Friday, 2 December 2016

Chapter 4

Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Chapter IV
Pertemuan


          Tiga tahun telah berlalu sejak pertemuan dengan Halsy dan yang lainnya. Anak yang telah dibuang oleh keluarganya mulai beranjak remaja. Kini dia berumur 8 tahun, terlihat sedang berlari kencang melewati kerumunan.


            Rambutnya berubah warna hitam beserta dengan warna matanya. Tubuhnya sudah sedikit lebih besar dari sebelumnya.


            Sesaat dia menghentikan langkah kaki, memperhatikan sekitar yang terasa berbeda. Kerumunan orang di kota semakin banyak. Tidak seperti biasanya, mungkin ada suatu hal yang akan terjadi, mungkin ada suatu acara yang menarik perhatian banyak orang.


            “Empress beserta putrinya akan datang 30 menit lagi, dimohon untuk menjaga kesopanan kalian di hadapan beliau!!” teriak seorang penjaga dekat dengan gerbang istana.


Perkotaan tempat Lisienata mencari nafkah sungguh berdekatan dengan istana kerajaan. Tiap hari dan waktu, dia terus melihat istana megah itu.


            Di hari itu, dia kembali melihat ke atas balkon istana sambil membenarkan tas kusamnya. Baju yang ia pakai terlihat sudah tua, penuh jahitan. Dia memakai topi coklat penuh lubang di beberapa bagian.


            Putri Alyshial terlihat di sana bersama sang ratu. Terlihat bercanda, memakai pakaian yang sangat berbeda jauh dengannya.


            Lisienata berwajah datar, tak menunjukan ekspresi apapun. Tak ada senyuman, kesedihan dan amarah. Dia hanya menatap mereka berdua tanpa perasaan apapun.


            Tak lama dia lekas berbalik, berjalan cepat, dan berlari melewati kerumunan. Setelah teriakkan penjaga tadi, akhirnya dia paham, alasan banyak orang yang datang ke kota hari ini. Mereka ingin melihat sang pahlawan yang menyelamatkan benua ini setahun yang lalu.


            Tapi itu tak penting bagi Lisienata. Dia baru saja keluar dari penjara saat berakhirnya penyerangan Engelina dan para iblis. Saat lelaki yang bernama Angela mengkhianati kekasihnya.


            Langkah kaki Lisienata terhenti di depan toko kue sederhana.  Wajah datarnya berubah, mulai memberikan ekspresi kebahagiaan. Dia tersenyum, berjalan memutari toko itu. Memasuki pintu belakang.


            “Wah, Hendra? Kau benar-benar datang!?”  lelaki tua berumur lanjut usia terkejut melihat kedatangan Lisienata yang membuka pintu. Tangan besar, penuh keriputnya terlihat sedang-sedang menekan-nekan adonan kue.


            “Sekarang toko tutup, tapi sayangnya toko masih benar-benar sibuk! Bisa bantu Kakek!? Semua pegawai Kakek mendatangi jalan menuju istana. Mereka ingin melihat sang pahlawan.”


            “Tenang, Kek Jonjon. Aku akan membantumu, lagipula tujuanku ke sini memang ingin bekerja.” Lisienata berucap, lekas menggulungkan pakaian di pergelangan tangannya. Mencuci tangan di tempat membasuh pring.


            “Nama kakek Jony, kenapa kau selalu memberikan nama panggilan aneh itu pada Kakek,” Jony tertawa kecil melihat Lisienata.


            “Biar lebih akrab Kek, hahaha!” Lisienata mengusap tangan yang basah. Lekas mengambil adonan kue yang sudah selesai dan tinggal masuk ke pembakaran.


“Tolong urus adonan itu, Hendra! Jangan terlalu matang, itu pesanan orang penting.”


            “Roger, Kapten!!” Lisienata memberi hormat layaknya prajurit. Lekas bekerja dengan giat dan penuh senyumannya.


Umurnya belum menginjak 10 tahun, tapi dia sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Sekitarnya sangat mengenal dan terbantu dengan kehadirannya. Sekitarnya benar-benar menaruh prihatin pada dia dan ibunya.


Lebih dari empat jam anak lelaki itu bekerja. Terus menerus banting tulang demi mendapatkan sesuap makanan. Melakukan pembakaran kue, ikut membuat adonan kue, hingga menata kue tersebut dalam bungkus kemasan agar terlihat enak dipandang.


