Saturday, 3 December 2016

Bab V

Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Bab V
Perpisahan

          Hotel berbintang lima, terlihat mewah. Di lantai teratas, tempat restoran berada. Terlihat Annisa yang berpakaian rapih dan menganggumkan. Seorang wanita karir yang sukses dan terpandang di mata dunia.



            Dia duduk, memainkan sedotan ungu. Meminum jus kesukaannya semasa SMA.


           Tak lama setelah itu, terlihat Rina bersama Rizky. Memakai pakaian kemeja dan gaun, membuat seisi restoran menatap kagum keduanya.


            “Wow, kalian tetap menganggumkan. Pasangan muda,” senyum Annisa, berdiri dan berjalan mendekati Rina.


            “Apa maksudnya itu,” keluh Rina, membuang wajah. Dia berjalan cepat mendekati Annisa.


          Mereka berpelukan, sangat erat. Persahabatan mereka semakin terasa dalam. Persahabatan mereka sangat kuat, hingga membuat orang-orang sekitar tersenyum kagum.


            “Lama tidak bertemu, Annisa,” Rina mengusap air mata. Tersenyum bahagia melihat sang sahabat.


            “Astaga, mau sampai kau cengeng seperti ini. Kau sekarang sudah menjadi seorang ibu dalam keluargamu, Rina.” Annisa tertawa kecil. Butiran air mata terlihat di kedua sisi matanya.


        Waktu berjalan cepat. Sudah delapan tahun berlalu sejak Hardi diusir dari sekolah.

       Mereka duduk di tempat duduk mewah, terlihat berbeda dengan meja yang lain. Rizky menopang dagu, tersenyum kagum menatap Annisa yang meminum jus sirsaknya.


            “Kau hebat, Annisa. Tak kusangka kau bisa seperti ini.”


      “Aku hebat? Sebelum kau mengatakan itu, coba lirik istrimu dulu. Dia itu yang lebih mengaggumkan. Usianya masih di bawah tiga puluh tahun, tapi total kekayaannya benar-benar mengerikan.”


            “Jika kita berbicara tentang hal yang menganggumkan, sepertinya Lili yang masih di atas.” Rina tertawa kecil menutup mata.


            “Jangan libatkan dia. Gadis itu bukan manusia,” Annisa tertawa kecil, membalas pernyataan sahabat.


            “Kau benar, hahaha ....” Rina ikut tertawa, menutup mulutnya.


            “Bagaimana dengan Geisha dan Wafa? Bagaimana dengan kabar mereka?” Rizky bertanya, menatap Annisa cukup penasaran.


          "Geisha baik-baik saja. Dia menjalankan butiknya cukup baik, bisa dikatakan berhasil. Sedangkan Wafa hanya menjadi ibu rumah tangga. Suaminya yang bekerja keras menjadi anggota parlemen pemerintahan.”


            “Lalu soal lelaki itu. Apa dia benar-benar melamar pekerjaan di salah satu hotel resort milikmu, Annisa?” khawatir Rizky bertanya.


            “Ya. Aku sungguh tak percaya dia melakukannya, setelah sikap mengerikannya pada kita. Dia berniat melamar pekerjaan di salah satu hotel yang kukelola.“ Annisa berwajah kesal. Mengaduk cepat jus dengan sedotannya.


            “Jadi kau tolak dia?” senyum Rizky bertanya.


            “Bukan kutolak lagi. Aku langsung menyuruh bawahanku untuk mengusirnya.”


            “Bahkan kamu juga yah ...,” Rina berwajah khawatir menatap sang sahabat. Mulai melirik Rizky yang kini sudah menjadi suaminya.


            “Juga? Apa kalian juga didatangi olehnya.”


            “Ya, perusahan yang kami kelola juga didatangi olehnya. Dia berniat melamar pekerjaan. Menjadi Office Boy pun tak apa katanya.” Rina berwajah khawatir.


            “Lalu kau terima?” Rina bertanya.


            “Keputusanku aku berikan padanya. Tapi jika dibiarkan memilih, aku ingin menolaknya. Aku tak mau perusahaan yang kami kelola hancur karena berandal sepertinya.” Rina melirik khawatir Rizky.


            “Tenang saja, Sayang. Aku sudah menolaknya,” Rizky tersenyum melirik Rina. Rina cukup terkejut, tersenyum bahagia. “Benarkah?”


            “Ya, aku juga tak ingin bajingan itu datang kembali ke kehidupan kita.”


