Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Bab III
Hardi
Hardi
28 April 2022, langit
gelap kembali datang. Dunia terlihat sedang berduka, membuat beberapa orang
mengeluh tak senang.
Hanya dirinya yang
tersenyum menatap langit. Hanya dia yang menyukai langit menyedihkan seperti
itu.
Lelaki berambut hitam
ikal dan berkulit coklat, mulai menompang dagu, menutup mata perlahan. Dia tertidur kelelahan, tanpa disadarinya sendiri.
“Bahkan saat ujian juga
dia tertidur ...!?”
“Yang benar saja. Apa
dia niat sekolah?”
“Ssst, diamlah kalian.
Bagaimana jika orang itu dengar ...!”
Bisikan para siswa yang
cukup keras membangunkan dia. Tapi bukan hanya itu saja yang membuatnya bangun.
Ada pukulan cukup keras dari dalam perutnya.
Dia kelaparan, mulai
berdiri mengambil lembar jawabannya. Memasang wajah datar, membuat suasana sunyi
yang memenuhi ruangan.
Para siswa berwajah
khawatir, membuang wajah darinya. Bu Lina, guru pengawas mereka menundukkan
kepala. Berwajah khawatir ketakutan.
Dia siswa kedua yang
menyelesaikan ujian di kelas itu. Tentu bukan berarti yang tercepat akan
mendapatkan nilai sempurna.
“Ma-maaf, Hardi? Ap-apa
kau yakin ingin mengumpulkan kertas jawabanmu? Kamu hanya mengerjakan dua
soal.” Ibu Lina berwajah khawatir. Berbicara dan menghentikan langkahnya.
Lelaki itu sedikit menolehkan kepala, berbicara cukup pelan.
“Lalu kenapa?” Suaranya
lebih dari cukup untuk membuat suasana tegang datang. Para siswa menundukkan
kepala, beberapa ada yang menatap Bu Lina cukup khawatir.
Kedua mata Ibu Lina
tertutup rapat, kepalanya sedikit tertunduk ke bawah. “Ti-tidak apa-apa. Ib-ibu
hanya bertanya.” Wanita berumur 20 tahunan itu ketakutan.
Tanpa sepatah katapun,
dia kembali berjalan keluar kelas. Memasang wajah datar, tak peduli dengan
tatapan para siswa.
Kelengangan lorong
terasa. Itu tak mengherankan, Hardi terlalu cepat meninggalkan kelas. Sebelum
ke kantin, dia berjalan mengelilingi sekolah. Ingin berjalan-jalan sambil
menatap hujan yang semakin deras dengan senyuman.
“Maaf, Nek!! Tidak
bisa, penjual seperti Nenek tidak diperkenankan masuk ke sekolah ini!”
“Tapi Pak–“
“Tidak ada tapi-tapian,
sekarang Nenek keluar dari lingkungan sekolah ini!!”
Pertikaian antara
satpam dan wanita tua menarik perhatian lelaki berwajah seram itu. Dia berjalan
mendekati mereka. Kembali memasang wajah datar.
“Setidaknya biarkan dia
di sini sampai hujan reda.” Hardi berucap, menatap rendah satpam. Auranya cukup
kuat, tampangnya memang menakutkan dan suasana berat langsung datang. Dia
membuat keduanya berwajah khawatir ketakutan.
“Tcih, da-dasar anak brengsek!”
geram satpam cukup pelan, terlihat tak senang
melirik sinis Hardi.
“Setelah hujan reda,
kau harus pergi, Nek!!” lanjut Satpam itu, berjalan
pergi meninggalkan mereka.
Suasana canggung
terasa. Nenek yang membawa keresek hitam besar mulai melirik khawatir Hardi.
Dia masih terlihat ketakutan.
“Pas-pasti kau merasa
risih, karena wanita tua sepertiku berada di sekolah ini.” Nenek itu tersenyum
sedih, mengeluh pelan, serta menundukkan kepala sesaat. Dia duduk di tempat
duduk yang tersedia di lorong sekolah.
“Jangan bilang kalau
kau tak pantas menginjakkan kaki di sekolah ini, ataupun yang lainnya. Kau tak bersalah, kau hanya
berniat bertahan hidup dengan menjual barang-barangmu itu.” Hardi ikut duduk di
sebelahnya. Sesaat Nenek itu terkejut, menatap penasaran Hardi yang membuang
wajah.
“Kau lebih baik dari
peminta-minta. Kau lebih mulia karena berusaha dan bekerja keras untuk
menyambung hidupmu. Meski banyak halangan seperti tadi, kau tetap kuat dan tak
berniat menjadi peminta-minta. Aku tak membenci orang sepertimu.” Nenek itu
tetap menatap Hardi penasaran, kedua tangannya bergemetar. Hatinya terasa
sakit, tersentuh mendengar pernyataanya.
“Makanya, jangan
mengeluh seperti itu. Meski usiamu sudah senja, kau tetap bekerja keras. Kau
salah satu dari beberapa orang yang kuat, orang yang berharga, dan orang yang
pantas dilindungi.” Hardi tersenyum kecil menutup mata sesaat.
“Astaga, tak kusangka.
Sungguh maafkan aku. Hanya karena wajah dan lukamu, aku sempat menganggapmu
lelaki brengsek. Lelaki yang dijuluki preman di sekolah ini.”
“Tapi kenyataannya
seperti itu. Aku memang preman di sekolah ini. Para siswa, guru, bahkan satpam
tadi geram melihatku,” Hardi tertawa
kecil, masih menutup matanya.
Nenek tersenyum melihat
Hardi. Mengelus pelan rambut kritingnya. Hardi cukup terkejut, melirik penasaran
Nenek itu.
“Kau bukanlah orang
brengsek. Kau adalah orang baik. Bukan dari luar, tapi dalam hatimu jika kau
adalah orang yang welas asih.”
“Benarkah ...? Tapi terima kasih, aku tidak bisa berhenti di sini. Aku sudah memainkan
peran ini.”
“Apa maksudmu?” Sang Nenek bertanya penasaran.
“Tidak, bukan apa-apa.
Yang lebih penting, berapa harga pulpen yang nenek jual itu?”
