Saturday, 3 December 2016

Bab IV

Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Bab IV
Perpisahan

          Botol plastik kosong terus mengisi kesaharianku. Mereka sudah menjadi teman hidupku. Setiap waktu, aku terus memunguti mereka. Bukan berarti aku peduli lingkungan atau apapun. Aku hanya melakukan ini demi perutku nanti. Hanya ingin menyambung kehidupan yang sukar ini.



          Sudah satu tahun panti asuhan tempat mengasuhku bangkrut. Teman-temanku sudah memiliki keluarga barunya sendiri. Mereka terlihat bahagia, aku juga turut gembira.


      Hanya aku seorang yang tak bisa mendapatkan keluarga. Tak apa, mungkin memang belum waktunya. Sebelumnya, Bu Maria, pengurus panti asuhanku dulu ingin mengadopsiku. Tapi tidak bisa, anaknya sudah terlalu banyak. Aku tak ingin membebaninya lebih dari ini. Dia wanita paling berjasa dalam hidupku.


          Ya, alhasil aku di sini. Hidup sebagai anak jalanan. Mengais rejeki dari tumpukan sampah orang yang berada. Banyak rintangan dan halangan untuk mempertahankan kehidupan keras ini. Tapi aku menjalaninya dengan sepenuh hati. Aku percaya, jika roda kehidupan terus berputar. Jika Tuhan tak pernah meninggalkan orang-orang seperti kami.


        Aku tidak tau seperti apa sifat orang tua kandungku. Aku tak tau seperti apa rupa ayah dan ibuku. Sejak masih bayi, aku sudah ditinggalkan di depan pintu panti asuhan yang pernah merawatku. Aku tak membenci mereka, khususnya ibu kandungku.


         Dia tetap pahlawanku. Dia yang melahirkanku, memberikanku kehidupan. Tak apa, sungguh tak apa jika dia meninggalkanku, mungkin karena itu memang yang terbaik.


          Di sisi jalan besar, di saat aku sedang memunguti sampah. Terdengar suara gadis yang berbicara padaku. Sangat indah suaranya hingga membuat hatiku bergemetar.


          Aku berdiri, berbalik menatap dia yang memanggilku.


          "Hei, rambut keriboo. Sedang apa kau?”


           Mungkin dia seumuran denganku, tujuh tahun. Masih anak-anak, tapi gaya bicaranya terdengar dewasa. Rambutnya berwarna kuning keemasan. Orang luar?


     "Aku masih menunggu jawabanmu,” gadis itu mengembungkan pipi. Terlihat kesal, tak mendapatkan jawaban.


        “Ah, aku sedang memunguti sampah,” aku tersenyum. Bersikap ramah. Sejak kecil, Bu Maria mengajarkanku sopan santun. Aku beruntung dia yang mengurusku.


        “Ohh, kau orang baik.” Si Gadis tersenyum lebar. Menompang kedua tangannya di atas pinggang.


          Dia memakai pakaian one piece putih, memakai bondu putih di atas kepala. Rambutnya pendek, menyentuh bahu yang mungil. Dia benar-benar cantik.


    Aku tetap terdiam, masih terkagum-kagum melihat dia yang rupawan. Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.


          "Baiklah, kau kupilih!”


     Gadis itu menunjukku, tersenyum bersemangat. Mulai berjalan mendekat. “Namaku Rina Herliana.”


            “Ah iya, Rina. Kau bisa memanggilku Adi.”


            “Adi namamu? Pendek sekali.”


            “Itu panggilanku. Ja-jadi ada apa? Apa maksud perkataanmu tadi.”


            Rina menutup mata, menyatukan telapak tangan. Memohon meminta pertolongan. “Ak-aku tersesat! Tolong aku.”


            Dia pasti putri dari keluarga yang bukan sembarangan. Aku tau hal itu, terlihat jelas dari pakaiannya yang berkelas.


Sungguh ceroboh sekali pengawal yang mengawasi Rina. Dia bisa menjadi target penculikkan yang mudah karena rupanya. Lagipula auranya benar-benar  terasa berbeda dengan anak-anak lainnya.


“Baiklah aku akan membantumu,” ujarku, membenarkan karung besar yang kubawa. Tersenyum pada dia yang mulai membuka mata.


“Benarkah!? Terima kasih!! Perlu aku bantu?” Rina berjalan mendekat, terlihat khawatir, dan menawarkan bantuan. Tapi aku tolak, berjalan mundur sambil berkata. “Ini kotor, kau tak pantas memegangnya. Selain itu, ini sangat berat.”


“Maka dari itu, aku ingin membantumu.” Rina kembali berjalan, tetap keras kepala ingin membantuku.


“Tidak bisa, aku tak bisa membiarkanmu melakukan ini. Tenang saja, aku sudah terbiasa kok.”


“Hmm, begitu.” Rina tak senang, memasang wajah datar melihatku. Apa aku sudah membuatnya marah?


“Jadi di mana rumahmu? Biar aku antar.”


“Perum Istana Raja, Blok A.” Rina masih memasang wajah datar, mengalihkan pandangan dariku. Sudah kuduga, aku membuatnya marah.


Tunggu, Perum Istana Raja? Itu perumahan paling berkelas di kota ini. Dan juga Blok A, sudah kuduga jika gadis ini bukan gadis sembarangan.


“Maaf Rina, jika aku membuatmu tersinggung. Tapi mari kita berangkat, perum itu tidak terlalu jauh dari tempat pinggiran seperti ini,” aku tersenyum mulai berbalik dan berjalan.


“Syukurlah jika kamu merasa bersalah. Sudah kuduga kamu anak yang baik. Ketika aku besar, aku ingin menjadi sepertimu.”


“Menjadi sepertiku? Maksudnya sifat atau pekerjaanku?” Aku melirik dia yang berjalan mengikutiku.


