Saturday, 3 December 2016

Bab III

Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Bab III
Hardi


28 April 2022, langit gelap kembali datang. Dunia terlihat sedang berduka, membuat beberapa orang mengeluh tak senang.


Hanya dirinya yang tersenyum menatap langit. Hanya dia yang menyukai langit menyedihkan seperti itu.


Lelaki berambut hitam ikal dan berkulit coklat, mulai menompang dagu, menutup mata perlahan. Dia tertidur kelelahan, tanpa disadarinya sendiri.


“Bahkan saat ujian juga dia tertidur ...!?”


“Yang benar saja. Apa dia niat sekolah?”


“Ssst, diamlah kalian. Bagaimana jika orang itu dengar ...!”


Bisikan para siswa yang cukup keras membangunkan dia. Tapi bukan hanya itu saja yang membuatnya bangun. Ada pukulan cukup keras dari dalam perutnya.


Dia kelaparan, mulai berdiri mengambil lembar jawabannya. Memasang wajah datar, membuat suasana sunyi yang memenuhi ruangan.


Para siswa berwajah khawatir, membuang wajah darinya. Bu Lina, guru pengawas mereka menundukkan kepala. Berwajah khawatir ketakutan.


Dia siswa kedua yang menyelesaikan ujian di kelas itu. Tentu bukan berarti yang tercepat akan mendapatkan nilai sempurna.


“Ma-maaf, Hardi? Ap-apa kau yakin ingin mengumpulkan kertas jawabanmu? Kamu hanya mengerjakan dua soal.” Ibu Lina berwajah khawatir. Berbicara dan menghentikan langkahnya. Lelaki itu sedikit menolehkan kepala, berbicara cukup pelan.


“Lalu kenapa?” Suaranya lebih dari cukup untuk membuat suasana tegang datang. Para siswa menundukkan kepala, beberapa ada yang menatap Bu Lina cukup khawatir.


Kedua mata Ibu Lina tertutup rapat, kepalanya sedikit tertunduk ke bawah. “Ti-tidak apa-apa. Ib-ibu hanya bertanya.” Wanita berumur 20 tahunan itu ketakutan.


Tanpa sepatah katapun, dia kembali berjalan keluar kelas. Memasang wajah datar, tak peduli dengan tatapan para siswa.


Kelengangan lorong terasa. Itu tak mengherankan, Hardi terlalu cepat meninggalkan kelas. Sebelum ke kantin, dia berjalan mengelilingi sekolah. Ingin berjalan-jalan sambil menatap hujan yang semakin deras dengan senyuman.


“Maaf, Nek!! Tidak bisa, penjual seperti Nenek tidak diperkenankan masuk ke sekolah ini!”


“Tapi Pak–“


“Tidak ada tapi-tapian, sekarang Nenek keluar dari lingkungan sekolah ini!!”


Pertikaian antara satpam dan wanita tua menarik perhatian lelaki berwajah seram itu. Dia berjalan mendekati mereka. Kembali memasang wajah datar.


“Setidaknya biarkan dia di sini sampai hujan reda.” Hardi berucap, menatap rendah satpam. Auranya cukup kuat, tampangnya memang menakutkan dan suasana berat langsung datang. Dia membuat keduanya berwajah khawatir ketakutan.


“Tcih, da-dasar anak brengsek!” geram satpam cukup pelan, terlihat tak senang melirik sinis Hardi.


“Setelah hujan reda, kau harus pergi, Nek!!” lanjut Satpam itu, berjalan pergi meninggalkan mereka.


Suasana canggung terasa. Nenek yang membawa keresek hitam besar mulai melirik khawatir Hardi. Dia masih terlihat ketakutan.


“Pas-pasti kau merasa risih, karena wanita tua sepertiku berada di sekolah ini.” Nenek itu tersenyum sedih, mengeluh pelan, serta menundukkan kepala sesaat. Dia duduk di tempat duduk yang tersedia di lorong sekolah.


“Jangan bilang kalau kau tak pantas menginjakkan kaki di sekolah ini, ataupun yang lainnya. Kau tak bersalah, kau hanya berniat bertahan hidup dengan menjual barang-barangmu itu.” Hardi ikut duduk di sebelahnya. Sesaat Nenek itu terkejut, menatap penasaran Hardi yang membuang wajah.


“Kau lebih baik dari peminta-minta. Kau lebih mulia karena berusaha dan bekerja keras untuk menyambung hidupmu. Meski banyak halangan seperti tadi, kau tetap kuat dan tak berniat menjadi peminta-minta. Aku tak membenci orang sepertimu.” Nenek itu tetap menatap Hardi penasaran, kedua tangannya bergemetar. Hatinya terasa sakit, tersentuh mendengar pernyataanya.


“Makanya, jangan mengeluh seperti itu. Meski usiamu sudah senja, kau tetap bekerja keras. Kau salah satu dari beberapa orang yang kuat, orang yang berharga, dan orang yang pantas dilindungi.” Hardi tersenyum kecil menutup mata sesaat.


“Astaga, tak kusangka. Sungguh maafkan aku. Hanya karena wajah dan lukamu, aku sempat menganggapmu lelaki brengsek. Lelaki yang dijuluki preman di sekolah ini.”


“Tapi kenyataannya seperti itu. Aku memang preman di sekolah ini. Para siswa, guru, bahkan satpam tadi geram melihatku,” Hardi tertawa kecil, masih menutup matanya.


Nenek tersenyum melihat Hardi. Mengelus pelan rambut kritingnya. Hardi cukup terkejut, melirik penasaran Nenek itu.


“Kau bukanlah orang brengsek. Kau adalah orang baik. Bukan dari luar, tapi dalam hatimu jika kau adalah orang yang welas asih.”


Benarkah ...? Tapi terima kasih, aku tidak bisa berhenti di sini. Aku sudah memainkan peran ini.”


“Apa maksudmu?” Sang Nenek bertanya penasaran.


“Tidak, bukan apa-apa. Yang lebih penting, berapa harga pulpen yang nenek jual itu?”