“Cukup, Hendra! Kau bisa pulang sekarang!”


“Eh, benarkah? Bukankah ini lebih cepat dari biasanya, Kek?”


“Toko sudah selesai. Semua pesanan untuk istana sudah terkumpul.”


“Istana ....” Lisienata cukup terkejut, menatap beberapa roti dan kue hasil pembakarannya. Berpikir ‘mungkinkah mereka akan memakannya?’ dalam hatinya.


“Hendra, Hendra!?” Jony bertanya kembali.


“Ya, Kek Jonjon!?”


“Kau yakin cukup hanya dengan ini bayaranmu setiap bekerja di sini?” Jony berwajah khawatir, membungkus enam roti hangat dengan kertas putih bersih.


“Ya, itu sudah lebih dari cukup untuk kami, Kek!” Lisienata mengangguk pelan, berjalan cepat mendekati lelaki tua berperut buncit.


“Kinerjamu amat sangat baik, melebihi pegawai yang ada di sini. Kau giat bekerja. Jika kau ingin, aku bisa memberi kau imbalan seperti pegawai tetap di sini.”


“Tolong jangan lakukan itu, Kek. Lebih baik gunakan uang itu untuk mengembangkan usaha Kakek. Roti Kakek enak, malah amat sangat enak. Maka tak heran jika orang-orang istana memesan roti kakek.”


“Dasar! Kau ini memang pandai bicara!” Jony mulai memberikan rotinya.


Lisienata hanya tertawa kecil, menerima roti tersebut. Lekas memasukkan ke dalam tas sederhananya. Raut wajah Jony langsung berubah, mulai bertanya khawatir pada anak lelaki di hadapannya.


“Ba-bagaimana dengan kondisi ibumu?”


“Ibu sudah lebih baik, dia sekarang sudah bisa makan sendiri. Tapi masih belum bisa berjalan,” senyum kecil Lisienata.


“Kuharap kau diberi kekuatan untuk ini, Hendra. Jaga baik-baik anggota keluargamu satu-satunya itu.”


“Ya, akan kujaga ibu dengan nyawaku. Dia malaikatku!” Lisienata menganggukkan kepala sangat cepat, berjalan meninggalkan toko. Langsung berlari melewati kerumunan yang semakin ramai.


Bukan untuk pulang, ada pekerjaan lainnya yang harus ia selesaikan. Menjaga toko sayuran dari wanita tua yang ia kenal. Dengan lincah dia melewati kerumunan orang, terus berlari sambil memasang senyuman indah di wajah.


Sesampainya di tempat tujuan, Lisienata lekas menyapa wanita tua yang sedang duduk di samping barang dagangannya. Berupa buah-buahan dan sayuran yang segar.


Wanita itu terlihat menutup mata, wajahnya dipenuhi keriput. Benar-benar dimakan usia. Lebih tua dari kakek yang sebelumnya Lisienata temui.


“Nek, saya sudah datang sekarang. Nenek istirahat saja di dalam.” Lisienata menyentuh pundaknya, memberikan senyuman hangat pada wanita lanjut usia itu.


“Uohh, Enda. Sudah datang yah,” wanita itu mulai berdiri dengan bantuan Lisienata. Lelaki berambut hitam itu hanya mengangguk pelan, tetap memberikan senyuman hangatnya.


Setelah mengantar sang pemiliki toko ke dalam rumahnya. Lisienata lekas mengambil alih toko, berjualan berbagai buah-buahan dan sayuran segar dengan teriakkan lantang.


Para pembeli datang saling bergantian, membeli barang dagangannya. Dia tak pernah melepas senyuman ramahnya pada pelanggan. Namanya sudah terkenal di daerah itu, bukan sebagai nama Lisienata. Tapi Hendra. Itu nama yang dia pikirkan sendiri untuk berbaur dengan masyarakat.


Tapi bukan berarti dia melupakan nama pemberian dari wanita yang senantiasa mengasuhnya. Nama Lisienata benar-benar terukir dalam hatinya. Karena bagaimanapun itu adalah nama pertama kali yang dia dapatkan saat dia terlahir ke dunia. Pemberian dari wanita yang mengurusnya hingga saat ini. Wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri, meski wanita yang bersangkutan amat sangat enggan dipanggil olehnya seperti itu.


