Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Chapter IV
Pertemuan
Chapter IV
Pertemuan
Tiga
tahun telah berlalu sejak pertemuan dengan Halsy dan yang lainnya. Anak yang
telah dibuang oleh keluarganya mulai beranjak remaja. Kini dia berumur 8 tahun,
terlihat sedang berlari kencang melewati kerumunan.
Rambutnya berubah warna hitam
beserta dengan warna matanya. Tubuhnya sudah sedikit lebih besar dari
sebelumnya.
Sesaat dia menghentikan langkah kaki,
memperhatikan sekitar yang terasa berbeda. Kerumunan orang di kota semakin
banyak. Tidak seperti biasanya, mungkin ada suatu hal yang
akan terjadi, mungkin ada suatu acara yang menarik perhatian banyak orang.
“Empress beserta putrinya akan
datang 30 menit lagi, dimohon untuk menjaga kesopanan kalian di hadapan beliau!!”
teriak seorang penjaga dekat dengan gerbang istana.
Perkotaan tempat Lisienata mencari nafkah
sungguh berdekatan dengan istana kerajaan. Tiap hari dan waktu, dia terus
melihat istana megah itu.
Di hari itu, dia kembali melihat ke atas balkon istana
sambil membenarkan tas kusamnya. Baju yang ia pakai terlihat sudah tua, penuh jahitan. Dia memakai
topi coklat penuh lubang di beberapa bagian.
Putri Alyshial terlihat di sana
bersama sang ratu. Terlihat bercanda, memakai pakaian yang sangat berbeda jauh
dengannya.
Lisienata berwajah datar, tak
menunjukan ekspresi apapun. Tak ada senyuman, kesedihan dan amarah. Dia hanya
menatap mereka berdua tanpa perasaan apapun.
Tak lama dia lekas berbalik,
berjalan cepat, dan berlari melewati kerumunan. Setelah teriakkan penjaga tadi,
akhirnya dia paham, alasan banyak orang yang datang ke kota hari ini. Mereka
ingin melihat sang pahlawan yang menyelamatkan benua ini setahun yang lalu.
Tapi itu tak penting bagi Lisienata.
Dia baru saja keluar dari penjara saat berakhirnya penyerangan Engelina dan
para iblis. Saat lelaki yang bernama Angela mengkhianati kekasihnya.
Langkah kaki Lisienata terhenti di
depan toko kue sederhana. Wajah datarnya
berubah, mulai memberikan ekspresi kebahagiaan. Dia tersenyum, berjalan
memutari toko itu. Memasuki pintu belakang.
“Wah, Hendra? Kau benar-benar
datang!?” lelaki tua berumur lanjut usia
terkejut melihat kedatangan Lisienata yang membuka pintu. Tangan besar, penuh
keriputnya terlihat sedang-sedang menekan-nekan adonan kue.
“Sekarang toko tutup, tapi sayangnya toko masih benar-benar sibuk! Bisa bantu Kakek!? Semua pegawai Kakek mendatangi
jalan menuju istana. Mereka ingin melihat sang pahlawan.”
“Tenang, Kek Jonjon. Aku akan
membantumu, lagipula tujuanku ke sini memang ingin bekerja.” Lisienata berucap,
lekas menggulungkan pakaian di pergelangan tangannya. Mencuci tangan di tempat
membasuh pring.
“Nama kakek Jony, kenapa kau selalu
memberikan nama panggilan aneh itu pada Kakek,” Jony tertawa kecil melihat Lisienata.
“Biar lebih akrab Kek, hahaha!”
Lisienata mengusap tangan yang basah. Lekas mengambil adonan kue yang sudah
selesai dan tinggal masuk ke pembakaran.
“Tolong urus adonan itu, Hendra! Jangan
terlalu matang, itu pesanan orang penting.”
“Roger, Kapten!!” Lisienata memberi
hormat layaknya prajurit. Lekas bekerja dengan giat dan penuh senyumannya.
Umurnya belum menginjak 10 tahun, tapi dia
sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Sekitarnya sangat mengenal dan
terbantu dengan kehadirannya. Sekitarnya benar-benar menaruh prihatin pada dia
dan ibunya.
Lebih dari empat jam anak lelaki itu
bekerja. Terus menerus banting tulang demi mendapatkan sesuap makanan. Melakukan pembakaran kue, ikut membuat adonan kue, hingga menata kue tersebut dalam bungkus kemasan agar terlihat enak dipandang.
