Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Bab II
Annisa
Aku duduk kembali, sesuai dengan permintaan guru yang kuhormati. Seluruh siswa memberikan tatapan khawatir padaku. Aku menghiraukan tatapan mereka. Kembali memperhatikan Bu Lina yang mengulangi penjelasannya.
Annisa
Lagi-lagi, dia seperti
itu. Tertidur di atas mejanya ketika pelajaran masih berlangsung.
Memang benar jika para
siswa mengabaikan perilakunya. Tapi aku tidak bisa. Aku sungguh membenci dia
yang tak menghargai pengorbanan orang tuanya.
“Bu Lina!”
Teriakanku sontak menarik
perhatian semua orang. Seisi kelas menatapku penuh khawatir. Kecuali dia yang
tertidur di atas mejanya.
“Ada apa, Annisa?”
“Setidaknya lakukan
sesuatu padanya, Bu!” tunjuk kesalku pada siswa yang duduk paling belakang.
Siswa yang sedang tertidur di atas mejanya sejak awal pelajaran. Hardi, lelaki
yang paling kubenci segalanya.
“Ta-tak apa-apa. Biarkan
saja dia, Annisa.” Ibu Lina malah mengalihkan pandangan. Ekspresi khawatir dan
ketakutan sungguh terlihat jelas dari wajahnya.
Para siswa juga menatapku
penuh khawatir.
Kenapa beberapa siswa
dan guru takut pada lelaki itu. Dia hanya anak berandalan yang tak tau diri.
Dia hanya seorang bajingan yang ingin mendapatkan status pendidikan.
“Ba-baiklah, sekarang
kita mulai lagi pelajarannya.” Ibu Lina mulai membuka lembaran baru dalam
bukunya. Tersenyum khawatir menatap kami selaku siswa.
Aku jadi merasa
bersalah padanya. Jadi merasa bersalah pada sekitarku karena membuat suasana
canggung datang.
Tidak, ini bukan
salahku. Ini semua salahnya. Salah lelaki itu yang berada di dunia ini, sekolah
ini, dan kelas ini.
Berandalan seharusnya
berkumpul dengan berandalan lainnya. Bukan membaur dengan kami yang
berpendidikan.
Sudah dua bulan sejak
kejadian yang menggemparkan sekolah itu. Rina yang dulu kuanggap musuh, kini
menjadi sahabatku.
Dulu aku tidak tau dan
masih menganggap Rina seperti gadis lainnya. Gadis yang sering memandang rendah
gadis sepertiku. Sering melakukan penindasan pada masyarakat kecil sepertiku.
Tapi kini aku tau
sifat, kebaikan, dan perhatiannya. Dia sungguh berbeda. Dia sungguh peduli pada
sekitarnya. Dia bagaikan malaikat yang turun ke sekolah ini.
Julukan Sang Putri memang
pantas didapatkannya. Ya meskipun dia gadis yang sedikit cengeng untuk hal-hal
yang sepele.
Aku sungguh malu pada
diriku sendiri yang pernah menghiraukannya. Menganggap dia sebagai musuhku.
Aku tersadar. Selama
ini aku salah, selama ini aku keliru. Tidak semua orang seperti itu. Tidak
semua orang yang berada memperlakukanku seperti dulu. Rina dan Geisha adalah
bukti nyatanya.
Setelah kejadian itu
juga, aku mulai membuka diri pada sekitar. Perlahan, mulai mendapatkan banyak
teman yang bisa kupercaya.
Selain Rina, Wafa juga
menjadi sahabatku. Dia tidak bersalah saat kejadian itu. Dia hanya diancam oleh
Si Bajingan itu.
Julukan Si Gadis Arogan
perlahan memudar dan pada akhirnya menghilang. Terlepas oleh julukan baru yang
entah kenapa membuat bulu kudukku berdiri.
Si Gadis Pintar.
Ahh, hanya karena aku
rangking satu, mereka langsung saja memberikan julukan memalukan itu. Rina,
Geisha dan Wafa malah membenarkan julukan itu.
Tapi itu lebih baik
dari julukan sebelumnya.
“Baiklah, rumus ini
akan keluar di ujian kenaikan kelas nanti. Ibu harap kalian memahaminya.”
Ibu Lina memutari rumus
dengan pointer laptopnya. Tampilan laptopnya itu terlihat jelas oleh kami. Hampir
memenuhi tembok dengan bantuan proyektor.
Sepertinya, dia baru
saja menerangkan rumus yang penting. Lalu di saat dia menerangkan rumus itu,
aku malah melamun sambil memikirkan beberapa hal sebelumnya.
Hatiku berdetak cepat.
Perasaan cemas dan ketakutan mulai kudapatkan. Aku ingin mengangkat tangan,
berharap beliau mengulangi penjelasannya.
Tapi jika aku melakukan
itu. Semua siswa akan tahu jika aku tidak memperhatikan dari tadi. Paling parah
mereka akan menganggap daya serapku yang lambat.
Aku tak peduli. Masa
bodoh dengan anggapan mereka. Yang terpenting
aku ingin bisa ketika ujian nant –
“Ibu Lina ...!”
Suaranya tidak
terlalu keras. Tapi nadanya terdengar cukup dalam. Suaranya itu lebih dari
cukup untuk membuat suasana tegang di kelas datang.
Seluruh siswa
menundukkan kepala. Bergemetar, mendengar dia yang ditakuti mulai bersuara.
“Ad-ada apa, Hardi?”
senyum khawatir Ibu Guru menutup mata.
“Tolong ulangi pelajarannya. Aku ketiduran,” jawabnya
ringan. Mulai menguap menunjukan ketidaksopanan.
Apanya yang ketiduran. Hampir setiap kegiatan belajar
orang itu selalu tidur. Lagipula, nada ringannya itu benar-benar membuat
telingaku sakit. Dia tidak punya sopan santun.
“Se-semuanya? Tapi –“
“Lakukan saja pekerjaanmu, Bu. Aku tidak menuntut
menerangkan semua. Terangkan saja bagian-bagian pentingnya. Contohnya, seperti
rumus yang tadi kau katakan.”
“Itu tidak sopan kan, mahluk tak bermoral! Kau yang tak
pernah serius belajar, seharusnya tak pantas berkata seperti itu pada Bu Lina!”
aku berdiri. Angkat bicara membela guru kami.
“Sayangnya aku masih siswa di sini. Aku hanya menuntut
hakku,” lelaki itu mengangkat kepalanya. Menatap rendah aku yang memberikan
tatapan tajam.
“Kau –“
“An-Annisa, duduklah. Biar ibu jelaskan sekali lagi rumus
ini,” khawatir Ibu Lina. Dia masih muda, masih baru dan belum berpengalaman
menjadi guru. Wajar jika dia masih belum bisa bertindak tegas.
Sesaat, aku memberikan tatapan sinis pada Si Lelaki
Bajingan ini. Dia hanya terdiam mengabaikan tatapanku, kembali tertidur tanpa
memperhatikan pelajaran.
