Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Chapter VII
Awal Penyerangan
Chapter VII
Awal Penyerangan
Masih
di hari yang sama, beberapa jam telah berlalu setelah pertengkaran Lapis dan
Lisienata. Langit sudah berubah warna menjadi jingga. Lisienata terlihat di
dapur, dekat pojokan ruangan. Mengupas kentang dengan ekspresi wajah yang
muram. Kecepatan tangannya benar-benar luar biasa, seperti sudah terbiasa. Tak
heran jika dia menarik perhatian sekitarnya.
Lisienata
sudah memakai pakaian yang lebih pantas, seragam putih dengan beberapa atribut
lambang Kerajaan Skyline. Terlihat lebih rapih dan enak untuk dipandang.
Pada
dasarnya Lisienata memang mirip dengan ayahnya, tapi karena penampilannya yang
tak rapih, membuat dia sering diabaikan sekitar. Tak disadari orang-orang di sekelilingnya.
Tapi
kini berbeda, baik wajah, tatapan mata, raut wajah, bahkan aura benar-benar
terlihat. Membuat orang-orang yang berada di dalam ruangan memiliki pertanyaan
yang sama, akan siapa sebenarnya Lisienata.
Ada
tiga orang dalam ruangan dapur itu, termasuk Lisienata sendiri. Memakai seragam yang sama dengan Lisienata.
Lelaki dewasa, berwajah seram dengan luka tebasan di mata kiri terlihat memukul
adonan. Sesekali memberikan senyuman bersemangat melirik anak yang mengupas
kentang.
Wanita
muda, cantik dan rupawan. Rambutnya panjang berwarna kuning keemasan, ada tahi
lalat di bawah mata kanan. Dia terlihat memotong sayuran dengan cepat, terlihat
elegan dan enak untuk diperhatikan. Dia juga memberikan senyuman kecil pada Lisienata.
“Aku
sudah selesai, apa ada pekerjaan lagi yang bisa kulakukan?” Lisienata berdiri,
berjalan mendekati lelaki berwajah seram, bertanya dengan senyuman kecilnya.
Wajahnya terangkat ke atas, menatap langsung lelaki dewasa di hadapannya.
“Mungkin hanya perasaanku saja, tapi jika
dilihat semakin dekat, anak ini benar-benar mirip dengan Yang Mulia.”
“Pak
Jordan?” Lisienata memiringkan kepala, bertanya penasaran. Menegaskan
pertanyaan sebelumnya.
“Ah
...,” lelaki bernama Jordan itu terlihat khawatir, mengamati sekitar. Segala
bahan sudah terpenuhi, bahkan lebih cepat yang direncanakan. Dia lekas menatap
wanita yang sedang memotong sayuran.
Wanita
itu membalas tatapannya, tersenyum menggelengkan kepala. Arti tak ada pekerjaan
lagi untuknya.
“Kau
benar-benar membantu kami, Hendra. Kita bahkan masih punya waktu lebih dari
satu jam untuk mempersiapkan makan malam,” senyum khawatir Jordan. Lekas
menghentikan tindakan. Sudah selesai juga tugasnya.
“Benar
kan, Genia?” lanjutnya bertanya pada wanita yang sudah menyelesaikan memotong
sayuran.
Wanita
bernama Genia itu langsung menyimpan pisau, berbalik menatap Lisienata penuh
senyuman.
“Benar.
Tadinya kami ingin sedikit usil dengan menyuruhmu mengerjakan pekerjaan kami,
tapi kau juga malah menyelesaikan bagian kami.” Genia tertawa, menutup
mulutnya.
“Heee,
jadi kalian melimpahkan tanggung jawab kalian padaku yah ....” Lisienata
bertanya, nadanya terdengar datar. Membuat Jordan dan Genia berwajah khawatir.
“Itu
pemikirannya, Hendra. Jadi aku tak bersalah,” Jordan tertawa, melirik khawatir
Genia.
