada Lili atau Adam, tapi suasana masih terasa berat dan canggung.
            Kami memasang wajah khawatir, melirik satu sama lain. Kebingungan harus bertindak apa.
            “Maaf yah, banyak hal yang terjadi diantara aku dengan dia. Pasti kalian bertanya-tanya, sampai aku menganggap keberadaan mahluk itu tidak ada.” Lili bergumam pelan di tempat duduknya. Nadanya terdengar menyesal.
            Mahluk itu? Maksudnya Hardi?
            “Ta-tak apa, lagipula kami juga sudah tau kok akan sifatnya yang mengerikan. “ Geisha berwajah khawatir, tersenyum melirik Rina.
            “Iya, aku juga turut pihatin padamu. Pasti sulit yah memiliki hubungan seperti itu dengan lelaki sepertinya.” Rina berucap, menghibur Lili.
            “Ya, kumohon jangan dekati dia. Kalian masih belum tau akan betapa mengerikannya mahluk itu. Dia bukan manusia, dia iblis.” Nada Lili kembali terdengar dalam.
Di saat Lili berkata seperti itu, Wafa yang berada di sebelahku berwajah khawatir. Kedua tangannya bergemetar memegang handphone. Dia mengetahui sesuatu yang tak kuketahui.
Ketika kami sampai, angin laut yang cukup hebat menyambut kedatangan kami. Aku menutup mata, merasakan kesejukkan yang luar biasa.
Pantai tropis ini terlihat masih asri. Pasirnya berwarna putih. Air lautnya terlihat bening, keragaman bawah lautnya dapat terlihat.
Hanya ada satu pondok di sana, cukup dekat dengan bibir pantai. Pondok berkelas cukup besar. Dindingnya terbuat dari kayu jati yang kokoh.
Tidak mengherankan dari pulau pribadi. Pulau ini benar-benar sepi dari orang-orang.
“Kalian bisa langsung bermain, biar aku yang mengurus barang bawaan kalian,” Adam tersenyum pada kami.
“Ah, tidak. Biar kami ikut membantumu,” Rina berwajah khawatir. Melirik kami beberapa saat.
Aku tersenyum menganggukkan kepala, membenarkan perkataanya. Geisha juga melihat Rina, berjalan mendekat mereka.
“Iya, kami merasa tidak enak jika seperti ini terus. Kalian juga mau kan?” Geisha tersenyum memiringkan kepala. Berbalik melihat kami berdua, aku dan Wafa.
“Ya tentu saja,” senyum kami bersemangat.
            Tiga hari kami menikmati pantai itu. Bermain ombak di pagi hari, melakukan obrolan gadis di malam hari. Menjelajah ke bagian belakang pondok. Melakukan tes uji nyali, bermain kartu, dan yang lainnya.
            Banyak hal yang terjadi, banyak kejadian lucu yang kami alami. Kenangan dan pengalaman ini merupakan hal pertama bagiku. Kebahagiaan ini, takkan pernah kulupakan seumur hidupku.
            Tidak sampai disitu saja kebahagiaan yang kudapatkan. Ketika tahun ajaran baru dimulai, aku mendapatkan kabar yang mengejutkan. Kabar yang membuat seluruh siswa dan beberapa guru berhati tenang.
Lelaki yang kubenci segalanya telah menghilang. Dia tidak bisa melanjutkan sekolah karena suatu alasan. Ada yang mengatakan masalah biaya, karena prilakunya, dan karena nilainya yang sangat hancur.
Ya, aku tidak terlalu peduli akan alasan dia tidak bisa melanjutkan, lagipula tak ada yang baik tentangnya, Tapi yang jelas, kehidupan setahun sekolahku akan jauh lebih baik dari dirinya.
Mungkin tidak hanya aku, tapi seluruh siswa juga akan berpendapat yang sama. Bersyukur karena dia yang telah pergi dari kehidupan kami. 

Mungkin untuk selama-lamanya.
***

No comments:

Post a Comment