“Ah, ini? Nenek
menjualnya dengan harga empat ribu.” Sang Nenek mulai membuka kantong keresek,
mengambil pulpen otomatis tinta hitam.
“Aku ingin membelinya,
Nek. Kebetulan pulpenku tadi hilang.” Hardi membuka tangan kanan, meminta
pulpen itu. Si Nenek memberikan pulpennya.
“Empat ribu, kan?”
senyum Hardi mengambil uang dalam saku. Memberikannya pada wanita lanjut usia
itu.
“Ah tunggu? Kau sengaja
melakukan ini, kan? Tak apa kau bisa mengambil salah satu pulpen yang kujual.
Kau tak perlu membayar.” Si Nenek mulai sadar akan bantuan tak langsung dari Hardi.
Dia menolak lembut, tak ingin menerima pemberian lelaki yang dijuluki preman
itu.
“Ambilah, Nek! Kau bisa
rugi jika melakukan ini. Lagipula aku memang benar-benar membutuhkannya. Anggap
saja ini seperti transaksi jual beli biasa.” Hardi memaksa Si Nenek untuk
menerima uangnya. Dia tersenyum kecil, mulai berdiri, dan berjalan
meninggalkannya.
“Tapi, Nak!” Si Nenek
mengeluarkan suaranya, berniat menghentikan langkah Si Bajingan. Tapi lelaki
bertubuh besar itu tetap berjalan, menoleh dan tersenyum kecil padanya.
“Setelah hujan reda,
Nenek harus pergi dari sini. Aku tak mau melihat Nenek dikasari seperti tadi.”
Si Nenek hanya
menganggukan kepala, tersenyum melihat dia yang berjalan pergi meninggalkannya.
Tak lama setelah
pertemuannya dengan nenek penjual pulpen, Hardi akhirnya sampai di kantin
sekolah. Ruangan besar dengan arsitektur yang menganggumkan.
Kata wah pasti diucapkan oleh orang-orang
yang baru pertama kali berkunjung. Suasana terasa ramai dan damai. Candaan dan hinaan ringan sering kali
terdengar dalam kantin itu. Mereka tertawa bersama, beristirahat dan
menenangkan pikiran dari ujian yang menguras otak beberapa menit lalu. Tapi.
Tap.
Langkah pertamanya di
kantin, langsung merubah suasana. Menghancurkan kegembiraan. Menghilangkan
kedamaian mereka. Melenyapkan
segala suka cita yang ada.
Seluruh penghuni kantin
menundukkan kepala, membuang wajah darinya. Hanya sedikit orang yang menatapnya
cukup khawatir dan marah.
Suasana lengang
menyelimuti kantin. Ketegangan juga mulai datang ketika dia terus melangkahkan
kakinya. Semua orang ketakutan, berwajah khawatir hanya karena kehadirannya.
Tak ada yang berani
menyapa, berjalan, atau sekedar berucap di sekitarnya. Semua orang memberikan
jalan pada dia yang ditakuti segalanya.
Sang Bajingan. Julukan itu sudah
melekat dalam dirinya. Dia tak bisa menyalahkan mereka. Dia tak bisa marah pada
orang-orang yang memberikan julukan itu padanya. Dia pantas mendapatkannya.
Karena masa lalunya.
Dia mengutuk dirinya
sendiri, karena perbuatan tak termaafkannya.
Setelah sampai di meja kasir, lelaki bertampang
seram itu mulai memesan sebuah roti coklat pada pegawai kantin. Pegawai
kantin itu masih muda, tubuhnya bergemetar karena sosok Hardi di hadapannya.
Namun sayang, uang
Hardi tidak cukup. Dia lupa jika sebagian uangnya sudah dipakai untuk membeli
pulpen tadi.
Alhasil, dia hanya bisa
mengatakan. “Aku hanya punya seribu.”
Tanpa berpikir panjang,
pegawai kantin itu lekas memberikan roti coklat, mengambil uangnya. Tersenyum
paksa dan membiarkan dia yang kekurangan uang, mendapatkan makanannya.
Dia melakukan itu bukan
karena baik, hatinya bersih, atau merasa
iba. Takut, mungkin lebih tepatnya karena hal itu. Dia takut jika Hardi
melakukan hal aneh-aneh jika keinginannya
tak terpenuhi.
Para siswa saling
berbisik, melirik ketakutan Hardi. Semakin berjalan menjauhi dia, memberikan
ruang bagi dia yang melangkah
pergi meninggalkan kantin.
Hanya satu keinginan
semua siswa di kantin itu. Ingin segera Sang Bajingan pergi meninggalkan
kantin.
Sang Bajingan sampai
tepat di gerbang kantin. Dia berpapasan dengan gadis yang bernasib seperti
dirinya, cukup dibenci oleh para siswa. Annisa.
Hardi tak membencinya,
berbeda dengan Annisa sendiri. Dia sungguh melirik sinis Hardi. Hanya dia yang
berani memberikan tatapan seperti itu padanya.
Lelaki berkulit cokelat
itu menghiraukan tatapannya, terus berjalan meninggalkan kantin.
Saat dia di ujung
lorong kaca kantin, Hardi sedikit melirik Annisa. Melihat pertengkarannya
dengan Rina, Tuan Putri sekolah mereka. Dia tersenyum kecil, menutup mata
sesaat, dan mulai berucap sambil melangkah pergi meninggalkan kantin lebih jauh.
“Sampai kapan mereka
mau seperti itu?”
***
Ketukan pintu terdengar cukup keras. Membuat seluruh
penghuni rumah menoleh ke arah pintu keluar, memberikan tatapan penasaran.
Dua gadis kecil,
berumur 6 tahun lekas menatap satu sama lain. Memberikan isyarat untuk
membukakan pintu.
Penampilan dua gadis
kecil itu sangat mirip. Baik mata, rambut, bentuk wajah, dan fisik tubuh.
Mereka juga memakai pakaian Couple
yang terlihat sangat manis.
Baju One Piece merah muda dan putih dengan
nama mereka masing-masing di dada. Vera dan Vira.
Hanya gaya rambut saja
yang berbeda dari penampilan mereka. Dua gadis itu sungguh terlihat sangat
menggemaskan.