“Tentu saja, keduanya,” Rina tersenyum lebar. Memberikan dua jarinya. Terlihat bangga.


“Eh, apa enaknya bekerja seperti ini? Kau harus kotor setiap hari, Rina.” Aku menyipitkan mata, melirik  penasaran pada gadis aneh ini.


“Kau memunguti sampah, merawat bumi yang sudah kotor. Pekerjaanmu sungguh mulia, Adi.”


“Benarkah?”


“Tapi tunggu dulu, jika kau bekerja. Apa kau tidak sekolah?!” Rina bertanya khawatir, menghentikan langkahnya.


Perlahan, tatapannya berubah menjadi prihatin melihatku.


“Aku tak memiliki uang untuk bersekolah. Maka dari itu, kalian yang bersekolah harus menjadi orang yang lebih baik dari kami. Membuat negara ini menjadi lebih baik. Agar orang-orang sepertiku berkurang, atau mungkin tidak ada.” Aku menjawab pertanyaannya, tertawa kecil pada dia yang mengkhawatirkanku.


Rina semakin mengecilkan kelopak mata. Memberikan tatapan kesedihan padaku. Hampir menangis.


Satu hal pasti yang kini kutahu tentang Rina. Dia gadis yang cengeng. Mudah tersentuh akan beberapa hal.


“Ba-baiklah Rina, ikut denganku.” Aku kembali menghadap ke depan. Berpura-pura tak melihat dirinya yang mulai menangis. Dia tak menjawab pernyataanku, tetap menundukkan kepala. Kembali berjalan mengikutiku.


Cukup lama suasana canggung terasa. Kami menutup mulut, kebingungan mengeluarkan kata-kata. Sesekali sambil terus berjalan, aku memunguti botol plastik bekas. Menambah pundi-pundi penghasilan.


Perlahan, Rina memasang wajah cerianya kembali. Tersenyum melihatku yang memunguti sampah. Memasang wajah kagum melihat pemulung sepertiku.


“Hei, Adi! Ceritakan tentangmu.” Aku terdiam cukup terkejut mendengar perkataanya. Mustahil kuceritakan kisah hidupku yang cukup menyedihkan. Tak mungkin kukatakan jika aku ditinggalkan oleh kedua orang tuaku sejak lahir. Bisa-bisa dia kembali menangis.


Tak kujawab permintaanya. Tetap diam, terus melangkahkan kaki ke tempat tujuan. Rina mengembungkan pipinya kembali, terlihat manis. Ya meski kutau jika dirinya kembali kesal.


“Hei, Adi! Aku sedang berbicara padamu ....“  Rina terdiam. Suaranya semakin mengecil, terpotong oleh suara dari perutnya yang lapar. Gruugk, bunyinya.


Wajah gadis manis itu memerah, memegang perut lapar dengan kedua tangan. Dia malu, dan wajahnya terlihat semakin manis. Lebih dari cukup membuat jantungku berdetak semakin cepat. Membuat wajahku terasa panas, sedikit memerah.


Kini aku yakin, jika aku benar-benar sudah jatuh hati padanya.


Dia hampir menangis lagi karena rasa malunya. Aku tersadar, lekas menyimpan kantong karung di atas tanah. Mengambil roti murah di sakuku.


“Ini, kau bisa memakannya.” Aku memberikan padanya, pada gadis yang membuat jantungku berdetak cepat itu.  Dia tersenyum lebar, berniat menerima roti plastik itu. Memang tak bermerek dan terasa keras di mulut, tapi lebih dari cukup untuk mengganjal perut yang lapar.


Tapi, belum tangan Rina menyentuh rotiku. Mulai terdengar teriakkan wanita paruh baya memangil namanya. Terdengar keras dengan nada yang berisi kekhawatiran amat dalam.


“RINA!!” Wanita itu sama rupawannya seperti Rina. Layaknya gambaran Rina ketika dewasa nanti, pasti ibunya. Wanita itu menangis, berlari menghampiri putrinya.


Rina juga menangis, mengabaikan tanganku yang memegang roti. Aku tersenyum, menurunkan tangan. Syukurlah jika dia bisa bertemu kembali dengan keluarganya.


Aku berbalik, mulai memasukkan roti ke dalam saku celana.


Tapi tubuhku lekas tersungkur jatuh. Seseorang mendorong punggungku. Roti yang kubawa terjatuh di dekatnya.


“Pergi kau anak kumuh. Ini bukan tempatmu.” Lelaki dewasa bermuka seram memarahiku. Dia memakai pakaian serba hitam, mungkin seorang penjaga tempat berkelas di wilayah ini.


Dia menginjak rotiku, satu-satunya makan siangku nanti. Ah, terjadi lagi. Ini sebabnya aku malas mencari botol plastik di sekitar sini. Mereka selalu memperlakukanku layaknya sampah.


“Ambil ini, bocah kumuh!!” Penjaga itu melemparkan karungku. Mengenai tubuh, terasa sakit. Botol plastik yang kukumpulkan sejak pagi, berserakan dimana-mana.


Aku tersenyum memungut barang berhargaku. Tanpa botol-botol ini, aku tak bisa makan nanti. Sesaat, sambil mengumpulkan botol plastik aku menatap Rina.


Rina cukup jauh dari tempatku, tak melihatku. Dia masih menangis bahagia, memeluk ibunya amat erat. Tak apa, aku tak mengharapkan bantuannya. Asal dia bahagia, itu bagus. Tak perlu dia kembali bersedih melihatku yang diperlakukan seperti ini.


Dengan perasaan sakit karena perlakuan yang tak mengenakkan, aku berjalan pergi. Berjalan menjauh, sejauh mungkin meninggalkan gadis yang menjadi cinta pertamaku. Aku akan mengingat dirinya yang mudah menangis, yang mudah tersentuh karna hal kecil.


Semoga aku dapat bertemu kembali dengannya. Dengan dia, yang membuat hatiku bergemetar hebat.