“Ah, ini? Nenek menjualnya dengan harga empat ribu.” Sang Nenek mulai membuka kantong keresek, mengambil pulpen otomatis tinta hitam.


“Aku ingin membelinya, Nek. Kebetulan pulpenku tadi hilang.” Hardi membuka tangan kanan, meminta pulpen itu. Si Nenek memberikan pulpennya.


“Empat ribu, kan?” senyum Hardi mengambil uang dalam saku. Memberikannya pada wanita lanjut usia itu.


“Ah tunggu? Kau sengaja melakukan ini, kan? Tak apa kau bisa mengambil salah satu pulpen yang kujual. Kau tak perlu membayar.” Si Nenek mulai sadar akan bantuan tak langsung dari Hardi. Dia menolak lembut, tak ingin menerima pemberian lelaki yang dijuluki preman itu.


“Ambilah, Nek! Kau bisa rugi jika melakukan ini. Lagipula aku memang benar-benar membutuhkannya. Anggap saja ini seperti transaksi jual beli biasa.” Hardi memaksa Si Nenek untuk menerima uangnya. Dia tersenyum kecil, mulai berdiri, dan berjalan meninggalkannya.


“Tapi, Nak!” Si Nenek mengeluarkan suaranya, berniat menghentikan langkah Si Bajingan. Tapi lelaki bertubuh besar itu tetap berjalan, menoleh dan tersenyum kecil padanya.


“Setelah hujan reda, Nenek harus pergi dari sini. Aku tak mau melihat Nenek dikasari seperti tadi.”


Si Nenek hanya menganggukan kepala, tersenyum melihat dia yang berjalan pergi meninggalkannya.


Tak lama setelah pertemuannya dengan nenek penjual pulpen, Hardi akhirnya sampai di kantin sekolah. Ruangan besar dengan arsitektur yang menganggumkan.


Kata wah pasti diucapkan oleh orang-orang yang baru pertama kali berkunjung. Suasana terasa ramai dan damai. Candaan dan hinaan ringan sering kali terdengar dalam kantin itu. Mereka tertawa bersama, beristirahat dan menenangkan pikiran dari ujian yang menguras otak beberapa menit lalu. Tapi.


Tap.


Langkah pertamanya di kantin, langsung merubah suasana. Menghancurkan kegembiraan. Menghilangkan kedamaian mereka. Melenyapkan segala suka cita yang ada.


Seluruh penghuni kantin menundukkan kepala, membuang wajah darinya. Hanya sedikit orang yang menatapnya cukup khawatir dan marah.


Suasana lengang menyelimuti kantin. Ketegangan juga mulai datang ketika dia terus melangkahkan kakinya. Semua orang ketakutan, berwajah khawatir hanya karena kehadirannya.


Tak ada yang berani menyapa, berjalan, atau sekedar berucap di sekitarnya. Semua orang memberikan jalan pada dia yang ditakuti segalanya.


Sang Bajingan. Julukan itu sudah melekat dalam dirinya. Dia tak bisa menyalahkan mereka. Dia tak bisa marah pada orang-orang yang memberikan julukan itu padanya. Dia pantas mendapatkannya. Karena masa lalunya.


Dia mengutuk dirinya sendiri, karena perbuatan tak termaafkannya.


Setelah sampai di meja kasir, lelaki bertampang seram itu mulai memesan sebuah roti coklat pada pegawai kantin. Pegawai kantin itu masih muda, tubuhnya bergemetar karena sosok Hardi di hadapannya.


Namun sayang, uang Hardi tidak cukup. Dia lupa jika sebagian uangnya sudah dipakai untuk membeli pulpen tadi.


Alhasil, dia hanya bisa mengatakan. “Aku hanya punya seribu.”


Tanpa berpikir panjang, pegawai kantin itu lekas memberikan roti coklat, mengambil uangnya. Tersenyum paksa dan membiarkan dia yang kekurangan uang, mendapatkan makanannya.


Dia melakukan itu bukan karena baik, hatinya bersih, atau  merasa iba. Takut, mungkin lebih tepatnya karena hal itu. Dia takut jika Hardi melakukan hal aneh-aneh jika keinginannya tak terpenuhi.


Para siswa saling berbisik, melirik ketakutan Hardi. Semakin berjalan menjauhi dia, memberikan ruang bagi dia yang melangkah pergi meninggalkan kantin.


Hanya satu keinginan semua siswa di kantin itu. Ingin segera Sang Bajingan pergi meninggalkan kantin.


Sang Bajingan sampai tepat di gerbang kantin. Dia berpapasan dengan gadis yang bernasib seperti dirinya, cukup dibenci oleh para siswa. Annisa.


Hardi tak membencinya, berbeda dengan Annisa sendiri. Dia sungguh melirik sinis Hardi. Hanya dia yang berani memberikan tatapan seperti itu padanya.


Lelaki berkulit cokelat itu menghiraukan tatapannya, terus berjalan meninggalkan kantin.


Saat dia di ujung lorong kaca kantin, Hardi sedikit melirik Annisa. Melihat pertengkarannya dengan Rina, Tuan Putri sekolah mereka. Dia tersenyum kecil, menutup mata sesaat, dan mulai berucap sambil melangkah pergi meninggalkan kantin lebih jauh.


“Sampai kapan mereka mau seperti itu?”




***



           
            Ketukan pintu terdengar cukup keras. Membuat seluruh penghuni rumah menoleh ke arah pintu keluar, memberikan tatapan penasaran.


Dua gadis kecil, berumur 6 tahun lekas menatap satu sama lain. Memberikan isyarat untuk membukakan pintu.


Penampilan dua gadis kecil itu sangat mirip. Baik mata, rambut, bentuk wajah, dan fisik tubuh. Mereka juga memakai pakaian Couple yang terlihat sangat manis.


Baju One Piece merah muda dan putih dengan nama mereka masing-masing di dada. Vera dan Vira.


Hanya gaya rambut saja yang berbeda dari penampilan mereka. Dua gadis itu sungguh terlihat sangat menggemaskan.