“Cukup, Hendra! Kau bisa pulang sekarang!”
“Eh, benarkah? Bukankah ini lebih cepat
dari biasanya, Kek?”
“Toko sudah selesai. Semua pesanan untuk istana
sudah terkumpul.”
“Istana ....” Lisienata cukup terkejut,
menatap beberapa roti dan kue hasil pembakarannya. Berpikir ‘mungkinkah mereka akan
memakannya?’ dalam hatinya.
“Hendra, Hendra!?” Jony bertanya kembali.
“Ya, Kek Jonjon!?”
“Kau yakin cukup hanya dengan ini bayaranmu
setiap bekerja di sini?” Jony berwajah khawatir, membungkus enam roti hangat
dengan kertas putih bersih.
“Ya, itu sudah lebih dari cukup untuk kami,
Kek!” Lisienata mengangguk pelan, berjalan cepat mendekati lelaki tua berperut
buncit.
“Kinerjamu amat sangat baik, melebihi
pegawai yang ada di sini. Kau giat bekerja. Jika kau ingin, aku bisa memberi
kau imbalan seperti pegawai tetap di sini.”
“Tolong jangan lakukan itu, Kek. Lebih baik
gunakan uang itu untuk mengembangkan usaha Kakek. Roti Kakek enak, malah amat
sangat enak. Maka tak heran jika orang-orang istana memesan roti kakek.”
“Dasar! Kau ini memang pandai bicara!” Jony
mulai memberikan rotinya.
Lisienata hanya tertawa kecil, menerima
roti tersebut. Lekas memasukkan ke dalam tas sederhananya. Raut wajah Jony langsung berubah, mulai
bertanya khawatir pada anak lelaki di hadapannya.
“Ba-bagaimana dengan kondisi ibumu?”
“Ibu sudah lebih baik, dia sekarang sudah
bisa makan sendiri. Tapi masih belum bisa berjalan,” senyum kecil Lisienata.
“Kuharap kau diberi kekuatan untuk ini,
Hendra. Jaga baik-baik anggota keluargamu satu-satunya itu.”
“Ya, akan kujaga ibu dengan nyawaku. Dia malaikatku!”
Lisienata menganggukkan kepala sangat cepat, berjalan meninggalkan toko.
Langsung berlari melewati kerumunan yang semakin ramai.
Bukan untuk pulang, ada pekerjaan lainnya
yang harus ia selesaikan. Menjaga toko sayuran dari wanita tua yang ia kenal.
Dengan lincah dia melewati kerumunan orang, terus berlari sambil memasang
senyuman indah di wajah.
Sesampainya di tempat tujuan, Lisienata
lekas menyapa wanita tua yang sedang duduk di samping barang dagangannya.
Berupa buah-buahan dan sayuran yang segar.
Wanita itu terlihat menutup mata, wajahnya
dipenuhi keriput. Benar-benar dimakan usia. Lebih tua dari kakek yang
sebelumnya Lisienata temui.
“Nek, saya sudah datang sekarang. Nenek
istirahat saja di dalam.” Lisienata menyentuh pundaknya, memberikan senyuman
hangat pada wanita lanjut usia itu.
“Uohh, Enda. Sudah datang yah,” wanita itu
mulai berdiri dengan bantuan Lisienata. Lelaki berambut hitam itu hanya
mengangguk pelan, tetap memberikan senyuman hangatnya.
Setelah mengantar sang pemiliki toko ke
dalam rumahnya. Lisienata lekas mengambil alih toko, berjualan berbagai
buah-buahan dan sayuran segar dengan teriakkan lantang.
Para pembeli datang saling bergantian,
membeli barang dagangannya. Dia tak pernah melepas senyuman ramahnya pada
pelanggan. Namanya sudah terkenal di daerah itu, bukan sebagai nama Lisienata.
Tapi Hendra. Itu nama yang dia pikirkan sendiri untuk berbaur dengan
masyarakat.
Tapi bukan berarti dia melupakan nama
pemberian dari wanita yang senantiasa mengasuhnya. Nama Lisienata benar-benar
terukir dalam hatinya. Karena bagaimanapun itu adalah nama pertama kali yang
dia dapatkan saat dia terlahir ke dunia. Pemberian dari wanita yang mengurusnya
hingga saat ini. Wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri, meski
wanita yang bersangkutan amat sangat enggan dipanggil olehnya seperti itu.