“Vivi yang buka.” Gadis
kecil dengan rambut kuncir kuda mengeluarkan suara, mengkerutkan dahi, terus
menatap lawan bicara yang sangat mirip dengannya.
“Emm ..., Vera yang
buka.” Gadis kecil lainnya yang berambut panjang, menggelengkan pelan kepala.
Menyanggah pernyataan sang kembaran. Dia tersenyum khawatir menunjuk lawan
bicara.
“Itu curang! Vera udah
buka pintu kemarin lusa. Sekarang giliran Vivi!” Vera mulai berdiri dari kursi,
terlihat marah pada kembarannya.
“Tapi Vivi gak mau
....“ Vivi memasang wajah khawatir. Membuang wajah sambil memakan kentang
gorengnya.
“Vivi ....” Vera hanya
memasang wajah sedih, terlihat ingin menangis menatap saudari kembarnya.
Ketukan pintu kembali
terdengar. Membuat si gadis kembar saling menatap satu sama lain kembali.
“Vivi, nanti aku
bilangin ke Kakak!” Vera mulai mengeluarkan sedikit air mata. Menunjuk Vivi
saudari kembarnya.
Gadis yang menjadi
lawan bicaranya, seketika berdiri. Berwajah khawatir ketakutan melihat dia yang
ingin menangis.
“Iya iya iya! Vivi yang
bukain pintu!” Vivi kecil berjalan pelan menuju pintu keluar. Mengendap-ngendap
dengan langkah mungilnya.
Vera juga ikut berjalan
di belakangnya. Sesaat, Vivi menolehkan kepala, melihat Vera yang memegang rok
merah mudanya.
Butiran kecil air mata
masih terlihat dari sisi mata Vera. Di tersenyum kecil melihat gadis di
depannya. Vivi tersenyum, mengusap pelan kepala gadis berambut ponytail itu.
Sudah terlihat jelas mana yang berperan sebagai kakak dan adik.
“Siapa di luar?
Pencuri?” Pintu masih tertutup rapat. Vivi berbicara di balik pintu itu untuk
memastikan keselamatan dia dan saudarinya. Kakak tertuanya memperingatkan dia
untuk berhati-hati dengan orang asing yang berkunjung ke rumahnya.
“Apa ini kediaman Wafa
Sara Agustin?” suaranya terdengar berat, cukup membuat tubuh si kembar
bergemetar ketakutan.
“Orang jahat ...,”Vera
semakin memegang rok kakak kembarnya. Vivi tersenyum kecil melirik adiknya. Dia
kembali berbicara dengan nada lebih keras.
“Maaf atas perkataan
adikku! Siapa anda ini? Ada keperluan apa anda mencari kakak perempuan kami?”
“Saya Hardi, teman
sekelas kakakmu. Saya hanya ingin memberikan buku catatannya yang ketinggalan.”
Hardi mengeluarkan buku catatan berwarna coklat.
“Ah, begitu. Maaf atas
ketidaksopanan kami!” Vivi mulai membuka pintu. Melihat dia yang sudah cukup
lama berdiri di depan pintu.
“Vivi ....” Vera
semakin terlihat ketakutan. Tubuhnya bergemetar. Matanya semakin berair melihat
sosok Hardi yang menakutkan.
Sedangkan Vivi hanya
tersenyum khawatir, menguatkan diri. Tapi tidak dapat dipungkiri jika
jantungnya berdetak cepat.
Tak heran, lelaki di
hadapannya memang terlihat tak enak dilihat. Selain wajahnya yang seram, bekas
luka bakar di tubuh bagian kirinya semakin membuat kedua gadis itu merinding,
selangkah berjalan mundur. Amat
sangat ketakutan.
“Kalian pasti takut
yah, maaf.” Hardi mulai jongkok di hadapan mereka. Tersenyum kecil menutup mata
sesaat. Merasa bersalah.
Melihat hal itu, Vivi
seketika berbalik, memegang bahu adik kembarnya. “Vera, kita udah bertindak gak
sopan lagi tau! Kata Kakak, jangan nilai orang dari penampilannya!”
Vera menganggukkan
kepala, menghapus air matanya. Dia tersenyum menguatkan diri, menyambut tamu di
hadapannya.
“Silahkan masuk, Kak Hardi.”
“Terima kasih, tapi aku
di sini saja. Lagipula aku hanya ingin memberikan buku catatan ini.” Hardi
memberikan buku catatan pada Vivi. Vivi menerimanya, tersenyum lebar dan mulai
berbicara.
“Kakak ingin minum?
Kakak ingin makan? Kami punya makanan. Biar Vera yang ambil jika Kakak mau.”
“Hee, kenapa Vera?”
cemberut Vera. Tapi langsung menganggukkan kepalanya amat cepat ketika
mendapatkan lirikan sinis dari kakak kembarnya.
“Tidak apa, tak perlu
repot-repot.” Hardi tertawa kecil melihat tingkat si kembar yang menggemaskan.
Vira dan Vera
melebarkan mata, mulut mereka sedikit terbuka. Terkejut melihat dia yang tertawa.
“Kakak lebih baik
seperti itu! Terlihat lebih keren!” Vera tersenyum lebar, menunjuk wajah Hardi.
“Eh?”
“Aku juga setuju dengan
Vera. Memang benar Kakak tidak tampan, tapi alangkah baiknya jika memasang
wajah ceria seperti itu. Jika dipikir-pikir Kakak itu tidak terlalu
menakutkan.” Vivi juga tersenyum padanya. Hardi yang masih memasang wajah
terkejut mulai tersenyum dan bertanya pada mereka berdua.
“Siapa nama kalian
berdua?”
“Vira Dinda Agustin,”
“Vera Dinda Agustin,”
senyum Vivi dan Vera pada Hardi. Lelaki berambut coklat itu mulai duduk di atas
lantai sambil berkata.
“Kalian akan menjadi
gadis rupawan di masa depan, Vira, Vera. Kakak harap kalian tetap memiliki
kebaikan seperti ini sampai saat itu tiba.”
“Ma-masuklah, Kak!”
Vera memasang wajah khawatir menarik tangan kiri Hardi.
“Benar, kenapa duduk di
sini!!” Vivi juga ikut menarik tangan kanan Hardi. Memasang wajah yang sama
seperti adik kembarnya.