“Vivi yang buka.” Gadis kecil dengan rambut kuncir kuda mengeluarkan suara, mengkerutkan dahi, terus menatap lawan bicara yang sangat mirip dengannya.


“Emm ..., Vera yang buka.” Gadis kecil lainnya yang berambut panjang, menggelengkan pelan kepala. Menyanggah pernyataan sang kembaran. Dia tersenyum khawatir menunjuk lawan bicara.


“Itu curang! Vera udah buka pintu kemarin lusa. Sekarang giliran Vivi!” Vera mulai berdiri dari kursi, terlihat marah pada kembarannya.


“Tapi Vivi gak mau ....“ Vivi memasang wajah khawatir. Membuang wajah sambil memakan kentang gorengnya.


“Vivi ....” Vera hanya memasang wajah sedih, terlihat ingin menangis menatap saudari kembarnya.


Ketukan pintu kembali terdengar. Membuat si gadis kembar saling menatap satu sama lain kembali.


“Vivi, nanti aku bilangin ke Kakak!” Vera mulai mengeluarkan sedikit air mata. Menunjuk Vivi saudari kembarnya.


Gadis yang menjadi lawan bicaranya, seketika berdiri. Berwajah khawatir ketakutan melihat dia yang ingin menangis.



“Iya iya iya! Vivi yang bukain pintu!” Vivi kecil berjalan pelan menuju pintu keluar. Mengendap-ngendap dengan langkah mungilnya.


Vera juga ikut berjalan di belakangnya. Sesaat, Vivi menolehkan kepala, melihat Vera yang memegang rok merah mudanya.


Butiran kecil air mata masih terlihat dari sisi mata Vera. Di tersenyum kecil melihat gadis di depannya. Vivi tersenyum, mengusap pelan kepala gadis berambut ponytail itu. Sudah terlihat jelas mana yang berperan sebagai kakak dan adik.


“Siapa di luar? Pencuri?” Pintu masih tertutup rapat. Vivi berbicara di balik pintu itu untuk memastikan keselamatan dia dan saudarinya. Kakak tertuanya memperingatkan dia untuk berhati-hati dengan orang asing yang berkunjung ke rumahnya.


“Apa ini kediaman Wafa Sara Agustin?” suaranya terdengar berat, cukup membuat tubuh si kembar bergemetar ketakutan.


“Orang jahat ...,”Vera semakin memegang rok kakak kembarnya. Vivi tersenyum kecil melirik adiknya. Dia kembali berbicara dengan nada lebih keras.


“Maaf atas perkataan adikku! Siapa anda ini? Ada keperluan apa anda mencari kakak perempuan kami?”


“Saya Hardi, teman sekelas kakakmu. Saya hanya ingin memberikan buku catatannya yang ketinggalan.” Hardi mengeluarkan buku catatan berwarna coklat.


“Ah, begitu. Maaf atas ketidaksopanan kami!” Vivi mulai membuka pintu. Melihat dia yang sudah cukup lama berdiri di depan pintu.


“Vivi ....” Vera semakin terlihat ketakutan. Tubuhnya bergemetar. Matanya semakin berair melihat sosok Hardi yang menakutkan.


Sedangkan Vivi hanya tersenyum khawatir, menguatkan diri. Tapi tidak dapat dipungkiri jika jantungnya berdetak cepat.


Tak heran, lelaki di hadapannya memang terlihat tak enak dilihat. Selain wajahnya yang seram, bekas luka bakar di tubuh bagian kirinya semakin membuat kedua gadis itu merinding, selangkah berjalan mundur. Amat sangat ketakutan.


“Kalian pasti takut yah, maaf.” Hardi mulai jongkok di hadapan mereka. Tersenyum kecil menutup mata sesaat. Merasa bersalah.


Melihat hal itu, Vivi seketika berbalik, memegang bahu adik kembarnya. “Vera, kita udah bertindak gak sopan lagi tau! Kata Kakak, jangan nilai orang dari penampilannya!”


Vera menganggukkan kepala, menghapus air matanya. Dia tersenyum menguatkan diri, menyambut tamu di hadapannya.


“Silahkan masuk, Kak Hardi.”


“Terima kasih, tapi aku di sini saja. Lagipula aku hanya ingin memberikan buku catatan ini.” Hardi memberikan buku catatan pada Vivi. Vivi menerimanya, tersenyum lebar dan mulai berbicara.


“Kakak ingin minum? Kakak ingin makan? Kami punya makanan. Biar Vera yang ambil jika Kakak mau.”


“Hee, kenapa Vera?” cemberut Vera. Tapi langsung menganggukkan kepalanya amat cepat ketika mendapatkan lirikan sinis dari kakak kembarnya.


“Tidak apa, tak perlu repot-repot.” Hardi tertawa kecil melihat tingkat si kembar yang menggemaskan.


Vira dan Vera melebarkan mata, mulut mereka sedikit terbuka. Terkejut melihat dia yang tertawa.


“Kakak lebih baik seperti itu! Terlihat lebih keren!” Vera tersenyum lebar, menunjuk wajah Hardi.


“Eh?”


“Aku juga setuju dengan Vera. Memang benar Kakak tidak tampan, tapi alangkah baiknya jika memasang wajah ceria seperti itu. Jika dipikir-pikir Kakak itu tidak terlalu menakutkan.” Vivi juga tersenyum padanya. Hardi yang masih memasang wajah terkejut mulai tersenyum dan bertanya pada mereka berdua.


“Siapa nama kalian berdua?”


“Vira Dinda Agustin,”


“Vera Dinda Agustin,” senyum Vivi dan Vera pada Hardi. Lelaki berambut coklat itu mulai duduk di atas lantai sambil berkata.


“Kalian akan menjadi gadis rupawan di masa depan, Vira, Vera. Kakak harap kalian tetap memiliki kebaikan seperti ini sampai saat itu tiba.”


“Ma-masuklah, Kak!” Vera memasang wajah khawatir menarik tangan kiri Hardi.


“Benar, kenapa duduk di sini!!” Vivi juga ikut menarik tangan kanan Hardi. Memasang wajah yang sama seperti adik kembarnya.