Satu jam, dua jam, sampai tiga jam terus terlewat. Langit biru mulai berubah orange, layaknya jeruk masak yang berjajar sebagai barang dagangan Lisienata.  Orang-orang yang layaknya kumpulan semut sebelumnya mulai menghilang, kembali ke kediamannya masing-masing. Sang Empress dan putrinya sudah lama sampai di istana negaranya.


Meski jalanan sudah sepi, Lisienata tetap berjualan. Sesekali dia membuka beberapa buku bacaan milik nenek pemilik toko. Dia mengubur kebosanannya dengan membaca buku.


Meski bukan bacaan yang tepat untuk anak laki-laki seumuran dengannya, dia tetap memberikan senyuman bahagia. Sungguh senang mendapatkan hal baru dari apa yang ia baca.


“Oe hei ....” Gadis muda, berambut putih dengan ujung merah muda berucap. Umurnya sepantaran dengannya. Sungguh sangat rupawan, dengan gaun mewah layaknya putri sungguhan. Terlihat empat pengawal berkumis lebat di samping kanan dan kirinya.


“Ah, Ya! Ada yang bisa saya bantu!?” Lisienata menutup buku catatannya. Memasang wajah khawatir menatap calon pelanggannya.


“Di sini jual Bunga Edelweiss!?” gadis itu bertanya, berwajah penasaran menatap Lisienata.


“Eh, in-ini bukan toko bunga. Ini toko sayur dan buah-buahan emm ....” Lisienata berpikir, menyentuh dagunya.


“Bagaimana aku memanggilmu? Adek, gadis kecil, atau Kakak menawan?” lanjutnya Lisienata berwajah khawatir.


“Kau sopan yah, aku mungkin seumuran denganmu. Namaku Lapis,” senyum Lapis memiringkan kepala


“Lapis, yah? Baiklah, Lapis.” Lisienata menyentuh dagu, menganggukkan kepala terlihat paham.


Mendengar hal itu Lapis dan para pengawalnnya terkejut.  Tidak mengherankan, untuk pertama kalinya gadis itu mendapatkan panggilan langsung berupa namanya, tanpa panggilan kehormatan seperti kata ‘Putri’.


“Dasar tidak sopan!! Berani sekali kau yang hanya rakyat biasa memanggil beliau dengan–“ kesal salah satu pengawal memberikan tatapan kemarahan pada Lisienata, akan tetapi.


“Diam, Gagan!” kesal Lapis menyanggah pernyataannya. Membuat para pengawal lainnya mengurungkan niat untuk membela sang putri.


Ta-tapi na-nama saya George, Putri,” khawatir pengawal yang dipanggil Gagan itu dalam batinnya.


“Ka-kau gak tau aku?” tanya kembali Lapis, memberikan senyuman lebar pada Lisienata.


“Kau Lapis, kan? Tentu saja aku tau kau, kau baru saja memperkanalkan diri tadi.” Lisienata berwajah kebingungan, membereskan beberapa sayuran yang berantakan.


“Em em em!! Aku Lapis,” Lapis menutup mata, mulutnya benar-benar terbuka lebar. Entah kenapa dia terlihat amat sangat bahagia.


“Kenapa kau, Lapis?” Lisienata bertanya, semakin khawatir wajahnya melihat gadis manis di hadapannya..


“Ya panggil aku seperti itu terus, Lapis, hahaha.” Lapis mulai tertawa riang, Lisienata semakin berwajah khawatir. Sungguh merasa keheranan dengan tingkat aneh gadis ceria di hadapannya.


“An-anu, di sini kami tidak jual bunga. Lagipula bunga yang kamu maksud itu aku belum pernah dengar. Maaf, aku kurang tau tentang masalah it –“


“Hei hei, emm ..., siapa namamu itu?” Lapis bertanya, memotong pernyataan Lisienata.


“Hendra namaku. Kumohon Lapis dengarkan pembicaraanku dulu,” Lisienata sedikit membuang nafas, menutup mata sesaat. Benar-benar kerepotan dengan gadis di hadapannya.


“Hei, ingin jadi temanku– emm bukan, maksudku jadilah temanku!! Aku menyukaimu!”