Satu jam, dua jam, sampai tiga jam terus
terlewat. Langit biru mulai berubah orange, layaknya jeruk masak yang berjajar
sebagai barang dagangan Lisienata. Orang-orang yang layaknya kumpulan semut
sebelumnya mulai menghilang, kembali ke kediamannya masing-masing. Sang Empress
dan putrinya sudah lama sampai di istana negaranya.
Meski jalanan sudah sepi, Lisienata tetap
berjualan. Sesekali dia membuka beberapa buku bacaan milik nenek pemilik toko.
Dia mengubur kebosanannya dengan membaca buku.
Meski bukan bacaan yang tepat untuk anak
laki-laki seumuran dengannya, dia tetap memberikan senyuman bahagia. Sungguh
senang mendapatkan hal baru dari apa yang ia baca.
“Oe hei ....” Gadis muda, berambut putih
dengan ujung merah muda berucap. Umurnya sepantaran dengannya. Sungguh sangat
rupawan, dengan gaun mewah layaknya putri sungguhan. Terlihat empat pengawal
berkumis lebat di samping kanan dan kirinya.
“Ah, Ya! Ada yang bisa saya bantu!?”
Lisienata menutup buku catatannya. Memasang wajah khawatir menatap calon
pelanggannya.
“Di sini jual Bunga Edelweiss!?” gadis itu
bertanya, berwajah penasaran menatap Lisienata.
“Eh, in-ini bukan toko bunga. Ini toko
sayur dan buah-buahan emm ....” Lisienata berpikir, menyentuh dagunya.
“Bagaimana aku memanggilmu? Adek, gadis kecil, atau
Kakak menawan?” lanjutnya Lisienata berwajah khawatir.
“Kau sopan yah, aku mungkin seumuran
denganmu. Namaku Lapis,” senyum Lapis memiringkan kepala
“Lapis, yah? Baiklah, Lapis.” Lisienata menyentuh dagu, menganggukkan kepala terlihat paham.
Mendengar hal itu Lapis dan para
pengawalnnya terkejut. Tidak
mengherankan, untuk pertama kalinya gadis itu mendapatkan panggilan langsung
berupa namanya, tanpa panggilan kehormatan seperti kata ‘Putri’.
“Dasar tidak sopan!! Berani sekali kau yang
hanya rakyat biasa memanggil beliau dengan–“ kesal salah satu pengawal
memberikan tatapan kemarahan pada Lisienata, akan tetapi.
“Diam, Gagan!” kesal Lapis menyanggah
pernyataannya. Membuat para pengawal lainnya mengurungkan niat untuk membela
sang putri.
“Ta-tapi
na-nama saya George, Putri,” khawatir pengawal yang dipanggil Gagan itu
dalam batinnya.
“Ka-kau gak tau aku?” tanya kembali Lapis,
memberikan senyuman lebar pada Lisienata.
“Kau Lapis, kan? Tentu saja aku tau kau,
kau baru saja memperkanalkan diri tadi.” Lisienata berwajah kebingungan,
membereskan beberapa sayuran yang berantakan.
“Em em em!! Aku Lapis,” Lapis menutup mata,
mulutnya benar-benar terbuka lebar. Entah kenapa dia terlihat amat sangat bahagia.
“Kenapa kau, Lapis?” Lisienata bertanya,
semakin khawatir wajahnya melihat gadis manis di hadapannya..
“Ya panggil aku seperti itu terus, Lapis,
hahaha.” Lapis mulai tertawa riang, Lisienata semakin berwajah khawatir.
Sungguh merasa keheranan dengan tingkat aneh gadis ceria di hadapannya.
“An-anu, di sini kami tidak jual bunga.
Lagipula bunga yang kamu maksud itu aku belum pernah dengar. Maaf, aku kurang
tau tentang masalah it –“
“Hei hei, emm ..., siapa namamu itu?” Lapis
bertanya, memotong pernyataan Lisienata.
“Hendra namaku. Kumohon Lapis dengarkan
pembicaraanku dulu,” Lisienata sedikit membuang nafas, menutup mata sesaat.
Benar-benar kerepotan dengan gadis di hadapannya.
“Hei, ingin jadi temanku– emm bukan, maksudku
jadilah temanku!! Aku menyukaimu!”