Mereka merasa bersalah membiarkan tamu duduk di depan pintu seperti itu.


Dengan tarikan paksa dua gadis kecil itu, Hardi tak bisa berkutik. Alhasil dia memasuki rumah teman sekelasnya, Wafa.


Rumahnya terlihat kecil dan sederhana, tapi terkesan mewah karena perabotannya yang berkelas. Tak ada satupun tempat yang percuma. Tiap ruangannya tak ada satupun yang sempit dan menghalangi jalan.


“Silahkan duduk,” Vera tersenyum, mempersilahkan duduk Hardi di atas sofa berwarna hijau. Terasa empuk untuk diduduki.


“Ya, terima kasih,” ucap Hardi, membalas senyumannya. Suasana terasa damai, entah kenapa si kembar tertawa kecil menutup mata. Terlihat senang karena kehadiran lelaki menyeramkan itu.


“Kemana orang tua kalian?” Hardi mulai bertanya, menatap mereka yang masih tertawa kecil.


“Ayah ada di Sydney, Australia. Dia bekerja di sana.” Vivi menjawab.


“Sedangkan ibu sudah pergi mendahului kami untuk bertemu Tuhan,” Vera menjawab, tersenyum bahagia. Tak ada raut kesedihan dari si kembar.


Sesaat, Hardi terkejut melebarkan mata. Hatinya terasa sakit menatap dua gadis kecil yang sudah ditinggal pergi ibunya.


Tapi setelah itu, dia menutup mata, tersenyum bangga melihat mereka yang tetap tegar. Dia kembali mengusap pelan rambut mereka.


“Hei, ingin membantu Kakak perempuan kalian?”


“Kak Wafa?” Vira dan Vera saling melihat satu sama lain. Sama-sama memasang wajah kebingungan.


“Apa Kakak dalam kesusahan?”


“Apa Kakak terjebak dalam masalah?”


Tanya keduanya bersamaan menatap Hardi. Wajah mereka terlihat khawatir ketakutan.


“Vira, Vera, apa Kakak kalian orangnya memang pemalu?” Hardi bertanya, melirik kedua gadis kecil yang duduk di samping kiri dan kanannya.


“Kak Wafa memang pemalu, khususnya sama orang yang tak ia kenali. Iya kan, Vera?”


“Em em!” Vera menganggukkan kepala. Membenarkan pernyataan Sang Kakak.


“Baiklah, sebenarnya kakak kalian itu kesulitan dalam mencari teman di kelas. Dia terkadang malu dan canggung untuk berinteraksi dengan temannya.


Maka dari itu aku punya solusi untuk membantunya. Tapi aku membutuhkan kalian agar rencana ini berhasil,” senyum lebar Hardi melirik kembali si kembar.


“Kami akan membantu!! Katakan!!” teriak keduanya, tersenyum bahagia menatap lelaki seram itu. Mereka terlihat sangat antusias.


“Baik baik, tenang. Sabar sedikit, oke?”


“Dengar yah, sebetulnya Kakak ini cukup populer di sekolah. Banyak gadis-gadis yang mendekati Kakak.” Hardi tersenyum bangga, menutup matanya. Dia sedikit mengangkat kepalanya ke atas.


“Eh, masa Kakak populer. Tapi wajah Kakak jelek tau,” Vera mengembungkan pipi.


“Vera itu gak sopan!” Vivi memasang wajah khawatir melirik Hardi.


“Hahaha, kau memang anak yang jujur yah, Vera. Tapi itu memang kebenaran, tidak apa-apa.”


“Tapi sebaliknya, kau pandai menjaga perasaan orang lain, yah?” lanjut Hardi melirik Vivi yang mulai memberikan tatapan kesal pada adik kembarnya.


“Tapi gak semua hal dinilai dari penampilan doang, itu yang dikatakan Kak Wafa dan Ayah. Asal hatinya bersih, itu lebih baik meski penampilannya tak enak dilihat.” Vivi terlihat khawatir menatap Hardi.


“Vira memang tak mengenal Kak Hardi cukup lama. Tapi kupikir, Kakak termasuk dalam salah satunya,” lanjutnya.


“Astaga, apa kamu benar-benar gadis berumur tujuh tahun? Pola berpikirmu sungguh berbeda jauh dengan adikmu, Vira.”


“Jangan terlalu memujiku, Kak. Jadi apa rencana Kakak?”


“Ketika Kakak kalian pulang, tolong katakan jika kalian mendapatkan tatapan mencurigakan dariku saat keluar rumah. Kalian juga harus berpura-pura tidak mengenaliku, sebutkan ciri-ciri tubuhku yang jelas saja.” Hardi menjelaskan.


Vira dan Vera mengangguk perlahan. Tapi dari raut wajah, mereka masih belum mengerti dan memasang ekspresi penasaran.


“Vera gak ngerti.” Gadis kecil bermata coklat caramel itu mulai berucap. Terlihat khawatir melirik kakak kembarnya. “Vivi juga.” Vira tersenyum kecil memejamkan mata.


Melihat hal itu, Hardi tersenyum kembali mengusap kepala mereka. Mulai berucap, menjelaskan lebih detail.


“Wafa sangat menyayangi kalian, aku tahu itu. Dia takkan ragu, akan bertanya padaku yang cukup populer untuk menanyakan alasanku menatap kalian. Secara tidak langsung setelah dia mendekatiku, dia akan mendapatkan banyak teman perempuan. Mereka akan bertanya padanya apa hubungannya denganku.”


“Dan tanpa disadari, Kak Wafa sudah mendapatkan teman banyak,” Vira terlihat paham, tersenyum bahagia menatap Hardi.


“Ya. Tolong bantu aku yah, maka nantikan saja hadiah saat Kakak kalian membawa teman.”


“Tapi Vera ingin hadiahnya sekarang,” Vera bergumam pelan, terlihat khawatir menundukkan kepala.