            Annisa memasang wajah datar. Terlihat tak senang karena suasana roman yang dikeluarkan Rizky dan Rina.


Dia memalingkan wajah, menggerutu cukup kesal. “Ah ah, hari sudah malam, AC menyala dengan baik. Tapi kenapa terasa panas di sini.”


“Kemana Deni? Kenapa dia tidak bersama –“


“Jangan menyebut nama itu lagi! Aku sudah berakhir dengannya. Aku tak percaya aku bisa bersama dengan lelaki itu lebih dari empat tahun!” Annisa terlihat marah, menggebrak meja. Membuat orang-orang sekitar menatap khawatir dirinya.


Rina tersenyum melihat tingkahnya. Mulai melirik kembali suaminya.


“Sudah ke berapa?”


“Ini sudah ke delapan belas kali mereka bertengkar dan mengakhiri hubungan.” Jawab Rizky.


“Jadi kapan kau akan berbaikan lagi dengannya?”


“Aku tak akan berbaikan lagi dengannya!!” teriak kesal Annisa kembali.


“Ya ya, kau selalu mengatakan kalimat itu. Aku sampai bosan mendengarnya.” Rina kembali mengeluarkan tertawaan kecilnya. Sedangkan Annisa malah semakin memasang wajah datar. Tak senang akan tingkah sahabatnya.


Ketika suasana yang damai itu berlangsung, tiba-tiba datang dua gadis cantik yang berjalan cepat menghampiri mereka. Keduanya sangat mirip, tak kalah indah dengan mereka, bagaikan malaikat kembar yang turun dari langit kahyangan.


Model gaun yang mereka pakai amat sangat mirip, hanya berbeda warna. Ungu dan putih. Rambut mereka cukup panjang, berwarna hitam, jatuh ke bawah.


Keduanya terlihat ketakutan, sungguh amat sangat ketakutan bertanya pada kelompok Rina.


“Kak Rina!”


“Kak Annisa!”


Dua gadis berumur belasan tahun itu mulai bertanya. Rina dan Annisa terkejut, menengok ke arah mereka.


“Kalian Vira dan Vera, kan?” Rina cukup terkejut, berdiri dan menatap khawatir mereka yang ketakutan.


“Ahh, adiknya Wafa?” Annisa juga ikut berdiri. Cukup khawatir menatap mereka yang bergemetar ketakutan.


“Ah, aku dengar kalian sudah menjadi Freelancer Author dan Illustrator profesional –“ Rizky tersenyum kagum pada mereka berdua. Tapi langsung terdiam, perkataanya terpotong oleh Vira yang bertanya ketakutan.


“Apa benar?! Apa itu semua benar jika Kak Hardi yang mengadu domba kalian waktu SMA dulu?!” Suasana langsung terasa tegang. Seluruh penghuni ruangan menatap mereka penuh penasaran.


“Kau tau darimana –“


“Tunggu, Annisa. Sebaiknya kita pindah tempat,” Rizky mulai berjalan, menarik pergelangan tangan istrinya. Annisa, Vira, dan Vera berjalan mengikuti mereka.


Mereka sampai di atap gedung hotel itu. Terlihat sepi, suhunya cukup rendah. Cukup membuat tubuh Rina bergemetar. Rizky tau apa yang dibutuhkan istrinya. Dia melepas jaket, memberikan pada sang kekasih.


“Terima kasih,” Rina tersenyum, tersipu malu dengan wajah memerah. Rizky hanya tersenyum membalas senyuman istrinya.


“Jadi? Darimana kalian tau tentangnya?” Annisa bertanya. Rizky menjawab pertanyaan Annisa.


“Bukankah bajingan itu mengancam mereka. Sudah jelas mereka tahu –“


“Aku tak pernah mendengarnya. Aku tak tau hal ini?!” Vira berteriak ketakutan. Terlihat ingin menangis karena rasa sakit dalam hatinya.


“Hah? Apa maksud kalian ini? Bukankah kalian pernah mendapat ancaman ....” Suara Rizky mengecil dan akhirnya terdiam terkejut menatap Vera yang menangis. Tubuh gadis manis itu bergemetar, sungguh bergemetar ketakutan. Dia terus memegang pulpen pemberian Hardi dengan kedua tangan yang bergemetar.


“Su-sudah be-berapa tahun terlewat? Ke-kenapa aku baru tahu sekarang, kenapa Kak Wafa baru mengatakannya sekarang.”


Vira lekas mendekati adik kembarnya yang menangis, menghibur dia yang menangis tersedu-sedu. Meski dia juga mulai menangis kecil.