“Hah? Kenapa pembicaraan kita bisa jadi langsung ke sana? Bagaimana dengan bunga yang kau maksud –“


“Mau tidak?!” Lapis kembali bertanya, menyanggah pertanyaan Lisienata. Membuat Lisienata memasang wajah datar, cukup kesal karena perkataanya yang terus terpotong oleh Lapis.


Lelaki berambut hitam itu masih belum mengetahui, fakta akan Lapis sang putri yang dikagumi semua orang. Sang Putri dari wanita yang telah menyegel kekuatannya. Maka dari itu, tak sedikitpun dia bersikap sopan dan formal.


“Baiklah baiklah, tapi sebagai gantinya. Belilah beberapa buah-buahan atau sayuran di toko in –“


“Aku beli semuany –“


“Gila! Jangan semuanya juga!” kesal Lisienata langsung menyanggah perkataan Lapis.


“Ehh tapi kalau aku beli semuanya kan kamu bakal untung besar?!” tanya Lapis, berwajah khawatir dan cukup terkejut melihat ekspresi kesal Lisienata.


“Ini bukan tokokku, kalau kau beli semuanya. Toko ini akan tutup untuk beberapa waktu, kembali buka setelah penen. Kau pikir aku harus mencari makan darimana sampai saat itu tiba?”


“In-ini bukan tokomu?” Lapis melepas wajah cerianya, berwajah khawatir menatap Lisienata.


“Bukan. Mustahil gelandangan sepertiku memiliki toko seperti ini,” senyum kesal Lisienata menutup mata amat erat.


“....” Tak ada jawaban dari Lapis yang masih memberikan tatapan penasaran pada Lisienata. Alisnya terangkat ke atas, menunjukkan rasa keprihatinan.


“Jadi mau beli apa Lapis? Tapi jangan semua ....” Lisienata terdiam, berwajah khawatir dan ketakutan melihat Lapis yang hampir menjatuhkan butiran air mata. Tapi gadis itu lekas mengusap air matanya dengan sangat cepat.


“Tu-tunggu bodoh, kenapa malah menangis!? Aku minta maaf kalau sudah membentakmu beberapa kali, oke!?”


“Bocah keparat! Berani sekali kau membuat Putri menangis! Kematianmu masih belum cukup membayar dosamu ini!!” teriak kesal salah satu pengawal. Dia benar-benar naik darah melihat majikannya seperti itu.


“Pu-putri!?” Lisienata melebarkan mata, menatap ketakutan Lapis.


“Ya, dia adalah –” lanjut pengawal tersebut, akan tetapi.


“Diam!!” Lapis menyanggah perkataanya sangat keras, memunculkan aura mengerikan di sekitar. Membuat mereka bergemetar, ketakutan menatap dirinya. Tak terkecuali Lisienata yang memberikan tatapan penasarannya.


“Lupakan bunga yang kumaksud! Kemana orang tuamu? Apa mereka tidak memperhatikanmu?” Lapis bertanya, menatap khawatir Lisienata yang mulai tersadar dari rasa ketakutan.


Aura mengerikan yang dikeluarkan Lapis terasa nyata, begitu familiar baginya. Bagaikan dia sangat sering merasakan aura itu. Bagaikan aura yang pernah ia temui jauh di masa lalu.


Lisienata tetap menundukkan kepala tak bisa menjawab. Mulutnya gagap, tak mampu berucap. Masih ketakutan karena aura sebelumnya.


“Kedua orang tuannya sudah tak ada, dia anak yatim piatu. Hanya wanita muda sakit-sakitan yang mengurus dirinya,” wanita tua sang pemiliki toko keluar, memberikan senyuman kesedihan pada Lapis.


“Tak ada?” Lapis bergemetar, berwajah ketakutan menutup mulutnya. Lapis berpikir, jika dia masih seumuran dengannya, tapi dia sudah mendapatkan cobaan seberat itu.


“He-hei perlu bantuan? Aku akan membantumu, kita –“


“Aku tidaklah lemah. Urus saja urusanmu sendiri, aku bisa menjaga ibuku seorang diri,” Lisienata menjawab, kembali mengembalikan pandangannya. Bersikap sekuat mungkin di hadapan gadis tersebut.


“....” Lapis terdiam, terkejut menatap wajah Lisienata yang dipenuhi keyakinan. Detak jantungnya berdetak cepat untuk sesaat, wajahnya memerah.