“Aku ada pulpen baru. Vera bisa mengambilnya jika mau.” Hardi mengeluarkan pulpen yang baru saja dibelinya tadi. Memberikan pada gadis kecil di samping kanan. Vera tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. Dia menerima pulpen itu dengan riang gembira.


“Terima kasih, Kak!”


Vira menarik lengan baju Hardi. Hardi berbalik, menatap si gadis kembar lainnya. Dia membalas senyuman Vira.


“Terima kasih sudah memanjakkan adikku, dan sudah mebuat rencana ini untuk Kakak kami. Kini aku yakin Kakak adalah orang yang baik. Kumohon kerja samanya, agar rencana ini bisa berjalan dengan lancar,” Vera menundukkan kepala, sungguh terlihat hormat pada lelaki yang sebelumnya ia takuti itu.


“Ya, mohon kerja samanya!” Hardi tersenyum lebar, menutup matanya. Mengusap pelan kepala gadis berambut panjang itu.




***




            6 Mei 2022, langit masih terlihat cukup gelap. Matahari hanya menunjukkan sedikit sinarnya. Suhu udara masih terasa dingin.


Para siswa belum banyak yang datang, itu tak mengherankan. Jam dinding masih menunjukkan angka enam pagi. Hanya beberapa petugas kebersihan yang terlihat. Sedikit dan bisa dihitung jari.


Wafa tertunduk menangis di hadapan meja Annisa. Spidol hitam terlihat ia pegang dengan kedua tangannya yang bergemetar ketakutan. Kata maaf terus ia ucapkan secara berulang. Dia sungguh merasa bersalah atas perbuatannya.


Coretan tak mengenakkan di atas bangku Annisa, itu adalah perbuatannya. Tak ada pilihan lain, tak ada jalan lain. Dia terusudutkan dan tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya seorang gadis pemalu yang tak berdaya.


Jika bukan karena ancaman Sang Bajingan, dia takkan pernah melakukan perbuatan menjijikan itu. Ini kedua kalinya dia melakukan hal tersebut, hanya demi keselamatan kedua adik kembarnya.


“Maaf, ini sungguh yang terakhir.” Gadis yang tersudutkan itu mulai berjalan pergi meninggalkan kelas, tetap mengeluarkan air matanya.


Ini janji dari Sang Bajingan. Asal Wafa mengikuti seluruh perintah terakhirnya, dia takkan menggangu kedua adiknya lagi.


            Wafa, seorang siswi yang sulit untuk datang pagi. Jadi dia sungguh berusaha bangun lebih pagi untuk mengikuti perintah Hardi. Entah kenapa Hardi menyuruh gadis pemalu itu untuk menjalankan aksinya di pagi hari, di saat kondisi sekolah sedang sepi.


            Dan entah kebetulan atau tidak, lelaki populer seperti Hardi yakni Rizky juga ada di sana. Terkejut dengan kedua bola mata yang melebar melihat perbuatan Wafa. Keringat hasil olahraga paginya menetes melewati mulut yang terbuka cukup lebar.


Lepas memasang wajah terkejut,  lelaki berparas tampan itu mengkerutkan dahi. Bertanya pada dirinya sendiri.


            “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”


Hari ini adalah puncak perselisihan antara Annisa dan Rina. Coretan meja di masing-masing menjadi pemicu meledaknya kemarahan mereka.


Itu semua perbuatan Wafa. Tapi dirinya tak bersalah. Dia hanya diancam oleh lelaki paling brensek di sekolahnya.


Suasana tegang sungguh terasa ketika perdebatan mereka, Annisa dan Wafa. Semua orang saling menatap khawatir, melirik keduanya yang bertengkar. Tak ada yang berani menghentikan keduanya.


Hampir seluruh siswa berada di dalam dan sekitar kelas mereka. Melihat puncak pertengkaran yang disebabkan oleh coretan Wafa. Ya, hampir semuanya, kecuali Hardi yang tersenyum bersembunyi di balik dinding ruangan tegang itu.


Dia tertawa kecil mendengar beberapa perkataan Annisa dan Rina. Khususnya Rina, ada perasaan berbeda padanya sejak lama. Sejak kecil, meski gadis yang bersangkutan telah melupakannya, telah memandang sebelah mata dirinya. Dia tetap memperhatikannya.


“Itu dirimu, kan!!” teriakkan itu terdengar oleh gendang telinganya. Dia cukup terkejut melebarkan mata.


Tapi setelah itu, Hardi tersenyum dengan kedua tangan bergemetar. Mulai melepaskan punggung dari tembok, sambil berkata, “sudah waktunya, kah?”


Nadanya terdengar cukup sedih.


Dia berjalan dan mengubah ekspresi wajahnya menjadi arogan. “Sungguh membosankan.”


Para siswa dan siswi yang ketakutan lekas berjalan cepat menghindari dia yang berjalan menghampiri panggung pertengkaran.


Lelaki yang paling ditakuti segalanya, lelaki yang mendapat julukan Sang Bajingan itu kini berdiri di hadapan mereka. Memberikan tatapan arogan dan rendah pada mereka yang terkejut dipenuhi kemarahan.


Dia berperan menjadi seseorang yang bahkan tak ia sukai sendiri. Dia lelaki munafik yang menyedihkan. Dia lelaki yang penuh dosa.


“Kau yang mengancamnya kan, Bajingan ...!!” geram Rizky mengkerutkan dahi. Sungguh terlihat marah padanya.


Hanya dia satu-satunya siswa yang berani berbicara seperti itu. Hanya dia satu-satunya yang berani menantang dirinya.  Sesuai dengan julukannya dari Sang Pelindung.


“Aku pikir kalian berdua akan berkelahi seperti hewan liar. Saling menjambak rambut dan memberikan tontonan menarik untukku. Tapi ....” Hardi menutup matanya. Mengeluh seakan kecewa.


“Apa kalian anak SD yang hanya saling memaki?! Khususnya kau Rina, apa kau benar-benar bocah, hah?” lanjutnya memberikan tatapan menghina pada gadis yang berharga baginya.


“Apa tujuanmu melakukan ini semua?” Rizky bergemetar, wajahnya memerah dipenuhi amarah.