“Lelaki
macam apa yang mengkambing hitamkan seorang wanita. Bukankah kau juga sama
saja, Om Preman.” Genia memberikan senyuman kekesalan, lekas memberikan lirikan
sinis pada Jordan.
“Apa
maksudnya itu, Gadis Rubah!?” senyum kesal Jordan bertanya. Membalas lirikan Genia.
“Kyaa,
premannya ngamuk!” Genia berteriak ketakutan, meski hanya dibuat-dibuat. Hal
itu membuat Jordan semakin kesal. Membuat wajah Lisienata semakin datar.
“Jika
tidak ingin ada barang-barangmu yang hilang, sebaiknya perhatikan
barang-barangmu, Hendra.” Jordan lekas berucap, melirik Lisienata. Mendengar
hal itu, Genia lekas merubah ekspresi ketakutan yang dibuat-buat. Menjadi terlihat
marah dan memberikan tatapan tajam pada Jordan.
“Apa
maksudnya itu, Preman tak berotak!?”
“Kau
yang mulai duluan, Gadis Rubah –“
“Oke
time! Minta waktu, apa maksudnya preman dan gadis rubah?” Lisienata masih
berwajah datar, mengacungkan tangan kanan. Mengajukan pertanyaan.
“Ah,
lelaki ini dulunya seorang preman yang meresahkan beberapa area,” Genia
menjawab, melirik Jordan, menunjuknya dengan ibu jarinya seolah menunjukkan
kesopanan. Ya, kesopanan dalam arti yang lain.
Jordan
lekas menepis tangan kanan Genia, lekas menunjuk wajah Genia dengan telunjuk
kanannya. “Gadis ini seorang pencuri, penipu di masa lalu yang sulit di tangkap
oleh pemerintah.”
“Heee
....” Lisienata mengecilkan kelopak mata, berucap dengan nada panjang menatap
keduanya yang kembali bertengkar.
“Astaga, apa kerajaan ini baik-baik saja
dengan memperkejakan mereka ...,”
batinnya, tetap menatap Jordan dan Genea.
Lisienata
berjalan mundur, mendekati kursi lipat yang sudah ia duga. Mulai duduk,
mengambil tas yang berada di samping kursi itu.
Memeriksa
tasnya, mencari buku milik penjaga toko sayur yang ia pinjam.
“Baiklah,
kesampingkan pertengkaran suami istri kalian itu. Jadi ....” Lisienata berucap,
memberikan senyuman kecil sambil membuka lembaran bukunya. Tapi perkataanya tak
selesai, terpotong oleh suara Jordan yang keras.
“Kau
menyadari hubungan kami!?” khawatir Jordan.
“He-hebatt
....” Genia menyatukan kedua tangan, memberikan senyuman kekaguman.
“Siapa
saja pasti bisa langsung menyadari hubungan kalian. Pertama, dari cara kalian
memandang satu sama lain, kedua ..., cincin kalian itu ....” Lisienata
menyimpan buku di atas paha, menunjuk jari manis milik Genia.
“Jadi
jadi, apa yang ingin kamu katakan sebelum terpotong oleh lelaki bodoh itu ....”
Genia berjalan cepat, jongkok di depan Lisienata. Tersenyum menunggu pernyataan
Lisienata. Sedangkan Jordan hanya melotot menatap istrinya. Tak menyukai
pernyataan istrinya tersebut.
“Aku
tadi melihat jika Sang Ratu dan beberapa orang dewasa lainnya meninggalkan
villa ini menggunakan F-car. Apa terjadi sesuatu? Hingga mereka pergi
meninggalkan anak-anak mereka di sini?” tanya Lisienata cukup khawatir.
“Ah
itu ....” Genia dan Jordan saling memberikan tatapan, berwajah khawatir,
kebingungan menjawab pertanyaan anak lelaki di hadapannya.
Lisienata
yang melihat itu hanya menyipitkan mata, mengalihkan pandangan dari keduanya.