***



            Harapanku akhirnya terkabul. Akhirnya Tuhan melihat kerja kerasku. Akhirnya ada keluarga yang mau menerimaku yang terlihat menyedihkan.


            Karena hal sepele aku diangkat anak oleh sepasang suami istri yang rupawan ini. Robins dan Lisa, namanya. Ya, mereka warga negara asing, Negara Inggris.


Aku hanya menyelamatkan putri tunggal mereka yang hampir tertabrak. Benar-benar suatu kebetulan. Ya meskipun kedua kakiku patah karena aksi heroik ini.


            Mereka sangat baik padaku. Membawaku ke rumah sakit, memberikan wajah khawatir melihatku yang masih terbaring di atas kasur.


            Lisa bertanya beberapa hal padaku. Seperti siapa namaku, dimana rumahku dan orang tuaku. Aku menjawab semua pertanyaan dengan kebenaran. Menjelaskan kondisiku sesungguhnya yang berada di jurang kemiskinan, sendirian.


            Dia menangis, memeluk tubuhku. Sungguh menangis frustasi, membuat hatiku terasa sakit. Apa tangisan bisa menular? Aku baru mengetahuinya. Karena saat dia melakukan itu, aku juga menangis.


            Aku merindukan pelukan ini. Sangat merindukannya.


            Sejak saat itu, keluarga Arthurea mengangkatku menjadi bagian keluarga. Membawaku ke negara mereka. Negara Inggris.


Banyak yang tak setuju dengan keputusan Ayah dan Ibu. Itu panggilanku sekarang pada Robins dan Lisa. Mereka orang tuaku sekarang, mereka adalah malaikat pelindungku. Aku sangat menyayanginya.


Beberapa pelayan dan penjaga keluarga benar-benar membenciku. Bahkan kerabat juga tak menganggap keberadaanku. Aku dianggap sebagai aib keluarga. Tapi itu tak apa, ayah dan ibu tetap menyayangiku. Mereka selalu membelaku.


Selain itu juga ada Lili yang sudah menjadi adikku. Liliana Arthurea nama lengkapnya, umurnya empat tahun lebih muda dariku. Dia benar-benar lucu dan menggemaskan. Aku sungguh beruntung memiliki adik semanis dirinya.


Kakak Haldy, kata itu selalu terngiang dalam telingaku. Itu panggilan unik dari Lili. Lidahnya masih pendek, kesulitan mengucapkan kata rumit, khususnya yang ada huruf R.


Dia sangat manis dan menggemaskan. Dia malaikat keluarga Arthurea. Rambutnya yang berwarna kuning lemon, benar-benar membuat hatiku tenang. Bunyi suara dari perkataannya yang belum benar, membuat tubuhku lemas tak berdaya.


Sungguh ingin melindunginya. Sungguh sangat ingin menjaganya. Dia adalah harta berharga keluarga ini. Ayah dan ibu, termasuk aku amat sangat menyayanginya.


Ada satu pengawal pribadi yang selalu bersamanya. Adam namanya. Dia lelaki yang baik, seumuran denganku. Dia sahabat pertamaku.


Kami bertiga selalu bermain bersama. Lili terasa seperti adik kami berdua. Dia selalu mengikuti kami berdua. Tertawa bahagia, menangis lucu, dan tersenyum menggemaskan. Setiap hari tak terasa bosan bersamanya, bermain bersama adik kecilku.


Aku bersumpah dari hati terdalamku. Akan melindunginya, menjaganya, membuat dia bahagia selama hidupnya. Dia adalah hartaku yang amat berharga.


Kesedihannya adalah malapetaka bagiku. Kebahagiannya adalah anugerah untukku.


Kini dua tahun telah berlalu. Lili sudah bermur lima tahun. Dia tetap gadis manis yang menggemaskan. Aku dan Adam semakin akrab. Kami benar-benar sudah seperti saudara.


Bulan April, tahun 2006. Aku bersama keluargaku berlibur ke villa di Gunung Cikurai, Negara Indonesia. Itu villa pribadi keluarga kami.


Lili sudah bisa berbicara dengan fasih, meski umurnya masih lima tahun. Kepintarannya benar-benar sudah terlihat. Tapi meski begitu, dia tetap masih mengikutiku, tetap masih menghormatiku.


“Hei, Tuan. Sepertinya Nona Lili, semakin menyukai kembang api?” Adam duduk di samping, tersenyum menatapku yang membaringkan tubuh di atas rumput hijau. Kami sedang berada di halaman depan.


“Panggil aku Adi atau Hardi. Sudah berapa kali aku mengatakannya padamu, Adam?”


“Hee, kenapa aku harus melakukan itu? Aku hanya melakukan hal yang wajar dengan memanggilmu seperti ini.”


“Kau sahabatku, apa itu menjawab pertanyaanmu.” Aku membuka mata. Mulai duduk, melirik sinis dia yang duduk di sampingku.


“Ta-tapi aku sedang bertugas di sini. Jadi wajar jika aku memanggilmu seperti itu.” Adam membuang pandangan dariku. Berwajah khawatir. Aku tak membencinya. Dia hanya ingin melakukan tugasnya dengan benar. Seperti Ayahnya yang menjadi pengawal Ibu Lili. Ayahku terlihat keren, kata si bermata merah ini, cukup sering.


Aku membuang nafas perlahan, kembali menutup mata. “Terserahlah,” ucapku lalu berdiri memberikan tangan pada Adam. Dia tersenyum, meraih tanganku.


“Lalu soal Lili tadi, aku punya ide untuk ulang tahunnya nanti. Aku akan membelikkan kembang api untuknya, sangat banyak. Bagaimana?”


“Tu-tuan, kau tau, dia sudah membeli kembang api sangat banyak itu. Lagipula apa anda tak khawatir dengan ketertarikannya yang berlebihan itu?”