Sungguh, benar-benar memuakkan kelakuannya.
Aku duduk kembali, sesuai dengan permintaan guru yang kuhormati. Seluruh siswa memberikan tatapan khawatir padaku. Aku menghiraukan tatapan mereka. Kembali memperhatikan Bu Lina yang mengulangi penjelasannya.
***
Ini terjadi lagi. Seluruh pandangan siswa menatap kami.
Wafa terus berlindung di balik punggungku, seperti biasanya.
Ketika aku berjalan di dalam lorong sekolah, mereka
selalu memberikan tatapan penasaran pada kami. Sejak kami sering bersama Rina,
para siswa mulai memperhatikan kami berdua.
Kami hanya ingin ke kantin seperti biasanya. Bertemu
dengan Rina dan Geisha. Bercerita dengan candaan kecil seperti siswi pada
umumnya. Memakan makanan kantin sambil melakukan percakapan menyenangkan.
“An-Annisa, kau benar-benar terkenal, yah?” pelan Wafa
mengamati sekitar. Tubuhnya cukup bergemetar hanya karena menjadi pusat
perhatian.
“Bukan aku yang terkenal, tapi sahabatmu yang satunya
lagi. Selain itu ....” Aku meliriknya. Memasang wajah datar melihat tubuhnya
yang bergemetar.
“Seberapa besar pemalunya dirimu ini, Wafa?”
“Be-berisik. Aku hanya tak menyukai keramaian!” gerutu
manis darinya. Wajah gadis itu memerah terlihat menggemaskan.
Aku tersenyum kecil, kembali menatap ke depan memperhatikan
langkah. Sedangkan Wafa, tetap memperlihatkan wajah khawatirnya. Menatap
sekitar penuh waspada.
Dinding kaca transparan kami lewati untuk memasuki kantin
sekolah. Dinding kaca itu menjadi pembatas kokoh antara kantin dengan lorong
sekolah.
Arsitektur bangunan kantin kami sedikit unik. Orang-orang
yang berniat memasuki ke kantin, bisa melihat kondisi kantin dari luar. Selain
itu juga ada beberapa taman kecil, seolah membuat suasana piknik semakin
terasa.
Kami berjalan menghampiri bangku coklat yang berada di
ujung ruangan. Tempat biasa kami mengobrol dengan sahabatku yang lainnya. Rina
dan Geisha.
Mereka sudah ada di sana. Geisha memasang wajah khawatir
pada Rina yang memakan roti coklatnya. Mereka seperti itu lagi.
Tapi kini ada yang berbeda dengan sebelumnya. Kulihat
seorang gad– astaga manisnya!! Seorang gadis kecil berambut kuning lemon masak
tengah duduk di hadapan mereka. Dia yang tersenyum kecil, membuat dirinya
semakin terlihat menggemaskan.
Ap-apa ini?! Senjata biologis?!
Aku terdiam
menghentikan langkah, membuka mulut cukup lebar. Tubuhku bergemetar melihat
wajah manisnya. Hatiku berdegup kencang, melihat kedua bola matanya yang
bagaikan lautan mediterania. Dia bagai peri kecil yang datang dari dunia antah
berantah.
Aku menyukainya, aku
ingin memeluknya. Sungguh ingin memilikinya sebagai adikk –
“An-Annisa kenapa kau?
Wajahmu sungguh terlihat menjjikan,” Wafa menghancurkan pikiranku. Memberikan
tatapan datar melihat ekspresi anehku.
Aku memasang wajah
kebingungan. Memegang kening, mencoba menenangkan diri. Mencoba mengendalikan
nafsu ini.
Perlahan, aku kembali berjalan
menghampiri mereka. Wafa mengikuti di
belakang, terus memberikan tatapan khawatirnya.
“Astaga ....” Seketika Wafa
terdiam menghentikan langkah. Menutup mulutnya yang melebar. Wajahnya memerah
bagaikan stroberi matang. Matanya yang berbinar-binar, mulai membesar mengamati
dia yang rupawan.
“Kau baru
menyadarinya?“Aku meliriknya cukup datar. Bertanya pada dia yang bergemetar
takjub melihatnya.
“Siapa gadis manis itu?
Adiknya Rina?”
“Entahlah. Tapi kita
akan mengetahuinya setelah sampai di sana.” Aku tersenyum lebar, kembali
berjalan sambil menarik tangan Wafa. Terus berjalan cepat, sungguh tak sabar
ingin mengenal gadis yang berhadapan dengan Rina.
“Ah ..., Annisa, Wafa.”
Sesampainya di sana, Rina memberikan senyuman menawannya. Mengabaikan
permintaan maaf sahabat dekatnya, Geisha.
“Umm, Rina? Apa aku
yang terlalu kecapean atau memang di hadapanmu ada seorang gadis?” aku
tersenyum kecil melirik gadis itu. Dia melebarkan mata, memberikan tatapan
penuh penasaran pada kami.
Astaga, keindahan
wajahnya benar-benar berbahaya. Aku sungguh berusaha keras untuk menerima
tatapan matanya.
Berbeda denganku, Wafa
terlihat bernafas cepat. Dia terlihat seperti gadis mesum setelah mendapatkan
tatapan gadis itu.
“Kau menjijikan,”
pelanku meliriknya.
“Ap-apa boleh buat,”
ujar Wafa khawatir ketakutan.
Rina memasang wajah
kebingunan melihat kami yang saling berbisik. Tapi setelah itu, dia tersenyum
menutup mata sesaat. Memperkenalkan gadis di hadapannya.
“Dia siswi pindahan
yang baru tiba pagi ini, Liliana Arthurea.”
“Siswi pindahan ... ?“
pelanku terkejut melihat gadis kecil sepertinya. Tapi langsung terdiam ketika
....
“Liliana Arthurea,
senang berkenalan dengan kalian.” Gadis itu memberikan senyuman manisnya.
Menutup kedua matanya. Memiringkan sedikit kepalanya.
Critical Hit!!
Dia benar-benar meluluhkan
hatiku. Membuat seluruh tubuhku lemas seketika. Membuat sirkulasi pernafasanku
tak karuan.
Aku menundukkan kepala
dan punggung, hampir terjatuh karena tingkah gadis ini. Memegang bangku Rina sebagai tumpuan untuk mempertahankan posisi berdiriku.
Begitu juga dengan
Wafa, dia memegang bahuku dengan kedua tangan, sangat erat. Tangan dan tubuhnya
bergemetar, karena mendapatkan Critical damage
darinya.
Rina dan Geisha
memasang wajah datar melihat kami berdua. Merasa jijik pada kami berdua.
Bertanya amat datar dengan nada yang kompak.
“Kenapa dengan kalian?”
“Bi-biarkan aku
bernafas,” aku masih berusaha keras mengontrol pernafasanku. Berjalan
menghampiri bangku sebelah Geisha yang kosong.