“DAMAI!! Sekolah ini terlalu damai dan membosankan. Sungguh tak ada yang menarik,” geramnya kembali menatap tajam Rizky. Para siswa saling berbisik, mengutuk dan mecela perbuatan Hardi yang mengerikan.


“Kau bahkan mengancam gadis seperti Wafa.”


“Aku tidak mengancamnya. Aku hanya memintanya. Jika dia tidak mau melakukannya, aku bilang akan bermain-main dengan dua adik perempuannya.” Penjahat bodoh macam apa yang mengatakan itu secara langsung.


Ya, dia sengaja melakukannya.


Tapi semua orang tak tau akan apa yang sebenarnya dilakukan oleh lelaki itu. Tak ada yang menyadarinya.


“Kau Bajingan–“ teriak Rizky semakin marah, terpancing emosinya. Urat kekesalan benar-benar terlihat dari dirinya. Dia berjalan, berniat menghajarnya. Akan tetapi langkahnya terhenti, dia langsung terdiam.


Semua orang juga terdiam penasaran melihat seorang gadis yang berjalan cepat menghampiri Hardi, termasuk Hardi sendiri.


Gadis itu adalah Rina yang tetap menundukkan kepala. Kini dirinya berdiri di hadapan Hardi.


PLAAAKKK!!


Dalam hitungan detik yang amat cepat. Hardi mendapatkan tamparan keras di pipi kirinya. Dia terkejut, tatapan kosong terlihat, mulutnya sedikit terbuka.


Sakit dari tamparan pipi tidak seberapa dengan hatinya. Sakit, sungguh terasa sakit. Sungguh ingin menangis, dia juga manusia. Gadis yang selalu ia kagumi dan perhatikan, kini menamparnya.


Tapi dia sudah bersumpah dan bertekad. Untuk memainkan peran ini, terus sampai akhir.


 “KAU BAJINGAN!!”  Rina berteriak amat keras. Menangis keras menatap tajam Hardi yang terdiam cukup ketakutan. Hatinya semakin terluka.


Sontak keduanya menjadi pusat perhatian. Lelaki berkulit dua warna itu lekas menggigit bibir bawahnya, meneruskan perannya. Memasang wajah amarah pada gadis di hadapanya.


Dia mengangkat tangan kanan berniat memukulnya. Sangat lama, seolah menunggu seseorang untuk menghentikannya, menyelamatkan gadis di hadapannya.


Selain itu, dia sungguh tak tega melihat gadis tersayangnya menutup mata ketakutan dengan tubuh bergemetar seperti itu.


“Sialan kau gadis pelacur!!” Hardi berteriak, menegaskan siapa saja untuk segera menyelamatkan Rina darinya.


BUAAK!!


Rizky yang mengambil peran itu, memukul wajahnya. Hardi terjatuh sesaat, tersenyum sedih di saat semua orang tak melihat wajahnya.


Rizky menyelamatkan gadis yang dihormatinya itu.


“Kau bukan seorang pelajar!! Kau hanya seorang berandalan!!” Rizky berteriak marah, memberikan sarkisme mengerikan pada dia yang masih terjatuh.


Lelaki yang terlihat gagah itu memperlihatkan kuda-kuda gaya bertarungnya. Dia bersiap bertarung melawan lelaki yang tubuhnya lebih besar darinya.


“Bedebah, sejak awal aku memang tak suka dengan sikap sok pahlawanmu itu,” geram Sang Bajingan, berdiri dan mengusap pipi kanannya. Menatap tajam Rizky seolah berniat menghabisinya.


“SUDAH CUKUP!!” teriakkan Pak Abbas terdengar. Guru paling tegas di sekolah mereka. Dia baru sampai di sekolah dan memberikan tatapan tajam pada keduanya.


Hardi, Rizky!! Ikut bapak ke ruang guru sekarang!!” Seluruh pandangan siswa tertuju pada guru tersebut.


Rizky mengendurkan pertahanan, melepas kuda-kudanya. Hardi Sang Bajingan membuang wajah terlihat kesal.


“Tcih,  dasar tua bangka ...,” geram Hardi, melirik sinis Pak Abbas. Itu bumbu terakhir darinya, agar semua orang semakin memberikan kebencian padanya.  


Dan benar saja, seluruh siswa yang terlihat khawatir mulai memberikan tatapan kebencian padanya. Termasuk Rina, gadis yang dicintainya.



***



            Sudah cukup lama sejak kejadian yang menggemparkan sekolah itu. Isu sudah beredar luas akan perilaku Hardi yang mengerikan. Bahkan sudah sampai keluar sekolah, masuk ke dalam masyarakat. Pandangan sekitar terhadap dirinya semakin memburuk. Dia semakin terkucilkan di segala tempat.


Tapi untungnya kabar itu belum mencapai si kembar Vira dan Vera, tak membuat mereka sedih dan menangis dengan apa yang diterima Hardi saat ini. Selain itu, kakaknya Wafa juga tak pernah membahas Hardi saat bersama kedua adik tersayangnya.


Fakta tentang adik Wafa yang sebenarnya tak diancam, tenggelam di dasar laut terdalam, tak diketahui semua orang. Sesuai dengan rencana Sang Bajingan.


Di awal semester genap yang baru, datang dua orang keluarga baru di sekolah mereka. Seorang Guru dan Siswi yang amat cantik dan manis. Keduanya sungguh menjadi pusat perhatian.


Liliana Arthurea. Dia bagaikan pelangi indah setelah datangnya badai pertengkaran. Semua orang menganggumi dan menghormatinya. Meski usianya beberapa tahun lebih muda.


Satu lagi yang menarik perhatian dari pihak guru. Seorang guru baru, wanita muda lulusan Harvard University yang terkenal.


Hera Ardena Putri namanya. Pola pikirnya yang unik membuatnya langsung dikenal seluruh siswa dan para guru. Selain itu wajahnya yang menawan membuat dia dikagumi oleh para siswa dan guru lelaki.