Mereka merasa bersalah
membiarkan tamu duduk di depan pintu seperti itu.
Dengan tarikan paksa
dua gadis kecil itu, Hardi tak bisa berkutik. Alhasil dia memasuki rumah teman
sekelasnya, Wafa.
Rumahnya terlihat kecil
dan sederhana, tapi terkesan mewah karena perabotannya yang berkelas. Tak ada
satupun tempat yang percuma. Tiap ruangannya tak ada satupun yang sempit dan
menghalangi jalan.
“Silahkan duduk,” Vera
tersenyum, mempersilahkan duduk Hardi di atas sofa berwarna hijau. Terasa empuk
untuk diduduki.
“Ya, terima kasih,”
ucap Hardi, membalas senyumannya. Suasana terasa damai, entah kenapa si kembar tertawa kecil menutup mata.
Terlihat senang karena kehadiran lelaki menyeramkan itu.
“Kemana orang tua
kalian?” Hardi mulai bertanya, menatap mereka yang masih tertawa kecil.
“Ayah ada di Sydney,
Australia. Dia bekerja di sana.” Vivi menjawab.
“Sedangkan ibu sudah
pergi mendahului kami untuk bertemu Tuhan,” Vera menjawab, tersenyum bahagia.
Tak ada raut kesedihan dari si kembar.
Sesaat, Hardi terkejut
melebarkan mata. Hatinya terasa sakit menatap dua gadis kecil yang sudah
ditinggal pergi ibunya.
Tapi setelah itu, dia
menutup mata, tersenyum bangga melihat mereka yang tetap tegar. Dia kembali
mengusap pelan rambut mereka.
“Hei, ingin membantu
Kakak perempuan kalian?”
“Kak Wafa?” Vira dan
Vera saling melihat satu sama lain. Sama-sama memasang wajah kebingungan.
“Apa Kakak dalam
kesusahan?”
“Apa Kakak terjebak
dalam masalah?”
Tanya keduanya
bersamaan menatap Hardi. Wajah mereka terlihat khawatir ketakutan.
“Vira, Vera, apa Kakak
kalian orangnya memang pemalu?” Hardi bertanya, melirik kedua gadis kecil yang
duduk di samping kiri dan kanannya.
“Kak Wafa memang
pemalu, khususnya sama orang yang tak ia kenali. Iya kan, Vera?”
“Em em!” Vera
menganggukkan kepala. Membenarkan pernyataan Sang Kakak.
“Baiklah, sebenarnya kakak
kalian itu kesulitan dalam mencari teman di kelas. Dia terkadang malu dan
canggung untuk berinteraksi dengan temannya.
Maka dari itu aku punya
solusi untuk membantunya. Tapi aku membutuhkan kalian agar rencana ini
berhasil,” senyum lebar Hardi melirik kembali si kembar.
“Kami akan membantu!!
Katakan!!” teriak keduanya, tersenyum bahagia menatap lelaki seram itu. Mereka
terlihat sangat antusias.
“Baik baik, tenang.
Sabar sedikit, oke?”
“Dengar yah, sebetulnya
Kakak ini cukup populer di sekolah. Banyak gadis-gadis yang mendekati Kakak.” Hardi
tersenyum bangga, menutup matanya. Dia sedikit mengangkat kepalanya ke atas.
“Eh, masa Kakak
populer. Tapi wajah Kakak jelek tau,” Vera mengembungkan pipi.
“Vera itu gak sopan!”
Vivi memasang wajah khawatir melirik Hardi.
“Hahaha, kau memang
anak yang jujur yah, Vera. Tapi itu memang kebenaran, tidak apa-apa.”
“Tapi sebaliknya, kau pandai menjaga
perasaan orang lain, yah?” lanjut Hardi melirik Vivi yang mulai memberikan
tatapan kesal pada adik kembarnya.
“Tapi gak semua hal
dinilai dari penampilan doang, itu yang dikatakan Kak Wafa dan Ayah. Asal
hatinya bersih, itu lebih baik meski penampilannya tak enak dilihat.” Vivi
terlihat khawatir menatap Hardi.
“Vira memang tak
mengenal Kak Hardi cukup lama. Tapi kupikir, Kakak termasuk dalam salah satunya,”
lanjutnya.
“Astaga, apa kamu benar-benar
gadis berumur tujuh tahun? Pola berpikirmu sungguh berbeda jauh dengan adikmu,
Vira.”
“Jangan terlalu memujiku,
Kak. Jadi apa rencana Kakak?”
“Ketika Kakak kalian
pulang, tolong katakan jika kalian mendapatkan tatapan mencurigakan dariku saat
keluar rumah. Kalian juga harus berpura-pura tidak mengenaliku, sebutkan
ciri-ciri tubuhku yang jelas saja.” Hardi menjelaskan.
Vira dan Vera
mengangguk perlahan. Tapi dari raut wajah, mereka masih belum mengerti dan
memasang ekspresi penasaran.
“Vera gak ngerti.” Gadis kecil bermata
coklat caramel itu mulai berucap. Terlihat khawatir melirik kakak kembarnya. “Vivi
juga.” Vira tersenyum kecil memejamkan mata.
Melihat hal itu, Hardi
tersenyum kembali mengusap kepala mereka. Mulai berucap, menjelaskan lebih
detail.
“Wafa sangat menyayangi kalian, aku
tahu itu. Dia takkan ragu, akan bertanya padaku yang cukup populer untuk
menanyakan alasanku menatap kalian. Secara tidak langsung setelah dia
mendekatiku, dia akan mendapatkan banyak teman perempuan. Mereka akan bertanya
padanya apa hubungannya denganku.”
“Dan tanpa disadari,
Kak Wafa sudah mendapatkan teman banyak,” Vira terlihat paham, tersenyum
bahagia menatap Hardi.
“Ya. Tolong bantu aku
yah, maka nantikan saja hadiah saat Kakak kalian membawa teman.”
“Tapi Vera ingin
hadiahnya sekarang,” Vera bergumam pelan, terlihat khawatir menundukkan kepala.