Berucap sambil mulai menutup matanya.
“Ya,
kalian tak perlu memberitahuku jika memang tak boleh. Karena pada dasarnya aku
hanyalah orang luar.”
“Lagipula
besok juga aku keluar dari sini,” senyum kecil Lisienata melanjutkan pernyataan.
“Ada
penyerangan iblis di berbagai pelabuhan benua ini, Hendra.” Jordan memberikan senyuman kesedihan, membuat
Lisienata dan Genia terkejut. Keterkejutan mereka berbeda.
“Ap-apa
katamu–“ khawatir Lisienata bertanya, akan tetapi.
“Kenapa
kau mengatakannya!? Meski terlihat dewasa, dia masih tetaplah anak-anak!!”
Genia terlihat kesal, memberikan tatapan kekecewaan pada suaminya.
“Tenanglah,
Genia. Hendra bukanlah anggota kerajaan, dia sama seperti kita, rakyat biasa.
Jika ada apa-apa kita bisa meminta pertolongan padanya untuk melindungi para
pangeran dan putri –“
“Apa
yang bisa dilakukan dari anak lelaki sepertinya!? Bagaimana jadinya jika kau berharap
pertolongan pada seorang anak kecil layaknya dia. Selain itu, dia memang rakyat
biasa, tapi dia masih anak-anak, masuk dalam prioritas keselamatan!! Hanya kita
berdua di sini yang harus menjaga mereka, termasuk Hendra sendiri!!” Genia
kesal mengeluarkan pendapat. Wajar dia seperti itu, naluri keibuannya keluar.
“Ka-kau
benar, maafkan aku sudah menceritakan –“ khawatir Jordan, lekas memberikan
tatapan bersalah pada Lisienata. Mulai jonkok tepat di depan wajahnya.
Tapi
perkataanya terhentikan oleh suara pintu dapur yang terbuka lebar. Lapis
memasuki dapur, bersama balita perempuan berumur 2 tahun. Berambut coklat
pendek, bermata biru cerah.
Balita
itu memeluk pakaian lapis amat erat, memberikan tatapan mata berkaca-kaca pada
Lisienata dan yang lainnya.
“Pak
Jordan, ada susu enggak? Seica lapar kayaknya,” khawatir Lapis bertanya, langsung
memberikan tatapan pada Jordan.
Genia
lekas berwajah khawatir, berjalan mendekati mereka. Sedangkan Jordan lekas
membuatkan susu panas untuk balita bernama Seica.
Lisienata
yang menyadari keberadaan pujaan hatinya lekas berdiri, memberikan senyuman
kecil padanya.
Lapis
tak menatapnya sedikitpun, seolah sedang mengabaikan keberadaannya. Dia masih
tetap marah padanya.
“Putri,
seharusnya anda tak perlu repot-repot datang ke sini. Hubungi kami saja dengan
telepon vila seperti biasanya,” khawatir Genia berucap, menatap Lapis penuh
kekhawatiran.
“Tak
apa-apa, Bu Geni. Aku hanya ingin jalan-jalan sama Seica.” Lapis sedikit
menatap Lisienata, tatapan keduanya bertemu. Tapi itu tak lama sampai Lapis
lekas menolehkan kepala, menunjukkan sikap sinis yang berlebihan. Seperti anak
kecil. Ya tapi wajar, pada dasarnya dia memang masih anak-anak.
Lisienata
yang mendapatkan perlakuan itu hanya mengendurkan senyuman, hatinya sakit. Tapi
dia tak bisa membencinya, tak pernah berpikir untuk melunturkan kasih sayang
padanya.
Hanya
dua orang berharga dalam kehidupan Lisienata. Yaitu wanita yang membesarkannya,
wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya, yakni Zaxia. Lalu satu lagi, gadis
seumuran dengannya, yang juga menerima kehadirannya yang mengerikan, cinta
pertamanya, Putri Lapis.
