Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Bab IV
Perpisahan
Perpisahan
Botol plastik kosong
terus mengisi kesaharianku. Mereka sudah menjadi teman hidupku. Setiap waktu,
aku terus memunguti mereka. Bukan berarti aku peduli lingkungan atau apapun.
Aku hanya melakukan ini demi perutku nanti. Hanya ingin menyambung kehidupan
yang sukar ini.
Sudah satu tahun panti asuhan tempat mengasuhku bangkrut.
Teman-temanku sudah memiliki keluarga barunya sendiri. Mereka terlihat bahagia,
aku juga turut gembira.
Hanya aku seorang yang tak bisa mendapatkan keluarga. Tak
apa, mungkin memang belum waktunya. Sebelumnya, Bu Maria, pengurus panti asuhanku dulu ingin mengadopsiku.
Tapi tidak bisa, anaknya sudah terlalu banyak. Aku tak ingin membebaninya lebih
dari ini. Dia wanita paling berjasa dalam hidupku.
Ya, alhasil aku di sini. Hidup sebagai anak jalanan.
Mengais rejeki dari tumpukan sampah orang yang berada. Banyak rintangan dan
halangan untuk mempertahankan kehidupan keras ini. Tapi aku menjalaninya dengan
sepenuh hati. Aku percaya, jika roda kehidupan terus berputar. Jika Tuhan tak
pernah meninggalkan orang-orang seperti kami.
Aku tidak tau seperti apa sifat orang tua kandungku. Aku
tak tau seperti apa rupa ayah dan ibuku. Sejak masih bayi, aku sudah
ditinggalkan di depan pintu panti asuhan yang pernah merawatku. Aku tak
membenci mereka, khususnya ibu kandungku.
Dia tetap pahlawanku. Dia yang melahirkanku, memberikanku kehidupan. Tak apa, sungguh tak apa jika dia
meninggalkanku, mungkin karena itu memang yang terbaik.
Di sisi jalan besar, di saat aku sedang memunguti sampah.
Terdengar suara gadis yang berbicara padaku. Sangat indah suaranya hingga membuat hatiku
bergemetar.
Aku berdiri, berbalik menatap dia yang memanggilku.
"Hei, rambut keriboo. Sedang apa kau?”
Mungkin dia seumuran denganku, tujuh tahun. Masih
anak-anak, tapi gaya bicaranya terdengar dewasa. Rambutnya berwarna kuning
keemasan. Orang luar?
"Aku masih menunggu jawabanmu,” gadis itu mengembungkan
pipi. Terlihat kesal, tak mendapatkan jawaban.
“Ah, aku sedang memunguti sampah,” aku tersenyum.
Bersikap ramah. Sejak kecil, Bu Maria mengajarkanku sopan santun. Aku beruntung
dia yang mengurusku.
“Ohh, kau orang baik.” Si Gadis tersenyum lebar.
Menompang kedua tangannya di atas pinggang.
Dia memakai pakaian one
piece putih, memakai bondu putih di atas kepala. Rambutnya pendek,
menyentuh bahu yang mungil. Dia benar-benar cantik.
Aku tetap terdiam, masih terkagum-kagum melihat dia yang
rupawan. Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.
"Baiklah, kau kupilih!”
Gadis itu menunjukku, tersenyum bersemangat. Mulai
berjalan mendekat. “Namaku Rina Herliana.”
“Ah iya, Rina. Kau bisa memanggilku Adi.”
“Adi namamu? Pendek sekali.”
“Itu panggilanku. Ja-jadi ada apa? Apa maksud perkataanmu
tadi.”
Rina menutup mata, menyatukan telapak tangan. Memohon
meminta pertolongan. “Ak-aku tersesat! Tolong aku.”
Dia pasti putri dari keluarga yang bukan sembarangan. Aku
tau hal itu, terlihat jelas dari pakaiannya yang berkelas.
Sungguh ceroboh sekali
pengawal yang mengawasi Rina. Dia bisa menjadi target penculikkan yang mudah
karena rupanya. Lagipula auranya benar-benar terasa berbeda dengan anak-anak lainnya.
“Baiklah aku akan
membantumu,” ujarku, membenarkan karung besar yang kubawa. Tersenyum pada dia
yang mulai membuka mata.
“Benarkah!? Terima
kasih!! Perlu aku bantu?” Rina berjalan mendekat, terlihat khawatir, dan
menawarkan bantuan. Tapi aku tolak, berjalan mundur sambil berkata. “Ini kotor,
kau tak pantas memegangnya. Selain itu, ini sangat berat.”
“Maka dari itu, aku
ingin membantumu.” Rina kembali berjalan, tetap keras kepala ingin membantuku.
“Tidak bisa, aku tak
bisa membiarkanmu melakukan ini. Tenang saja, aku sudah terbiasa kok.”
“Hmm, begitu.” Rina tak
senang, memasang wajah datar melihatku. Apa aku sudah membuatnya marah?
“Jadi di mana rumahmu?
Biar aku antar.”
“Perum Istana Raja,
Blok A.” Rina masih memasang wajah datar, mengalihkan pandangan dariku. Sudah
kuduga, aku membuatnya marah.
Tunggu, Perum Istana Raja? Itu
perumahan paling berkelas di kota ini. Dan juga Blok A, sudah kuduga jika gadis
ini bukan gadis sembarangan.
“Maaf Rina, jika aku
membuatmu tersinggung. Tapi mari kita berangkat, perum itu tidak terlalu jauh
dari tempat pinggiran seperti ini,” aku tersenyum mulai berbalik dan berjalan.
“Syukurlah jika kamu
merasa bersalah. Sudah kuduga kamu anak yang baik. Ketika aku besar, aku ingin
menjadi sepertimu.”
“Menjadi sepertiku?
Maksudnya sifat atau pekerjaanku?” Aku melirik dia yang berjalan mengikutiku.
“Tentu saja, keduanya,”
Rina tersenyum lebar. Memberikan dua jarinya. Terlihat bangga.