“Aku ada pulpen baru. Vera
bisa mengambilnya jika mau.” Hardi mengeluarkan pulpen yang baru saja dibelinya
tadi. Memberikan pada gadis kecil di samping kanan. Vera tersenyum lebar,
matanya berbinar-binar. Dia menerima pulpen itu dengan riang gembira.
“Terima kasih, Kak!”
Vira menarik lengan
baju Hardi. Hardi berbalik, menatap si gadis kembar lainnya. Dia membalas
senyuman Vira.
“Terima kasih sudah
memanjakkan adikku, dan sudah mebuat rencana ini untuk Kakak kami. Kini aku
yakin Kakak adalah orang yang baik. Kumohon kerja samanya, agar rencana ini
bisa berjalan dengan lancar,” Vera menundukkan
kepala, sungguh terlihat hormat pada lelaki yang sebelumnya ia takuti itu.
“Ya, mohon kerja
samanya!” Hardi tersenyum lebar, menutup matanya. Mengusap pelan kepala gadis berambut panjang itu.
***
6 Mei 2022, langit masih terlihat cukup gelap. Matahari
hanya menunjukkan sedikit sinarnya. Suhu udara masih terasa dingin.
Para siswa belum banyak
yang datang, itu tak mengherankan. Jam dinding masih menunjukkan angka enam
pagi. Hanya beberapa petugas kebersihan yang terlihat. Sedikit dan bisa
dihitung jari.
Wafa tertunduk menangis
di hadapan meja Annisa. Spidol hitam terlihat ia pegang dengan kedua tangannya
yang bergemetar ketakutan. Kata maaf terus ia ucapkan secara berulang. Dia
sungguh merasa bersalah atas perbuatannya.
Coretan tak mengenakkan
di atas bangku Annisa, itu adalah perbuatannya. Tak ada
pilihan lain, tak ada jalan lain. Dia terusudutkan dan tak bisa berbuat
apa-apa. Dia hanya seorang gadis pemalu yang tak berdaya.
Jika bukan karena
ancaman Sang Bajingan, dia takkan pernah melakukan perbuatan menjijikan itu.
Ini kedua kalinya dia melakukan hal tersebut, hanya demi keselamatan kedua adik
kembarnya.
“Maaf, ini sungguh yang
terakhir.” Gadis yang tersudutkan itu mulai berjalan pergi meninggalkan kelas,
tetap mengeluarkan air matanya.
Ini janji dari Sang
Bajingan. Asal Wafa mengikuti seluruh perintah terakhirnya, dia takkan
menggangu kedua adiknya lagi.
Wafa, seorang siswi yang sulit untuk datang pagi. Jadi
dia sungguh berusaha bangun lebih pagi untuk mengikuti perintah Hardi. Entah
kenapa Hardi menyuruh gadis pemalu itu untuk menjalankan aksinya di pagi hari,
di saat kondisi sekolah sedang sepi.
Dan entah kebetulan atau tidak, lelaki populer seperti Hardi yakni Rizky juga ada di sana.
Terkejut dengan kedua bola mata yang melebar melihat perbuatan Wafa. Keringat hasil olahraga paginya menetes melewati mulut
yang terbuka cukup lebar.
Lepas memasang wajah
terkejut, lelaki berparas tampan itu
mengkerutkan dahi. Bertanya pada dirinya sendiri.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Hari ini adalah puncak
perselisihan antara Annisa dan Rina.
Coretan meja di masing-masing menjadi pemicu meledaknya kemarahan mereka.
Itu semua perbuatan
Wafa. Tapi dirinya tak bersalah. Dia hanya diancam oleh lelaki paling brensek
di sekolahnya.
Suasana tegang sungguh
terasa ketika perdebatan mereka, Annisa dan Wafa. Semua orang saling menatap
khawatir, melirik keduanya yang bertengkar. Tak ada yang berani menghentikan
keduanya.
Hampir seluruh siswa
berada di dalam dan sekitar kelas mereka. Melihat puncak pertengkaran yang disebabkan
oleh coretan Wafa. Ya, hampir semuanya, kecuali Hardi yang tersenyum bersembunyi
di balik dinding ruangan tegang itu.
Dia tertawa kecil
mendengar beberapa perkataan Annisa dan Rina. Khususnya Rina, ada perasaan
berbeda padanya sejak lama. Sejak kecil, meski gadis yang bersangkutan telah
melupakannya, telah memandang sebelah mata dirinya. Dia tetap memperhatikannya.
“Itu dirimu, kan!!” teriakkan
itu terdengar oleh gendang telinganya. Dia cukup terkejut melebarkan mata.
Tapi setelah itu, Hardi
tersenyum dengan kedua tangan bergemetar. Mulai melepaskan punggung dari tembok,
sambil berkata, “sudah waktunya, kah?”
Nadanya terdengar cukup
sedih.
Dia berjalan dan
mengubah ekspresi wajahnya menjadi
arogan. “Sungguh membosankan.”
Para siswa dan siswi
yang ketakutan lekas berjalan cepat menghindari dia yang berjalan menghampiri
panggung pertengkaran.
Lelaki yang paling
ditakuti segalanya, lelaki yang mendapat julukan Sang Bajingan itu kini berdiri
di hadapan mereka. Memberikan tatapan arogan dan rendah pada mereka yang
terkejut dipenuhi kemarahan.
Dia berperan menjadi
seseorang yang bahkan tak ia sukai sendiri. Dia lelaki munafik yang
menyedihkan. Dia lelaki yang penuh
dosa.
“Kau yang mengancamnya
kan, Bajingan ...!!” geram Rizky mengkerutkan dahi. Sungguh terlihat marah
padanya.
Hanya dia satu-satunya
siswa yang berani berbicara seperti itu. Hanya dia satu-satunya yang berani
menantang dirinya. Sesuai dengan julukannya dari Sang Pelindung.
“Aku pikir kalian
berdua akan berkelahi seperti hewan liar. Saling menjambak rambut dan
memberikan tontonan menarik untukku. Tapi ....” Hardi menutup matanya. Mengeluh
seakan kecewa.
“Apa kalian anak SD
yang hanya saling memaki?! Khususnya kau Rina, apa kau benar-benar bocah, hah?”
lanjutnya memberikan tatapan menghina pada gadis yang berharga baginya.
“Apa tujuanmu melakukan
ini semua?” Rizky bergemetar, wajahnya memerah dipenuhi amarah.