“An-Annisaa ...,” Wafa
ketakutan menatap bangku yang sejajar dengan Rina, penuh tak ada tempat. Aku
tersenyum kecil sambil melirik bangku yang sejajar dengan Liliana.
Wafa mulai berwajah
khawatir melirik Liliana sesaat. Setelah itu menundukkan kepala, berjalan
melewatiku.
Dia tersenyum kecil
menutup mata, berusaha bersikap seramah mungkin pada Si Malaikat Kecil itu.
“Permisi, aku ikut
duduk di sini.”
“Silahkan,” Liliana
tertawa kecil menutup mulutnya. Suara tertawaanya terdengar lucu dan
menggemaskan.
Melihat hal itu, Wafa
seketika membuang wajah. Menutup hidungnya yang mulai mengeluarkan cairan
merah.
“Ti-tisu ...!”
“Ma-maaf ...,” aku
mengalihkan pandangan dari sahabatku, memberikan tisu. Merasa bersalah karena
membuatnya seperti itu.
Rina dan Geisha semakin
menyipitkan matanya. Memberikan tatapan semakin jijik pada kami berdua.
“Apa kalian ini orang
mesum? Kenapa berlebihan seperti –“
“Apa kau tak terpukau
dengan wajahnya!! Ke-kecantikan ga-gadis ini tidak normal!” khawatirku cukup
ketakutan melirik Liliana. Dia hanya meminum susu coklatnya seperti anak kecil
“Ya, me-memang aku
sangat terpukau ketika dia memperkenalkan diri di kelas,” wajah Rina memerah
mengalihkan pandangan.
“Ak-aku bi-biasa saja
kok,”Geisha terlihat khawatir membuang wajah.
“Apanya yang biasa
saja. Kau yang paling ricuh di kelas hingga pembelajaran pertama berlangsung
tidak efektif,” keluh Rina menutup mata.
“Ap-apa maksudmu, Rina
–“ Geisha ketakutan.
“ ’Kyaaa! Malaikatt!!’
itu yang kudengar,” senyum kecil Rina melirik sahabatnya.
“Aaahhh,” Wafa
memberikan tatapan datar yang menghina sahabatnya. Tisu bernoda merah masih
menempel di kedua lubang hidungnya.
“Jangan menghinaku!!
Urus saja mimisanmu yang menyedihkan itu!!” teriak kesal Geisha dengan wajah
memerah dan menunjuk Wafa.
Sesaat, suasana lengang
terasa setelah teriakkan Geisha. Aku baru menyadarinya sekarang. Ternyata,
seluruh tatapan para siswa benar-benar mengarah
ke sini. Lebih tepatnya ke arah Liliana. Ini lebih buruk dari
sebelumnya.
Gadis ini benar-benar
menarik banyak perhatian!
Bahkan sampai penjaga
kantin juga menatap dia yang rupawan. Apa dia manusia?
“Ap-apa dia manusia?”
Wafa mulai menanyakan isi pikiranku. Menunjuk Liliana yang memakan roti
coklatnya.
“Tentu saja, apa yang
sedang kau tanyakan, gadis mimisan?” datar Geisha menatap Wafa.
“Ak-aku hanya ingin
memastikan saja,” khawatir Wafa menutup
matanya amat rapat.
“Tapi kenapa kau dan
Annisa berlebihan seperti itu ketika melihatnya?” tanya Rina khawatir menatap
kami berdua.
“Sejak kecil aku
menyukai keindahan. Maka dari itulah ....” Wafa tersenyum menundukkan wajahnya
yang memerah.
“Lalu soal kau,
Annisa?”
“Ak-aku?” gugupku
membuang wajah.
“Kalau tidak salah
Annisa itu suka anak kecil,” ujar sahabatku, Wafa. Dia menatap langit-langit ruangan,
terlihat berpikir. Memasang wajah polos yang benar-benar membuatku kesal.
Suasana terasa sunyi
setelah pernyataan Wafa. Rina dan Geisha memberikan tatapan datar dan jijik
kepadaku. Lalu.
“Pedofil? –“
“Bukaan, bodoh!!”
teriak kesalku menggebrak meja. Melihat Geisha yang merubah tatapannya. Tatapan
prihatin yang benar-benar menusuk hati.
“Lalu?” Rina masih
memberikan tatapan datar padaku. Aku tersenyum, menjawab pertanyaannya.
“Jangan samakan aku
dengan orang-orang mesum itu! Aku berbeda. Aku menyukai anak kecil karena ingin
melindunginya, menjaganya, merawatnya hingga mereka bisa tumbuh besar menjadi
orang yang berguna.”
“Ah, begitu ...,” malas
Geisha mengalihkan pandangan.
“Ja-jadi kenapa kamu
dipindahkan ke sini. Lagipula apa kau benar-benar seumuran dengan kami,” aku
bertanya khawatir padanya. Sontak, pandangan para sahabat mengarah pada dia
yang rupawan.
“Ah, tidak. Kita tidak
seumuran. Aku empat tahun lebih muda dari kalian,” senyum Liliana, menutup mata
sesaat. Kami terdiam melihat senyumannnya. Kembali memerah mendapatkan
tatapannya.
Aku harus membiasakan
ini. Jika kita akan sering bersama, aku harus terbiasa mendapatkan senyumannya
itu.
“Ja-jadi kenapa kamu
bisa ditempatkan di kelas yang sama dengan kami?”
“Kurikulum pembelajaran
di luar negeri cukup berbeda dengan kita. Jujur saja, kurikulum pembelajaran kita
cukup tertinggal jauh, Wafa.” Rina menjawab pertanyaan sahabatku.
“Jadi maksudnya, kalau
pelajaran yang kita pelajari saat ini itu sama dengan pelajaran yang
diajarkannya?” Geisha terlihat berpikir menutup matanya.
“Itu benar. Tapi ....”
Rina memasang wajah khawatir melirik Liana.
“Dia seharusnya di
tingkat tiga SMP. Bukan berada di tingkatan yang sama dengan kita, dengan kata
lain,” aku mulai angkat bicara, melirik khawatir dirinya yang tersenyum pada kami
berempat. Wajahnya seperti anak kecil yang sedang antusias.
“Kepintaran dan pengelolaan
otaknya benar-benar menganggumkan,” lirik khawatir Rina pada gadis yang lebih
muda dari kami berempat. Gadis itu hanya kembali tersenyum menutup mata,
menompang dagu dengan tangan mungilnya.
“Kalian semua benar.
Aku termasuk salah satu dari tiga siswa
yang masuk kelas akselerasi di sekolahku sebelumnya.”
Kami terdiam. Melebarkan
kedua mata, terkejut mendengar pernyataanya.
“Tapi meski begitu, aku
mohon bantuannya yah kakak-kakak sekalian. Tolong jaga aku yang masih belum
terbiasa di lingkungan sekolah tinggi ini.”