Anggota keluarga baru sekolah itu sungguh menarik perhatian. Termasuk oleh lelaki yang paling dibenci semua orang.


Khususnya Liliana. Hardi benar-benar terkejut, terguncang ketika melihat kehadirannya di kantin sekolah. Tubuhnya bergemetar, matanya terbuka lebar menatap dia yang tertawa kecil bersama Rina dan yang lainnya.


Dia belum memasuki kantin, tapi dia sudah tau jika Liliana ada di sana. Sosoknya itu, membuat Hardi Si Bajingan terdiam ketakutan.


Perlahan dia berjalan mundur, memegang bekas kulitnya yang terbakar. Memasang wajah frustasi, seolah menyesali perbuatannya di masa lalu.


Akhirnya kau datang dan ingin menghancurkanku, batinnya. Mulai menutup mata amat rapat. Berjalan pergi meninggalkan kantin cukup cepat.


Sebisa dan sekuat mungkin dia menghindari Liliana. Mengelak, berlari, dan tak ingin bertemu dengannya. Dia berusaha sekeras mungkin agar gadis manis itu tak melihat dia yang berdosa.


Akhir dari pelajaran terakhir, sebelum ujian tengah semester. Hera, guru baru yang kini mengajar kelas Hardi mengeluarkan suaranya. Meminta Hardi untuk datang ke ruangannya.


Hardi tersenyum arogan, membalas permintaan Bu Hera dengan ucapan ringan yang menusuk hati. Itu tak mengherankan jika dia dipanggil, karena hasil mengerikan dari seluruh ujian aneh yang diberikan Bu Hera.


Angka yang didapat Hardi dalam ujian itu selalu dua. Tak pernah berubah, tetap rendah dan menjadi olokkan semua orang di belakangnya.


Tapi, lelaki berwajah seram itu seketika terdiam ketika mendengar kata Villain Role yang diucapkan Bu Hera. Wajahnya khawatir, kedua tangannya bergemetar. Wanita yang saat ini menjadi gurunya, tau akan rahasianya.


Sebuah ruangan khusus yang berbeda dari ruang lainnya. Dinding ruangan, ditempel wallpaper pink yang kekanak-kanakan, lantainya bermotif papan catur. Itu ruangan Hera.


Dia guru berbeda yang mendapatkan perlakuan khusus. Karena keunikan dan kejeniusannya.


“Duduklah,” Hera tersenyum ringan. Duduk di kursi kerja. Menyimpan lembar jawaban para siswa di meja.


Hardi duduk di atas sofa kecil berwarna kuning dengan polet bintang putih.


Sofa yang terlihat unik, pikirnya.


“Kau tau kenapa aku memanggilmu ke sini?” Hera menompang dagu dengan kedua tangannya. Memasang wajah serius yang berisi kemarahan, amat dalam.


“Karena nilaiku yang hancur? Karena perilaku yang mengerikan,” Hardi tersenyum kecil, membuang wajah ke samping.


Hera mengeluh dan membuang nafas cukup berat. Lekas mengangkat kepalanya kembali sambil berkata.


“Aku tak peduli dengan itu. Jika kau tak tau alasanmu kupanggil ke sini tak apa.”


Hardi mengembalikan kepalanya ke depan. Memiringkan kepala, menatap Hera penasaran.


“Beberapa bulan yang lalu telah terjadi keributan besar di sekolah ini. Pertengkaran dua gadis yang mendapat julukan di sekolah ini. Pertengkaran orang pupuler, kah?” Hera mulai bercerita, memainkan pulpen. Pandangannya tak teralihkan sedikitpun, terus menatap Hardi.


“Tapi nyatanya, gadis pemalu dari kelas tertentu adalah pelakunya. Semua orang terkejut, saling bertanya kenapa dia melakukan hal itu.”


“Kenapa dia melakukan hal itu yah ...,” Hardi mengeluarkan suara. Nadanya terdengar ringan, seperti ejekan.


“Untung saja ada Sang Pelindung? Lelaki yang dikagumi para siswa dan guru di sini. Dia berhasil mengungkap siapa pelakunya. Ternyata Gadis pemalu itu diancam oleh pelaku sebenarnya. Pelaku sebenarnya adalah seorang siswa yang memang terkenal buruk akan segalanya. Dan pelaku itu adalah –“


“Ya itu aku, aku yang melakukannya. Kau puas? Akulah iblis yang mencoba mengadu dombakan dua wanita sok baik itu.” Hardi menyanggah cerita Hera, menutup mata cukup lama, mengakui perbuatannya.


Mendengar hal itu, Hera menundukkan kepala, tubuhnya bergemetar.


“Lalu memangnya kenapa? Apa kau ingin menceramahiku lagi karena masalah it–“ lanjut Hardi tersenyum ringan. Tetap menutup matanya.


“Karna hal inilah aku menyebutmu Villain Role, Bocah.” Hera menggeram, mengangkat kepala, menatap tajam Hardi. Wanita rupawan itu sungguh terlihat marah.


“Sungguh, orang-orang di sekolah ini terlalu lambat menyadarinya. Kenapa kau lakukan itu!?” Hera mulai berdiri, berbalik dan memberikkan punggungnya pada Hardi yang berwajah khawatir.


“Ap-apa maksudmu?” Hardi mengalihkan pandangan. Memegang tangan kanannya yang bergemetar.


“Kau pikir, kau bisa menipuku? Kau pikir, aku akan berpendapat seperti mereka. Menganggapmu sebagai siswa bajingan dan pecundang, siswa kegagalan yang menjadi penyesalan bagi para guru yang menerimamu di sekolah ini.”


“Kau pikir aku akan seperti mereka, menganggap Sang Pelindung adalah pahlawan sebenarnya yang memecahkan kasus itu?” Hera tetap menggeram, nadanya terdengar dalam. Hardi melebarkan mata menatap wanita dewasa itu, mulutnya terbuka lebar.


“Kau hanya ingin menghentikan pertengkaran mereka. Memaksa mereka mengeluarkan isi hatinya. Membiarkan Annisa dan Rina bersatu.