Apapun
sikap, perkataan, tindakan mereka yang melukai hatinya, mulai dari menghinanya,
mengabaikannya. Lisienata tetap mengagumi mereka, menaruh hormat pada keduanya.
Selalu dan selalu berpikir positif untuk keduanya yang bertindak seperti itu.
Genia
melirik Lisienata, mulai berwajah penasaran akan hubungan keduanya. Tak
terkecuali bagi Jordan yang berjalan mendekati Putri Lapis. Sesekali, dia
meneteskan air susu pada tangan untuk memeriksa suhunya.
“Apias
....” Seica bergumam lucu, memukul dada Lapis. Terlihat tak sabar ingin
mendapatkan susunya. Benar-benar terlihat menggemaskan, membuat seluruh
penghuni ruangan menatapnya, memberikan senyuman damai pada Seica yang masih
balita. Tak terkecuali juga bagi Lisienata.
Lapis
hanya memberikan senyuman kecil pada Seica, mencubit pelan pipinya. Dia
benar-benar gemas pada balita yang sudah ia anggap seperti adiknya itu.
Mata
Seica semakin berkaca-kaca, hanya hitungan detik sampai balita itu menitiskan
air mata, mengeluarkan teriakkan yang membuat semua orang ketakutan.
Genia
dan Jordan memberikan senyuman khawatir menatap Lapis. Lisienata juga hanya
memberikan senyuman kecil melihat pujaan hatinya yang tersenyum seperti itu.
Kejadian
mengerikan pun terjadi, Seica akhirnya mengeluarkan teriakan, menangis karena
terus diusili oleh Lapis. Semua orang di dalam ruangan semakin khawatir menatap
Seica.
Tapi
Lapis lekas memberikan susu pada si balita, membuat dia langsung tenang, dengan
nafas terisak dan mata memerah bekas tangisan. Lapis hanya mengusap air matanya,
memberikan senyuman penuh kasih sayang sambil mengusap kepalanya.
Setelah
itu dia berbalik, kembali berjalan pergi meninggalkan ruangan. Kembali ke
lantai atas, tempat kakak dan sepupunya berada.
***
Langit
semakin menggelap, sesi makan malam sudah terlewat. Sang Demigod dan sang
penguasa kerajaan masih belum kembali dari garis depan. Selama makan malam
tadi, hanya terlihat Hardy, Lapis, Alyshial, dan Seica.
Jordan
dan Genia bahkan sudah berpakaian kasualnya, berdiri di depan gerbang bersama
Lisienata yang masih memakai seragam putih.
“Jika
saja anak kami tidak sakit, kami pasti menginap di vila ini,” khawatir Genia,
menatap Lisienata.
“Selain
itu maafkan kami yah, sudah menyuruhmu membersihkan dapur sendirian,” senyum
Jordan pada Lisienata.
“Tidak
apa-apa Pak, setelah membersihkan dapur aku juga akan langsung pulang.”
“Kalau
begitu sampai jumpa lagi yah, Hendra. Kami berharap bisa bekerja sama lagi
denganmu, “ senyum Genia cemas. Setelah itu lekas berbalik dan berjalan cepat
memasuki kendaraan. Diikuti oleh sang suami yang memberikan senyuman kecil pada
Lisienata.
Tak
aneh, putri satu-satunya sedang sakit, sendirian di rumah. Ibu mana yang tidak
khawatir jika putrinya dalam keadaan seperti itu?
Lisienata
menutup gerbang besi setinggi 1.5m, berbalik, menatap vila tempat ia bekerja.
Sesaat dia menatap langit gelap yang dipenuhi oleh miliaran bintang berkilauan.
Memberikan senyuman kebahagiaan, menutup mata merasakan kedamaian hati. Bersatu
dengan alam.
“Baiklah,
waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan ....” Lisenata membuka mata, memberikan
senyuman penuh semangat. Tapi suaranya mengecil dan menghilang. Mulutnya
terbuka, matanya melebar melihat penampakan langit yang terlihat mengerikan.