“Eh, apa enaknya
bekerja seperti ini? Kau harus kotor setiap hari, Rina.” Aku menyipitkan mata, melirik
penasaran pada gadis aneh ini.
“Kau memunguti sampah,
merawat bumi yang sudah kotor. Pekerjaanmu sungguh mulia, Adi.”
“Benarkah?”
“Tapi tunggu dulu, jika
kau bekerja. Apa kau tidak sekolah?!” Rina bertanya khawatir, menghentikan
langkahnya.
Perlahan, tatapannya berubah
menjadi prihatin melihatku.
“Aku tak memiliki uang
untuk bersekolah. Maka dari itu, kalian yang bersekolah harus menjadi orang
yang lebih baik dari kami. Membuat negara ini menjadi lebih baik. Agar
orang-orang sepertiku berkurang, atau mungkin tidak ada.” Aku menjawab
pertanyaannya, tertawa kecil pada dia yang mengkhawatirkanku.
Rina semakin
mengecilkan kelopak mata. Memberikan tatapan kesedihan padaku. Hampir menangis.
Satu hal pasti yang
kini kutahu tentang Rina. Dia gadis yang cengeng. Mudah tersentuh akan beberapa
hal.
“Ba-baiklah Rina, ikut denganku.” Aku kembali
menghadap ke depan. Berpura-pura tak melihat dirinya yang mulai menangis. Dia
tak menjawab pernyataanku, tetap menundukkan kepala. Kembali berjalan
mengikutiku.
Cukup lama suasana
canggung terasa. Kami menutup mulut, kebingungan mengeluarkan kata-kata.
Sesekali sambil terus berjalan, aku memunguti botol plastik bekas. Menambah
pundi-pundi penghasilan.
Perlahan, Rina memasang
wajah cerianya kembali. Tersenyum melihatku yang memunguti sampah. Memasang
wajah kagum melihat pemulung sepertiku.
“Hei, Adi! Ceritakan
tentangmu.” Aku terdiam cukup terkejut mendengar perkataanya. Mustahil kuceritakan
kisah hidupku yang cukup menyedihkan. Tak mungkin kukatakan jika aku
ditinggalkan oleh kedua orang tuaku
sejak lahir. Bisa-bisa dia kembali menangis.
Tak kujawab
permintaanya. Tetap diam, terus melangkahkan kaki ke tempat tujuan. Rina
mengembungkan pipinya kembali, terlihat manis. Ya meski kutau jika dirinya
kembali kesal.
“Hei, Adi! Aku sedang
berbicara padamu ....“ Rina terdiam.
Suaranya semakin mengecil, terpotong oleh suara dari perutnya yang lapar.
Gruugk, bunyinya.
Wajah gadis manis itu
memerah, memegang perut lapar dengan kedua tangan. Dia malu, dan wajahnya
terlihat semakin manis. Lebih dari cukup membuat jantungku berdetak semakin
cepat. Membuat wajahku terasa panas, sedikit memerah.
Kini aku yakin, jika aku benar-benar sudah
jatuh hati padanya.
Dia hampir menangis
lagi karena rasa malunya. Aku tersadar, lekas menyimpan kantong karung di atas
tanah. Mengambil roti murah di sakuku.
“Ini, kau bisa
memakannya.” Aku memberikan padanya, pada gadis yang membuat jantungku berdetak
cepat itu. Dia
tersenyum lebar, berniat menerima roti plastik itu. Memang tak bermerek dan
terasa keras di mulut, tapi lebih dari cukup untuk mengganjal perut yang lapar.
Tapi, belum tangan Rina menyentuh rotiku.
Mulai terdengar teriakkan wanita paruh baya memangil namanya. Terdengar keras
dengan nada yang berisi kekhawatiran amat dalam.
“RINA!!” Wanita itu
sama rupawannya seperti Rina. Layaknya gambaran Rina ketika dewasa nanti, pasti
ibunya. Wanita itu menangis, berlari menghampiri putrinya.
Rina juga menangis,
mengabaikan tanganku yang memegang roti. Aku tersenyum, menurunkan tangan.
Syukurlah jika dia bisa bertemu kembali dengan keluarganya.
Aku berbalik, mulai
memasukkan roti ke dalam saku celana.
Tapi tubuhku lekas tersungkur jatuh.
Seseorang mendorong punggungku. Roti yang kubawa terjatuh di dekatnya.
“Pergi kau anak kumuh.
Ini bukan tempatmu.” Lelaki dewasa bermuka seram memarahiku. Dia memakai
pakaian serba hitam, mungkin seorang penjaga tempat berkelas di wilayah ini.
Dia menginjak rotiku,
satu-satunya makan siangku nanti. Ah, terjadi lagi. Ini sebabnya aku malas
mencari botol plastik di sekitar sini. Mereka selalu memperlakukanku layaknya
sampah.
“Ambil ini, bocah
kumuh!!” Penjaga itu melemparkan karungku. Mengenai tubuh, terasa sakit. Botol
plastik yang kukumpulkan sejak pagi, berserakan dimana-mana.
Aku tersenyum memungut
barang berhargaku. Tanpa botol-botol ini, aku tak bisa makan nanti. Sesaat, sambil
mengumpulkan botol plastik aku menatap Rina.
Rina cukup jauh dari
tempatku, tak melihatku. Dia masih menangis bahagia, memeluk ibunya amat erat.
Tak apa, aku tak mengharapkan bantuannya. Asal dia bahagia, itu bagus. Tak
perlu dia kembali bersedih melihatku yang diperlakukan seperti ini.
Dengan perasaan sakit
karena perlakuan yang tak mengenakkan, aku berjalan pergi. Berjalan menjauh,
sejauh mungkin meninggalkan gadis yang menjadi cinta pertamaku. Aku akan
mengingat dirinya yang mudah menangis, yang mudah tersentuh karna hal kecil.
Semoga aku dapat bertemu
kembali dengannya. Dengan dia, yang membuat hatiku bergemetar hebat.