“Hah? Kenapa pembicaraan kita bisa jadi
langsung ke sana? Bagaimana dengan bunga yang kau maksud –“
“Mau tidak?!” Lapis kembali bertanya,
menyanggah pertanyaan Lisienata. Membuat Lisienata memasang wajah datar, cukup kesal
karena perkataanya yang terus terpotong oleh Lapis.
Lelaki berambut hitam itu masih belum
mengetahui, fakta akan Lapis sang putri yang dikagumi semua orang. Sang Putri
dari wanita yang telah menyegel kekuatannya. Maka dari itu, tak sedikitpun dia
bersikap sopan dan formal.
“Baiklah baiklah, tapi sebagai gantinya.
Belilah beberapa buah-buahan atau sayuran di toko in –“
“Aku beli semuany –“
“Gila! Jangan semuanya juga!” kesal
Lisienata langsung menyanggah perkataan Lapis.
“Ehh tapi kalau aku beli semuanya kan kamu
bakal untung besar?!” tanya Lapis, berwajah khawatir dan cukup terkejut melihat
ekspresi kesal Lisienata.
“Ini bukan tokokku, kalau kau beli
semuanya. Toko ini akan tutup untuk beberapa waktu, kembali buka setelah penen.
Kau pikir aku harus mencari makan darimana sampai saat itu tiba?”
“In-ini bukan tokomu?” Lapis melepas wajah
cerianya, berwajah khawatir menatap Lisienata.
“Bukan. Mustahil gelandangan sepertiku
memiliki toko seperti ini,” senyum kesal Lisienata menutup mata amat erat.
“....” Tak ada jawaban dari Lapis yang
masih memberikan tatapan penasaran pada Lisienata. Alisnya terangkat ke atas,
menunjukkan rasa keprihatinan.
“Jadi mau beli apa Lapis? Tapi jangan semua
....” Lisienata terdiam, berwajah khawatir dan ketakutan melihat Lapis yang hampir
menjatuhkan butiran air mata. Tapi gadis itu lekas mengusap air matanya dengan
sangat cepat.
“Tu-tunggu bodoh, kenapa malah menangis!?
Aku minta maaf kalau sudah membentakmu beberapa kali, oke!?”
“Bocah keparat! Berani sekali kau membuat Putri
menangis! Kematianmu masih belum cukup membayar dosamu ini!!” teriak kesal salah
satu pengawal. Dia benar-benar naik darah melihat majikannya seperti itu.
“Pu-putri!?” Lisienata melebarkan mata,
menatap ketakutan Lapis.
“Ya, dia adalah –” lanjut pengawal tersebut,
akan tetapi.
“Diam!!” Lapis menyanggah perkataanya
sangat keras, memunculkan aura mengerikan di sekitar. Membuat mereka
bergemetar, ketakutan menatap dirinya. Tak terkecuali Lisienata yang memberikan
tatapan penasarannya.
“Lupakan bunga yang kumaksud! Kemana orang
tuamu? Apa mereka tidak memperhatikanmu?” Lapis bertanya, menatap khawatir
Lisienata yang mulai tersadar dari rasa ketakutan.
Aura mengerikan yang dikeluarkan Lapis
terasa nyata, begitu familiar baginya. Bagaikan dia sangat sering merasakan
aura itu. Bagaikan aura yang pernah ia temui jauh di masa lalu.
Lisienata tetap menundukkan kepala tak bisa
menjawab. Mulutnya gagap, tak mampu berucap. Masih ketakutan karena aura
sebelumnya.
“Kedua orang tuannya sudah tak ada, dia
anak yatim piatu. Hanya wanita muda sakit-sakitan yang mengurus dirinya,”
wanita tua sang pemiliki toko keluar, memberikan senyuman kesedihan pada Lapis.
“Tak ada?” Lapis bergemetar, berwajah
ketakutan menutup mulutnya. Lapis berpikir, jika dia masih seumuran dengannya,
tapi dia sudah mendapatkan cobaan seberat itu.
“He-hei perlu bantuan? Aku akan membantumu,
kita –“
“Aku tidaklah lemah. Urus saja urusanmu
sendiri, aku bisa menjaga ibuku seorang diri,” Lisienata menjawab, kembali
mengembalikan pandangannya. Bersikap sekuat mungkin di hadapan gadis tersebut.
“....” Lapis terdiam, terkejut menatap
wajah Lisienata yang dipenuhi keyakinan. Detak jantungnya berdetak cepat untuk
sesaat, wajahnya memerah.
Dia mulai mengagumi anak lelaki di
hadapannya. Ingin seperti dia yang kuat seperti itu. Bukan dalam arti kekuatan
nyata, tapi itu jauh lebih penting dalam kehidupan. Kekuatan dalam hatinya,
memiliki rasa percaya diri untuk tidak menyerah pada takdir menyedihkan yang menimpanya.
***
Malam semakin menggelap, hanya ada
keheningan di sekitar Lisienata. Jalan setapak yang terawat rapih
dilewati oleh langkah kecilnya.
Dia berlari cepat melewati
rumah-rumah penduduk yang sangat menawan. Hampir seluruh bentuk rumahnya sama.
Ya, dia melewai kawasan penduduk paling terpinggir. Tapi meski paling
terpinggir, orang-orang yang tinggal di sana dipenuhi oleh kecukupan yang
lebih.
Tidak
aneh, itu ulah sang pahlawan yang memberikan bantuan pada seluruh umat manusia
di seluruh penjuru benua. Maka tak ada lagi yang tersiksa karena berada di
jurang kemiskinan.
Ya
tak ada lagi, kecuali dua orang.
Lisienata
berjalan melewati jembatan yang menuju pantai tempat pembuangan sampah akhir.
Di sana terlihat gubuk kecil yang tak enak dipandang. Bersatu dengan tumpukan
sampah di sekitarnya.
Anak
kecil itu membuka pintu, berjalan memasuki gubuk tersebut.
“Aku
pulang, Nyonya,” pelan Lisienata berucap, melepas sendal kotor dan berjalan
melewati tikar yang menjadi alas dalam rumah gubuk itu.
Tikarnya
pun sudah banyak berlubang, tak aneh lagi karena bagaimanapun tikar itu juga
berasal dari tumpukan sampah yang ditemukan wanita yang mengurus Lisienata.
Lisienata
berjalan mendekati tempat tidur berukuran kecil di ujung ruangan. Tersenyum
bahagia melihat dia yang dikagumi tertidur dan menutup mata.
Benar-benar
suatu keajaiban bagi dia bisa menemukan kasur itu di tempat sampah. Karena
biasanya wanita itu selalu tertidur di atas kursi panjang di ruang tengah gubuk.
Lisienata
melepas tas, mengeluarkan isi tas yang ia bawa. Menyimpan seluruh makanan yang
ia kumpulkan seharian di dekatnya.
Ketika
dia ingin melangkah pergi, tangan kanan lesu langsung memegang helaian
pakainnya. Membuat Lisienata terkejut, lekas mengembalikkan pandangan pada
wanita yang paling ia kagumi itu.
“Nyonya
....?”
“Makan,
kau juga.” Wanita itu, Zaxia. Membuka mata letihnya. Wajahnya benar-benar
terlihat pucat, banyak organ dalamnya yang hancur karena pertarungan di masa lalu.
Dia
mulai bangun, duduk di atas kasur. Membuat Lisienata berwajah khawatir,
ketakutan melihat dia ingin beranjak dari kasur.
“Lisienata,
berapa umurmu sekarang?” Zaxia bertanya dengan nada pelan, bahkan untuk
bersuara keras pun dia sudah kesulitan.
“Del-delapan
tahun, Nyonya.” Lisienata menundukkan kepala, hampir menitiskan air mata. Dia
mulai mengingat masa lalunya, membenci dirinya yang dulu masih tak menyukai
Zaxia, tak pernah menghormatinya sedikitpun.
“Dengarkan aku, aku sudah mengurusmu sampai empat tahun. Kau telah membayar hutangmu selama empat tahun
juga. Ini adalah hari ulang tahunmu yang ke sembilan. Jadi dengan kata lain –“
“Hentikan
....” Lisienata menggeram, mengeluarkan air matanya. Tetap menundukkan kepala.
“Aku
bukanlah anak kandungmu. Itu akan terus berlaku, takkan pernah berubah untuk
selama-lamanya. Kau takkan pernah bisa menjadi ibu kandungku.”
“....”Zaxia
terdiam, tak menjawab pernyataan Lisienata. Masih mendengarkan dia yang belum
menyelesaikan penjelasannya.
“Kini aku sudah sedikit dewasa, mengerti keadaan. Empat
tahun kau mengurusku yang tak diinginkan siapapun, bahkan oleh kedua orang
tuaku sekalipun. Kau menerima segalanya yang ada dalam diriku, termasuk rasa sakit dari kekuatanku yang tak terkendali.”
“.....” Zaxia tetap diam, memberikan tatapan pada Lisienata.
“Bodohnya
diriku yang saat itu masih belum menyadarinya. Setelah mereka datang ingin
membunuhku, aku sadar jika betapa tak diinginkannya aku oleh dunia ini.”
“Lisienata
....,” Zaxia masih memberikan tatapan pada Lisienata yang menggeram. Tak menunjukkan ekspresi apapun, baik kekhawatiran, cemas, amarah, kesedihan, apalagi kebahagiaan. Dia berusaha keras menahan emosinya. Keras kepala untuk memainkan perannya.
“Kenapa
kau melindungiku saat itu? Jika saja kau membiarkan mereka melakukan apa yang
mereka mau. Kau takkan seperti ini yang terlihat menyedihkan. Kau takkan
diasingkan seperti ini! Dijuluki sebagai pengkhianat dunia dan akhirat! Dijuluki
sebagai penyihir yang mengharapkan kehancuran dun–“
“Aku
hanya tak ingin mereka menyentuh budakku. Kau milikku selama empat tahun, kau
hanyalah alat bagiku. Itulah bayaran dari aku yang mengurusmu dari bayi,” Zaxia menutup mata sesaat, memberikan senyuman kecil yang cukup arogan.
“Budak,
alat, yah ...?” nada suara Lisienata semakin terdengar lebih berat. Dia semakin terlihat marah.
“Ya,
aku menganggapmu seperti itu. Tak lebih dan kurang. Jangan terlalu percaya
diri, Anak Buangan,” senyum arogan
Zaxia, memberikan tatapan tajam pada Lisienata.
“Ya, tapi itu hanyalah masa lalu. Sekarang empat tahun kau sebagai budakku itu sudah terlewat. Kau sudah bebas, kau sudah merdeka. Jadi tak perlu terlibat lagi denganku, tinggalkan aku. Sesungguhnya aku amat sangat membencimu, aku akan mengusirmu dari sini sekarang
–“
“Jangan
bercanda!!” teriak Lisienata amat keras memotong perkataan, membuat Zaxia
terkejut ketakutan melihat ekspresi wajahnya.
“Setelah
semua yang kau lakukan padaku!? Setelah kau mengurusku dan melindungiku selama
ini, kau ingin aku meninggalkanmu!? Perkataanmu tadi itu seolah mengatakan,
‘Pergilah dari sini, cari kebahagiaanmu sendiri, kau tak perlu mengurus wanita
renta sepertiku.’”
“....”
Zaxia masih melebarkan matanya, menatap ketakutan Lisienata yang sangat marah.
“Anggap
aku seperti apapun yang kau mau!! Mau kau anggap aku menjadi budak, alat,
bahkan hanya kotoran sekalipun!!
Tapi
biar aku mengatakan ini, aku akan berada di sampingmu meski dunia dan akhirat
mengutuk segala yang ada pada dirimu, meski Dewa mengacungkan senjatanya untuk
memburumu. Kulawan mereka yang mengusikmu, kubinasakan mereka yang melukaimu. Keputusanku
sekarang bukanlah milikmu, ini hakku bukan hakmu. “ Lisienata memberikan
tatapan penuh kemarahan pada Zaxia, matanya memerah bercampur dengan air mata
yang ia keluarkan.
Zaxia
menundukkan kepala, tubuhnya bergemetar. Dia menyembunyikan wajahn– matanya
yang berair. Tak pernah ingin anak lelaki yang dia anggap putranya melihat
dirinya seperti itu.
“Pergi
dari sini, tidurlah ....” Zaxia menggeram mulai menjatuhkan air mata hingga
membasahi selimbutnya.
Lisienata
memberikan senyuman kecil melihatnya yang seperti itu. Bahagia, hatinya amat
sangat bahagia. Dia mulai membalikkan badan, berjalan menuju pintu keluar. Kembali memasang wajah serius
yang dipenuhi keyakinan amat dalam. Menatap langit luas.
Perkataan
sebelumnya untuk Zaxia bukanlah sebuah kebohongan, bukan sebuah kepalsuan. Dia
benar-benar menyayangi wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu. Serius
ingin mendeklarasikan perang pada seluruh mahluk jika itu demi melindungi
ibunya.
***
Selalu menunggu cerita ini, utk basahin softlens
ReplyDeleteHiks....air mata q,,gc mw berhenti
ReplyDelete