“DAMAI!! Sekolah ini
terlalu damai dan membosankan. Sungguh tak ada yang menarik,” geramnya kembali menatap
tajam Rizky. Para siswa saling berbisik, mengutuk dan mecela perbuatan Hardi
yang mengerikan.
“Kau bahkan mengancam
gadis seperti Wafa.”
“Aku tidak
mengancamnya. Aku hanya memintanya. Jika dia tidak mau melakukannya, aku bilang
akan bermain-main dengan dua adik perempuannya.”
Penjahat bodoh macam apa yang mengatakan itu secara langsung.
Ya, dia sengaja
melakukannya.
Tapi semua orang tak
tau akan apa yang sebenarnya dilakukan oleh lelaki itu. Tak ada yang
menyadarinya.
“Kau Bajingan–“ teriak Rizky semakin marah, terpancing emosinya. Urat
kekesalan benar-benar terlihat dari dirinya. Dia berjalan, berniat
menghajarnya. Akan tetapi langkahnya
terhenti, dia langsung terdiam.
Semua orang juga
terdiam penasaran melihat seorang gadis yang berjalan cepat menghampiri Hardi,
termasuk Hardi sendiri.
Gadis itu adalah Rina
yang tetap menundukkan kepala. Kini dirinya berdiri di hadapan Hardi.
PLAAAKKK!!
Dalam hitungan detik
yang amat cepat. Hardi mendapatkan tamparan keras di pipi kirinya. Dia
terkejut, tatapan kosong terlihat, mulutnya sedikit terbuka.
Sakit dari tamparan
pipi tidak seberapa dengan hatinya. Sakit, sungguh terasa sakit. Sungguh ingin
menangis, dia juga manusia. Gadis yang selalu ia kagumi dan perhatikan, kini
menamparnya.
Tapi dia sudah
bersumpah dan bertekad. Untuk memainkan peran ini, terus sampai akhir.
“KAU BAJINGAN!!” Rina berteriak amat keras. Menangis keras
menatap tajam Hardi yang terdiam cukup ketakutan. Hatinya semakin terluka.
Sontak keduanya menjadi
pusat perhatian. Lelaki berkulit dua warna itu lekas menggigit bibir bawahnya,
meneruskan perannya. Memasang wajah amarah pada gadis di hadapanya.
Dia mengangkat tangan
kanan berniat memukulnya. Sangat lama, seolah menunggu seseorang untuk
menghentikannya, menyelamatkan gadis di hadapannya.
Selain itu, dia sungguh
tak tega melihat gadis tersayangnya menutup mata ketakutan dengan tubuh
bergemetar seperti itu.
“Sialan kau gadis
pelacur!!” Hardi berteriak, menegaskan siapa saja untuk segera menyelamatkan
Rina darinya.
BUAAK!!
Rizky yang mengambil peran
itu, memukul wajahnya. Hardi terjatuh sesaat, tersenyum sedih di saat semua
orang tak melihat wajahnya.
Rizky menyelamatkan
gadis yang dihormatinya itu.
“Kau bukan seorang
pelajar!! Kau hanya seorang berandalan!!” Rizky berteriak marah, memberikan
sarkisme mengerikan pada dia yang masih terjatuh.
Lelaki yang terlihat
gagah itu memperlihatkan kuda-kuda gaya bertarungnya. Dia bersiap bertarung
melawan lelaki yang tubuhnya lebih besar
darinya.
“Bedebah, sejak awal
aku memang tak suka dengan sikap sok pahlawanmu itu,” geram Sang Bajingan,
berdiri dan mengusap pipi kanannya. Menatap tajam Rizky seolah berniat
menghabisinya.
“SUDAH CUKUP!!” teriakkan
Pak Abbas terdengar. Guru paling tegas di sekolah mereka. Dia baru sampai di
sekolah dan memberikan tatapan tajam pada keduanya.
“Hardi, Rizky!! Ikut bapak ke ruang guru sekarang!!” Seluruh pandangan siswa tertuju pada guru tersebut.
Rizky mengendurkan
pertahanan, melepas kuda-kudanya. Hardi Sang Bajingan membuang wajah terlihat
kesal.
“Tcih, dasar tua bangka ...,” geram Hardi, melirik
sinis Pak Abbas. Itu bumbu terakhir darinya, agar semua orang semakin memberikan
kebencian padanya.
Dan benar saja, seluruh
siswa yang terlihat khawatir mulai memberikan tatapan kebencian padanya.
Termasuk Rina, gadis yang dicintainya.
***
Sudah cukup lama sejak kejadian yang menggemparkan
sekolah itu. Isu sudah beredar luas akan perilaku Hardi yang mengerikan. Bahkan
sudah sampai keluar sekolah, masuk ke dalam masyarakat. Pandangan sekitar
terhadap dirinya semakin memburuk. Dia semakin terkucilkan di segala tempat.
Tapi untungnya kabar
itu belum mencapai si kembar Vira dan Vera, tak membuat mereka sedih dan
menangis dengan apa yang diterima Hardi saat ini. Selain itu, kakaknya Wafa
juga tak pernah membahas Hardi saat bersama kedua adik tersayangnya.
Fakta tentang adik Wafa
yang sebenarnya tak diancam, tenggelam di dasar laut terdalam, tak diketahui
semua orang. Sesuai dengan rencana Sang Bajingan.
Di awal semester genap
yang baru, datang dua orang keluarga baru
di sekolah mereka. Seorang Guru dan Siswi yang amat cantik dan manis.
Keduanya sungguh menjadi pusat perhatian.
Liliana Arthurea. Dia
bagaikan pelangi indah setelah datangnya badai pertengkaran. Semua orang
menganggumi dan menghormatinya. Meski usianya beberapa tahun lebih muda.
Satu lagi yang menarik
perhatian dari pihak guru. Seorang guru baru, wanita muda lulusan Harvard
University yang terkenal.
Hera Ardena Putri
namanya. Pola pikirnya yang unik membuatnya langsung dikenal seluruh siswa dan
para guru. Selain itu wajahnya yang menawan membuat dia dikagumi oleh para
siswa dan guru lelaki.