***
Harapanku akhirnya terkabul. Akhirnya Tuhan melihat kerja
kerasku. Akhirnya ada keluarga yang mau menerimaku yang terlihat menyedihkan.
Karena hal sepele aku diangkat anak oleh sepasang suami
istri yang rupawan ini. Robins dan Lisa, namanya. Ya, mereka warga negara
asing, Negara Inggris.
Aku hanya menyelamatkan
putri tunggal mereka yang hampir tertabrak. Benar-benar suatu kebetulan. Ya
meskipun kedua kakiku patah karena
aksi heroik ini.
Mereka sangat baik padaku. Membawaku ke rumah sakit,
memberikan wajah khawatir melihatku yang masih terbaring di atas kasur.
Lisa bertanya beberapa hal padaku. Seperti siapa namaku,
dimana rumahku dan orang tuaku. Aku menjawab semua pertanyaan dengan kebenaran.
Menjelaskan kondisiku sesungguhnya yang berada di jurang kemiskinan, sendirian.
Dia menangis, memeluk tubuhku. Sungguh menangis frustasi,
membuat hatiku terasa sakit. Apa tangisan bisa menular? Aku baru mengetahuinya.
Karena saat dia melakukan itu, aku juga menangis.
Aku merindukan pelukan ini. Sangat merindukannya.
Sejak saat itu, keluarga Arthurea mengangkatku menjadi bagian
keluarga. Membawaku ke negara mereka. Negara Inggris.
Banyak yang tak setuju
dengan keputusan Ayah dan Ibu. Itu panggilanku sekarang pada Robins dan Lisa.
Mereka orang tuaku sekarang, mereka adalah malaikat pelindungku. Aku sangat menyayanginya.
Beberapa pelayan dan
penjaga keluarga benar-benar membenciku. Bahkan kerabat juga tak menganggap
keberadaanku. Aku dianggap sebagai aib keluarga. Tapi itu tak apa, ayah dan ibu
tetap menyayangiku. Mereka selalu
membelaku.
Selain itu juga ada
Lili yang sudah menjadi adikku. Liliana Arthurea nama lengkapnya, umurnya empat
tahun lebih muda dariku. Dia benar-benar lucu dan menggemaskan. Aku sungguh
beruntung memiliki adik semanis dirinya.
Kakak Haldy, kata itu selalu
terngiang dalam telingaku. Itu panggilan unik dari
Lili. Lidahnya masih pendek, kesulitan mengucapkan kata rumit, khususnya yang
ada huruf R.
Dia sangat manis dan
menggemaskan. Dia malaikat keluarga Arthurea. Rambutnya yang berwarna kuning
lemon, benar-benar membuat hatiku tenang. Bunyi suara dari perkataannya yang
belum benar, membuat tubuhku lemas tak berdaya.
Sungguh ingin
melindunginya. Sungguh sangat ingin menjaganya. Dia adalah harta berharga keluarga
ini. Ayah dan ibu, termasuk aku amat sangat menyayanginya.
Ada satu pengawal pribadi yang selalu bersamanya.
Adam namanya. Dia lelaki yang baik, seumuran denganku. Dia sahabat pertamaku.
Kami bertiga selalu
bermain bersama. Lili terasa seperti adik kami berdua. Dia selalu mengikuti
kami berdua. Tertawa bahagia, menangis lucu, dan tersenyum menggemaskan. Setiap
hari tak terasa bosan bersamanya, bermain bersama adik kecilku.
Aku bersumpah dari hati
terdalamku. Akan melindunginya,
menjaganya, membuat dia bahagia selama hidupnya. Dia adalah hartaku yang amat
berharga.
Kesedihannya adalah
malapetaka bagiku. Kebahagiannya adalah anugerah untukku.
Kini dua tahun telah
berlalu. Lili sudah bermur lima tahun. Dia tetap gadis manis yang menggemaskan.
Aku dan Adam semakin akrab. Kami benar-benar sudah seperti saudara.
Bulan April, tahun
2006. Aku bersama keluargaku berlibur ke villa di Gunung Cikurai, Negara
Indonesia. Itu villa pribadi keluarga kami.
Lili sudah bisa
berbicara dengan fasih, meski umurnya masih lima tahun. Kepintarannya
benar-benar sudah terlihat. Tapi meski begitu, dia tetap masih mengikutiku,
tetap masih menghormatiku.
“Hei, Tuan. Sepertinya Nona
Lili, semakin menyukai kembang api?” Adam duduk di samping, tersenyum menatapku
yang membaringkan tubuh di atas rumput hijau. Kami sedang berada di halaman
depan.
“Panggil aku Adi atau Hardi.
Sudah berapa kali aku mengatakannya padamu, Adam?”
“Hee, kenapa aku harus
melakukan itu? Aku hanya melakukan hal yang wajar dengan memanggilmu seperti
ini.”
“Kau sahabatku, apa itu
menjawab pertanyaanmu.” Aku membuka mata. Mulai duduk, melirik sinis dia yang
duduk di sampingku.
“Ta-tapi aku sedang
bertugas di sini. Jadi wajar jika aku memanggilmu seperti itu.” Adam membuang
pandangan dariku. Berwajah khawatir. Aku tak membencinya. Dia hanya ingin
melakukan tugasnya dengan benar. Seperti Ayahnya yang menjadi pengawal Ibu
Lili. Ayahku terlihat keren, kata si bermata merah ini, cukup sering.
Aku membuang nafas
perlahan, kembali menutup mata. “Terserahlah,” ucapku lalu berdiri memberikan
tangan pada Adam. Dia tersenyum, meraih tanganku.
“Lalu soal Lili tadi,
aku punya ide untuk ulang tahunnya nanti. Aku akan membelikkan kembang api
untuknya, sangat banyak. Bagaimana?”
“Tu-tuan, kau tau, dia
sudah membeli kembang api sangat banyak itu. Lagipula apa anda tak khawatir
dengan ketertarikannya yang berlebihan itu?”