Dia mulai mengagumi anak lelaki di hadapannya. Ingin seperti dia yang kuat seperti itu. Bukan dalam arti kekuatan nyata, tapi itu jauh lebih penting dalam kehidupan. Kekuatan dalam hatinya, memiliki rasa percaya diri untuk tidak menyerah pada takdir menyedihkan yang menimpanya.


***


            Malam semakin menggelap, hanya ada keheningan di sekitar Lisienata. Jalan setapak yang terawat rapih dilewati oleh langkah kecilnya.


            Dia berlari cepat melewati rumah-rumah penduduk yang sangat menawan. Hampir seluruh bentuk rumahnya sama. Ya, dia melewai kawasan penduduk paling terpinggir. Tapi meski paling terpinggir, orang-orang yang tinggal di sana dipenuhi oleh kecukupan yang lebih.


Tidak aneh, itu ulah sang pahlawan yang memberikan bantuan pada seluruh umat manusia di seluruh penjuru benua. Maka tak ada lagi yang tersiksa karena berada di jurang kemiskinan.


Ya tak ada lagi, kecuali dua orang.


Lisienata berjalan melewati jembatan yang menuju pantai tempat pembuangan sampah akhir. Di sana terlihat gubuk kecil yang tak enak dipandang. Bersatu dengan tumpukan sampah di sekitarnya.


Anak kecil itu membuka pintu, berjalan memasuki gubuk tersebut.


“Aku pulang, Nyonya,” pelan Lisienata berucap, melepas sendal kotor dan berjalan melewati tikar yang menjadi alas dalam rumah gubuk itu.


Tikarnya pun sudah banyak berlubang, tak aneh lagi karena bagaimanapun tikar itu juga berasal dari tumpukan sampah yang ditemukan wanita yang mengurus Lisienata.


Lisienata berjalan mendekati tempat tidur berukuran kecil di ujung ruangan. Tersenyum bahagia melihat dia yang dikagumi tertidur dan menutup mata.


Benar-benar suatu keajaiban bagi dia bisa menemukan kasur itu di tempat sampah. Karena biasanya wanita itu selalu tertidur di atas kursi panjang di ruang tengah gubuk.


Lisienata melepas tas, mengeluarkan isi tas yang ia bawa. Menyimpan seluruh makanan yang ia kumpulkan seharian di dekatnya.


Ketika dia ingin melangkah pergi, tangan kanan lesu langsung memegang helaian pakainnya. Membuat Lisienata terkejut, lekas mengembalikkan pandangan pada wanita yang paling ia kagumi itu.


“Nyonya ....?”


“Makan, kau juga.” Wanita itu, Zaxia. Membuka mata letihnya. Wajahnya benar-benar terlihat pucat, banyak organ dalamnya yang hancur karena pertarungan di masa lalu.


Dia mulai bangun, duduk di atas kasur. Membuat Lisienata berwajah khawatir, ketakutan melihat dia ingin beranjak dari kasur.


“Lisienata, berapa umurmu sekarang?” Zaxia bertanya dengan nada pelan, bahkan untuk bersuara keras pun dia sudah kesulitan.


“Del-delapan tahun, Nyonya.” Lisienata menundukkan kepala, hampir menitiskan air mata. Dia mulai mengingat masa lalunya, membenci dirinya yang dulu masih tak menyukai Zaxia, tak pernah menghormatinya sedikitpun.


“Dengarkan aku, aku sudah mengurusmu sampai empat tahun. Kau telah membayar hutangmu selama empat tahun juga. Ini adalah hari ulang tahunmu yang ke sembilan. Jadi dengan kata lain –“


“Hentikan ....” Lisienata menggeram, mengeluarkan air matanya. Tetap menundukkan kepala.


“Aku bukanlah anak kandungmu. Itu akan terus berlaku, takkan pernah berubah untuk selama-lamanya. Kau takkan pernah bisa menjadi ibu kandungku.”


“....”Zaxia terdiam, tak menjawab pernyataan Lisienata. Masih mendengarkan dia yang belum menyelesaikan penjelasannya.