***
Satu minggu setelah kedatangan Little Pixie ke sekolah. Itu julukan baru bagi Liliana Arthurea.
Aku tidak terlalu terkejut. Itu tidak mengherankan, mengingat wajahnya yang
sulit kuungkapkan dengan kata-kata. Dia benar-benar terlihat seperti peri
kecil.
Selain wajahnya. Lili juga terkenal karena kepintaran dan
sikap ramahnya.
Kepada siapapun dia
bersikap baik dan ramah. Tanpa menunjukkan perbedaan sosial, dia menerima semua
orang yang datang padanya. Meski aura di sekitarnya terasa berbeda. Bagai
permata berkilauan yang menyinari sekolah ini.
Rina juga bahkan membenarkannya.
Jika gadis berambut kuning lemon itu sangat berharga. Dia mungkin keturunan bangsawan eropa ratusan tahun yang lalu, itu
katanya.
Di hari yang sama
dengan kedatangan Lili. Di kelasku juga kedatangan anggota baru. Bukan seorang
siswa, melainkan guru yang sedikit aneh. Mungkin amat sangat aneh.
Hera, namanya. Kami
sekelas benar-benar tak mengerti jalan pikiran ibu berambut kuning cerah itu.
Dia keturunan orang asing, tapi bisa berbicara fasih bahasa kami. Itu tak
mengherankan dari dia yang mendapat gelar Profesor di usia dua puluhan.
Banyak yang kagum akan pengetahuannya.
Banyak yang menyukai kecantikan wajahnya, meski sifatnya tetap sangat aneh.
“Baiklah kita adakan
tes lagi!” Bu Hera langsung berteriak ketika menginjakkan langkah pertama di
kelas. Pakaiannya yang trendi dan glamor, membedakan dia dari guru pada umumnya.
Hanya laptop ramping yang dia bawa dengan tangan kirinya.
Dia tersenyum lebar,
menompang pinggang, bertindak santai di hadapan kami. Para siswa saling melirik
dan berbisik, memasang wajah kebingungan dengan cara mengajarnya yang aneh.
Dia tidak pernah menerangkan
satupun pelajaran. Tes tes tes, setiap pertemuan dia selalu melakukan tes.
“Ini tes ke berapa,
yah?” Bu Hera berpikir, menatap langit-langit ruangan. Semakin membuat kami selaku
para siswa cemas.
“Ah, masa bodoh. Itu
tak penting.” Guru rupawan itu mulai menyalakan laptopnya. Membuat kami semakin
berwajah khawatir.
“Ayo sekarang keluarkan
kertas kalian. Tolong kerjakan ujian ini.” Guru kami menunjuk soal yang
terpampang di dinding Screener. Kami
kembali mengerjakan soal. Aku sungguh khawatir melihat teman-temanku.
Banyak dari mereka yang
nilainya terus menurun. Tingkat kesulitan tes yang diberikan, semakin lama
semakin bertambah. Bahkan aku sekarang sudah menginjak angka delapan.
Dia kembali berjalan di
antara kami, mengelilingi kelas, bertindak sebagai pengawas. Sesekali tersenyum
melihat pekerjaan para siswanya, tertawa kecil melihat kami yang kesulitan
mengerjakan soal.
Soal tes ini hanya
sepuluh nomor, dengan teknis pilihan ganda. Tapi tingkat kesulitannya
benar-benar menakutkan. Mungkin setingkat dengan soal olimpiade.
Wajah Bu Hera sungguh
terlihat bahagia melihat kami yang kesulitan. Tapi saat dia melihat Hardi,
lelaki yang kubenci segalanya. Bu Hera terdiam, tak menunjukkan eskpresi. Dia
hanya melirik lelaki itu yang tertidur di atas mejanya.
Dia melihat lembar
jawabannya. Menutup mata sesaat, seakan tak peduli. Berjalan pergi
memperhatikan siswa lain.
Itu tidak aneh,
mengingat Hardi adalah siswa yang dibenci oleh seluruh siswa. Tak disukai oleh
seluruh guru.
Bel berbunyi, tes
berakhir. Para siswa mulai mengemas barang-barang, bersiap untuk pulang. Ketika
Bu Hera merapihkan lembar jawaban, dia mulai tersenyum. Menundukkan kepala
tetap membereskan lembar jawaban.
“Hardi, ikut ke ruang ibu sebelum kau pulang.” Ibu Hera tetap
menundukkan kepala. Terus membereskan lembar jawaban kami.
Akhirnya ada guru yang
bertindak tegas karena sifat orang itu yang seenaknya. Aku tersenyum bahagia
melirik sinis lelaki bajingan itu.
“Kenapa aku harus
melakukan itu?” Hardi bersandar pada bangku, menatap tajam Bu Hera. Suasana
lengang diikuti ketegangan kembali datang. Membuat seluruh siswa menghentikan
pekerjaan, menatap khawatir Bu Hera.
Lagi, dia bersikap
tidak sopan di hadapan guru kami. Aku mengkerutkan wajah, berniat berteriak
padanya. Berniat membela guruku lagi, akan tetapi.
“Datang saja, Villain Role ...,” Bu Hera tersenyum
kecil menatap Hardi. Lelaki itu terdiam terkejut, tubuhnya bergemetar. Para
siswa keheranan melihat Sang Bajingan bersikap seperti itu.
Dia menutup mata amat
rapat. Mulai berdiri sambil berkata.
“Ha-hanya sebentar saja,
aku ada urusan lain yang harus kuselesaikan.” Nada suaranya terdengar pelan.
Bukan dari dia yang biasanya.
“Baik, hanya sebentar.”
Hera tersenyum manis menutup mata. Membuat para lelaki di kelas terdiam
bergemetar, memerah wajahnya. Jatuh cinta pada wanita yang terlihat masih muda
itu.
Aku mulai berdiri, berjalan
pulang menuju rumah. Hari ini aku ada shift
kerja. Menjadi kasir di supermarket dekat rumah.
Lebih dari 10 menit aku
sampai di rumah.
“Aku pulang ...,”
pelanku membuka pintu rumah.
Rumahku sangat
sederhana. Lorong kecil langsung terlihat ketika pintu terbuka. Lorong yang
berfungsi sebagai penghubung antara ruang dapur, toilet dan keluarga.
Aku berjalan lurus,
memasuki ruang keluarga. Terus berjalan lurus membuka pintu kamar.
Ada ibuku di dalam.
Terbaring lemah di atas kasurnya. Dia tersenyum menyambut kedatanganku.
“Annisa, kau sudah
makan?”
Wanita yang sangat
kubanggakan ini langsung bertanya mengkhawatirkanku. Dia adalah harta berhargaku.
“Iya Bu, sebentar lagi
Annisa makan. Bagaimana dengan Ibu, sudah makan? Sudah minum obat?” aku
tersenyum, bertanya pada dia yang kukagumi. Berjalan menghampirinya.
Ibu menutup mata,
tersenyum lebar, dan memberikan ibu jarinya. Bersikap seolah segar bugar.
Tapi itu tidak benar. Tubuhnya
lemah, sejak dulu, sejak masih kecil. Dia bahkan tidak menyelesaikan sekolah
menengah pertamanya.
Bukan hanya karena
tubuhnya. Ibu sudah yatim piatu sejak berumur 10 tahun. Dia berjuang keras
sendirian, bekerja menjual tisu di kampus-kampus, dekat panti asuhan ia tinggal.
Sampai suatu ketika,
dia bertemu dengan lelaki tercintanya, yang menolong dia dari kerasnya hidup.
Itu adalah ayah yang masih menjadi mahasiswa di sana.
Mereka memulai hubungan
hingga mencapai jenjang pernikahan. Kehidupan ibu sungguh berubah menjadi lebih
baik setelah bertemu dengan ayah.
Ayah dengan sabar dan telaten
memperhatikan ibu. Mengurus semua kebutuhan ibu. Dia berjuang keras untuk kami.
Dia lelaki terhebat dalam hidup kami.
Aku sangat menyanginya.
Aku sangat mengaguminya. Aku sungguh ingin seperti dirinya.
Tapi ayah telah pergi,
setahun yang lalu. Dia meninggal dalam insiden perampokkan bank. Dia salah satu
korban dari tiga korban yang tak bisa diselamatkan.
Kondisi ibu memburuk
setelah mendengar berita menyayat hati itu. Setiap hari, setiap malam di saat
aku tak berada di dekatnya. Dia menangis menyebut namanya. Menyebut lelaki
tercintanya, lelaki yang senantiasa merawat dan memperhatikannya.
Hatiku sakit, sungguh
terasa amat sakit hanya dengan memikirkannya. Sungguh, orang macam apa yang
sudah memisahkan mereka berdua. Orang? Tidak ..., sebutan Iblis mungkin lebih
cocok baginya.
Maka dari itu, aku
harus menjadi manusia yang berhasil. Membuktikan pada dunia bahwa aku adalah
anak dari mereka yang mengaggumkan.
Biaya sekolah bisa aku
atasi dengan uang beasiswaku. Uang untuk kebutuhan masih ada dari tabungan yang
ayah tinggalkan.
Cukup banyak tabungan
hingga bisa mencapai 20 sampai 30 tahun ke depan. Sampai saat itu, aku harus
berhasil dan menjadi orang yang membanggakan mereka.
Tapi untuk
berjaga-jaga, aku juga mulai bekerja, membiasakan diri untuk masuk dalam ruang
lingkup masyarakat. Memberikan uang tambahan tak seberapa demi ibu dan aku di
masa yang akan datang.
“Annisa, Ibu pikir jika
Ibu sebaiknya bekerja juga.“ Ibu mengkerutkan dahinya. Menatap khawatir diriku
yang sedang mengganti pakaian.
“Tidak boleh, Bu!! Ibu
istirahat di rumah saja. Urusan luar, biar Annisa yang selesaikan.”
“Tapi Annisa, Ibu
merasa tidak berguna jika –“
“Ibu, aku mohon
dengarkan permintaan Annisa ini. Annisa ingin Ibu tetap sehat dan berada di
sisiku. Hanya Ibulah satu-satunya keluargaku.” Ibu melebarkan mata, mendengar
permintaanku.
Perlahan tapi pasti,
dia mulai menyipitkan matanya yang berkaca-kaca. Menangis menutup mata sambil
mengangguk pelan menjawab jelas pertanyaanku.
“Ya ....”
***
Awan tebal menghalangi pancaran matahari, membuat suhu
permukaan menurun.
Hanya hitungan detik
sampai air mata sang langit membasahi permukaan bumi.
Aku menyelesaikan ujian.
Berdiri, berjalan menghampiri guru yang kuhormati, Bu Hera. Dia tersenyum
menerima lembar jawabanku. Mulai berbicara dengan nada cukup pelan.
“Kau gadis yang pintar. Kau akan besinar di masa yang
akan datang.”
“Terima kasih, Bu.” Wajahku memerah, lekas membalas
senyumannya. Berjalan pergi meninggalkan kelas.
Ibu Hera tidak pernah
main-main dalam mengajar kami. Tes berulangnya itulah bentuk dari pelajaran
yang ia berikan. Dia memaksa kami untuk membaca, memahami pertanyaan yang
mungkin muncul di ujian ini.
Cara mengajarnya memang
unik dan terlihat main-main. Tapi dampak yang kami dapatkan amat sangat luar
biasa. Aku bisa menyelesaikan ujian ini lima kali lebih cepat dari sebelumnya.
“Annisa,” panggilan kecil
terdengar di belakang tubuhku. Itu Wafa, sahabat dekatku.
Dia berjalan mendekat,
tersenyum kagum padaku. “Seperti biasanya, kau selalu mengaggumkan.”
“Benarkah?” Aku
tersenyum memiringkan kepala. Melihat dia yang menutup mata.
“Ya, tentu saja.” Kami
berjalan berdampingan, menuju kantin sekolah. Lorong sekolah terasa lengang.
Masih terlalu awal bagi siswa meninggalkan kelas.
“Tapi kau juga hebat,
Wafa. Tidak biasanya kau keluar secepat ini?” Aku membuka pembicaraan, melirik
dia yang sedang memainkan ponselnya.
Tak ada jawaban dari
Wafa yang fokus pada ponselnya. Wajahnya mulai terlihat khawatir. Aku memanggil
namanya. Menanyakan kondisinya.
“Ma-maaf, Annisa. Apa
katamu tadi?” Wafa berwajah khawatir menutup mata.
“Pesan dari siapa? Apa
terjadi sesuatu?” Aku bertanya dengan nada pelan. Sesaat Wafa mengalihkan
pandangan, tubuhnya bergemetar. Tapi respon yang dia berikan padaku adalah.
“Tidak ada apa-apa kok.”
Telah terjadi sesuatu padanya. Aku tau itu.
Jika dia tak ingin
cerita, tak apa. Aku akan menunggunya. Sebagai sahabat, aku harus berada di
sisinya. Bersiaga mendengarkan curhatannya nanti.
Suasana kantin tidak
berbeda jauh dengan lorong ruangan. Hanya ada beberapa penjaga kantin yang
membersihkan lantai. Menyiapkan makanan untuk istirahat nanti.
“Astaga, apa pemikiran
anak-anak sekarang seperti monster yah?” senyum ringan seorang penjaga kantin,
laki-laki. Wajahnya terlihat bodoh dengan beberapa jerawat di pipi kirinya. Dia
tersenyum kecil melihat kami berdua.
“Hush! Jangan bilang
seperti itu, tidak sopan!” penjaga lainnya menegur dia. Wanita paruh baya
berumur 35 tahunan. Cukup besar tubuhnya.
“Aku hanya bercanda.