Anggota keluarga baru
sekolah itu sungguh menarik perhatian. Termasuk oleh lelaki yang paling dibenci
semua orang.
Khususnya Liliana. Hardi
benar-benar terkejut, terguncang ketika melihat kehadirannya di kantin sekolah.
Tubuhnya bergemetar, matanya terbuka lebar menatap dia yang tertawa kecil
bersama Rina dan yang lainnya.
Dia belum memasuki
kantin, tapi dia sudah tau jika Liliana ada di sana. Sosoknya itu, membuat Hardi
Si Bajingan terdiam ketakutan.
Perlahan dia berjalan
mundur, memegang bekas kulitnya yang terbakar. Memasang wajah frustasi, seolah
menyesali perbuatannya di masa lalu.
Akhirnya kau datang dan ingin menghancurkanku, batinnya. Mulai menutup mata amat rapat. Berjalan pergi
meninggalkan kantin cukup cepat.
Sebisa dan sekuat
mungkin dia menghindari Liliana. Mengelak, berlari, dan tak ingin bertemu
dengannya. Dia berusaha sekeras mungkin agar gadis manis itu tak melihat dia yang
berdosa.
Akhir dari pelajaran
terakhir, sebelum ujian tengah semester. Hera, guru baru yang kini mengajar
kelas Hardi mengeluarkan suaranya. Meminta Hardi untuk datang ke ruangannya.
Hardi tersenyum arogan,
membalas permintaan Bu Hera dengan ucapan ringan yang menusuk hati. Itu tak
mengherankan jika dia dipanggil, karena hasil mengerikan dari seluruh ujian
aneh yang diberikan Bu Hera.
Angka yang didapat Hardi
dalam ujian itu selalu dua. Tak pernah berubah, tetap rendah dan menjadi
olokkan semua orang di belakangnya.
Tapi, lelaki berwajah
seram itu seketika terdiam ketika mendengar kata Villain Role yang diucapkan Bu Hera. Wajahnya khawatir, kedua
tangannya bergemetar. Wanita yang saat ini menjadi gurunya, tau akan
rahasianya.
Sebuah ruangan khusus
yang berbeda dari ruang lainnya. Dinding ruangan, ditempel wallpaper pink yang
kekanak-kanakan, lantainya bermotif papan catur. Itu ruangan Hera.
Dia guru berbeda yang
mendapatkan perlakuan khusus. Karena keunikan dan kejeniusannya.
“Duduklah,” Hera
tersenyum ringan. Duduk di kursi kerja. Menyimpan lembar jawaban para siswa di
meja.
Hardi duduk di atas
sofa kecil berwarna kuning dengan polet bintang putih.
Sofa yang terlihat unik, pikirnya.
“Kau tau kenapa aku
memanggilmu ke sini?” Hera menompang dagu dengan kedua tangannya. Memasang
wajah serius yang berisi kemarahan, amat dalam.
“Karena nilaiku yang
hancur? Karena perilaku yang mengerikan,” Hardi tersenyum kecil, membuang wajah
ke samping.
Hera mengeluh dan
membuang nafas cukup berat. Lekas mengangkat kepalanya kembali sambil berkata.
“Aku tak peduli dengan
itu. Jika kau tak tau alasanmu kupanggil ke sini tak apa.”
Hardi mengembalikan
kepalanya ke depan. Memiringkan kepala, menatap Hera penasaran.
“Beberapa bulan yang
lalu telah terjadi keributan besar di sekolah ini. Pertengkaran dua gadis yang
mendapat julukan di sekolah ini. Pertengkaran orang pupuler, kah?” Hera mulai
bercerita, memainkan pulpen. Pandangannya tak teralihkan sedikitpun, terus
menatap Hardi.
“Tapi nyatanya, gadis
pemalu dari kelas tertentu adalah pelakunya. Semua orang terkejut, saling
bertanya kenapa dia melakukan hal itu.”
“Kenapa dia melakukan hal itu yah ...,” Hardi mengeluarkan suara.
Nadanya terdengar ringan, seperti ejekan.
“Untung saja ada Sang
Pelindung? Lelaki yang dikagumi para siswa dan guru di sini. Dia berhasil
mengungkap siapa pelakunya. Ternyata Gadis pemalu itu diancam oleh pelaku
sebenarnya. Pelaku sebenarnya adalah seorang siswa yang memang terkenal buruk akan segalanya. Dan pelaku itu adalah –“
“Ya itu aku, aku yang
melakukannya. Kau puas? Akulah iblis yang mencoba mengadu dombakan dua wanita sok
baik itu.” Hardi menyanggah cerita Hera, menutup mata cukup lama, mengakui
perbuatannya.
Mendengar hal itu, Hera menundukkan
kepala, tubuhnya bergemetar.
“Lalu memangnya kenapa?
Apa kau ingin menceramahiku lagi karena masalah it–“ lanjut Hardi tersenyum
ringan. Tetap menutup matanya.
“Karna hal inilah aku
menyebutmu Villain Role, Bocah.” Hera
menggeram, mengangkat kepala, menatap tajam Hardi. Wanita rupawan itu sungguh
terlihat marah.
“Sungguh, orang-orang
di sekolah ini terlalu lambat menyadarinya. Kenapa kau lakukan itu!?” Hera
mulai berdiri, berbalik dan memberikkan punggungnya pada Hardi yang berwajah
khawatir.
“Ap-apa maksudmu?” Hardi
mengalihkan pandangan. Memegang tangan kanannya yang bergemetar.
“Kau pikir, kau bisa
menipuku? Kau pikir, aku akan berpendapat seperti mereka. Menganggapmu sebagai
siswa bajingan dan pecundang, siswa kegagalan yang menjadi penyesalan bagi para
guru yang menerimamu di sekolah ini.”
“Kau pikir aku akan
seperti mereka, menganggap Sang Pelindung adalah pahlawan sebenarnya yang
memecahkan kasus itu?” Hera tetap menggeram, nadanya terdengar dalam. Hardi melebarkan
mata menatap wanita dewasa itu, mulutnya terbuka lebar.
“Kau hanya ingin menghentikan
pertengkaran mereka. Memaksa mereka mengeluarkan isi hatinya. Membiarkan Annisa
dan Rina bersatu.