“Ya, aku juga mulai
cukup khawatir dengan ketertarikkannya pada kembang api. Adikku masih belum
mengetahui akan bahaya dari benda tersebut.” Aku berpikir, cukup khawatir.
Jantungku berdetak cepat jika memikirkan kemungkinan terburuk yang dialami
Lili.
“Kau benar –“ Ledakkan cukup keras memotong perkataan Adam. Dalam
hitungan detik, kobaran api menyelimuti villa tempat keluargaku berada. Ayah
dan Ibu masih berada di dalam. Lili juga ada di ruang tengah, sedang les piano.
“AYAH, IBU, LILI!!” Aku
berteriak, menangis, dan berlari mendekati bangunan yang sudah terlalap api.
Tapi Adam menarik bajuku, berteriak ketakutan padaku.
“Sudah terlambat, Hardi!!
Kau hanya akan mati jika masuk ke sana!!” Dia menangis ketakutan, melihat
penampakkan yang mencekam ini. Tak mengherankan, cinta pertamanya, adikku juga
berada di sana. Aku sudah tau perasaannya. Dia juga amat sangat terluka.
Aku berbalik, menyentuh
tangan kanannya yang memegang bajuku. Adam melihatku, memberikan tatapan
penasaran.
Aku memukulnya, amat
sangat keras. Dia tersungkur jatuh, memberikkan tatapan penasaran padaku.
“Aku akan menyelamatkan
mereka!! Mereka adalah penyelamatku!! Meski nyawaku menjadi taruhannya,” aku
berlari meninggalkan Sang Sahabat. Adam hanya berteriak memanggil namaku, takut
kehilanganku.
Detak jantungku
berdetak cepat, pernapasanku berhembus tak karuan. Takut, aku sungguh takut
akan perasaan mencekam ini.
BRAANKS, seperti itu
suaranya. Aku menerobos kaca jendela yang sudah terbakar. Memang terasa sakit,
tapi tetap kutahan. Kembali berlari mencari keluargaku.
Ruang tengah menjadi
pilihanku. Ada Lili di sana. Dia masih seorang anak gadis, masih kecil. Prioritas
utama yang harus diselamatkan.
Tapi sesampainya di
sana, aku hanya terdiam. Tubuhku bergemetar. Menangis samakin dalam, hatiku
terasa amat sakit. Kesakitan ini merupakan hal yang pertama bagiku.
Ayah dan Ibu tertimpa
puing bangunan. Hanya bagian atas yang terlihat. Mereka menahan puing bangunan
itu dengan tubuhnya, menyangga puing itu dengan tangannya. Di tengahnya ada
Lili, yang terbaring tak sadarkan diri. Tak terluka.
Apa-apaan ini, itu pikirku. Memegang
dada yang terasa dihancurkan. Aku lekas berlari menghampiri mereka. Mengangkat
puing bangunan dengan tangan ini. Terus berusaha keras, berteriak berharap mendapat kekuatan, hingga kedua telapak tanganku terluka.
“Hardi ....” Ayah
tersenyum menutup mata, darah dari kening menetes melewati mata kirinya.
Suaranya terdengar pelan, sungguh menyayat hati.
Berbeda dengan Ayah,
Ibu tak mengeluarkan suaranya. Tersenyum, tetap menutup mata. Kepalanya benar-benar dipenuhi oleh darah. Tak ada hembusan nafas
yang dia keluarkan.
“Lisa mungkin sudah
pergi, tapi tidak untuk Lili. Se-selamatkan dia,” Ayah membuka mata, menatapku penuh
keseriusan.
“Ayah ....” Aku menutup
mata sungguh rapat. Memeluk tubuhku sendiri yang bergemetar. Kumohon hentikan ini, aku tak mau in–
“Ce-cepatlah!!” teriak
Ayah sangat marah. Ini pertama kali aku mendengar suara tingginya. Aku lekas
menarik Lili dari pelukan kedua orang tuanya. Memeluknya, sangat erat. Detak
jantungnya masih ada, SYUKURLAH!!
“Pergilah, hiduplah!
Kami berdua menyangi kalian! Tolong jangan lupakan itu.”
“Ayah ...,” aku
menggelengkan kepala, tak ingin meninggalkannya. Dia adalah pahlawanku, yang
menyelamatkanku dari kerasnya kehidupan. Aku tak ingin ini, tak mau ini.
Kumohon, siapa saja –
“PEGILAH!!!”
Hatiku tersentak,
tubuhku bergemetar hebat mendapatkan tatapan kemurkaan dari Ayah. Dia
berteriak, membuat tubuhku bergerak. Aku berjalan mundur menjauhinya.
“Tolong lindungi
adikmu, Hardi!” Ayah tersenyum, menutup mata. Menghembuskan nafas terakhirnya.
Melihat hal itu, aku menutup mata,
menggigit bibir bawah hingga terluka. Lekas berbalik ke belakang. Berniat
berjalan pergi dari malapetaka ini.
Tapi Si Jago Merah
telah menyelimuti seluruh jalan keluar. Kami terperangkap, ini akhir kami–
Tidak!! Aku akan menyelamatkannya, adikku Liliana!! Setidaknya dia harus
hidup!!
Aku membuka baju,
memberikan baju itu untuk menutupi seluruh tubuh Lili. Memiringkan tubuh.
Biarkan mereka memakan tubuhku. Ini tak apa, asal dia bisa selamat. Aku tak
peduli dengan tubuh ini.
Aku berjalan, berlari
menembus dinding api yang mengerikan. Tubuh bagian kiriku panas, terasa sakit,
amat sangat sakit. Tapi ini tak seberapa dengan hatiku yang hancur.
Semakin lama, tubuh ini
mencapai batasnya. Kumohon sempatlah, sampailah di luar sebelum tubuh ini hancur. Aku menaikkan tempo lari, Lili bergumam pelan
di kondisi tak sadarnya. Kakak, itu
katanya.
Terima kasih, itu lebih
dari cukup untuk membuat tubuhku lebih kuat. Apapun yang terjadi, aku akan
menyelamatkannya. Setidaknya hanya dia, yang bisa selamat dan keluar dari
malapetaka ini.