Mari silahkan, putri sekalian. Katakan saja apa pesanan kalian,” senyum
ramahnya pada kami.
“Ah, kami hanya ingin
dudu –“ aku membalas senyuman ramahnya. Tapi perkataanku terpotong oleh perkataan
baruku. Aku terkejut mlihat sosok dirinya. Gadis tercantik di sekolah.
“Liliana!?”
Liliana terlihat duduk
di ujung kantin sendirian, tempat biasa kami berkumpul. Sambil meminum jus
stroberi, dia mengangkat dan melambaikan kedua tangannya. Memberi sinyal pada
kami untuk datang mendekatinya.
Kami tersenyum lebar
melihatnya. Berjalan cepat mendekati dia yang tetap menggemaskan.
“Jus Sirsak dua!”
senyumku melirik sang penjaga kantin tadi. Dia tersenyum sambil memberikan
hormat layaknya prajurit. “Siap komandan!”
Sungguh lelaki yang
menarik, pikirku tertawa kecil melihat tingkahnya.
Kami berdua berjalan
mendekati Lili. Dia masih memasang senyumannya pada kami. Sudah beberapa hari
aku bersamanya. Aku sudah bisa mengatasi senyuman yang mematikan itu.
“Rina dan Geisha belum
keluar?” Wafa bertanya. Mulai duduk berhadapan dengannya.
“Emm, belum.” Lili
menggelengkan kepala perlahan. Terlihat manis, cukup membuat jantungku berdetak
cepat.
“Kalian hebat yah, bisa
keluar secepat ini!” lanjutnya tersenyum kagum pada kami. Memberikan tatapan
berbinar padaku dan Wafa.
Apa maksudnya? Justru
gadis inilah yang menganggumkan. Umurnya empat tahun lebih muda, tapi dia bisa
lebih cepat menyelesaikan ujian kenaikan kelas ini.
“Ada apa, Kak Annisa?
Ada yang aneh? Kenapa tidak duduk?” gadis berambut kuning lemon itu menatapku
penuh penasaran. Kebingungan akan sikapku yang terdiam mendengar pernyataan
sebelumnya.
Tidak apa, itu jawabku
sambil duduk di samping Wafa. Kami berdua mulai bercengkrama cukup lama,
menghabiskan waktu menunggu kedatangan Rina dan Geisha.
Tak lama setelah itu.
Kedua sahabat kami itu datang. Memasang wajah yang sudah kuduga sebelumnya.
Rina cemberut mengalihkan pandangan dari Geisha yang mengikutinya. Geisha
memasang wajah khawatir, membujuk dia untuk memaafkannya.
Aku memasang wajah
datar melirik mereka. Menutup mata, mengeluh membuang nafas. Hampir setiap
hari, saat istirahat pertama mereka selalu seperti ini.
“Ka-kalian melakukannya
lagi?” Wafa bertanya khawatir melihat tingkah mereka. Lili kembali mengeluarkan
tertawaaan kecil manisnya.
“Hei, Rina ..., aku
bilang kan tidak sengaja.“
“Bagaimana ujiannya Annisa,
Wafa?” senyum Rina bertanya. Mengabaikan pernyataan sahabatnya, Geisha.
“Hei, dengarkan aku
...,” Geisha berwajah khawatir, terlihat ingin menangis. Rina sedikit mengeluh
memejamkan mata, mendongak, dan melirik sahabatnya.
“Pesankan aku nasi
goreng sosis,” senyum kecilnya. Geisha sontak melebarkan mata setelah
mendengarkan permintaanya.
“Siap siap!!” Gadis
berambut ikal itu berjalan cepat menuju meja pesanan. Wajahnya terlihat
bahagia. Sedangkan Rina berjalan mendekati Liliana, duduk di samping gadis yang
masih meneruskan tertawaan manisnya.
“Sudahlah, Lili ...,
kau hanya membuat kolesterol sekitarmu bertambah.” Sebelum duduk, Rina mengusap
pelan kepala gadis itu. Tersenyum bahagia melihatnya yang tertawa.
“Em em,” Lili terlihat
nyaman menutup mata. Menganggukan kepala cukup cepat. Sungguh, seberapa
manisnya gadis ini? Meski sudah bersama dengannya cukup lama, dia masih tetap
membuat jantungku berdetak cepat.
“Jadi?” tanya Rina
kembali. Menompang dagunya, menatap kami berdua. Aku dan Wafa.
“Tak ada masalah. Aku
yakin mendapat nilai sempurna,” jelasku mulai menyeruput jus sirsak.
Menggoyang-goyangkan sedotan, melirik gadis di sebelahku.
“Aku baik-baik saja,
tak ada masalah. Meski tak yakin dapat nilai sempurna, setidaknya aku yakin
sudah memenuhi nilai standar.” Wafa tertawa kecil, matanya terpejam sesaat.
“Tapi tidak biasanya
kamu keluar cukup lama, Rina? Apa ada soal yang membuatmu kesulitan?”
“Ah, soal itu ....”
Rina mengeluh sesaat, melirik sinis Geisha yang baru saja datang.
“Ap-apa lagi salahku?
Aku baru saja datang dan sudah mendapatkan tatapan itu?”
“Coba dengarkan aku
Annisa, gadis berambut ikal ini benar-benar mengganguku saat ujian! Aku sampai kerepotan
dan kehilangan konsentrasi karena tingkah lakunya!”
“Ha-habisnya, acara TV malam kemarin yang kutonton benar-benar
lucu. Aku sungguh tak sabar ingin membahasnya denganmu, Rina!” Geisha terseyum
lebar, berjalan cepat dan duduk di dekat Rina.
“Saat istirahat juga
bisa, kan! Gara-gara kau juga aku dimarahin lagi sama Pak Andi!!”
“Sudah-sudah, kalian
berdua.” Aku berniat melerai mereka berdua. Hasilnya nihil. Mereka tidak
mendengarkanku.
Lili kembali tertawa,
kali ini cukup keras. Wafa meminum jus sirsaknya. Tersenyum lebar menatap Lili
yang tertawa.
Aku tersenyum melihat
kebahagiaan di sekitarku. Kuharap waktu yang kumiliki saat ini berlangsung
selamanya. Jika tidak, kuharap kejadian yang saat ini kualami menjadi salah
satu kenangan yang pantas kukenang di masa depan.
Selang beberapa menit
kemudian, Lili berdiri dan berniat memesan makanan. Dia tergiur pesanan Rina
yang baru saja datang.
Saat dia pergi, kami
mulai membahas beberapa hal, salah satunya masalah liburan kenaikan nanti. Kami
berniat berlibur bersama.
Tapi, seketika suasana sunyi
langsung terasa. Seluruh tatapan di kantin tertuju pada meja pesanan.
Terlihat Lili yang
berdiri sejajar dengan Sang Bajingan, Hardi. Hanya arah mereka yang berbeda.