Bola
api cukup besar melayang di udara, jatuh ke arah belakang vila tempat Lisienata
berada. Ledakan terdengar keras, terasa dahsyat membuat Lisienata menutup tubuh
dengan kedua tangan.
Api
langsung merambat layaknya sedang kelaparan, memakan sekitarnya terlihat
mengerikan. Membuat Lisienata terkejut ketakutan, berjalan selangkah mundur
berniat melarikan diri dari pemandangan mencekam di depan.
Tapi
bayangan gadis itu terlintas dalam pikiran, dia mengingatnya, akan sosok salah
satu gadis yang ia puja sedang beristirahat di sana.
Sifat
pengecutnya langsung hancur, kecemasan langsung memenuhi jiwa dan raga,
memaksanya bergerak memasuki vila yang diselimuti si jago merah. Dia tak
berpikir dua kali untuk memasuki vila yang sudah hampir terbakar sepenuhnya.
“LAPIS!!?”
teriaknya penuh ketakutan, berjalan– berlari di lorong lantai pertama. Air mata
mulai jatuh, sungguh ketakutan menatap sekitarnya yang terlihat mengerikan. Dia
berniat menaiki anak tangga, tapi sudah ada Lapis menggendong Seica yang
menangis. Hardy berwajah khawatir menggendong Alys yang pingsan.
Kebahagiaan
memenuhi hatinya, pemandangan melihat dia yang baik-baik saja menjadi berkah
untuk dirinya. Dia menangis bahagia, menatap Lapis yang berwajah khawatir.
“Ka-kau
baik-baik saja!?”
“Hah,
aku ini seorang Kineser loh, kebakaran seperti ini hal yang enteng untukku,”
Lapis berwajah khawatir.
“Oh
astaga, syukurlah,” Lisienata memberikan senyuman kebahagiaan, benar-benar
terlihat bahagia melihat Lapis yang baik-baik saja.
Pipi
Lapis memerah, hatinya berdetak cepat. Dia memang soerang Kineser, tapi juga
seorang gadis. Hatinya berbunga-bunga, bahagia tak tertahankan melihat lelaki
disukainya mengkhawatirkan dirinya.
Hardy
hanya tersenyum melirik adiknya yang salah tingkah.
“Baiklah,
sekarang kita keluar dari sini. Biar aku yang memandu kalian, aku tau jalan
keluar yang am –“
“Hendra,
tolong bawa Seica. Ada barangku yang tertinggal –“
“Hah!?
Jangan bercanda!! Lupakan barang itu, cepat kita keluar dari sini!” Lisienata
berteriak, menarik tangan Lapis.
“Enggak!
Itu kalung berharga bagiku, pemberian nenekku yang sudah meninggal!” Lapis
membalas teriakkan, memberikan tatapan tajam dan berkaca-kaca pada Lisienata.
“Lapis
...” Lisienata menyipitkan mata, tatapannya sungguh memperlihatkan jika dirinya sangat khawatir
pada gadis di hadapannya.
“Lapis, benar yang dikatakan Hendra,
kita keluar dari sini. Kumohon jangan kekanak-kanak, bersikaplah dewasa. Kita
....” Hardy ikut berucap membujuk adiknya. Tapi tak selesai, Lapis kembali
berteriak memarahinya.
“Gak mau! Sampai aku mati! Aku gak
mau meninggalkan kalung nenek!!” teriak Lapis, matanya memerah terlihat ingin
menangis.
Melihat hal itu, Lisienata hanya
menundukkan kepala. Kedua tangannya bergemetar, benar-benar bergemetar
ketakutan.
Gadis
berharga dalam hidupnya ingin kembali memasuki
tempat berbahaya, gadis yang menerima dirinya ingin menghadapi bahaya
yang mungkin mengancam nyawa. Dia tak bisa membiarkan itu, tak menginginkan
itu. Tak ingin melihatnya terluka.