***
Perlahan kubuka mata, rintikan hujan gerimis berbisik di
telinga ini. Aku masih kesulitan menggerakkan kepala. Bagian kiri tubuhku
terasa sakit, karena luka bakar.
Tapi rasa sakit itu mulai menjalar ke hati, menyayat
membuat mata ini terasa panas. Aku mulai mengingatnya, akan malapetaka yang
merenggut nyawa orang-orang yang kusayang.
Aku menangis, menutup
mata sangat rapat.
Kenapa semua ini harus
terjadi? Apa kesalahanku? Apa dosaku hingga Tuhan mengambil kembali
kebahagiaanku. Mengambil kedua orang tua yang kukagumi.
“LILI!!” aku berteriak.
Teringat akan dirinya. Ingin bangkit, ingin segera mengetahui nasib adik
tercintaku. Terasa sakit, tapi bisa kutahan luka ini. Aku ingin melihatnya segera.
Adam datang memasuki
ruangan, menangis melihatku yang tersadar. “Syukurlah!”
Aku tersenyum
menatapnya, tapi lepas itu memasang wajah serius. Bertanya pada dia yang masih
memasang wajah terharu.
“Dimana Lili?!”
“Dia selamat. Ta-tapi kejiwaannya
....” Suara Adam semakin pelan. Semakin menundukkan kepala, menatap lantai
tempat ia berpijak. Terlihat frustasi.
“Terganggu, kah?” aku
tersenyum sedih, menyipitkan mata. Tak aneh, aku sudah menduganya. Lili hanya
gadis berumur lima tahun. Tidak mengherankan jika kejiwaanya terganggu setelah
insiden ini.
Ayah dan ibu yang
selalu bersamanya, yang selalu melindungi dia telah pergi meninggalkannya sendiri–
tidak, masih ada aku. Kini aku yang akan melindunginya. Memberikan dia
kebahagiaan.
Waktu berjalan amat
cepat. Sudah dua bulan sejak
insiden mengerikan itu terjadi. Perban yang membalut sebagian tubuhku sudah
terlepas. Tapi Lili, adik tercintaku, masih tertidur di atas kasur mewahnya.
Kejiwaannya masih terganggu.
Setiap hari, setiap
malam aku selalu mengunjunginya. Duduk di samping dia yang ingin kulindungi
segalanya. Tetap menemaninya, menyentuh pipinya, mengusap kepala dia yang
selalu memanggil orang tuanya.
Kumohon sembuhlah.
Apapun akan kulakukan, asal engkau sembuh dan bangkit dari keterpurukan. Aku
ingin melihat senyumanmu yang manis, tertawaanmu yang menggemaskan, dan
ekspresi lain wajahmu yang menganggumkan.
“Ini salah Lili. Lili
yang bersalah.” Lili yang sebelumnya memberikkan tatapan kosong, mulai
menyipitkan mata. Menangis mengutuk dirinya sendiri.
“Tidak, ini salah
Kakak, Lili! Kakak yang bersalah, Kakak yang bertanggung jawab atas semua
ini!!” Aku berteriak, berbicara padanya. Syukurlah, dia mulai mengeluarkan
suara selain kata ayah dan ibu. Tubuhku bergemetar, bibirku tersenyum lebar
melihat dirinya.
“Ini salah Lili. Lili
yang bersalah.” Dia kembali mengucapkan kata yang sama. Lebih dari tiga kali,
terus berulang. Senyuman yang sebelum kupasang mulai kulepas.
Gawat. Jika seperti ini
terus, Lili hanya akan menyalahkan dirinya sendiri. Membenci dirinya yang
diselimuti rasa bersalah.
“Maaf Lili, sebenarnya
ini ulahku. Aku sengaja membunuh ayah dan ibu.” Aku mengeluarkan suara,
berbisik pada telinganya. Mengeluarkan pernyataan palsu, demi kebaikannya.
Lili terdiam, tak
mengeluarkan kalimat berulang. Matanya melebar, terus melebar. Dia mulai
melirik sinisku dengan penuh kemarahan. Berhasil? Apa cara ini berhasil?!
“Kenapa ...?” tanya
pelannya. Nadanya terdengar dalam. Dipenuhi kemarahan.
Berhasil! Dia merespon
suaraku. Aku harus melakukan ini. Aku mengerti sekarang akan kondisi yang
diderita Lili. Aku mengerti, bagaimana cara menyembuhkannya.
Dia membutuhkan tujuan
hidup.
“Maaf, sesungguhnya
sejak awal aku mengincar harta keluarga kalian. Aku berniat membunuh mereka
dengan cara ini. Tapi tak kusangka ini akan berhasil,” aku tersenyum arogan,
berjalan mundur menjauhinya. Mataku melebar, menatap tajam adik kecilku yang
mulai duduk.
Kuharap, aku sudah
terlihat sangat jahat di matanya.
“Begitu ..., jadi ini
ulah Kaka–, iblis? Ya, Iblis! Kau Iblis .... Kau bukan Kakakku.” Lili berdiri,
berjalan normal, langsung sehat seketika. Dia tersenyum kecil melihatku.
Senyuman yang terasa menusuk hatikku sangat dalam.
Lili lekas berlari,
mendorongku hingga terjatuh. Mencekik leher amat sangat erat. Aku sulit
bernafas, terasa sesak. Aku akan mati di sini, itu pikirku sebelum pintu kamar
terbuka sangat cepat. Adam memasuki ruangan, karena mendengar suara benturan
sebelumnya. Dia memasang wajah kebingungan melihat kami bedua. Lili sudah
melepaskan cenkramannya.
“Apa yang terjadi?” tak
ada suara yang menjawab pertanyaan Adam. Aku terlalu sibuk mengambil nafas.
Tapi syukurlah,
akhirnya Lili sembuh. Aku berhasil melakukannya. Aku berhasil menyelamatkan
harta berhaga keluarga kita, Ayah, Ibu!!