Hardi terlihat berbalik, telah selesai melakukan pemesanan. Dan tangan kirinya
itu tak sengaja menabrak lengan Lili. Cukup pelan.
Tubuhku bergemetar,
bulu kudukku merinding. Aku ketakutan jika lelaki menjijikan itu akan melakukan hal
buruk pada gadis kecil seperti Lili.
Tidak hanya aku, tapi
seluruh penghuni di dalam kantin menatap khawatir dirinya. Ingin menolongnya.
Sungguh ingin menyelamatkannya dari dia yang kubenci segalanya.
Tapi, tak ada yang
berani.
Aku yang akan maju, itu
pikirku sebelum Hardi berjalan selangkah mundur menjauhinya. Menaruh keseganan
pada Si Peri Pecil.
Dia membuka mulut,
berniat mengeluarkan suaranya. Tapi tak tuntas, langsung terdiam melihat
tindakan Lili yang membuat seisi ruangan terkejut bukan main.
Lili mengusap lengan
kanannya, layaknya membersihkan noda debu. Memasang wajah datar ke depan.
Benar-benar tak melihat dirinya. Aura dari gadis kecil itu terasa berbeda.
Tekanan di sekitarnya terasa sangat berat.
“Hei –“ Hardi tersenyum
khawatir, berniat mengeluarkan suaranya. Tapi.
“Nasi Goreng Sosis!!”
teriak Lili cukup keras. Menutup mata amat rapat. Membuat penerima pesanan berwajah
khawatir ketakutan.
Suasana sungguh terasa
tegang. Kami menatap penasaran Lili yang terasa berbeda. Aura di sekitarnya
lebih mirip seperti aura kemarahan.
Hardi tersenyum kecil,
matanya tertutup perlahan. Menundukkan kepala dan punggung, memberi hormat.
Kami kebingungan, amat sangat kebingungan melihat dia yang ditakuti bersikap
seperti itu.
Hardi berjalan cepat
meninggalkan Lili. Tatapan penasaran kami masih tertuju pada dia yang berjalan
keluar kantin. Kami benar-benar dibuat terkejut akan tindakannya.
Lepas Sang Bajingan
pergi, kini tatapan penasaran berubah menjadi milik Si Peri Kecil. Aura ketegangan
di sekitarnya menurun drastis, menghilang seketika.
Dia tersenyum manis,
menatap kami cukup kebingungan.
“Ada apa, Kak Rina?”
“Eh, an-anu ..., kau
tidak takut?” Rina bertanya, berwajah khawatir. Tidak hanya dia saja. Aku, Geisha, dan
Wafa pun memberikan tatapan khawatir padanya.
“Takut karena apa?”
Lili tersenyum keheranan. Kembali duduk di bangkunya.
“Tadi kau baru saja menabrak
lelaki yang ditakut –“
“Tak ada orang.” Lili
menutup mata sesaat. Menyanggah pernyataan Wafa sangat cepat. Kami terdiam
cukup lama, menatapnya sangat penasaran.
Geisha membuka mulut, menanyakan
pertanyaan Wafa lebih jelas. Tapi hanya kalimat itu yang dia dapat. Tak ada
orang, katanya.
“Aku tidak menabrak
siapapun, Kak Geisha. Saat di meja pesanan, hanya ada aku seorang.” Lili tersenyum
melihat Geisha. Memberikan tatapan seakan bisa melihat langsung ke hatinya.
Kami terdiam. Tak ingin
menanyakannya lagi. Telah terjadi sesuatu antara Lili dengan bajingan itu.
Apa hubungan mereka?
Apa masalahnya sampai gadis berhati baik seperti Lili, tak pernah menganggap
keberadaanya. Kebenciannya pada Hardi, amat sangat jauh melebihi kami semua.
***
Ujian kenaikan telah selesai. Waktu liburan telah datang.
Kami berencana liburan bersama.
Pantai pribadi Lili, menjadi tempat tujuan liburan kami.
Rencananya, kami berniat berkumpul di gerbang sekolah. Menunggu jemputan Si
Peri Kecil.
Sungguh aku baru menyadarinya, akan betapa luar biasanya
Liliana Arthurea. Bagiku Rina sudah termasuk orang sangat kaya, tapi berbeda
dengan Lili. Dia benar-benar berbeda, bagaikan tuan putri dari kerajaan antah
berantah.
Pengawal lelaki berambut hitam, berdiri di sampingnya.
Sangat tampan, melebihi Rizky. Terlihat gagah, melebihi Si Bajingan. Terus
menerus aku dibuat takjub oleh gadis rupawan ini.
Si lelaki bermata merah tersenyum ramah pada kami.
Menawarkan bantuan mengangkat barang. Sesaat, kami terdiam melihat wajahnya,
terpesona akan rupanya. Tapi lepas itu kami memberikan barang bawaan kami.
Membalas senyuman ramahnya.
“Te-terima kasih!” ucap kami, cukup kompak.
“Tak apa, ini memang tugasku.” Lelaki itu kembali
tersenyum, membawa beberapa barang bawaan. Memasukkannya ke dalam bagasi mobil
mewah, besar. Aku tak tau apa mereknya, tapi yang jelas terlihat mahal.
Tak lama setelah itu, terlihat Si Bajingan yang memakai
pakaian bebasnya. Celana jeansnya sobek di bagian lutut, seperti preman. Dia
menundukkan kepala, berjalan mendekati kami. Atau mungkin sekolah.
Rina dan yang lainnya berwajah khawatir. Mengalihkan
pandangan dari dia. Lili memasang wajah datar, seperti biasa tak menganggap
keberadaanya. Sedangkan aku menatap tajam dia, tak takut hanya pada dia yang
seorang berandalan.
Tapi ketika Si Bajingan itu mengangkat kepala, sadar akan
keberadaan kami. Langkahnya terhenti, memberikan tatapan khawatir pada Lili.
Dia berbalik, berjalan cukup cepat.
Dia ketakutan.
Heh? Dia bisa ketakutan juga? Mahluk sepertinya?
Aku sungguh ingin tertawa melihat ekspresi wajahnya. Dia
yang terlihat kuat dan perkasa, terlihat seperti kucing pengecut jika
berhadapan Lili. Ini benar-benar momen terbaik yang kulihat karena melihat
orang yang paling kubenci sepert –
“Tuan ....”
EH? Seluruh pandangan tertuju pada lelaki tampan di dekat
mobil. Kami benar-benar memberikan tatapan penuh penasaran padanya. Kecuali
Lili yang membuang wajah.
Hardi berbalik, tertawa kecil. Ekspresi wajah yang
membuat kami terkejut. Cukup membuat mulut kami terbuka.
Selama aku mengenalnya,
aku belum pernah melihat wajahnya yang seperti itu.
“Su-sudah lama yah, Adam ...,” Hardi mengalihkan pandangan
darinya. Mulai tersenyum khawatir menutup mata sesaat.
“Tuan ....”
Adam berjalan mendekati dia, tersenyum bahagia dengan
mata yang melebar. Dia benar-benar bahagia bertemu dengan Sang Bajingan itu.
“Lama tidak bertemu, Tuan! Ini benar-benar suatu keajaiban
hingga bisa berte –“
“Adam, kembali ke sini. Kenapa kau berbicara sendiri?”
Lili menutup mata. Nadanya terdengar berat, mulai membuat kami berwajah
khawatir.
Hardi berjalan mundur, tersenyum menggerakkan kepalanya
ke samping. Sebagai isyarat menyuruh Adam untuk datang mendekatinya.
“Tapi Lili, ini Kakakmu.
Sudah lebih dari tiga tahun –“
“JANGAN PERNAH MENYEBUT IBLIS ITU SEBAGAI KAKAKKU!!”
Liliana menggeram amat dalam. Menundukkan kepala menatap tajam tempat ia
berpijak. Sungguh mengepalkan kedua tangannya. Tubuhnya bergemetar,
kemarahannya memuncak.
Rina menutup mulut, berwajah ketakutan melihat si peri
kecil yang murka. Geisha memasang wajah khawatir, tubuhnya bergemetar. Wafa juga
terlihat ingin menangis, tak menyukai kejadian yang seperti ini.
Berat, sungguh terasa amat berat tekanan di sekitarnya.
Tegang, sungguh terasa sangat tegang suasana di sekelilingnya.
“Tak peduli kau sudah bersamaku sejak kecil, kuhabisi kau
jika mengatakan hal seperti itu lagi, Adam.” Lili menatap tajam Adam. Lelaki
berambut hitam itu menundukkan kepala, mengepalkan erat kedua tangannya,
bergemetar. Maaf, hanya kata itu yang terdengar dari mulutnya. Entah ditunjukan
untuk siapa.
Dia berjalan menghampiri Lili, menatap khawatir gadis
rupawan yang marah itu.
Hardi tersenyum sedih menutup mata. Membalikkan badan,
berjalan pergi meninggalkan kami.
Kakak? Lili itu adiknya Hardi?! Mustahil, benar-benar
sangat mustahil. Tidak terlintas sedikitpun dalam pikiranku, jika mereka bersaudara.
Baik secara pengetahuan, sifat, bahkan fisik benar-benar
tak terlihat. Mustahil, ini pasti kesalahan. Bagaimana mungkin lelaki bajingan
seperti Hardi itu adalah kakaknya Lili, gadis manis yang dikagumi segalanya.
Benar-benar tak masuk akal!!
Tapi setelah melihat kejadian tadi aku mulai sedikit
percaya. Perkataannya, tidak terlihat seperti sebuah kebohongan. Dari sikap
ataupun perkataannya, Adam terlihat sangat menghormati Hardi.
Selama di dalam perjalanan pesawat aku sungguh memikirkan
ini. Kebenaran hubungan antara Lili dan Hardi. Aku ingin menanyakan pada Lili
atau Adam, tapi suasana masih terasa berat dan canggung.
Kami memasang wajah khawatir, melirik satu sama lain.
Kebingungan harus bertindak apa.
“Maaf yah, banyak hal yang terjadi diantara aku dengan dia. Pasti
kalian bertanya-tanya, sampai aku menganggap keberadaan mahluk itu tidak ada.” Lili bergumam pelan di tempat duduknya.
Nadanya terdengar menyesal.
Mahluk itu? Maksudnya Hardi?
“Ta-tak apa, lagipula kami juga sudah tau kok akan sifatnya
yang mengerikan. “ Geisha berwajah khawatir, tersenyum melirik Rina.
“Iya, aku juga turut pihatin padamu. Pasti sulit yah
memiliki hubungan seperti itu dengan lelaki sepertinya.” Rina berucap, menghibur Lili.
“Ya, kumohon jangan dekati dia. Kalian masih belum tau
akan betapa mengerikannya mahluk itu. Dia bukan manusia, dia iblis.” Nada Lili
kembali terdengar dalam.
Di saat Lili berkata
seperti itu, Wafa yang berada di sebelahku berwajah khawatir. Kedua tangannya bergemetar
memegang handphone. Dia mengetahui sesuatu yang tak kuketahui.
Ketika kami sampai,
angin laut yang cukup hebat menyambut kedatangan kami. Aku menutup mata,
merasakan kesejukkan yang luar biasa.
Pantai tropis ini
terlihat masih asri. Pasirnya berwarna putih. Air lautnya terlihat bening,
keragaman bawah lautnya dapat terlihat.
Hanya ada satu pondok
di sana, cukup dekat dengan bibir pantai. Pondok berkelas cukup besar.
Dindingnya terbuat dari kayu jati yang kokoh.
Tidak mengherankan dari
pulau pribadi. Pulau ini benar-benar sepi dari orang-orang.
“Kalian bisa langsung
bermain, biar aku yang mengurus barang bawaan kalian,” Adam tersenyum pada
kami.
“Ah, tidak. Biar kami
ikut membantumu,” Rina berwajah khawatir. Melirik kami beberapa saat.
Aku tersenyum
menganggukkan kepala, membenarkan perkataanya. Geisha juga melihat Rina,
berjalan mendekat mereka.
“Iya, kami merasa tidak
enak jika seperti ini terus. Kalian juga mau kan?” Geisha tersenyum memiringkan
kepala. Berbalik melihat kami berdua, aku dan Wafa.
“Ya tentu saja,” senyum
kami bersemangat.
Tiga hari kami menikmati pantai itu. Bermain ombak di
pagi hari, melakukan obrolan gadis di malam hari. Menjelajah ke bagian belakang
pondok. Melakukan tes uji nyali, bermain kartu, dan yang lainnya.
Banyak hal yang terjadi, banyak kejadian lucu yang kami
alami. Kenangan dan pengalaman ini merupakan hal pertama bagiku. Kebahagiaan
ini, takkan pernah kulupakan seumur hidupku.
Tidak sampai disitu saja kebahagiaan yang kudapatkan.
Ketika tahun ajaran baru dimulai, aku mendapatkan kabar yang mengejutkan. Kabar
yang membuat seluruh siswa dan beberapa guru berhati tenang.
Lelaki yang kubenci
segalanya telah menghilang. Dia tidak bisa melanjutkan sekolah karena suatu
alasan. Ada yang mengatakan masalah biaya, karena prilakunya, dan karena
nilainya yang sangat hancur.
Ya, aku tidak terlalu
peduli akan alasan dia tidak bisa melanjutkan, lagipula tak ada yang baik
tentangnya, Tapi yang jelas, kehidupan setahun sekolahku akan jauh lebih baik
dari dirinya.
Mungkin tidak hanya
aku, tapi seluruh siswa juga akan berpendapat yang sama. Bersyukur karena dia
yang telah pergi dari kehidupan kami.
Mungkin untuk selama-lamanya.
Mungkin untuk selama-lamanya.
***
No comments:
Post a Comment