“Pergilah
..., biar kuambilkan kalungmu itu,” Lisienata berucap dengan tekanan nada
dalam. Masih menundukkan kepala, membuat terkejut Lapis dan Hardy.
“Tu-tunggu,
Hendra –“
“Aku
kuat, sesungguhnya aku lebih kuat darimu Lapis. Aku lebih kuat dari kakakmu,
Lapis. Maka dari itu biarkan aku yang pergi, biarkan aku yang terkuat pergi!”
Lisienata mengangkat wajah, memberikan tatapan keseriusan pada Lapis. Membuat
Lapis terkejut melebarkan mata, bergetar hatinya.
“Jangan
bercanda! Aku yang tau –“ Hardy berwajah khawatir, tapi lekas terdiam melihat
Lisienata yang menggelengkan kepala pelan.
“Ka-kalau
begitu aku juga ikut. Lagipula itu kalungku, itu milikku. Aku cukup kuat –“
“Tidak!
Aku sendiri saja, kau keluar!! Kau hanya menghambatku,” senyum sinis Lisienata,
berjalan melewati Lapis dan Hardy. Tatapan Lisienata itu benar-benar menusuk
hati Lapis.
“Apa-apaan
sikapmu yang sombong itu!? Selain itu yah, kau ini hanya orang luar –“
“Hardy,
jalan lurus terus untuk keluar, jangan berbelok. Pintu keluar sudah terhalang
oleh puing-puing bangunan. Keluarlah dari jendela yang kupecahkan untuk masuk
kesini.” Lisienata berucap, memotong perkataan Lapis. Tekanan nadanya yang
terdengar dalam itu ditunjunkan untuk Hardy.
Hardy
memberikan senyuman khawatir, lekas memegang erat pergelangan tangan kanan
adiknya. Menganggukkan kepala seakan paham. Berjalan cepat menarik adiknya
tanpa menolehkan kepala ke arah Lisienata yang berjalan memasuki wailayah
kekuasaan sang api.
Lisienata
menaiki tangga rapuh, beberapa anak tangganya sudah bersatu dengan api. Tak
mengherankan jika ada yang jatuh, membuat dia harus melompat, memberikan kewaspadaan
ekstra pada sekitar.
Beberapa
luka bakar mulai terlihat, di sebagian wajah dan beberapa tangan kanannya. Tak
mengherankan. Sudah lebih dari 5 menit kebakaran berlalu, api sudah sangat
besar hingga tak ada jalan masuk untuk kembali ke kamar Lapis yang sudah
terlalap api. Dia menggunakan tubuh bagian kanannya untuk melindungi diri.
Itu
lebih baik, dari pada seluruh tubuhnya, khususnya organ vitalnya terbakar oleh
sang api.
Sesampainya
di tempat tujuan, yakni kamar Lapis. Dia lekas mengambil sebuah kalung di atas
lemari kecil. Kalung berwarna hitam yang indah dan berkilauan.
Lelaki
berambut hitam itu berniat berbalik, berjalan cepat untuk keluar dari gedung
yang sudah dipenuhi kobaran api mengerikan. Hawa terasa panas, membakar
kulitnya yang berkeringat hebat. Udara terasa menipis, membuatnya kesulitan
untuk bernafas.
Pandangan
Lisenata kabur, kesulitan mempertahankan kesadaran dan konsentrasinya.
Menurunkan tingkat kewaspadaan akan sekitarnya.
Meski
begitu dia terus berjalan, melawan api yang terus berkobar hebat. Membuat sang
api marah, memberikan cobaan lebih berat padanya.
Atap
gedung di atasnya roboh ketika Lisienata berhasil mendarat dari ketinggian
lantai dua.
Kakinya
terasa sakit karena baru saja mendarat di tanah. Karena hal itu, dia tak
memiliki waktu untuk menghindari batang kayu besar yang jatuh itu. Selain itu
pandangan, kewaspadaan, dan refleks tubuhnya sudah terlalu lelah. Membuat dia
tak bisa menghindari bencana lain yang datang padanya.