Meskipun ganjaran yang
kudapat adalah ....
“Aku bersumpah atas
nama Tuhan. Akan menghancurkan kehidupanmu, Iblis.” pelan Lili, mulai berdiri
dan menatapku bagaikan butiran debu yang tak berharga.
Ya .... Gadis yang
selama ini ingin kulindungi, kini membenciku. Amat sangat membenciku.
***
Sudah lebih dari empat tahun sejak kejadian mengerikan
itu. Kini tidak ada seorangpun yang berada di sampingku. Mungkin Adam masih
peduli padaku, tapi Lili selalu mengancam dia untuk tak bersamaku.
Keharmonisan dan kehangatan keluarga Arthurea seakan
hancur, dibawa angin badai yang menyayat hati. Memberikan luka membekas yang
tak pernah hilang. Membuat jarak antara adikku terus merenggang.
Dia kini sangat
membenci keberadaanku.
Harta warisan Ayah dan Ibu diberikan padaku, lebih dari
80%. Membuat banyak pertentangan, membuat para saudaraku menggeram tak percaya.
Tapi seperti itulah isi dalam surat wasiatnya. Dia mempercayakan hartanya
padaku.
Tapi aku tak pantas. Kuberikan semua harta itu pada adik
tercintaku.
Berbagai penindasan terus kudapatkan. Pernah, sekali Lili
hampir membunuhku. Membakar kamarku secara sengaja. Tapi aku menyadarinya,
melompat melewati jendela lantai tiga. Kakiku patah, sangat menyakitkan. Aku
lekas dilarikan ke rumah sakit.
Adam benar-benar memarahinya. Tapi dia terlihat tak
peduli, tersenyum ringan sambil berkata.
“Kenapa denganmu, Adam?
Lili hanya ingin membunuh iblis yang menghantui keluarga kita.”
Aku tak membencinya. Tak terlintas sedikitpun dalam
pikiranku untuk membalas dendam padanya. Tak apa, asal dia bisa melanjutkan
hidupnya. Tak apa, biarkan aku menjadi pusat kebencian untuk dirinya.
Aku menyayanginya, dari lubuk hatiku yang terdalam.
Dia adalah harta keluarga kami. Putri dari dua pahlawan
yang menyelamatkanku. Malaikat kecilku yang kan kulindungi sampai akhir hayat
ini.
Belum cukup suasana
rumah yang terasa dingin. Aku juga mendapatkan perasaan diskriminasi di
sekolah. Aku berumur 13 tahun, seorang siswa SMP sekarang.
Bukan berarti mereka
menindasku dengan olokkan atau pukulan. Mereka ketakutan padaku, karena luka
bakar ini. Tak mengherankan, aku dianggap sebelah mata oleh mereka.
Diperlakukan oleh para guru berbeda.
Selain itu, kabar palsu
bahwa aku yang membunuh ayah dan ibu sudah tersebar. Sengaja kusebar demi
meyakinkan Lili bahwa akulah Si Iblis yang menghacurkan keluarganya.
Meski begitu, aku terus
berusaha membantu mereka, menunjukkan niat untuk berubah. Mencoba mendapatkan
kepercayaan. Membantu mereka yang kesulitan, tapi mereka selalu menolak. Berpikir
negatif akan niat baikku.
Bukan berarti setelah
Lili membenciku, aku juga menjadi jahat padanya. Aku selalu bertanya padanya,
tentang keadaan dia, dan bagaimana sekolahnya. Tapi aku hanya dianggap angin
semu tak berharga. Dia tak pernah melihatku, tak pernah menganggap
keberadaanku. Tak apa, aku pantas diperlakukan seperti ini.
Seandainya di masa lalu
aku bisa lebih cepat memperingatkan Lili akan bahaya kembang api, mungkin ini
semua takkan pernah terjadi.
Aku terus mendapatkan
tekanan dari sekitarku sampai suatu kejadian besar terjadi dalam hidupku.
Kejadian besar yang membuatku menjadi manusia pendosa. Menjadi manusia paling
munafik yang mengerikan. Menjadi manusia terkutuk yang dibenci keluarga
Arthurea.
Hanya inilah yang kupirkan
untuk membatu sekitar. Setidaknya aku bisa membantu mereka secara tak langsung.
Meski mereka tak menyadari bantuanku, dan malah semakin mengutuk tubuh ini. Aku
tetap melakukannya.
Aku tau akan azab dari
perbuatanku ini. Aku tau hal itu akan datang, aku sudah siap menerima segala konsekuensinya.
Villain Role, Ya!! Aku berperan palsu
menjadi penjahat. Berperan sebagai seorang bajingan. Mengambil nafsu kebencian
sekitarku. Bencilah dan hempaskan kebencian kalian padaku. Mungkin ini
takdirku, mungkin ini peranku yang terlahir ke dunia.
Kuakan membantu mereka
lewat peran ini. Bertindak layaknya iblis yang memakan kebencian mereka. Meski
kutau suatu saat nanti, hati ini akan hancur dan menggerogoti tubuh, menjadi
bangkai terkutuk yang menyedihkan dan dilupakan semua orang.
Memang aku sudah
menjadi manusia munafik, menjadi seorang bajingan. Tapi tidak pada semua orang
aku bersikap seperti ini. Pada adikku, aku tetap seperti biasanya. Pada
sahabatku, aku tetap menjadi diriku sendiri.
Untuk mengetahui
keadaan Lili, aku bertanya pada Adam. Dia tersenyum sedih selalu menjawabku.
Dia tau akan aku yang selalu berperan menjadi penjahat.
“Kenapa kau melakukan
ini? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padamu. Kau terlalu
berlebihan, Hardi.” Sahabatku sungguh mengkhawatirkanku. Dia benar-benar sahabat
sejatiku.
“Jika aku tidak ada.
Tolong jaga Lili, bimbing dia menjadi orang yang baik. Berhati bersih, menjadi
panutan orang sekitarnya.”
“Kau tak menjawab
pertanyaanku. Kau terlalu memikirkan Lili. Kau terlalu memikirkan orang lain.
Cobalah melihat dirimu sendiri yang amat terluka.” Adam semakin menatapku,
menyipitkan mata, terlihat ingin menangis.
“Aku baik-baik saja,”
aku tersenyum, melihat kedua tanganku yang bergemetar. Oke baiklah, aku tak bisa
membohongi diriku sendiri jika hati ini terasa sakit.
“Aku bisa melihatnya, Hardi.
Jutaan pedang yang menusuk hatimu itu. Kumohon hentikan ini semua, sebelum
terlambat.”
“Kau tau apa
panggilanku di sekolah dan di sekitar masyarakat sekarang?” Aku tersenyum,
mengusap luka bakar di pipi.
“Anak Iblis ...,” Adam
menutup mata. Tubuhnya bergemetar ketakutan.
“Aku tak bisa kembali
lagi,” jawab pelanku, membalikkan badan, berjalan pergi meninggalkannya.
Meninggalkan rumah utama keluarga Arthurea. Untuk selamanya. Itu percakapan
terakhirku dengan sang sahabat.
Saat kelas dua SMP,
Lili mengusirku dari rumah. Aku tak bisa mengelak, dia adalah pemilik sah
seluruh harta orang tuanya.
Aku dicoret dari daftar
nama keluarga mereka. Berubah kembali menjadi gelandangan. Mungkin lebih buruk,
aku menjadi gelandangan yang dibenci semua orang.
Untungnya Adam berbaik
hati, memberikan uang modal untukku. Aku pindah jauh ke Indonesia, tempat
asalku. Membuang nama Arthurea dari belakang namaku.
Meninggalkan keluarga
dan orang-orang yang sudah menaruh kebencian padaku. Setelah kepergianku, aku
harap mereka bahagia. Aku harap Lili tersenyum seperti ketika ia masih balita.
***
Gubuk kecil berukuran 5x6m kutempati. Memang sangat
sederhana, tapi lebih dari cukup sebagai tempat berlindung kala hujan.
Saat kelas 3 SMP, aku mulai kembali bekerja. di pagi
hari, ketika matahari masih belum muncul keluar. Kumulai membuat baso sapi,
untuk dijual nanti saat pulang sekolah.
Pulang sekolah, aku lekas berjualan menggunakan gerobak
kaki lima. Menjadi tukang mie baso. Memakai topi dan baju sederhana,
mengelilingi kota kelahiranku sampai larut malam.
Aku menyambung hidupku dengan cara seperti ini. Terus
bekerja teras, tak pernah mengeluh. Aku
tak mengutuk Tuhan yang terus memberikan cobaan berat padaku. Masih banyak
orang yang lebih kurang beruntung dariku.
Aku percaya padaNya,
percaya pada jalan terbaik untukku dariNya.
Aku tidak mengeluarkan
sifat palsu di sekolahku yang baru. Tapi sepertinya, dengan wajah menyeramkan
ini sudah lebih dari cukup membuat mereka memandangku sebelah mata.
Aku tersenyum
membiarkan mereka. Tak peduli.
Sepertinya memang
mustahil untuk melanjutkan sekolah. Rupaku hanya akan membuat sekitarku merasa
risih. Selain itu, darimana aku mendapatkan biaya untuk hal ini?
Modal hidup dari Adam,
hanya bisa mencukupiku selama beberapa tahun. Tak mungkin kupakai untuk
bersekolah.
Ya, itu memang niatku
sebelumnya. Memutus pendidikan yang selama ini kuidamkan. Tapi itu semua
berubah, setelah aku terlibat dalam insiden perampokkan bank. Setelah aku
bertemu dengan lelaki itu, pahlawan lainnya dalam kehidupanku. Pahlawan yang
takkan kulupakan segalanya dari dia yang
kuhormati. Dari dia yang menyelamatkan hidupku.
Hari itu adalah, hari
kesialan lainnya dalam kehidupanku. Aku hanya berniat menabungkan uang dari
hasil jerih payah kerja keras selama seminggu, untuk kebutuhan di masa depan.
Tapi tembakkan pistol
itu langsung meledak ke atas. Membuat kelengangan amat dalam. Memunculkan kesunyian yang
menyesakkan dada.
Hatiku berdetak amat
cepat. Aku cukup ketakutan.
Dia yang berdiri di
belakang punggung, mulai berbisik padaku. Tersenyum khawatir sambil berkata.
“Tenanglah, jangan
ceroboh. Kita akan keluar dari sini.”
Dia berbicara seperti
itu padaku– tunggu, kenapa harus aku?! Aku langsung menanyakan pertanyaan ini
padanya. Lalu jawabnya.
“Kau terlihat lebih
kuat. Aku yakin kau sudah sering mengalami hal seperti ini, anak muda.” Lelaki
itu malah tersenyum bersemangat padaku.
Apanya yang sudah
sering! Kedua kaki ini sangat bergemetar. Isi kepalaku terasa kosong. Aku sungguh
kebingungan untuk melakukan apapun.
Perampok itu berjumlah
dua orang. Hanya penjaga pintu yang memakai senjata api, sedangkan orang yang
memasukkan uang ke dalam karung, memegang pisau tajam. Dia mengancam kami,
tetap memerintahkan kami untuk mengangkat kedua tangan ke atas.
Kami menuruti
kemauannya. Ini lebih baik daripada nyawa kami yang melayang. Nyawa tak bisa
dibeli dengan uang.
Pasukan polisi sudah
mengepung bank ini. Salah satu polisi
muda terlihat berjalan cepat, ingin memasuki gedung, sangat ceroboh.
Si penjahat yang
membawa pistol panik, ketakutan. Dia juga masih muda, ketakutan.
“Jangan mendekat!!” Dia
menembakkan pistol ke samping, tak sengeja mengenai kepala wanita tua. Satu
orang menjadi korban. Suasana tegang bertambah, kericuhan memenuhi ruangan.
Beberapa wanita berteriak ketakutan.