Kau hanya ingin menghentikan penindasan dan diskriminasi di sekolah ini, seperti yang didapat Annisa dan Wafa,” pelan Hera menundukkan kepala.


Hardi seketika tersenyum kecil, menundukkan kepala. Hatinya terasa sakit dan hangat. Bukan karena sedih, tapi bahagia.


“Lalu aku bertanya. Kenapa harus dengan cara itu? Kenapa kau harus memainkan peran itu dan mengambil kebencian mereka semua.” Hera berbalik, menatap Hardi penuh kesedihan.


“Astaga, kau benar-benar sesuatu yah, Bu Hera. Aku benar-benar menaruh hormat padamu sekarang,”  Hardi tersenyum sedih. Bertepuk tangan kecil, hanya dengan jarinya. Hera yang melihat itu semakin menyipitkan mata, menatap khawatir lelaki di hadapannya.


“Sudah kuduga ....”


“Sepertinya aku sudah tak perlu bersikap arogan lagi. Tapi sungguh, bagaimana bisa Ibu menyetahuinya. Ibu seakan melihat langsung rencanaku.”


“Dari ujian yang ibu lakukan selama ini, dan penyeledikan tentang hubungan Annisa dan Rina sebelum insiden itu.”


“Ujian?”


“Kau jenius, pemikiranmu tiga langkah lebih depan dari yang lainnya.  Bukan hal yang sulit untukmu menduduki ranking pertama di sekolah ini. Lalu kenapa kau tetap di posisi terendah?” Hera bertanya cukup penasaran.


“Bukan berarti aku menganggap redah sekitarku, aku memiliki alasan untuk itu.” Hardi menjawab, tersenyum pada gurunya. Hera membalas senyuman Hardi.


“Beasiswa Annisa?”


Tubuh Hardi bereaksi setelah mendengar pertanyaan Hera yang pelan. Dia tak bisa menjawab, hanya bisa menundukkan kepala.


“Sudah kuduga, bahkan kau melakukan sampai itu juga ...,” Hera menundukkan kepala, masih berwajah sedih.


“Tapi darimana ibu bisa mengetahui pentahuanku?”


“Dari soal ujian yang ibu buat beberapa waktu itu.”


Begitu, Pantas saja ada beberapa soal tak normal yang ibu berikan. Aku bahkan sangat berpikir keras untuk menjawab soal itu,” lanjutnya.


“Tak mengherankan, malah aku benar-benar terkejut kau bisa menjawabnya dengan benar.  Itu soal tingkat tinggi, bahkan beberapa teman sekelasku di Harvard tak bisa menjawabnya.”


“Pantas saja! Aku pikir otakku yang sudah mulai tumpul, tapi memang soalnya sesulit itu yah.”


“Kau selalu saja mengerjakan nomor 1 dan 8. Maka dari itu aku menyimpan soalnya di sana,” Hera tertawa kecil melihat Hardi.


Sesaat suasana terasa hening. Tak ada dari kedua belah pihak yang kembali mengeluarkan suaranya.


Hera kembali membalikkan tubuhnya, membelakangi Hardi. Mulai bergumam pelan dengan nada cukup berat, bagaikan peringatan.


“Ini masih belum terlambat. Berhentilah memainkan peran itu. Ibu bisa memberitahukan rahasia ini pada semua orang tentang masalah beberapa bulan yang lalu. Pahlawan sebenarnya dari kasus itu, adalah kau. Bahwa kau sengaja membuat Annisa dan Rina mengeluarkan isi hatinya, agar pertengkaran mereka tidak terbawa nanti di ruang lingkup masyarakat.”


“Tidak mau yah –“


Bu Hera lekas berbalik, berjalan cepat menghampirinya. Mengangkat kerah Hardi. Memberikan tatapan tajam padanya, sungguh sangat murka.


Tubuhnya bergemetar ketakutan, sungguh bergemetar hebat hingga membuat Hardi terkejut ketakutan.


“Dengarkan aku, Bocah!! Lebih baik kau menggunakan rokok atau minuman keras daripada melakukan hal ini!! Itu lebih baik!!” Mendengar hal itu, Hardi mengalihkan pandangan. Merasa bersalah.


“Kau pikir keren berbuat baik dengan cara seperti ini?! Kau pikir menganggumkan dan hebat menolong sekitarmu dengan cara ini, HAH?!”


Bu Hera menangis, menundukkan kepala. Hardi hanya terdiam menutup mata, merasa bersalah.


“Kau tak akan mendapatkan apapun dari segala perjuangan, pengorbanan, dan kebaikanmu. Kau akan mati mendapatkan kutukan itu, hanya akan meninggalkan penyesalan mengerikan pada orang-orang yang mendapat kebaikanmu.” Bu Hera melepas kerahnya. Menutup wajah, mengingat kenangan buruk di masa lalu. Dia menangis, terus menangis akan masa lalunya.


Hardi tersenyum kecil, menjawab segera pertanyaanya. “Aku tau hal itu. Tapi aku tak bisa berhenti di sini. Dosaku sudah terlalu banyak, dosaku takkan pernah termaafkan.” Hardi menyentuh luka bakarnya.


“Tapi –“ Hera mengangkat kepala, menangis lebih dalam, menyipitkan mata menatap Hardi penuh keprihatinan.


“Tenanglah, Bu. Asal mereka tidak tau kebenarannya. Mereka akan baik-baik saja.”


“Lalu bagaimana denganmu,” pelannya, amat sedih. Kembali menundukkan kepala.


“Terimakasih sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku baik-baik saja, dan kuharap Ibu tetap memperlakukanku seperti biasa. Siswa berandal yang dibenci semua orang.” Hardi berdiri, berjalan pergi meninggalkan ruangan.


“Aku sungguh senang mendengar peringatan Ibu. Aku permisi.” Hardi meninggalkan ruangan. Tak ada jawaban dari Hera untuk Si Bajingan. Dia hanya bergumam pelan bertanya pada dirinya sendiri. “Apa-apaan ini?”




***


No comments:

Post a Comment