Rina dan yang lainnya hanya menatap mereka kebingungan, penuh penasaran. Sungguh tak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.


“He-hei, jelaskan lebih awal. Dia mengancam kalian berdua, kan?“ Rizky tersenyum khawatir. Tetap memperhatikan Si Kembar.


“Dia tidak pernah mengancam kami, dia sangat baik pada kami. Dan juga, aku sudah mendengarnya, akan betapa mengerikannya Kak Hardi di sekolah dari Kak Wafa. Tapi ....” Vira menutup mata, mengangkat kepala menatap Rizky dan yang lainnya. Vera juga mulai melakukan hal yang sama.


“Kami tak mempercayainya!!” teriak Vira dan Vera bersamaan. Terlihat yakin akan pernyataanya. Rina dan yang lainnya terdiam, membuka mulut, dan melebarkan mata. Terkejut penasaran dan kebingungan.


“Kini aku mengerti apa yang sebenarnya dilakukan Kak Hardi. Akan aku jelaskan pada kalian, hubungan kami dengannya yang sebenarnya.”


“Kak Hardi ....” Tubuh Vera bergemetar, tetap menangis menatap pulpen yang terlihat sudah tua di tangannya. Alat tulis yang pertama kali ia gunakan untuk menggambar.
             

          
***



Langit berwarna kelabu. Terlihat biasa saja, tak dipedulikan orang-orang di bawahnya, kecuali lelaki berambut keriting yang lebat.


            Dia menatap langit itu. Terasa menyesakkan hati. Membuatnya ingin menangis. Tapi dia tahan air matanya, dengan menyipitkan mata.


       Lelaki berkulit aneh itu memegang hati dengan tangan kanannya, sangat erat. Kembali tersenyum menguatkan diri, meski terasa amat sakit .
     

       Hardi mulai melangkahkan kakinya kembali. Orang-orang sekitar menatap dirinya, cukup risih. Pakaian Hardi layaknya pengemis, kaos putih oblong dengan beberapa sobekan kecil. Memakai celana jeans sobek di lututnya.


            Dia mengabaikan tatapan risih mereka. Terus berjalan dengan pandangan lurus ke depan.


        Di tangan kiri, terlihat ijazah SMP yang dia pegang, sangat erat. Ini kesekian kalinya jika lamaran pekerjaan lelaki berwajah seram itu ditolak.


            Sebelumnya, Hardi hanya bekerja sebagai buruh kasar di pabrik-pabrik sekitar. Tapi karena kebutuhan biaya dan kondisi tubuhnya yang memburuk. Dia berhenti.


       Dia membutuhkan uang yang banyak, bukan untuk keinginan pribadi. Tapi karena kebutuhannya. Dia sudah mendapatkan karma dari perbuatannya. Dadanya selalu terasa sakit tak tertahankan. Pernafasannya selalu berhembus tak beraturan. Kepalanya selalu sakit, berputar sulit dihentikan.


            Terkadang, tubuhnya juga terasa kejang, sulit untuk digerakkan.


            Akhirnya dia mendapatkan kutukan itu. Dari keegoisan di masa lalunya. Dari sifatnya yang terus menerima kebencian orang lain, membuat hatinya terluka, terus terluka semakin dalam hingga menyebabkan stress pada tubuhnya.


      Bahkan penyakit jantungnya itu sudah semakin parah, sampai mual-mual, sampai pembengkakan kaki dan perut.


            Dia membutukan biaya untuk pengobatannya. Membutuhkan uang yang tak sedikit, untuk mempertahankan kehidupannya yang semakin terkikis oleh penyakit mematikan dari buah masa lalu.


            “Sudah kuduga, jika Rina dan Annisa akan menolak orang sepertiku. Tak mengherankan,” lelaki itu mengehentikan langkah, menyipitkan mata, tertunduk menatap tanah. Tertawa kecil menguatkan diri.


            “Tapi untunglah mereka sudah berhasil, khususnya Annisa. Aku sudah menepati salah satu janjiku.”  Dia kembali melangkah sambil menatap langit.


            Tak lama, langkahnya terhenti di depan restoran mewah yang berkelas. Dia menelan ludah, perutnya menggeram lapar. Dia berjalan memutari restoran itu, mencari pintu belakang.


            Bukan untuk makan, melainkan melamar pekerjaan. Semoga kali ini berhasil, pikirnya menguatkan diri.