“Diam!” Tembakkan
ketiga dikeluarkan, mengenai dada salah satu wanita yang berteriak. Langsung
merenggang nyawa di tempat. Korban kedua tergeletak di atas lantai.
Beberapa orang langsung
menutup mata, menutup mulut dengan kedua tangan. Menangis amat sangat
ketakutan. Sungguh ingin keluar dari suasana mencekam ini.
Aku marah, tak tahan
melihat pemandangan ini. Perlahan aku memindahkan tubuh, menggeser menggunakan
telapak kaki. Mendekati si perampok yang memegang senjata api. Secara perlahan
dan hati-hati ingin menghentikannya.
Mereka masih belum
menyadari pergerakkanku.
Lelaki sebelumnya, menyadari
tindakkanku. Dia tersenyum kecil, mulai mendekati perampok yang sedang
memasukkan uang.
Hanya dengan tatapan
mata, kami sudah mengerti satu sama lain.
Kami mulai
menganggukkan kepala, saling melirik. Memulai aba-aba untuk serangan.
Aku berlari amat cepat
menghampiri sang pembunuh. Dia terkejut, panik dan ketakutan. Menodong
pistolnya ke arah kepalaku.
Terlambat, pergelangan
tangannya sudah kupegang. Tembakan pistol itu meledak, melesat, dan menembus
langit-langit ruangan.
Aku memutarkan
pergelangan tangannya ke bawah. Dia melepaskan pistolnya, memasang wajah
kesakitan.
Aku menarik tangan dan
tubuhnya, dia bergerak mendekatiku. Saat seperti itu, aku lekas menendang
kakinya. Mendorong belakang lehernya dengan tangan kiriku. Dia berputar ke depan,
terjatuh hingga terlentang. Terbantingkan cukup keras
oleh kuncianku. Langsung tak sadarkan diri.
Aku berbalik, melihat
ke belakang. Lelaki yang lebih dewasa dariku juga telah menyelesaikan tugasnya
dengan baik. Mungkin lebih cepat dariku. Dia tersenyum padaku, sambil memainkan
pisau sang perampok.
Keren, itu pikirku.
Aku membalas
senyumannya, berjalan mendekati dia. Berniat menanyakan bagaimana dia melumpuhkan perampok itu, akan tetapi.
Lelaki itu berwajah
khawatir, lekas berlari menghampiriku. Aku terkejut, berwajah kebingungan.
DORR!! Seperti itu
bunyinya. Aku terkejut, melebarkan mata dan mulut. Tubuhku bergemetar
kesemutan. Kaki terasa lemas, melihat dia yang menyelamatkanku dari tembakkan.
Kami keliru dan
ceroboh. Ada perampok lainnya yang berbaur dengan para korban. Ada tiga
perampok yang melakukan aksi perampokan ini.
“He-hentikan dia,
gunakan tubuhku sebagai tameng.” Lelaki itu berwajah khawatir, menutup sebelah
mata kesakitan. Aku terkejut, melebarkan mata. Darah merahnya mulai menyentuh
pakaianku. Aku tak menyukai ini.
“Kumohon jangan
mengatakan hal itu. Kau masih bisa diselamatkan –“
“Dengarkan permintaan
terakhirku. Aku memiliki seorang istri dan putri yang amat kusayangi. Annisa
nama putriku, dia memasuki sekolah tinggi bulan depan. Aku cukup khawatir akan
semasa sekolahnya nanti. Tolong jaga dia. Tolong jaga keluargaku ....” Suaranya
semakin kecil, hingga tak terdengar. Dia menghebuskan nafas terakhirnya. Di
atas tubuhku yang bergemetar hebat.
“Maaf,” aku menangis,
berlari cepat sambil membawa tubuhnya. Terus berlari menghampiri wanita muda
yang membawa pistol. Sang perampok terakhir.
“Berhenti!!” teriak
wanita itu terus menembakkan peluru pada tubuh yang kubawa, tapi terlambat. Aku
meleparkan jasad sang penyelamatku. Membuat wanita itu tersungkur jatuh ke belakang, pistolnya terlepas
dari tangan.
Aku berniat
menangkapnya, tapi dia menendang perutku, hingga terjatuh ke
samping. Dia berdiri, berlari dan berniat mengambil kembali pistolnya yang
terjatuh cukup jauh.
Aku menarik kakinya
amat keras, dipenuhi nafsu kemarahan. Dia terjatuh, kepalanya membentur lantai
amat keras, hingga menimbulkan luka yang mengerikan. Langsung tak sadarkan diri
dengan darah mengucur deras membasahi lantai. Langsung tewas di tempat.
Dosaku bertambah
sekarang. Para korban menatapku ketakutan. Sungguh ketakutan.
Aku tau apa yang mereka
pikirkan tentangku sekarang. Seorang pembunuh keji, yang tak ragu
menghilangkanya nyawa seorang wanita.
Satuan polisi langsung
memasuki gedung secara paksa. Para perampok tertangkap, kecuali wanita yang
sudah merenggang nyawa.
Aku juga ditangkap,
diperlakukan biadab layaknya penjahat. Tak ada yang membantuku, memberitahu
mereka jika aku termasuk dalam korban. Mereka terdiam membuang wajah, di saat
aku digiring ke mobil tahanan.
Kenapa?
Setelah dua minggu, aku
dilepas dari sel tahanan. Ada orang yang berbaik hati, menjadi saksi untukku.
Aku keluar dengan luka lebam di wajah. Banyak, terasa sakit. Khususnya dalam
hati ini.
Memang niatku sebelumnya
untuk memutus pendidikan yang kukagumi. Tapi, aku telah mendapatkan amanat dari
orang itu, pahlawan yang menyelamatkan nyawaku. Aku harus memastikan putri
tercintanya baik-baik saja di sekolah.
Setelah kucari tahu
segala tentang dirinya. Akhirnya aku mendapat informasi yang kuperlukan. Nama
putrinya adalah Annisa, Annisa Fitri Nurani.
***
No comments:
Post a Comment