“Ya, aku juga mulai cukup khawatir dengan ketertarikkannya pada kembang api. Adikku masih belum mengetahui akan bahaya dari benda tersebut.” Aku berpikir, cukup khawatir. Jantungku berdetak cepat jika memikirkan kemungkinan terburuk yang dialami Lili.


“Kau benar –“ Ledakkan cukup keras memotong perkataan Adam. Dalam hitungan detik, kobaran api menyelimuti villa tempat keluargaku berada. Ayah dan Ibu masih berada di dalam. Lili juga ada di ruang tengah, sedang les piano.


“AYAH, IBU, LILI!!” Aku berteriak, menangis, dan berlari mendekati bangunan yang sudah terlalap api. Tapi Adam menarik bajuku, berteriak ketakutan padaku.


“Sudah terlambat, Hardi!! Kau hanya akan mati jika masuk ke sana!!” Dia menangis ketakutan, melihat penampakkan yang mencekam ini. Tak mengherankan, cinta pertamanya, adikku juga berada di sana. Aku sudah tau perasaannya. Dia juga amat sangat terluka.


Aku berbalik, menyentuh tangan kanannya yang memegang bajuku. Adam melihatku, memberikan tatapan penasaran.


Aku memukulnya, amat sangat keras. Dia tersungkur jatuh, memberikkan tatapan penasaran padaku.


“Aku akan menyelamatkan mereka!! Mereka adalah penyelamatku!! Meski nyawaku menjadi taruhannya,” aku berlari meninggalkan Sang Sahabat. Adam hanya berteriak memanggil namaku, takut kehilanganku.


Detak jantungku berdetak cepat, pernapasanku berhembus tak karuan. Takut, aku sungguh takut akan perasaan mencekam ini.


BRAANKS, seperti itu suaranya. Aku menerobos kaca jendela yang sudah terbakar. Memang terasa sakit, tapi tetap kutahan. Kembali berlari mencari keluargaku.


Ruang tengah menjadi pilihanku. Ada Lili di sana. Dia masih seorang anak gadis, masih kecil. Prioritas utama yang harus diselamatkan.


Tapi sesampainya di sana, aku hanya terdiam. Tubuhku bergemetar. Menangis samakin dalam, hatiku terasa amat sakit. Kesakitan ini merupakan hal yang pertama bagiku.


Ayah dan Ibu tertimpa puing bangunan. Hanya bagian atas yang terlihat. Mereka menahan puing bangunan itu dengan tubuhnya, menyangga puing itu dengan tangannya. Di tengahnya ada Lili, yang terbaring tak sadarkan diri. Tak terluka.


Apa-apaan ini, itu pikirku. Memegang dada yang terasa dihancurkan. Aku lekas berlari menghampiri mereka. Mengangkat puing bangunan dengan tangan ini. Terus berusaha keras, berteriak berharap mendapat kekuatan, hingga kedua telapak tanganku terluka.


“Hardi ....” Ayah tersenyum menutup mata, darah dari kening menetes melewati mata kirinya. Suaranya terdengar pelan, sungguh menyayat hati.


Berbeda dengan Ayah, Ibu tak mengeluarkan suaranya. Tersenyum, tetap menutup mata. Kepalanya benar-benar dipenuhi oleh darah. Tak ada hembusan nafas yang dia keluarkan.


“Lisa mungkin sudah pergi, tapi tidak untuk Lili. Se-selamatkan dia,” Ayah membuka mata, menatapku penuh keseriusan.


“Ayah ....” Aku menutup mata sungguh rapat. Memeluk tubuhku sendiri yang bergemetar. Kumohon hentikan ini, aku tak mau in–


“Ce-cepatlah!!” teriak Ayah sangat marah. Ini pertama kali aku mendengar suara tingginya. Aku lekas menarik Lili dari pelukan kedua orang tuanya. Memeluknya, sangat erat. Detak jantungnya masih ada, SYUKURLAH!!


“Pergilah, hiduplah! Kami berdua menyangi kalian! Tolong jangan lupakan itu.”


“Ayah ...,” aku menggelengkan kepala, tak ingin meninggalkannya. Dia adalah pahlawanku, yang menyelamatkanku dari kerasnya kehidupan. Aku tak ingin ini, tak mau ini. Kumohon, siapa saja –


“PEGILAH!!!”


Hatiku tersentak, tubuhku bergemetar hebat mendapatkan tatapan kemurkaan dari Ayah. Dia berteriak, membuat tubuhku bergerak. Aku berjalan mundur menjauhinya.


“Tolong lindungi adikmu, Hardi!” Ayah tersenyum, menutup mata. Menghembuskan nafas terakhirnya. Melihat hal itu, aku menutup mata, menggigit bibir bawah hingga terluka. Lekas berbalik ke belakang. Berniat berjalan pergi dari malapetaka ini.


Tapi Si Jago Merah telah menyelimuti seluruh jalan keluar. Kami terperangkap, ini akhir kami– Tidak!! Aku akan menyelamatkannya, adikku Liliana!! Setidaknya dia harus hidup!!


Aku membuka baju, memberikan baju itu untuk menutupi seluruh tubuh Lili. Memiringkan tubuh. Biarkan mereka memakan tubuhku. Ini tak apa, asal dia bisa selamat. Aku tak peduli dengan tubuh ini.


Aku berjalan, berlari menembus dinding api yang mengerikan. Tubuh bagian kiriku panas, terasa sakit, amat sangat sakit. Tapi ini tak seberapa dengan hatiku yang hancur.


Semakin lama, tubuh ini mencapai batasnya. Kumohon sempatlah, sampailah di luar sebelum tubuh ini hancur.  Aku menaikkan tempo lari, Lili bergumam pelan di kondisi tak sadarnya. Kakak, itu katanya.


Terima kasih, itu lebih dari cukup untuk membuat tubuhku lebih kuat. Apapun yang terjadi, aku akan menyelamatkannya. Setidaknya hanya dia, yang bisa selamat dan keluar dari malapetaka ini.




***




            Perlahan kubuka mata, rintikan hujan gerimis berbisik di telinga ini. Aku masih kesulitan menggerakkan kepala. Bagian kiri tubuhku terasa sakit, karena luka bakar.


            Tapi rasa sakit itu mulai menjalar ke hati, menyayat membuat mata ini terasa panas. Aku mulai mengingatnya, akan malapetaka yang merenggut nyawa orang-orang yang kusayang.


Aku menangis, menutup mata sangat rapat.


Kenapa semua ini harus terjadi? Apa kesalahanku? Apa dosaku hingga Tuhan mengambil kembali kebahagiaanku. Mengambil kedua orang tua yang kukagumi.


“LILI!!” aku berteriak. Teringat akan dirinya. Ingin bangkit, ingin segera mengetahui nasib adik tercintaku. Terasa sakit, tapi bisa kutahan luka ini. Aku ingin melihatnya segera.


Adam datang memasuki ruangan, menangis melihatku yang tersadar. “Syukurlah!”


Aku tersenyum menatapnya, tapi lepas itu memasang wajah serius. Bertanya pada dia yang masih memasang wajah terharu.


“Dimana Lili?!”


“Dia selamat. Ta-tapi kejiwaannya ....” Suara Adam semakin pelan. Semakin menundukkan kepala, menatap lantai tempat ia berpijak. Terlihat frustasi.


“Terganggu, kah?” aku tersenyum sedih, menyipitkan mata. Tak aneh, aku sudah menduganya. Lili hanya gadis berumur lima tahun. Tidak mengherankan jika kejiwaanya terganggu setelah insiden ini.


Ayah dan ibu yang selalu bersamanya, yang selalu melindungi dia telah pergi meninggalkannya sendiri– tidak, masih ada aku. Kini aku yang akan melindunginya. Memberikan dia kebahagiaan.


Waktu berjalan amat cepat. Sudah dua bulan sejak insiden mengerikan itu terjadi. Perban yang membalut sebagian tubuhku sudah terlepas. Tapi Lili, adik tercintaku, masih tertidur di atas kasur mewahnya. Kejiwaannya masih terganggu.


Setiap hari, setiap malam aku selalu mengunjunginya. Duduk di samping dia yang ingin kulindungi segalanya. Tetap menemaninya, menyentuh pipinya, mengusap kepala dia yang selalu memanggil orang tuanya.


Kumohon sembuhlah. Apapun akan kulakukan, asal engkau sembuh dan bangkit dari keterpurukan. Aku ingin melihat senyumanmu yang manis, tertawaanmu yang menggemaskan, dan ekspresi lain wajahmu yang menganggumkan.


“Ini salah Lili. Lili yang bersalah.” Lili yang sebelumnya memberikkan tatapan kosong, mulai menyipitkan mata. Menangis mengutuk dirinya sendiri.


“Tidak, ini salah Kakak, Lili! Kakak yang bersalah, Kakak yang bertanggung jawab atas semua ini!!” Aku berteriak, berbicara padanya. Syukurlah, dia mulai mengeluarkan suara selain kata ayah dan ibu. Tubuhku bergemetar, bibirku tersenyum lebar melihat dirinya.


“Ini salah Lili. Lili yang bersalah.” Dia kembali mengucapkan kata yang sama. Lebih dari tiga kali, terus berulang. Senyuman yang sebelum kupasang mulai kulepas.


Gawat. Jika seperti ini terus, Lili hanya akan menyalahkan dirinya sendiri. Membenci dirinya yang diselimuti rasa bersalah.


“Maaf Lili, sebenarnya ini ulahku. Aku sengaja membunuh ayah dan ibu.” Aku mengeluarkan suara, berbisik pada telinganya. Mengeluarkan pernyataan palsu, demi kebaikannya.


Lili terdiam, tak mengeluarkan kalimat berulang. Matanya melebar, terus melebar. Dia mulai melirik sinisku dengan penuh kemarahan. Berhasil? Apa cara ini berhasil?!


“Kenapa ...?” tanya pelannya. Nadanya terdengar dalam. Dipenuhi kemarahan.


Berhasil! Dia merespon suaraku. Aku harus melakukan ini. Aku mengerti sekarang akan kondisi yang diderita Lili. Aku mengerti, bagaimana cara menyembuhkannya.


Dia membutuhkan tujuan hidup.


“Maaf, sesungguhnya sejak awal aku mengincar harta keluarga kalian. Aku berniat membunuh mereka dengan cara ini. Tapi tak kusangka ini akan berhasil,” aku tersenyum arogan, berjalan mundur menjauhinya. Mataku melebar, menatap tajam adik kecilku yang mulai duduk.


Kuharap, aku sudah terlihat sangat jahat di matanya.


“Begitu ..., jadi ini ulah Kaka–, iblis? Ya, Iblis! Kau Iblis .... Kau bukan Kakakku.” Lili berdiri, berjalan normal, langsung sehat seketika. Dia tersenyum kecil melihatku. Senyuman yang terasa menusuk hatikku sangat dalam.


Lili lekas berlari, mendorongku hingga terjatuh. Mencekik leher amat sangat erat. Aku sulit bernafas, terasa sesak. Aku akan mati di sini, itu pikirku sebelum pintu kamar terbuka sangat cepat. Adam memasuki ruangan, karena mendengar suara benturan sebelumnya. Dia memasang wajah kebingungan melihat kami bedua. Lili sudah melepaskan cenkramannya.


“Apa yang terjadi?” tak ada suara yang menjawab pertanyaan Adam. Aku terlalu sibuk mengambil nafas.


Tapi syukurlah, akhirnya Lili sembuh. Aku berhasil melakukannya. Aku berhasil menyelamatkan harta berhaga keluarga kita, Ayah, Ibu!!


Meskipun ganjaran yang kudapat adalah ....


“Aku bersumpah atas nama Tuhan. Akan menghancurkan kehidupanmu, Iblis.” pelan Lili, mulai berdiri dan menatapku bagaikan butiran debu yang tak berharga.


Ya .... Gadis yang selama ini ingin kulindungi, kini membenciku. Amat sangat membenciku.




***




            Sudah lebih dari empat tahun sejak kejadian mengerikan itu. Kini tidak ada seorangpun yang berada di sampingku. Mungkin Adam masih peduli padaku, tapi Lili selalu mengancam dia untuk tak bersamaku.


           Keharmonisan dan kehangatan keluarga Arthurea seakan hancur, dibawa angin badai yang menyayat hati. Memberikan luka membekas yang tak pernah hilang. Membuat jarak antara adikku terus merenggang.


Dia kini sangat membenci keberadaanku.


            Harta warisan Ayah dan Ibu diberikan padaku, lebih dari 80%. Membuat banyak pertentangan, membuat para saudaraku menggeram tak percaya. Tapi seperti itulah isi dalam surat wasiatnya. Dia mempercayakan hartanya padaku.


            Tapi aku tak pantas. Kuberikan semua harta itu pada adik tercintaku.


            Berbagai penindasan terus kudapatkan. Pernah, sekali Lili hampir membunuhku. Membakar kamarku secara sengaja. Tapi aku menyadarinya, melompat melewati jendela lantai tiga. Kakiku patah, sangat menyakitkan. Aku lekas dilarikan ke rumah sakit.


            Adam benar-benar memarahinya. Tapi dia terlihat tak peduli, tersenyum ringan sambil berkata.


            “Kenapa denganmu, Adam?  Lili hanya ingin membunuh iblis yang menghantui keluarga kita.”


            Aku tak membencinya. Tak terlintas sedikitpun dalam pikiranku untuk membalas dendam padanya. Tak apa, asal dia bisa melanjutkan hidupnya. Tak apa, biarkan aku menjadi pusat kebencian untuk dirinya.


            Aku menyayanginya, dari lubuk hatiku yang terdalam.


            Dia adalah harta keluarga kami. Putri dari dua pahlawan yang menyelamatkanku. Malaikat kecilku yang kan kulindungi sampai akhir hayat ini.


Belum cukup suasana rumah yang terasa dingin. Aku juga mendapatkan perasaan diskriminasi di sekolah. Aku berumur 13 tahun, seorang siswa SMP sekarang.


Bukan berarti mereka menindasku dengan olokkan atau pukulan. Mereka ketakutan padaku, karena luka bakar ini. Tak mengherankan, aku dianggap sebelah mata oleh mereka. Diperlakukan oleh para guru berbeda.


Selain itu, kabar palsu bahwa aku yang membunuh ayah dan ibu sudah tersebar. Sengaja kusebar demi meyakinkan Lili bahwa akulah Si Iblis yang menghacurkan keluarganya.


Meski begitu, aku terus berusaha membantu mereka, menunjukkan niat untuk berubah. Mencoba mendapatkan kepercayaan. Membantu mereka yang kesulitan, tapi mereka selalu menolak. Berpikir negatif akan niat baikku.


Bukan berarti setelah Lili membenciku, aku juga menjadi jahat padanya. Aku selalu bertanya padanya, tentang keadaan dia, dan bagaimana sekolahnya. Tapi aku hanya dianggap angin semu tak berharga. Dia tak pernah melihatku, tak pernah menganggap keberadaanku. Tak apa, aku pantas diperlakukan seperti ini.


Seandainya di masa lalu aku bisa lebih cepat memperingatkan Lili akan bahaya kembang api, mungkin ini semua takkan pernah terjadi.


Aku terus mendapatkan tekanan dari sekitarku sampai suatu kejadian besar terjadi dalam hidupku. Kejadian besar yang membuatku menjadi manusia pendosa. Menjadi manusia paling munafik yang mengerikan. Menjadi manusia terkutuk yang dibenci keluarga Arthurea.


Hanya inilah yang kupirkan untuk membatu sekitar. Setidaknya aku bisa membantu mereka secara tak langsung. Meski mereka tak menyadari bantuanku, dan malah semakin mengutuk tubuh ini. Aku tetap melakukannya.


Aku tau akan azab dari perbuatanku ini. Aku tau hal itu akan datang, aku sudah siap menerima segala konsekuensinya.


Villain Role, Ya!! Aku berperan palsu menjadi penjahat. Berperan sebagai seorang bajingan. Mengambil nafsu kebencian sekitarku. Bencilah dan hempaskan kebencian kalian padaku. Mungkin ini takdirku, mungkin ini peranku yang terlahir ke dunia.


Kuakan membantu mereka lewat peran ini. Bertindak layaknya iblis yang memakan kebencian mereka. Meski kutau suatu saat nanti, hati ini akan hancur dan menggerogoti tubuh, menjadi bangkai terkutuk yang menyedihkan dan dilupakan semua orang.


Memang aku sudah menjadi manusia munafik, menjadi seorang bajingan. Tapi tidak pada semua orang aku bersikap seperti ini. Pada adikku, aku tetap seperti biasanya. Pada sahabatku, aku tetap menjadi diriku sendiri.


Untuk mengetahui keadaan Lili, aku bertanya pada Adam. Dia tersenyum sedih selalu menjawabku. Dia tau akan aku yang selalu berperan menjadi penjahat.


“Kenapa kau melakukan ini? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padamu. Kau terlalu berlebihan, Hardi.” Sahabatku sungguh mengkhawatirkanku. Dia benar-benar sahabat sejatiku.


“Jika aku tidak ada. Tolong jaga Lili, bimbing dia menjadi orang yang baik. Berhati bersih, menjadi panutan orang sekitarnya.”


“Kau tak menjawab pertanyaanku. Kau terlalu memikirkan Lili. Kau terlalu memikirkan orang lain. Cobalah melihat dirimu sendiri yang amat terluka.” Adam semakin menatapku, menyipitkan mata, terlihat ingin menangis.


“Aku baik-baik saja,” aku tersenyum, melihat kedua tanganku yang bergemetar. Oke baiklah, aku tak bisa membohongi diriku sendiri jika hati ini terasa sakit.


“Aku bisa melihatnya, Hardi. Jutaan pedang yang menusuk hatimu itu. Kumohon hentikan ini semua, sebelum terlambat.”


“Kau tau apa panggilanku di sekolah dan di sekitar masyarakat sekarang?” Aku tersenyum, mengusap luka bakar di pipi.


“Anak Iblis ...,” Adam menutup mata. Tubuhnya bergemetar ketakutan.


“Aku tak bisa kembali lagi,” jawab pelanku, membalikkan badan, berjalan pergi meninggalkannya. Meninggalkan rumah utama keluarga Arthurea. Untuk selamanya. Itu percakapan terakhirku dengan sang sahabat.


Saat kelas dua SMP, Lili mengusirku dari rumah. Aku tak bisa mengelak, dia adalah pemilik sah seluruh harta orang tuanya.


Aku dicoret dari daftar nama keluarga mereka. Berubah kembali menjadi gelandangan. Mungkin lebih buruk, aku menjadi gelandangan yang dibenci semua orang.


Untungnya Adam berbaik hati, memberikan uang modal untukku. Aku pindah jauh ke Indonesia, tempat asalku. Membuang nama Arthurea dari belakang namaku.


Meninggalkan keluarga dan orang-orang yang sudah menaruh kebencian padaku. Setelah kepergianku, aku harap mereka bahagia. Aku harap Lili tersenyum seperti ketika ia masih balita.




***




            Gubuk kecil berukuran 5x6m kutempati. Memang sangat sederhana, tapi lebih dari cukup sebagai tempat berlindung kala hujan.


            Saat kelas 3 SMP, aku mulai kembali bekerja. di pagi hari, ketika matahari masih belum muncul keluar. Kumulai membuat baso sapi, untuk dijual nanti saat pulang sekolah.


            Pulang sekolah, aku lekas berjualan menggunakan gerobak kaki lima. Menjadi tukang mie baso. Memakai topi dan baju sederhana, mengelilingi kota kelahiranku sampai larut malam.


            Aku menyambung hidupku dengan cara seperti ini. Terus bekerja teras,  tak pernah mengeluh. Aku tak mengutuk Tuhan yang terus memberikan cobaan berat padaku. Masih banyak orang yang lebih kurang beruntung dariku.


Aku percaya padaNya, percaya pada jalan terbaik untukku dariNya.


Aku tidak mengeluarkan sifat palsu di sekolahku yang baru. Tapi sepertinya, dengan wajah menyeramkan ini sudah lebih dari cukup membuat mereka memandangku sebelah mata.


Aku tersenyum membiarkan mereka. Tak peduli.


Sepertinya memang mustahil untuk melanjutkan sekolah. Rupaku hanya akan membuat sekitarku merasa risih. Selain itu, darimana aku mendapatkan biaya untuk hal ini?


Modal hidup dari Adam, hanya bisa mencukupiku selama beberapa tahun. Tak mungkin kupakai untuk bersekolah.


Ya, itu memang niatku sebelumnya. Memutus pendidikan yang selama ini kuidamkan. Tapi itu semua berubah, setelah aku terlibat dalam insiden perampokkan bank. Setelah aku bertemu dengan lelaki itu, pahlawan lainnya dalam kehidupanku. Pahlawan yang takkan kulupakan segalanya dari dia yang kuhormati. Dari dia yang menyelamatkan hidupku.


Hari itu adalah, hari kesialan lainnya dalam kehidupanku. Aku hanya berniat menabungkan uang dari hasil jerih payah kerja keras selama seminggu, untuk kebutuhan di masa depan.


Tapi tembakkan pistol itu langsung meledak ke atas. Membuat kelengangan amat dalam. Memunculkan kesunyian yang menyesakkan dada.


Hatiku berdetak amat cepat. Aku cukup ketakutan.


Dia yang berdiri di belakang punggung, mulai berbisik padaku. Tersenyum khawatir sambil berkata.


“Tenanglah, jangan ceroboh. Kita akan keluar dari sini.”


Dia berbicara seperti itu padaku– tunggu, kenapa harus aku?! Aku langsung menanyakan pertanyaan ini padanya. Lalu jawabnya.


“Kau terlihat lebih kuat. Aku yakin kau sudah sering mengalami hal seperti ini, anak muda.” Lelaki itu malah tersenyum bersemangat padaku.


Apanya yang sudah sering! Kedua kaki ini sangat bergemetar. Isi kepalaku terasa kosong. Aku sungguh kebingungan untuk melakukan apapun.


Perampok itu berjumlah dua orang. Hanya penjaga pintu yang memakai senjata api, sedangkan orang yang memasukkan uang ke dalam karung, memegang pisau tajam. Dia mengancam kami, tetap memerintahkan kami untuk mengangkat kedua tangan ke atas.


Kami menuruti kemauannya. Ini lebih baik daripada nyawa kami yang melayang. Nyawa tak bisa dibeli dengan uang.


Pasukan polisi sudah mengepung  bank ini. Salah satu polisi muda terlihat berjalan cepat, ingin memasuki gedung, sangat ceroboh.


Si penjahat yang membawa pistol panik, ketakutan. Dia juga masih muda, ketakutan.


“Jangan mendekat!!” Dia menembakkan pistol ke samping, tak sengeja mengenai kepala wanita tua. Satu orang menjadi korban. Suasana tegang bertambah, kericuhan memenuhi ruangan. Beberapa wanita berteriak ketakutan.


“Diam!” Tembakkan ketiga dikeluarkan, mengenai dada salah satu wanita yang berteriak. Langsung merenggang nyawa di tempat. Korban kedua tergeletak di atas lantai.


Beberapa orang langsung menutup mata, menutup mulut dengan kedua tangan. Menangis amat sangat ketakutan. Sungguh ingin keluar dari suasana mencekam ini.


Aku marah, tak tahan melihat pemandangan ini. Perlahan aku memindahkan tubuh, menggeser menggunakan telapak kaki. Mendekati si perampok yang memegang senjata api. Secara perlahan dan hati-hati ingin menghentikannya.


Mereka masih belum menyadari pergerakkanku.


Lelaki sebelumnya, menyadari tindakkanku. Dia tersenyum kecil, mulai mendekati perampok yang sedang memasukkan uang.


Hanya dengan tatapan mata, kami sudah mengerti satu sama lain.


Kami mulai menganggukkan kepala, saling melirik. Memulai aba-aba untuk serangan.


Aku berlari amat cepat menghampiri sang pembunuh. Dia terkejut, panik dan ketakutan. Menodong pistolnya ke arah kepalaku.


Terlambat, pergelangan tangannya sudah kupegang. Tembakan pistol itu meledak, melesat, dan menembus langit-langit ruangan.


Aku memutarkan pergelangan tangannya ke bawah. Dia melepaskan pistolnya, memasang wajah kesakitan.


Aku menarik tangan dan tubuhnya, dia bergerak mendekatiku. Saat seperti itu, aku lekas menendang kakinya. Mendorong belakang lehernya dengan tangan kiriku. Dia berputar ke depan, terjatuh hingga terlentang. Terbantingkan cukup keras oleh kuncianku. Langsung tak sadarkan diri.


Aku berbalik, melihat ke belakang. Lelaki yang lebih dewasa dariku juga telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Mungkin lebih cepat dariku. Dia tersenyum padaku, sambil memainkan pisau sang perampok.


Keren, itu pikirku.


Aku membalas senyumannya, berjalan mendekati dia. Berniat menanyakan bagaimana dia melumpuhkan perampok itu, akan tetapi.


Lelaki itu berwajah khawatir, lekas berlari menghampiriku. Aku terkejut, berwajah kebingungan.


DORR!! Seperti itu bunyinya. Aku terkejut, melebarkan mata dan mulut. Tubuhku bergemetar kesemutan. Kaki terasa lemas, melihat dia yang menyelamatkanku dari tembakkan.


Kami keliru dan ceroboh. Ada perampok lainnya yang berbaur dengan para korban. Ada tiga perampok yang melakukan aksi perampokan ini.


“He-hentikan dia, gunakan tubuhku sebagai tameng.” Lelaki itu berwajah khawatir, menutup sebelah mata kesakitan. Aku terkejut, melebarkan mata. Darah merahnya mulai menyentuh pakaianku. Aku tak menyukai ini.


“Kumohon jangan mengatakan hal itu. Kau masih bisa diselamatkan –“


“Dengarkan permintaan terakhirku. Aku memiliki seorang istri dan putri yang amat kusayangi. Annisa nama putriku, dia memasuki sekolah tinggi bulan depan. Aku cukup khawatir akan semasa sekolahnya nanti. Tolong jaga dia. Tolong jaga keluargaku ....” Suaranya semakin kecil, hingga tak terdengar. Dia menghebuskan nafas terakhirnya. Di atas tubuhku yang bergemetar hebat.


“Maaf,” aku menangis, berlari cepat sambil membawa tubuhnya. Terus berlari menghampiri wanita muda yang membawa pistol. Sang perampok terakhir.


“Berhenti!!” teriak wanita itu terus menembakkan peluru pada tubuh yang kubawa, tapi terlambat. Aku meleparkan jasad sang penyelamatku. Membuat wanita itu tersungkur jatuh ke belakang, pistolnya terlepas dari tangan.


Aku berniat menangkapnya, tapi dia menendang perutku, hingga terjatuh ke samping. Dia berdiri, berlari dan berniat mengambil kembali pistolnya yang terjatuh cukup jauh.


Aku menarik kakinya amat keras, dipenuhi nafsu kemarahan. Dia terjatuh, kepalanya membentur lantai amat keras, hingga menimbulkan luka yang mengerikan. Langsung tak sadarkan diri dengan darah mengucur deras membasahi lantai. Langsung tewas di tempat.


Dosaku bertambah sekarang. Para korban menatapku ketakutan. Sungguh ketakutan.


Aku tau apa yang mereka pikirkan tentangku sekarang. Seorang pembunuh keji, yang tak ragu menghilangkanya nyawa seorang wanita.


Satuan polisi langsung memasuki gedung secara paksa. Para perampok tertangkap, kecuali wanita yang sudah merenggang nyawa.


Aku juga ditangkap, diperlakukan biadab layaknya penjahat. Tak ada yang membantuku, memberitahu mereka jika aku termasuk dalam korban. Mereka terdiam membuang wajah, di saat aku digiring ke mobil tahanan.


Kenapa?


Setelah dua minggu, aku dilepas dari sel tahanan. Ada orang yang berbaik hati, menjadi saksi untukku. Aku keluar dengan luka lebam di wajah. Banyak, terasa sakit. Khususnya dalam hati ini.


Memang niatku sebelumnya untuk memutus pendidikan yang kukagumi. Tapi, aku telah mendapatkan amanat dari orang itu, pahlawan yang menyelamatkan nyawaku. Aku harus memastikan putri tercintanya baik-baik saja di sekolah.


Setelah kucari tahu segala tentang dirinya. Akhirnya aku mendapat informasi yang kuperlukan. Nama putrinya adalah Annisa, Annisa Fitri Nurani.




***

No comments:

Post a Comment