            Setelah wawancara yang cukup lama, akhirnya Hardi diterima sebagai pembersih piring. Karena kondisi  restoran itu yang sedang sibuk, manager terpaksa menerimanya. Dia dengan giat membersihkan piring, demi mendapatkan uang untuk kebutuhannya.


            Sisa makanan yang masih layak, diam-diam ia makan. Sesungguhnya dia tidak semiskin itu, tapi setidaknya dia bisa berhemat karena kondisi tubuhnya yang di ujung tanduk.


            “Hei, pesuruh baru!! Ambil makanan di meja empat. Toko sangat sibuk, para pelayan sedang melayani meja lainnya. Kau ambil yang ke depan!!” teriak lelaki tua, seorang koki yang berwibawa.


            “Baik, Tuan!!” teriak Hardi cukup khawatir. Keringatnya sangat banyak, mengucur deras di wajah. Tubuhnya yang hancur sudah mencapai batasnya.


            Ketika dia mengambil piring dan gelas kotor. Terdengar teriakan yang membuat suasana tegang datang. Teriakkan yang membuat pengunjung ketakutan. Teriakan familiar bagi Hardi yang sedang membersihkan meja.


            “APA-APAAN INI?!!”


            Itu adalah Liliana, adik dari lelaki yang kini sedang memunguti piring kotor. Dirinya terlihat amat sangat cantik dan dewasa. Sungguh rupawan.


            Tapi ekspresi wajahnya terlihat sangat murka. Berdiri menatap tajam Hardi yang terkejut melebarkan mata. Lelaki berwajah seram itu terlihat amat sangat senang melihat sang adik tersayang.


            “Lili–“ dia berniat menyapanya. Berbicara pada gadis yang selalu ia lindungi itu, akan tetapi.


            “Panggilkan Manager restoran cabang ini!! Aku ingin berbicara dengannya!! SEKARANG!!” Lili berteriak amat murka, menatap sekitarnya yang terdiam ketakutan.


            Hardi berjalan kaku, mendekati adiknya. Mengangkat tangan ke depan, sungguh ingin meraih dirinya. Tersenyum amat sangat bahagia.


            “Hei, Lili. Ini aku Kakakm –“


            “Jangan menyentuhku, Iblis.” Lili menampar keras tangannya, menendang tubuhnya hingga terjatuh ke belakang.


            “Ak-aku Kakakmu, kumohon pinjami aku uang. Aku membutuhkannya untuk –“ Hardi memeluk kaki kiri Lili, tersujud sungguh memohon pada adiknya itu.


            BUAKK BUAKK, mungkin seperti itu bunyinya. Dia menendang keras kepala Hardi. Tapi Hardi tak melepaskan pelukannya, dia sungguh ketakutan, sungguh meminta pertolongan padanya.


            “Lepaskan aku, Iblis!! Jangan sentuh kakiku!!” setelah perkataan terakhirnya, Lili berhasil membuat Sang Kakak melepaskan kakinya. Dia berjalan mundur ketakutan, menyuruh pengawalnya untuk mengusir dia yang tak berharga.


            “Aku memang mengatakan, siapapun boleh bekerja di restoranku. Tapi tidak untuk mahluk itu, KAU MENGERTI!!” teriak Lili pada manager restoran, bawahannya. Lili adalah pemilik restoran itu. Sungguh ironis.


            “Ba-baik, Pu-putri!” teriak sang manager, sangat ketakutan. Ini pertama kalinya bagi semua orang melihat Liliana yang berada di puncak kemarahan.


            Sedangkan Hardi, tetap meringkuk di atas lantai, terlihat kesakitan memegang anggota tubuhnya. Bukan kepalanya, tapi jantungnya. Penyakit mematikannya kambuh, kutukannya kembali datang.


            Tapi tak ada yang peduli. Dia diusir layaknya pengemis menyedihkan. Diseret dan dibuang oleh pengawal Lili dengan cukup biadab.


            Belakang restoran itu cukup menarik perhatian, orang-orang yang lewat saling berbisik melihat Hardi yang bersandar di tumpukan sampah. Lelaki itu masih terlihat kesakitan. Memegang dada.


            Beruntungnya, di sana ada Hera yang sedang lewat. Mantan guru Hardi. Tanpa berpikir panjang, wanita yang kini bersama putrinya langsung menghampiri Hardi.


            “Kau Hardi, kan!?” Hera sungguh terkejut, bertanya pada dia yang menggeram kesakitan.


            “Ga-gawaat ..., “ Hera mulai terlihat sangat ketakutan, melihat Hardi yang kejang-kejang.


            “PANGGIL AMBULAN, CEPAT!!” Wanita dewasa itu berteriak pada orang-orang di belakangnya. Wajahnya sungguh terlihat ketakutan, tubuhnya bergemetar tak karuan. Putrinya yang berada di dekatnya terlihat menangis melihat sang ibu yang seperti itu.


            Suasana terasa mencekam bagi Hera. Hardi dilarikan ke UGD terdekat karena penyakitnya. Wanita yang pernah menjadi gurunya itu tetap setia duduk di sampingnya. Menunggu mantan muridnya hingga siuman. Entah kenapa, dia merasa bersalah.


            Dua jam telah berlalu setelah penanganan, Hera dipersilahkan memasuki ruangan tempat Hardi beristirahat. Putrinya telah dijemput oleh sang ayah.


            Wajah Hera terlihat sedih, setelah mendengar kondisi Hardi. Dia berpura-pura menjadi keluarganya, hanya untuk mendengar kondisi Hardi dari dokter.


            “Ah, Ibu lama tidak bertemu. Te-terima kasih sudah membawaku ke sini,” Hardi tersenyum kecil, menatap Hera yang memasuki ruangan. Nadanya terdengar pelan dan lemah. Wajahnya sangat pucat, garis hitam di bawa mata terlihat dengan jelas.


            “Aku akan sembuh, kan?” lanjutnya bertanya, tersenyum menutup mata sesaat. Hera lekas melepas wajah sedihnya, tersenyum berniat memberikan harapan untuknya, tapi.


            “Tentu saja tidak akan. Tenang saja, aku sudah tau hal sederhana yang seperti itu.” Hera terdiam, terkejut mendengar pernyataanya. Hatinya terasa sakit. Dia menahan tangisan dengan menyipitkan mata.


            “Maaf, sepertinya aku sudah terkena kutukan yang ibu katakan,” Hardi tertawa kecil, membuka mata. Menatap Hera yang memberikan tatapan sedih padanya.


            “Aku baru ingat suatu hal, maka dari itu bisa aku meminta tolong sesuatu? Aku punya permintaan egois di hari terakhirku,” Hardi berwajah serius, menatap wanita menawan di sampingnya.


            “Katakan saja,” Hera tersenyum sedih, menganggukkan pelan kepala.




***



            Lima menit setelah Hera meninggalkan ruangan. Pintu ruangan Hardi kembali terbuka. Lelaki berwajah rupawan lekas memasuki ruangan itu. Sungguh ketakutan wajahnya, sungguh bergemetar tubuhnya.


            Hardi tersenyum, tetap menutup mata. Suaranya yang pelan kembali ia keluarkan. “Sudah kuduga kau akan datang, Adam ....”


            “Hardi ...,” Adam sungguh terlihat ketakutan, wajahnya terlihat sangat cemas. Detak jantungnya berdetak cepat melihat kondisi Sang Sahabat yang sudah di ambang batas.


            “Perawat!! Cepat pindahkan pasien ini ke ruang VIP tertinggi!! Turunkan semua dokter  untuk merawatnya, akan kubayar atau bahkan kubeli rumah sakit ini –“ teriak Adam amat ketakutan, tapi langsung terpotong oleh perkataan Hardi yang lemah.


            “Berisik, Adam .... Ini rumah sakit, jangan menyombongkan kekayaanmu di sini.”


            “Aku tak menyombongkannya. Lagipula apa-apaan kondisimu ini?! Kenapa kau tak datang padaku?!” Adam menyipitkan mata, tetap berwajah ketakutan melihat Hardi yang bernafas cepat.


            “Tak apa kau ke sini? Lili akan memarahimu lagi loh,” Hardi tertawa kecil menutup matanya kembali. Adam tak tertawa sedikitpun. Terus memberikan tatapan kecil pada sang sahabat.


            “Maaf, aku terlalu banyak bercanda. Sekarang pembicaaan serius, Adam. Dengarkan aku ....”


            “Ya ...,” Adam menutup mata amat rapat. Mengepalkan kedua tangannya sangat erat. Sungguh tak tega melihat kondisi sang sahabat.


            “Nikahi Lili. Buat dirinya menjadi wanita dewasa yang sesungguhnya.”


            “Aku sudah bertunangan dengannya sekarang, tahun depan aku akan menikahinya.” Adam membuka mata, menatapnya sangat serius.


Sesaat, Hardi terkejut mendengar pernyataan Sang Sahabat. Tapi setelah itu dia tersenyum sambil berkata. “Begitu, syukurlah ....”


            Suasana dalam ruangan terasa lengang. Adam tetap menatap Sang Sahabat yang terbaring lemah. Tubuhnya terus bergemetar tak karuan.


            “Hei, aku ingin kau melakukan satu hal lagi untukku.”


            “Kumohon katakan saja ...,” Adam menangis menutup mata. Hatinya terasa sakit. Sejak memasuki ruangan, hatinya terus terasa sakit. Bagai dicabik-cabik oleh ribuan pedang tak bertuan.


            Hardi mulai membuka mulut, menuturkan permintaan terakhirnya pada Sang Sahabat.


            Di tempat lainnya, Villa Gunung Cikurai. Lili terlihat berdiri di hadapan gedung tempat insiden mengerikan itu terjadi.


            “Aku tak bersalah. Iblis itu pantas mendapatkannya. Tapi kenapa aku merasa ingin menangis ketika melihat dia yang seperti itu ....”


            Karena perbuatan pada Sang Kakak, dia terlihat ingin menangis. Entah kenapa, tanpa dipahami dirinya sendiri.


            Dia mulai melangkah, tak sengaja menginjak bekas kembang api di bawah kakinya. Sudah sangat tua dan hampir hancur.


            Perlahan dia mulai jonkok, mengambil benda kotor itu. Menatapnya penuh penasaran.


            “Kembang api? Sudah lama sekali. Kapan yang terakhir kali aku memainkannya ....” Lili semakin mengecilkan suara. Mulai mengingat akan kecerobohannya di masa lalu.


            Semakin lama, tubuhnya bergemetar. Kedua tangannya terus bergemetar, menjatuhkan kembang api. Dia memegang kepalanya sangat erat, merasa kesakitan.


            Apa-apaan ini, kata itu terus berulang diucapkan olehnya. Dia menangis, memeluk tubuhnya. Perlahan, ingatan akan kejadian mengerikan itu kembali padanya. Akan tindakan cerobohnya di masa lalu yang menyalakan banyak kembang api di dalam ruangan.


            “Dia tak bersalah!” Lili menyipitkan mata. Air mata sungguh mengucur deras dari kedua bola matanya yang indah.


            “Kenapa, kenapa, kenapa dia melakukan ini?! Kenapa harus sejauh ini?!” Lili berbalik, berjalan cepat terus menangis ketakutan. Semua orang yang bersamanya terdiam, memberikan tatapan penasaran.


            Tak lama, panggilan itu datang. Panggilan yang berisi kabar menyayat hati. Itu dari Adam, yang kini menjadi tunangannya.


Lili mengangkat, kedua bibirnya masih bergemetar. Kesulitan memulai perkataan karena rasa bersalahnya yang amat besar.


“LILI DIMANA KAU?! CEPAT DATANG KE SINI!!”


LIli tetap terdiam. menangis menutup mata. Tak menjawab panggilannya. Semua orang kebingungan, sungguh sangat ingin menghentikan tangisan si gadis rupawan itu.


“Lili, kumohon jawab, kumohon ...,” berbeda dengan nada keras sebelumnya. Kali ini nada suara Adam terdengar pelan seolah sedang menangis.


“Ad-ada apa?” Lili akhirnya mengeluarkan suara. Cukup gugup, merasa bersalah.


“Cepatlah datang ke tempat Kakakmu. Ini mungkin terakhir kali kau melihatnya.


Mendengar hal itu, tubuh Lili semakin bergemetar. Detak jantungnya berdetak amat sangat cepat. Pernafasannya seakan dihancurkan oleh kabar dari Adam.


“Apa yang terjadi pada Kakak?”  pelan Lili bertanya, memasang wajah terguncang, memegang dadanya yang terasa sesak.


“Lili, kau ...!?” Adam sangat terkejut mendengar perkataan Lili, tapi langsung terdiam semakin terkejut saat Lili mengulang kembali pertanyaanya.


“APA YANG TERJADI PADA KAKAK?!!” nadanya sangat keras. Dia berteriak sejadi-jadinya sampai membungkukkan tubuh ke depan.


“....”


“Ke-kehidupannya sudah sampai di ujung tanduk. Tolong datang ke Rumah sakit dekat cabang restoran tempat kau bertemu dengan Kakakm –“ Lili melempar hendphonenya. Lekas berjalan cepat, berlari dengan wajah yang amat ketakutan.


“Antar aku ke tempat sebelumnya!!” teriak Lili menangis pada supir pribadi. “Baikla –“


“Cepatlah!!” teriaknya semakin ketakutan. Hatinya terasa sakit, dadanya sungguh terasa sesak.


“Kakak ...,” Lili menangis lebih dalam, menundukkan kepala. Dia mulai mengingat semuanya. Akan sikap Sang Kakak yang selalu melindungi dirinya.


“Putri, kita terjebak macet ....“  Supir itu berniat melapor karena kemacetan di depannya. Tapi suaranya semakin mengecil dan menghilang setelah Lili turun dari mobil. Dia berlari sekuat tenaga menghampiri Sang Kakak yang pernah dia abaikan.


“Putri, tunggu!!” Sang Supir terlihat ketakutan, lekas menelepon para pegawal untuk menyusul majikan tercinta mereka.


Lili terus berlari, tetap belari dengan air mata kesedihan menghiasi wajah. Tetap berlari sambil memegang dada yang hancur dengan kedua tangannya.


“Kakak ....!!” gadis itu menyipitkan mata, menangis lebih dalam. Menutup mata sangat erat menembus keramaian Karnaval. Semua orang yang memasang wajah bahagia dibuat penasaran oleh dia yang menangis ketakutan.


“Kakak ...,” Lili membuka matanya yang memerah, karena air mata yang berlebihan. Beberapa ingatan akan sosok Hardi Sang Kakak kembali di dapatkannya, dengan sangat jelas.


“Kakak ...,” Dia yang selalu melindunginya, menjaganya, dan memperhatikannya, membuat tubuhnya semakin bergemetar. Terus begemetar tak karuan.


Kadangkala dia terjatuh, mendapatkan luka lecet di tubuh indahnya. Terasa sakit, tapi tak seberapa dengan hatinya yang hancur. Mengingat sosok Sang Kakak yang sangat berharga baginya. Sosok Sang Kakak yang selalu melindunginya.


            Tak lama, gadis itu akhirnya sampai di rumah sakit, dengan kondisi berantakan. Dia berlari-lari di lorong ruangan, membuat para pengunjung dan pasien menatapnya penuh penasaran.


            “Lili?!” seorang wanita berbadan dua memanggil namanya. Bertanya penasaran pada dia yang ketakutan. Itu adalah Wafa, yang sedang memeriksa kandungannya.


            “Wafa!! Dimana Kakak?!” Lili menangis ketakutan, bertanya pada Wafa yang terdiam kebingungan.


            “Ini pertama kalinya aku melihat dia seperti ini,” batin Wafa tetap terdiam tak percaya melihat ekspresi rupawan itu.


            “Wafaaa ...!!” Lili menangis menundukkan kepala, memegang erat pundaknya. Wafa terdiam khawatir menggelengkan kepala.


            Lili lekas berlari lebih dalam memasuki lorong. Sedangkan Wafa lekas menelepon kedua adik kembarnya. Kedua adiknya sungguh sangat ingin bertemu dengan Hardi.


            Cukup lama Lili mencari, akhirnya dia berhasil menemukan ruangan itu dengan bantuan suster. Sesaat dia cukup ragu untuk menyentuh gagang pintu.


            Pantaskah aku, itu pikirnya sambil terus menangis ketakutan. Tapi karena kasih sayangnya pada sang kakak dia memberanikan diri, membukan pintu itu perlahan.


            Angin yang begitu menyayat hati lekas menerpa tubuhnya. Dia melihat kondisi Kakaknya yang amat berantakan. Hatinya terasa sakit, begitu sakit.


            “Maaf, Lili ....” Hardi membuka matanya, perlahan. Nafasnya tetap berhembus cepat. Wajahnya sungguh terlihat sangat pucat.


            “Kakak ...!” Lili berjalan cepat, memegang tangan kanan Sang Kakak, dengan kedua tangan. Tubuhnya tetap bergemetar ketakutan.


            “Hentikan ini, kumohon! Aku sudah mengingat semuanya!! Jangan pergi! Aku tak mau ini! Aku tak ingin ini! –“


            “Lili, maaf ....” Hardi menutup mata, secara perlahan.


            “Hentikan hentikan hentikan hentikan ....“ Lili mengecilkan suara, tapi.


            “LAKUKAN SESUATU, DOKTER!! KUMOHON!!” teriak Lili menangis lebih dalam dan ketakutan. Melihat sekitarnya, Adam dan para dokter yang berwajah sedih menundukkan kepala


            “Adam, lakukan sesuatu untuknya!!” Adam membuang wajah, tak tega melihat Lili yang tersiksa karena rasa bersalah.


            “Kumohon, akan kuberikan semuanya. Hartaku, bahkan nyawaku, kumohon selamatkan dia. Kakaku, dia adalah pelindungku, penyelamatku, kumohon ....” Lili mengeluarkan air mata, semakin banyak. Menutup mata amat erat memegang tangan Sang Kakak yang lemah.


            “Li-lili, lihatlah ke belakang ....” Hardi kembali mengeluarkan suara lemahnya, tetap menutup mata.


            Lili berbalik, menatap pintu keluar. Di sana terlihat Hera yang menangis tersedu-sedu. Membawa bungkusan kembang api, sangat banyak. Lili melebarkan mata, tubuhnya merinding semakin ketakutan.


            “Kakak ....” Lili berbalik cepat, menatap ketakutan Sang Kakak. Memeluk tubuhnya amat sangat erat. Sungguh ketakutan kehilangan dia yang pernah ia rendahkan.


            “Selamat ulang tahun, adikku. Kuharap kau tak ceroboh seperti di masa lalu.” Hardi mengusap pelan rambut Lili dengan tangannya, amat sangat lembut. Kasih sayang dari dia untuk adiknya benar-benar terasa oleh sekitar.


            “Aku tak ingin ini, kumohon sembuhlah, kumohon jangan tinggalkan aku –“ Lili tetap memeluk Sang Kakak, tak henti-hentinya menangis. Tapi perkataanya terpotong oleh Hardi yang berteriak hingga membuat semua orang terkejut.


            “Adam!!”


Lili terdiam menatap Sang Kakak kembali, sangat penasaran. Adam juga mulai mengangkat kepala, menganggukkan kepala mendengarkan permintaan dia.


            “Sisanya, aku serahkan semuanya padamu. Tolong buat adikku bahagia,” Hardi tersenyum lebar menutup mata amat rapat.


            “Ya!!” Adam berteriak, menahan tangisan melihat Sang Sahabat.


            “Kakak ...,” Lili menatap kakanya penuh penasaran.


            Hardi lekas mengusap lembut pipinya, menghapus air mata kanan adiknya. Tersenyum tulus dari lubuk hatinya, mengucapkan kata-kata terakhir untuk adik tercintanya.


            “Lili, adikku .... Hiduplah demiku dan orang tua kita. To-tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri karena dosaku. Kau tak bersalah, Sayang. Kau adalah penyelamatku, kau adalah malaikatku. Kebahagiaanmu adalah anugerah untukku, kesedihanmu adalah malapetaka untukku.


            Ma-maka dari itu, berbahagailah, bergerak majulah  dan hadapi masa depan. Aku hanya pergi lebih cepat darimu, lebih cepat menyusul orang tua kita. Terima kasih, aku sungguh berterima kasih padamu untuk segalanya. Se-selamat tinggal, adikku ....”


            “Kakak ...?” Lili menyipitkan mata, menutup mata lalu berteriak menangis sejadi-jadinya. Memeluk Sang Kakak yang mulai tersenyum menutup matanya.


            Detak jantungnya yang cepat, telah berhenti. Dia sudah menghembuskan nafas terakhirnya.


         Lelaki berwajah seram itu telah pergi. Lelaki yang dijuluki Sang Bajingan itu telah meninggalkan mereka. Telah kembali ke tempat asal, membawa dosa kemunafikan yang berlimpah.


Bersamaan teriakkan Lili, Adam dan Hera juga mulai mengerluarkan tangisan lebih dalam. Menutup mata dan mulut, melihat dia yang terbaring terkujur kaku.


Si Kembar, Vera dan Vira juga telah sampai. Kedua mata mereka melebar, terguncang melihat lelaki dikaguminya telah pergi meninggalkan mereka.


Vera langsung pingsan tak sadarkan diri, sungguh terguncang. Dia jatuh di pelukan Kakaknya, Wafa, yang berada di belakang. Vira menangis hebat, menutup mulutnya. Dia sama terguncangnya seperti Vera.


Wafa hanya memasang wajah sedih dan kebingungan.


Semua orang telah datang, orang-orang yang mendapatkan kebaikannya. Tapi semuanya sudah terlambat.


Lelaki yang pernah dibenci segalanya itu, telah pergi meninggalkan dunia. Untuk selama-lamanya.



***

4 comments:

  1. Cerita yg sangat menyayat hati...lanjutkan terus kak :)

    ReplyDelete
  2. Sasuga Lullaby sensei, udah brp kali aku baca ini. Tetap bikin nangids :")

    ReplyDelete