Kau hanya ingin
menghentikan penindasan dan diskriminasi di sekolah ini, seperti yang didapat
Annisa dan Wafa,” pelan Hera menundukkan kepala.
Hardi seketika
tersenyum kecil, menundukkan kepala. Hatinya terasa sakit dan hangat. Bukan
karena sedih, tapi bahagia.
“Lalu aku bertanya.
Kenapa harus dengan cara itu? Kenapa kau harus memainkan peran itu dan
mengambil kebencian mereka semua.” Hera berbalik, menatap Hardi penuh
kesedihan.
“Astaga, kau
benar-benar sesuatu yah, Bu Hera. Aku benar-benar menaruh hormat padamu
sekarang,” Hardi tersenyum sedih.
Bertepuk tangan kecil, hanya dengan jarinya. Hera yang melihat itu semakin
menyipitkan mata, menatap khawatir lelaki di hadapannya.
“Sudah kuduga ....”
“Sepertinya aku sudah
tak perlu bersikap arogan lagi. Tapi sungguh, bagaimana bisa Ibu menyetahuinya.
Ibu seakan melihat langsung rencanaku.”
“Dari ujian yang ibu
lakukan selama ini, dan penyeledikan tentang hubungan Annisa dan Rina sebelum
insiden itu.”
“Ujian?”
“Kau jenius,
pemikiranmu tiga langkah lebih depan dari yang lainnya. Bukan hal yang sulit untukmu menduduki ranking pertama di sekolah ini. Lalu kenapa kau tetap
di posisi terendah?” Hera bertanya cukup penasaran.
“Bukan berarti aku
menganggap redah sekitarku, aku memiliki alasan untuk itu.” Hardi menjawab,
tersenyum pada gurunya. Hera membalas senyuman Hardi.
“Beasiswa Annisa?”
Tubuh Hardi bereaksi setelah mendengar
pertanyaan Hera yang pelan. Dia tak bisa menjawab, hanya bisa menundukkan
kepala.
“Sudah kuduga, bahkan kau melakukan sampai itu
juga ...,” Hera menundukkan kepala, masih berwajah sedih.
“Tapi darimana ibu bisa mengetahui pentahuanku?”
“Dari soal ujian yang ibu buat beberapa waktu itu.”
“Begitu, Pantas saja ada
beberapa soal tak normal yang ibu berikan. Aku bahkan sangat berpikir keras untuk
menjawab soal itu,” lanjutnya.
“Tak mengherankan,
malah aku benar-benar terkejut kau bisa menjawabnya dengan benar. Itu soal tingkat tinggi, bahkan beberapa
teman sekelasku di Harvard tak bisa menjawabnya.”
“Pantas saja! Aku pikir
otakku yang sudah mulai tumpul, tapi memang soalnya sesulit itu yah.”
“Kau selalu saja
mengerjakan nomor 1 dan 8. Maka dari itu aku menyimpan soalnya di sana,” Hera
tertawa kecil melihat Hardi.
Sesaat suasana terasa
hening. Tak ada dari kedua belah pihak yang kembali mengeluarkan suaranya.
Hera kembali
membalikkan tubuhnya, membelakangi Hardi. Mulai bergumam pelan dengan nada
cukup berat, bagaikan peringatan.
“Ini masih belum terlambat.
Berhentilah memainkan peran itu. Ibu bisa memberitahukan rahasia ini pada semua
orang tentang masalah beberapa bulan yang lalu. Pahlawan sebenarnya dari kasus
itu, adalah kau. Bahwa kau sengaja membuat Annisa dan Rina mengeluarkan isi
hatinya, agar pertengkaran mereka tidak terbawa nanti di ruang lingkup
masyarakat.”
“Tidak mau yah –“
Bu Hera lekas berbalik,
berjalan cepat menghampirinya. Mengangkat kerah Hardi. Memberikan tatapan tajam
padanya, sungguh sangat murka.
Tubuhnya bergemetar
ketakutan, sungguh bergemetar hebat hingga membuat Hardi terkejut ketakutan.
“Dengarkan aku, Bocah!!
Lebih baik kau menggunakan rokok atau minuman keras daripada melakukan hal
ini!! Itu lebih baik!!” Mendengar hal itu, Hardi mengalihkan pandangan. Merasa
bersalah.
“Kau pikir keren
berbuat baik dengan cara seperti ini?! Kau pikir menganggumkan dan hebat
menolong sekitarmu dengan cara ini, HAH?!”
Bu Hera menangis,
menundukkan kepala. Hardi hanya terdiam menutup mata, merasa bersalah.
“Kau tak akan
mendapatkan apapun dari segala perjuangan, pengorbanan, dan kebaikanmu. Kau
akan mati mendapatkan kutukan itu, hanya akan meninggalkan penyesalan
mengerikan pada orang-orang yang mendapat kebaikanmu.” Bu Hera melepas
kerahnya. Menutup wajah, mengingat kenangan buruk di masa lalu. Dia menangis,
terus menangis akan masa lalunya.
Hardi tersenyum kecil,
menjawab segera pertanyaanya. “Aku tau
hal itu. Tapi aku tak bisa berhenti di sini. Dosaku sudah terlalu banyak,
dosaku takkan pernah termaafkan.” Hardi menyentuh luka bakarnya.
“Tapi –“ Hera
mengangkat kepala, menangis lebih dalam, menyipitkan mata menatap Hardi penuh
keprihatinan.
“Tenanglah, Bu. Asal
mereka tidak tau kebenarannya. Mereka akan baik-baik saja.”
“Lalu bagaimana
denganmu,” pelannya, amat sedih. Kembali menundukkan kepala.
“Terimakasih sudah
mengkhawatirkanku. Tapi aku baik-baik saja, dan kuharap Ibu tetap
memperlakukanku seperti biasa. Siswa berandal yang dibenci semua orang.” Hardi
berdiri, berjalan pergi meninggalkan ruangan.
“Aku sungguh senang
mendengar peringatan Ibu. Aku permisi.” Hardi meninggalkan ruangan. Tak ada
jawaban dari Hera untuk Si Bajingan. Dia hanya bergumam pelan bertanya pada
dirinya sendiri. “Apa-apaan ini?”
***
No comments:
Post a Comment