“Kini aku sudah sedikit dewasa, mengerti keadaan. Empat tahun kau mengurusku yang tak diinginkan siapapun, bahkan oleh kedua orang tuaku sekalipun. Kau menerima segalanya yang ada dalam diriku, termasuk rasa sakit dari kekuatanku yang tak terkendali.”


“.....” Zaxia tetap diam, memberikan tatapan pada Lisienata.


“Bodohnya diriku yang saat itu masih belum menyadarinya. Setelah mereka datang ingin membunuhku, aku sadar jika betapa tak diinginkannya aku oleh dunia ini.”


“Lisienata ....,” Zaxia masih memberikan tatapan pada Lisienata yang menggeram. Tak menunjukkan ekspresi apapun, baik kekhawatiran, cemas, amarah, kesedihan, apalagi kebahagiaan. Dia berusaha keras menahan emosinya. Keras kepala untuk memainkan perannya.


“Kenapa kau melindungiku saat itu? Jika saja kau membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau. Kau takkan seperti ini yang terlihat menyedihkan. Kau takkan diasingkan seperti ini! Dijuluki sebagai pengkhianat dunia dan akhirat! Dijuluki sebagai penyihir yang mengharapkan kehancuran dun–“


“Aku hanya tak ingin mereka menyentuh budakku. Kau milikku selama empat tahun, kau hanyalah alat bagiku. Itulah bayaran dari aku yang mengurusmu dari bayi,” Zaxia menutup mata sesaat, memberikan senyuman kecil yang cukup arogan.


“Budak, alat, yah ...?” nada suara Lisienata semakin terdengar lebih berat. Dia semakin terlihat marah.


“Ya, aku menganggapmu seperti itu. Tak lebih dan kurang. Jangan terlalu percaya diri, Anak Buangan,” senyum  arogan Zaxia, memberikan tatapan tajam pada Lisienata.


“Ya, tapi itu hanyalah masa lalu. Sekarang empat tahun kau sebagai budakku itu sudah terlewat. Kau sudah bebas, kau sudah merdeka. Jadi tak perlu terlibat lagi denganku, tinggalkan aku. Sesungguhnya aku amat sangat membencimu, aku akan mengusirmu dari sini sekarang –“


“Jangan bercanda!!” teriak Lisienata amat keras memotong perkataan, membuat Zaxia terkejut ketakutan melihat ekspresi wajahnya.


“Setelah semua yang kau lakukan padaku!? Setelah kau mengurusku dan melindungiku selama ini, kau ingin aku meninggalkanmu!? Perkataanmu tadi itu seolah mengatakan, ‘Pergilah dari sini, cari kebahagiaanmu sendiri, kau tak perlu mengurus wanita renta sepertiku.’”


“....” Zaxia masih melebarkan matanya, menatap ketakutan Lisienata yang sangat marah.


“Anggap aku seperti apapun yang kau mau!! Mau kau anggap aku menjadi budak, alat, bahkan hanya kotoran sekalipun!!


Tapi biar aku mengatakan ini, aku akan berada di sampingmu meski dunia dan akhirat mengutuk segala yang ada pada dirimu, meski Dewa mengacungkan senjatanya untuk memburumu. Kulawan mereka yang mengusikmu, kubinasakan mereka yang melukaimu. Keputusanku sekarang bukanlah milikmu, ini hakku bukan hakmu. “ Lisienata memberikan tatapan penuh kemarahan pada Zaxia, matanya memerah bercampur dengan air mata yang ia keluarkan.


Zaxia menundukkan kepala, tubuhnya bergemetar. Dia menyembunyikan wajahn– matanya yang berair. Tak pernah ingin anak lelaki yang dia anggap putranya melihat dirinya seperti itu.


“Pergi dari sini, tidurlah ....” Zaxia menggeram mulai menjatuhkan air mata hingga membasahi selimbutnya.


Lisienata memberikan senyuman kecil melihatnya yang seperti itu. Bahagia, hatinya amat sangat bahagia. Dia mulai membalikkan badan, berjalan menuju pintu keluar. Kembali memasang wajah serius yang dipenuhi keyakinan amat dalam. Menatap langit luas.


Perkataan sebelumnya untuk Zaxia bukanlah sebuah kebohongan, bukan sebuah kepalsuan. Dia benar-benar menyayangi wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu. Serius ingin mendeklarasikan perang pada seluruh mahluk jika itu demi melindungi ibunya.


***

2 comments: