Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Bab V
Perpisahan
Perpisahan
Hotel berbintang lima,
terlihat mewah. Di lantai teratas, tempat restoran berada. Terlihat Annisa yang
berpakaian rapih dan menganggumkan. Seorang wanita karir yang sukses dan
terpandang di mata dunia.
Dia duduk, memainkan sedotan ungu. Meminum jus
kesukaannya semasa SMA.
Tak lama setelah itu, terlihat Rina bersama Rizky.
Memakai pakaian kemeja dan gaun, membuat seisi restoran menatap kagum keduanya.
“Wow, kalian tetap menganggumkan. Pasangan muda,” senyum
Annisa, berdiri dan berjalan mendekati Rina.
“Apa maksudnya itu,” keluh Rina, membuang wajah. Dia
berjalan cepat mendekati Annisa.
Mereka berpelukan, sangat erat. Persahabatan mereka
semakin terasa dalam. Persahabatan mereka sangat kuat, hingga membuat orang-orang
sekitar tersenyum kagum.
“Lama tidak bertemu, Annisa,” Rina mengusap air mata.
Tersenyum bahagia melihat sang sahabat.
“Astaga, mau sampai kau cengeng seperti ini. Kau sekarang
sudah menjadi seorang ibu dalam keluargamu, Rina.” Annisa tertawa kecil.
Butiran air mata terlihat di kedua sisi matanya.
Waktu berjalan cepat. Sudah delapan tahun berlalu sejak Hardi
diusir dari sekolah.
Mereka duduk di tempat duduk mewah, terlihat berbeda
dengan meja yang lain. Rizky menopang dagu, tersenyum kagum menatap Annisa yang
meminum jus sirsaknya.
“Kau hebat, Annisa. Tak kusangka kau bisa seperti ini.”
“Aku hebat? Sebelum kau mengatakan itu, coba lirik
istrimu dulu. Dia itu yang lebih mengaggumkan. Usianya masih di bawah tiga
puluh tahun, tapi total kekayaannya benar-benar mengerikan.”
“Jika kita berbicara tentang hal yang menganggumkan,
sepertinya Lili yang masih di atas.” Rina tertawa kecil menutup mata.
“Jangan libatkan dia. Gadis itu bukan manusia,” Annisa
tertawa kecil, membalas pernyataan sahabat.
“Kau benar,
hahaha ....” Rina ikut tertawa, menutup mulutnya.
“Bagaimana dengan Geisha dan Wafa? Bagaimana dengan kabar
mereka?” Rizky bertanya, menatap Annisa cukup penasaran.
"Geisha baik-baik saja. Dia menjalankan butiknya cukup
baik, bisa dikatakan berhasil. Sedangkan Wafa hanya menjadi ibu rumah tangga.
Suaminya yang bekerja keras menjadi anggota parlemen pemerintahan.”
“Lalu soal lelaki itu. Apa dia benar-benar melamar
pekerjaan di salah satu hotel resort milikmu, Annisa?” khawatir Rizky bertanya.
“Ya. Aku sungguh tak percaya dia melakukannya, setelah
sikap mengerikannya pada kita. Dia berniat melamar pekerjaan di salah satu
hotel yang kukelola.“ Annisa berwajah kesal. Mengaduk cepat jus dengan sedotannya.
“Jadi kau tolak dia?” senyum Rizky bertanya.
“Bukan kutolak lagi. Aku langsung menyuruh bawahanku
untuk mengusirnya.”
“Bahkan kamu juga yah ...,” Rina berwajah khawatir
menatap sang sahabat. Mulai melirik Rizky yang kini sudah menjadi suaminya.
“Juga? Apa kalian juga didatangi olehnya.”
“Ya, perusahan yang kami kelola juga didatangi olehnya.
Dia berniat melamar pekerjaan. Menjadi Office Boy pun tak apa katanya.” Rina
berwajah khawatir.
“Lalu kau terima?” Rina bertanya.
“Keputusanku aku berikan padanya. Tapi jika dibiarkan
memilih, aku ingin menolaknya. Aku tak mau perusahaan yang kami kelola hancur
karena berandal sepertinya.” Rina melirik khawatir Rizky.
“Tenang saja, Sayang. Aku sudah menolaknya,” Rizky
tersenyum melirik Rina. Rina cukup terkejut, tersenyum bahagia. “Benarkah?”
“Ya, aku juga tak ingin bajingan itu datang kembali ke
kehidupan kita.”
Annisa memasang wajah datar. Terlihat tak senang karena
suasana roman yang dikeluarkan Rizky dan Rina.
Dia memalingkan wajah,
menggerutu cukup kesal. “Ah ah, hari sudah malam, AC menyala dengan baik. Tapi
kenapa terasa panas di sini.”
“Kemana Deni? Kenapa
dia tidak bersama –“
“Jangan menyebut nama
itu lagi! Aku sudah berakhir dengannya. Aku tak percaya aku bisa bersama dengan
lelaki itu lebih dari empat tahun!” Annisa terlihat marah, menggebrak meja.
Membuat orang-orang sekitar menatap khawatir dirinya.
Rina tersenyum melihat
tingkahnya. Mulai melirik kembali suaminya.
“Sudah ke berapa?”
“Ini sudah ke delapan
belas kali mereka bertengkar dan mengakhiri hubungan.” Jawab Rizky.
“Jadi kapan kau akan
berbaikan lagi dengannya?”
“Aku tak akan berbaikan
lagi dengannya!!” teriak kesal Annisa kembali.
“Ya ya, kau selalu
mengatakan kalimat itu. Aku sampai bosan mendengarnya.” Rina kembali
mengeluarkan tertawaan kecilnya. Sedangkan Annisa malah semakin memasang wajah
datar. Tak senang akan tingkah sahabatnya.
Ketika suasana yang
damai itu berlangsung, tiba-tiba datang dua gadis cantik yang berjalan cepat
menghampiri mereka. Keduanya sangat mirip, tak kalah indah dengan mereka,
bagaikan malaikat kembar yang turun dari langit kahyangan.
Model gaun yang mereka
pakai amat sangat mirip, hanya berbeda warna. Ungu dan putih. Rambut mereka
cukup panjang, berwarna hitam, jatuh ke bawah.
Keduanya terlihat
ketakutan, sungguh amat sangat ketakutan bertanya pada kelompok Rina.
“Kak Rina!”
“Kak Annisa!”
Dua gadis berumur
belasan tahun itu mulai bertanya. Rina dan Annisa terkejut, menengok ke arah
mereka.
“Kalian Vira dan Vera,
kan?” Rina cukup terkejut, berdiri dan menatap khawatir mereka yang ketakutan.
“Ahh, adiknya Wafa?”
Annisa juga ikut berdiri. Cukup khawatir menatap mereka yang bergemetar
ketakutan.
“Ah, aku dengar kalian
sudah menjadi Freelancer Author dan Illustrator profesional –“ Rizky tersenyum
kagum pada mereka berdua. Tapi langsung terdiam, perkataanya terpotong oleh
Vira yang bertanya ketakutan.
“Apa benar?! Apa itu
semua benar jika Kak Hardi yang mengadu domba kalian waktu SMA dulu?!” Suasana
langsung terasa tegang. Seluruh penghuni ruangan menatap mereka penuh penasaran.
“Kau tau darimana –“
“Tunggu, Annisa.
Sebaiknya kita pindah tempat,” Rizky mulai berjalan, menarik pergelangan tangan
istrinya. Annisa, Vira, dan Vera berjalan mengikuti mereka.
Mereka sampai di atap
gedung hotel itu. Terlihat sepi, suhunya cukup rendah. Cukup membuat tubuh Rina
bergemetar. Rizky tau apa yang dibutuhkan istrinya. Dia melepas jaket,
memberikan pada sang kekasih.
“Terima kasih,” Rina
tersenyum, tersipu malu dengan wajah memerah. Rizky hanya tersenyum membalas
senyuman istrinya.
“Jadi? Darimana kalian
tau tentangnya?” Annisa bertanya. Rizky menjawab pertanyaan Annisa.
“Bukankah bajingan itu
mengancam mereka. Sudah jelas mereka tahu –“
“Aku tak pernah
mendengarnya. Aku tak tau hal ini?!” Vira berteriak ketakutan. Terlihat ingin
menangis karena rasa sakit dalam hatinya.
“Hah? Apa maksud kalian
ini? Bukankah kalian pernah mendapat ancaman ....” Suara Rizky mengecil dan akhirnya
terdiam terkejut menatap Vera yang menangis. Tubuh gadis manis itu bergemetar,
sungguh bergemetar ketakutan. Dia terus memegang pulpen pemberian Hardi dengan
kedua tangan yang bergemetar.
“Su-sudah be-berapa
tahun terlewat? Ke-kenapa aku baru tahu sekarang, kenapa Kak Wafa baru
mengatakannya sekarang.”
Vira lekas mendekati
adik kembarnya yang menangis, menghibur dia yang menangis tersedu-sedu. Meski
dia juga mulai menangis kecil.
Rina dan yang lainnya
hanya menatap mereka kebingungan, penuh penasaran. Sungguh tak mengerti dengan
apa yang sebenarnya terjadi.
“He-hei, jelaskan lebih
awal. Dia mengancam kalian berdua, kan?“ Rizky tersenyum khawatir. Tetap
memperhatikan Si Kembar.
“Dia tidak pernah
mengancam kami, dia sangat baik pada kami. Dan juga, aku sudah mendengarnya,
akan betapa mengerikannya Kak Hardi di sekolah dari Kak Wafa. Tapi ....” Vira
menutup mata, mengangkat kepala menatap Rizky dan yang lainnya. Vera juga mulai
melakukan hal yang sama.
“Kami tak
mempercayainya!!” teriak Vira dan Vera bersamaan. Terlihat yakin akan
pernyataanya. Rina dan yang lainnya terdiam, membuka mulut, dan melebarkan
mata. Terkejut penasaran dan kebingungan.
“Kini aku mengerti apa
yang sebenarnya dilakukan Kak Hardi. Akan aku jelaskan pada kalian, hubungan
kami dengannya yang sebenarnya.”
“Kak Hardi ....” Tubuh
Vera bergemetar, tetap menangis menatap pulpen yang terlihat sudah tua di
tangannya. Alat tulis yang pertama kali ia gunakan untuk
menggambar.
***
Langit berwarna kelabu.
Terlihat biasa saja, tak dipedulikan orang-orang di bawahnya, kecuali lelaki
berambut keriting yang lebat.
Dia menatap langit itu. Terasa menyesakkan hati.
Membuatnya ingin menangis. Tapi dia tahan air matanya, dengan menyipitkan mata.
Lelaki berkulit aneh itu memegang hati dengan tangan
kanannya, sangat erat. Kembali tersenyum menguatkan diri, meski terasa amat
sakit .
Hardi mulai melangkahkan kakinya kembali. Orang-orang
sekitar menatap dirinya, cukup risih. Pakaian Hardi layaknya pengemis, kaos
putih oblong dengan beberapa sobekan kecil. Memakai celana jeans sobek di
lututnya.
Dia mengabaikan tatapan risih mereka. Terus berjalan
dengan pandangan lurus ke depan.
Di tangan kiri, terlihat ijazah SMP yang dia pegang, sangat
erat. Ini kesekian kalinya jika lamaran pekerjaan lelaki berwajah seram itu ditolak.
Sebelumnya, Hardi hanya bekerja sebagai buruh kasar di
pabrik-pabrik sekitar. Tapi karena kebutuhan biaya dan kondisi tubuhnya yang
memburuk. Dia berhenti.
Dia membutuhkan uang yang banyak, bukan untuk keinginan
pribadi. Tapi karena kebutuhannya. Dia sudah mendapatkan karma dari
perbuatannya. Dadanya selalu terasa sakit tak tertahankan. Pernafasannya selalu
berhembus tak beraturan. Kepalanya selalu sakit, berputar sulit dihentikan.
Terkadang, tubuhnya juga terasa kejang, sulit untuk
digerakkan.
Akhirnya dia mendapatkan kutukan itu. Dari keegoisan di
masa lalunya. Dari sifatnya yang terus menerima kebencian orang lain, membuat
hatinya terluka, terus terluka semakin dalam hingga menyebabkan stress pada
tubuhnya.
Bahkan penyakit jantungnya itu sudah semakin parah,
sampai mual-mual, sampai pembengkakan kaki dan perut.
Dia membutukan biaya untuk pengobatannya. Membutuhkan
uang yang tak sedikit, untuk mempertahankan
kehidupannya yang semakin terkikis oleh penyakit mematikan dari buah masa lalu.
“Sudah kuduga, jika Rina dan Annisa akan menolak orang sepertiku. Tak mengherankan,” lelaki itu
mengehentikan langkah, menyipitkan mata, tertunduk menatap tanah. Tertawa kecil
menguatkan diri.
“Tapi untunglah mereka sudah berhasil, khususnya Annisa.
Aku sudah menepati salah satu janjiku.”
Dia kembali melangkah sambil menatap langit.
Tak lama, langkahnya terhenti di depan restoran mewah
yang berkelas. Dia menelan ludah, perutnya menggeram lapar. Dia berjalan
memutari restoran itu, mencari pintu belakang.
Bukan untuk makan, melainkan melamar pekerjaan. Semoga
kali ini berhasil, pikirnya menguatkan diri.
Setelah wawancara yang cukup lama, akhirnya Hardi diterima
sebagai pembersih piring. Karena kondisi
restoran itu yang sedang sibuk, manager terpaksa menerimanya. Dia dengan
giat membersihkan piring, demi mendapatkan uang untuk kebutuhannya.
Sisa makanan yang masih layak, diam-diam ia makan.
Sesungguhnya dia tidak semiskin itu, tapi setidaknya dia bisa berhemat karena
kondisi tubuhnya yang di ujung tanduk.
“Hei, pesuruh baru!! Ambil makanan di meja empat. Toko
sangat sibuk, para pelayan sedang melayani meja lainnya. Kau ambil yang ke depan!!”
teriak lelaki tua, seorang koki yang berwibawa.
“Baik, Tuan!!” teriak Hardi cukup khawatir. Keringatnya
sangat banyak, mengucur deras di wajah. Tubuhnya yang hancur sudah mencapai
batasnya.
Ketika dia mengambil piring dan gelas kotor. Terdengar
teriakan yang membuat suasana tegang datang. Teriakkan yang membuat pengunjung
ketakutan. Teriakan familiar bagi Hardi yang sedang membersihkan meja.
“APA-APAAN INI?!!”
Itu adalah Liliana, adik dari lelaki yang kini sedang memunguti
piring kotor. Dirinya terlihat amat sangat cantik dan dewasa. Sungguh rupawan.
Tapi ekspresi wajahnya terlihat sangat murka. Berdiri
menatap tajam Hardi yang terkejut melebarkan mata. Lelaki berwajah seram itu
terlihat amat sangat senang melihat sang adik tersayang.
“Lili–“ dia berniat menyapanya. Berbicara pada gadis yang
selalu ia lindungi itu, akan tetapi.
“Panggilkan Manager restoran cabang ini!! Aku ingin
berbicara dengannya!! SEKARANG!!” Lili berteriak amat murka, menatap sekitarnya
yang terdiam ketakutan.
Hardi berjalan kaku, mendekati adiknya. Mengangkat tangan
ke depan, sungguh ingin meraih dirinya. Tersenyum amat sangat bahagia.
“Hei, Lili. Ini aku Kakakm –“
“Jangan menyentuhku, Iblis.” Lili menampar keras
tangannya, menendang tubuhnya hingga terjatuh ke belakang.
“Ak-aku Kakakmu, kumohon pinjami aku uang. Aku
membutuhkannya untuk –“ Hardi memeluk kaki kiri Lili, tersujud sungguh memohon
pada adiknya itu.
BUAKK BUAKK, mungkin seperti itu bunyinya. Dia menendang
keras kepala Hardi. Tapi Hardi tak melepaskan pelukannya, dia sungguh
ketakutan, sungguh meminta pertolongan padanya.
“Lepaskan aku, Iblis!! Jangan sentuh kakiku!!” setelah
perkataan terakhirnya, Lili berhasil membuat Sang Kakak melepaskan kakinya. Dia
berjalan mundur ketakutan, menyuruh pengawalnya untuk mengusir dia yang tak berharga.
“Aku memang mengatakan, siapapun boleh bekerja di
restoranku. Tapi tidak untuk mahluk itu, KAU MENGERTI!!” teriak Lili pada
manager restoran, bawahannya. Lili adalah pemilik restoran itu. Sungguh ironis.
“Ba-baik, Pu-putri!” teriak sang manager, sangat ketakutan.
Ini pertama kalinya bagi semua orang melihat Liliana yang berada di puncak
kemarahan.
Sedangkan Hardi, tetap meringkuk di atas lantai, terlihat
kesakitan memegang anggota tubuhnya. Bukan kepalanya, tapi
jantungnya. Penyakit mematikannya kambuh, kutukannya kembali datang.
Tapi tak ada yang peduli. Dia diusir layaknya pengemis
menyedihkan. Diseret dan dibuang oleh pengawal Lili dengan cukup biadab.
Belakang restoran itu cukup menarik perhatian,
orang-orang yang lewat saling berbisik melihat Hardi yang bersandar di tumpukan
sampah. Lelaki itu masih terlihat kesakitan. Memegang dada.
Beruntungnya, di sana ada Hera yang sedang lewat. Mantan
guru Hardi. Tanpa berpikir panjang, wanita yang kini bersama putrinya langsung
menghampiri Hardi.
“Kau Hardi, kan!?” Hera sungguh terkejut, bertanya pada
dia yang menggeram kesakitan.
“Ga-gawaat ..., “ Hera mulai terlihat sangat ketakutan,
melihat Hardi yang kejang-kejang.
“PANGGIL AMBULAN, CEPAT!!” Wanita dewasa itu berteriak
pada orang-orang di belakangnya. Wajahnya sungguh terlihat ketakutan, tubuhnya
bergemetar tak karuan. Putrinya yang berada di dekatnya terlihat menangis
melihat sang ibu yang seperti itu.
Suasana terasa mencekam bagi Hera. Hardi dilarikan ke UGD
terdekat karena penyakitnya. Wanita yang pernah menjadi gurunya itu tetap setia
duduk di sampingnya. Menunggu mantan muridnya hingga siuman. Entah kenapa, dia merasa
bersalah.
Dua jam telah berlalu setelah penanganan, Hera
dipersilahkan memasuki ruangan tempat Hardi beristirahat. Putrinya telah
dijemput oleh sang ayah.
Wajah Hera terlihat sedih, setelah mendengar kondisi Hardi.
Dia berpura-pura menjadi keluarganya, hanya untuk mendengar kondisi Hardi dari
dokter.
“Ah, Ibu lama tidak
bertemu. Te-terima kasih sudah membawaku ke sini,” Hardi tersenyum kecil,
menatap Hera yang memasuki ruangan. Nadanya terdengar pelan dan lemah. Wajahnya
sangat pucat, garis hitam di bawa mata terlihat dengan jelas.
“Aku akan sembuh, kan?” lanjutnya bertanya, tersenyum
menutup mata sesaat. Hera lekas melepas wajah sedihnya, tersenyum berniat
memberikan harapan untuknya, tapi.
“Tentu saja tidak akan. Tenang saja, aku sudah tau hal sederhana
yang seperti itu.” Hera terdiam, terkejut mendengar pernyataanya. Hatinya
terasa sakit. Dia menahan tangisan dengan menyipitkan mata.
“Maaf, sepertinya aku sudah terkena kutukan yang ibu
katakan,” Hardi tertawa kecil, membuka mata. Menatap Hera yang memberikan
tatapan sedih padanya.
“Aku baru ingat suatu
hal,
maka dari itu bisa aku meminta tolong sesuatu? Aku punya permintaan
egois di hari terakhirku,” Hardi berwajah serius, menatap wanita menawan di
sampingnya.
“Katakan saja,” Hera tersenyum sedih, menganggukkan pelan
kepala.
***
Lima menit setelah Hera meninggalkan ruangan. Pintu
ruangan Hardi kembali terbuka. Lelaki berwajah rupawan lekas memasuki ruangan itu.
Sungguh ketakutan wajahnya, sungguh bergemetar tubuhnya.
Hardi tersenyum, tetap menutup mata. Suaranya yang pelan
kembali ia keluarkan. “Sudah kuduga kau akan datang, Adam ....”
“Hardi ...,” Adam sungguh terlihat ketakutan, wajahnya
terlihat sangat cemas. Detak jantungnya berdetak cepat melihat kondisi Sang
Sahabat yang sudah di ambang batas.
“Perawat!! Cepat pindahkan pasien ini ke ruang VIP
tertinggi!! Turunkan semua dokter untuk
merawatnya, akan kubayar atau bahkan kubeli rumah sakit ini –“ teriak Adam amat
ketakutan, tapi langsung terpotong oleh perkataan Hardi yang lemah.
“Berisik, Adam .... Ini rumah sakit, jangan menyombongkan
kekayaanmu di sini.”
“Aku tak menyombongkannya. Lagipula apa-apaan kondisimu
ini?! Kenapa kau tak datang padaku?!” Adam menyipitkan mata, tetap berwajah
ketakutan melihat Hardi yang bernafas cepat.
“Tak apa kau ke sini? Lili akan memarahimu lagi loh,” Hardi
tertawa kecil menutup matanya kembali. Adam tak tertawa sedikitpun. Terus
memberikan tatapan kecil pada sang sahabat.
“Maaf, aku terlalu banyak bercanda. Sekarang pembicaaan
serius, Adam. Dengarkan aku ....”
“Ya ...,” Adam menutup mata amat rapat. Mengepalkan kedua
tangannya sangat erat. Sungguh tak tega melihat kondisi sang sahabat.
“Nikahi Lili. Buat dirinya menjadi wanita dewasa yang
sesungguhnya.”
“Aku sudah bertunangan dengannya sekarang, tahun depan
aku akan menikahinya.” Adam membuka mata, menatapnya sangat serius.
Sesaat, Hardi terkejut
mendengar pernyataan Sang Sahabat. Tapi setelah itu dia tersenyum sambil
berkata. “Begitu, syukurlah ....”
Suasana dalam ruangan terasa lengang. Adam tetap menatap
Sang Sahabat yang terbaring lemah. Tubuhnya terus bergemetar tak karuan.
“Hei, aku ingin kau melakukan satu hal lagi untukku.”
“Kumohon katakan saja ...,” Adam menangis menutup mata.
Hatinya terasa sakit. Sejak memasuki ruangan, hatinya terus terasa sakit. Bagai
dicabik-cabik oleh ribuan pedang tak bertuan.
Hardi mulai membuka mulut, menuturkan permintaan
terakhirnya pada Sang Sahabat.
Di tempat lainnya, Villa Gunung Cikurai. Lili terlihat
berdiri di hadapan gedung tempat insiden mengerikan itu terjadi.
“Aku tak bersalah.
Iblis itu pantas mendapatkannya. Tapi kenapa aku merasa ingin menangis ketika
melihat dia yang seperti itu ....”
Karena perbuatan pada Sang Kakak, dia terlihat ingin
menangis. Entah kenapa, tanpa dipahami dirinya sendiri.
Dia mulai melangkah, tak sengaja menginjak bekas kembang
api di bawah kakinya. Sudah sangat tua dan hampir hancur.
Perlahan dia mulai jonkok, mengambil benda kotor itu.
Menatapnya penuh penasaran.
“Kembang api? Sudah lama sekali. Kapan yang terakhir kali
aku memainkannya ....” Lili semakin mengecilkan suara. Mulai mengingat akan
kecerobohannya di masa lalu.
Semakin lama, tubuhnya bergemetar. Kedua tangannya terus
bergemetar, menjatuhkan kembang api. Dia memegang kepalanya sangat erat, merasa
kesakitan.
Apa-apaan ini, kata itu terus berulang diucapkan olehnya.
Dia menangis, memeluk tubuhnya. Perlahan, ingatan akan kejadian mengerikan itu
kembali padanya. Akan tindakan
cerobohnya di masa lalu yang menyalakan banyak kembang api di dalam ruangan.
“Dia tak bersalah!” Lili menyipitkan mata. Air mata
sungguh mengucur deras dari kedua bola matanya yang indah.
“Kenapa, kenapa, kenapa dia melakukan ini?! Kenapa harus
sejauh ini?!” Lili berbalik, berjalan cepat terus menangis ketakutan. Semua
orang yang bersamanya terdiam, memberikan tatapan penasaran.
Tak lama, panggilan itu datang. Panggilan yang berisi
kabar menyayat hati. Itu dari Adam, yang kini menjadi tunangannya.
Lili mengangkat, kedua
bibirnya masih bergemetar. Kesulitan memulai perkataan karena rasa bersalahnya
yang amat besar.
“LILI DIMANA KAU?!
CEPAT DATANG KE SINI!!”
LIli tetap terdiam.
menangis menutup mata. Tak menjawab panggilannya. Semua orang kebingungan,
sungguh sangat ingin menghentikan tangisan si gadis rupawan itu.
“Lili, kumohon jawab,
kumohon ...,” berbeda dengan nada keras sebelumnya. Kali ini nada suara Adam
terdengar pelan seolah sedang menangis.
“Ad-ada apa?” Lili
akhirnya mengeluarkan suara. Cukup gugup, merasa bersalah.
“Cepatlah datang ke
tempat Kakakmu. Ini mungkin terakhir kali
kau melihatnya.”
Mendengar hal itu,
tubuh Lili semakin bergemetar. Detak jantungnya berdetak amat sangat cepat.
Pernafasannya seakan dihancurkan oleh kabar dari Adam.
“Apa yang terjadi pada Kakak?”
pelan Lili bertanya, memasang wajah terguncang, memegang dadanya yang
terasa sesak.
“Lili, kau ...!?” Adam
sangat terkejut mendengar perkataan Lili, tapi langsung terdiam semakin
terkejut saat Lili mengulang kembali pertanyaanya.
“APA YANG TERJADI PADA KAKAK?!!”
nadanya sangat keras. Dia berteriak sejadi-jadinya sampai membungkukkan tubuh
ke depan.
“....”
“Ke-kehidupannya sudah
sampai di ujung tanduk. Tolong datang ke Rumah sakit dekat cabang restoran
tempat kau bertemu dengan Kakakm –“ Lili melempar hendphonenya. Lekas berjalan
cepat, berlari dengan wajah yang amat ketakutan.
“Antar aku ke tempat
sebelumnya!!” teriak Lili menangis pada supir pribadi. “Baikla –“
“Cepatlah!!” teriaknya
semakin ketakutan. Hatinya terasa sakit, dadanya sungguh terasa sesak.
“Kakak ...,” Lili
menangis lebih dalam, menundukkan kepala. Dia mulai mengingat semuanya. Akan
sikap Sang Kakak yang selalu melindungi dirinya.
“Putri, kita terjebak
macet ....“ Supir itu berniat melapor
karena kemacetan di depannya. Tapi suaranya semakin mengecil dan menghilang
setelah Lili turun dari mobil. Dia berlari sekuat tenaga menghampiri Sang Kakak
yang pernah dia abaikan.
“Putri, tunggu!!” Sang
Supir terlihat ketakutan, lekas menelepon para pegawal untuk menyusul majikan
tercinta mereka.
Lili terus berlari,
tetap belari dengan air mata kesedihan menghiasi wajah. Tetap berlari sambil
memegang dada yang hancur dengan kedua tangannya.
“Kakak ....!!” gadis
itu menyipitkan mata, menangis lebih dalam. Menutup mata sangat erat menembus
keramaian Karnaval. Semua orang yang memasang wajah bahagia dibuat penasaran
oleh dia yang menangis ketakutan.
“Kakak ...,” Lili
membuka matanya yang memerah, karena air mata yang berlebihan. Beberapa ingatan
akan sosok Hardi Sang Kakak kembali di dapatkannya, dengan sangat jelas.
“Kakak ...,” Dia yang
selalu melindunginya, menjaganya, dan memperhatikannya, membuat tubuhnya
semakin bergemetar. Terus begemetar tak karuan.
Kadangkala dia
terjatuh, mendapatkan luka lecet di tubuh indahnya. Terasa sakit, tapi tak
seberapa dengan hatinya yang hancur. Mengingat sosok Sang Kakak yang sangat
berharga baginya. Sosok Sang Kakak yang selalu melindunginya.
Tak lama, gadis itu akhirnya sampai di rumah sakit,
dengan kondisi berantakan. Dia berlari-lari di lorong ruangan, membuat para
pengunjung dan pasien menatapnya penuh penasaran.
“Lili?!” seorang wanita berbadan dua memanggil namanya.
Bertanya penasaran pada dia yang ketakutan. Itu adalah Wafa, yang sedang
memeriksa kandungannya.
“Wafa!! Dimana Kakak?!” Lili menangis ketakutan, bertanya
pada Wafa yang terdiam kebingungan.
“Ini pertama
kalinya aku melihat dia seperti ini,” batin Wafa tetap terdiam tak percaya
melihat ekspresi rupawan itu.
“Wafaaa ...!!” Lili menangis menundukkan kepala, memegang
erat pundaknya. Wafa terdiam khawatir menggelengkan kepala.
Lili lekas berlari lebih dalam memasuki lorong. Sedangkan
Wafa lekas menelepon kedua adik kembarnya. Kedua adiknya sungguh sangat ingin
bertemu dengan Hardi.
Cukup lama Lili mencari, akhirnya dia berhasil menemukan
ruangan itu dengan bantuan suster. Sesaat dia cukup ragu untuk menyentuh gagang
pintu.
Pantaskah aku, itu pikirnya sambil terus menangis
ketakutan. Tapi karena kasih sayangnya pada sang kakak dia memberanikan diri,
membukan pintu itu perlahan.
Angin yang begitu menyayat hati lekas menerpa tubuhnya.
Dia melihat kondisi Kakaknya yang amat berantakan. Hatinya terasa sakit, begitu
sakit.
“Maaf, Lili ....” Hardi membuka matanya, perlahan.
Nafasnya tetap berhembus cepat. Wajahnya sungguh terlihat sangat pucat.
“Kakak ...!” Lili berjalan cepat, memegang tangan kanan Sang
Kakak, dengan kedua tangan. Tubuhnya tetap bergemetar ketakutan.
“Hentikan ini, kumohon! Aku sudah mengingat semuanya!! Jangan
pergi! Aku tak mau ini! Aku tak ingin ini! –“
“Lili, maaf ....” Hardi menutup mata, secara perlahan.
“Hentikan hentikan hentikan hentikan ....“ Lili
mengecilkan suara, tapi.
“LAKUKAN SESUATU, DOKTER!! KUMOHON!!” teriak Lili
menangis lebih dalam dan ketakutan. Melihat sekitarnya, Adam dan para dokter
yang berwajah sedih menundukkan kepala
“Adam, lakukan sesuatu untuknya!!” Adam membuang wajah,
tak tega melihat Lili yang tersiksa karena rasa bersalah.
“Kumohon, akan kuberikan semuanya. Hartaku, bahkan
nyawaku, kumohon selamatkan dia. Kakaku, dia adalah pelindungku, penyelamatku,
kumohon ....” Lili mengeluarkan air mata, semakin banyak. Menutup mata amat
erat memegang tangan Sang Kakak yang lemah.
“Li-lili, lihatlah ke belakang ....” Hardi kembali
mengeluarkan suara lemahnya, tetap menutup mata.
Lili berbalik, menatap pintu keluar. Di sana terlihat
Hera yang menangis tersedu-sedu. Membawa bungkusan kembang api, sangat banyak.
Lili melebarkan mata, tubuhnya merinding semakin ketakutan.
“Kakak ....” Lili berbalik cepat, menatap ketakutan Sang
Kakak. Memeluk tubuhnya amat sangat erat. Sungguh ketakutan kehilangan dia yang
pernah ia rendahkan.
“Selamat ulang tahun, adikku. Kuharap kau tak ceroboh
seperti di masa lalu.” Hardi mengusap pelan rambut Lili dengan tangannya, amat
sangat lembut. Kasih sayang dari dia untuk adiknya benar-benar terasa oleh
sekitar.
“Aku tak ingin ini, kumohon sembuhlah, kumohon jangan
tinggalkan aku –“ Lili tetap memeluk Sang Kakak, tak henti-hentinya menangis.
Tapi perkataanya terpotong oleh Hardi yang berteriak hingga membuat semua orang
terkejut.
“Adam!!”
Lili terdiam menatap Sang
Kakak kembali, sangat penasaran. Adam juga mulai mengangkat kepala,
menganggukkan kepala mendengarkan permintaan dia.
“Sisanya, aku serahkan semuanya padamu. Tolong buat
adikku bahagia,” Hardi tersenyum lebar menutup mata amat rapat.
“Ya!!” Adam berteriak, menahan tangisan melihat Sang Sahabat.
“Kakak ...,” Lili menatap kakanya penuh penasaran.
Hardi lekas mengusap lembut pipinya, menghapus air mata
kanan adiknya. Tersenyum tulus dari lubuk hatinya, mengucapkan kata-kata
terakhir untuk adik tercintanya.
“Lili, adikku .... Hiduplah demiku dan orang tua kita.
To-tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri karena dosaku. Kau tak bersalah,
Sayang. Kau adalah penyelamatku, kau adalah malaikatku. Kebahagiaanmu adalah
anugerah untukku, kesedihanmu adalah malapetaka untukku.
Ma-maka dari itu, berbahagailah, bergerak majulah dan hadapi masa depan. Aku hanya pergi lebih
cepat darimu, lebih cepat menyusul orang tua kita. Terima kasih, aku sungguh
berterima kasih padamu untuk segalanya. Se-selamat tinggal, adikku
....”
“Kakak ...?” Lili menyipitkan mata, menutup mata lalu
berteriak menangis sejadi-jadinya. Memeluk Sang Kakak yang mulai tersenyum
menutup matanya.
Detak jantungnya yang cepat, telah berhenti. Dia sudah
menghembuskan nafas terakhirnya.
Lelaki berwajah seram itu telah pergi. Lelaki yang
dijuluki Sang Bajingan itu telah meninggalkan mereka. Telah kembali ke tempat
asal, membawa dosa kemunafikan yang berlimpah.
Bersamaan teriakkan
Lili, Adam dan Hera juga mulai mengerluarkan tangisan lebih dalam. Menutup mata
dan mulut, melihat dia yang terbaring terkujur kaku.
Si Kembar, Vera dan
Vira juga telah sampai. Kedua mata mereka melebar, terguncang melihat lelaki
dikaguminya telah pergi meninggalkan mereka.
Vera langsung pingsan
tak sadarkan diri, sungguh terguncang. Dia jatuh di pelukan Kakaknya, Wafa,
yang berada di belakang. Vira menangis hebat, menutup mulutnya. Dia sama
terguncangnya seperti Vera.
Wafa hanya memasang
wajah sedih dan kebingungan.
Semua orang telah
datang, orang-orang yang mendapatkan kebaikannya. Tapi semuanya sudah
terlambat.
Lelaki yang pernah
dibenci segalanya itu, telah pergi meninggalkan dunia. Untuk selama-lamanya.
***
Cerita yg sangat menyayat hati...lanjutkan terus kak :)
ReplyDeletemaaakasihh xD
DeleteSasuga Lullaby sensei, udah brp kali aku baca ini. Tetap bikin nangids :")
ReplyDeletewaaah terima kasih >,<
Delete