Di
luar gedung vila itu, terlihat pemadam kebakaran berbondong-bondong memadamkan
api. Bahkan para Adjoin dan Kineser dengan tipe air juga mencoba menghentikan
vila orang nomor satu Kerajaan Skyline.
Orang-orang
sekitar berkumpul mengililingi gedung vila, memberikan senyuman khawatir pada
bangunan bercahaya itu. Tapi, ada juga beberapa yang terlihat lega menatap para
pangeran dan putri kerjaan yang selamat.
Lapis
dan yang lainnya sudah keluar dari vila itu. Mereka menganggap tak ada korban
jiwa. Keselamatan mereka lah yang diutamakan. Alyshial dan Seica sudah di bawa
ke rumah sakit untuk diperiksa kondisinya.
Tapi
perhatian orang-orang sekitar kembali dimiliki sang putri dari Kerajaan
Central. Untuk alasan yang tidak diketahui, dia berteriak, menangis ingin
kembali memasuki bagunan yang terbakar.
Semua
orang, bahkan kakaknya menghentikan tindakan cerobohnya. Menahan dia yang terus
menangis ketakutan.
Tindakan
Lapis yang ceroboh itu dipicu dari Hardy yang mengatakan jika Lisienata
hanyalah manusia biasa. Hal itu membuat sang putri merasa bersalah, ketakutan
hingga merinding di seluruh tubuhnya.
Dia
membenci dirinya sendiri yang kekanak-kanakan saat situasi mulai memburuk,
hingga lelaki dicintainya masuk ke dalam situasi bahaya. Mempertaruhkan nyawa
demi keegoisan pribadinya.
Di
saat suasana semakin tegang karena menghentikan sang putri. Tiba-tiba, mulai terlihat
sosok di belakang vila yang menghancurkan suasana ketegangan.
Dua
kepala naga dengan leher yang panjang, berwarna merah dan biru bercahaya. Hanya
kepalanya saja yang terlihat. Tubuhnya terhalang oleh bangunan vila yang
terbakar. Ukurannya dipastikan amat sangat besar. Mahluk mengerikan itu terbang
di atas laut belakang vila yang sangat jauh.
Kepala
naga yang berwarna merah menyemburkan api ke atas, pada awan hingga berubah
menjadi merah kejinggaan. Memberikan intimdasi pada mahluk di bawahnya.
Lapis
berjalan mundur, tersungkur jatuh ke belakang. Tak pernah berhenti bergemetar. Semua
orang juga berwajah ketakutan menatap mahluk mengerikan itu, tak terkecuali
bagi Hardy.
Lapis
yang masih dalam ketakutan seketika terdiam. Tangan wanita dewasa menyentuh
kepalanya menenangkan dia yang ketakutan.
“Tenanglah,
Lapis. Ada Tante sekarang ....” Wanita berambut hitam pendek itu mengusap pelan
rambutnya. Melayang melewati Lapis sambil terus memberikan tatapan tajam pada musuhnya.
“Ini
perbuatannya, Keisha,” wanita berambut putih kemerahmudaan berucap. Rambutnya
terlihat panjang sampai punggung. Dia menatap vila yang terbakar sambil
mengusap punggung dua keponakannya, Hardy dan Lapis.
“Dracmina
..., sang naga kembar elemental. Tapi
kenapa Familiar mahluk itu bisa ada
di sini?” Keisha semakin mengkerutkan dahi. Memberikan tatapan kemarahan
semakin dalam.
“Entahlah,”
Heliasha mulai menutup mata, berkonsentrasi keras hingga mengeluarkan pedang
dasmacusnya.
Keisha
juga terlihat berkonsentrasi memasuki tahapan terkuat. Hingga rambutnya
berwarna putih, sebelah matanya berubah terlihat berbeda, seluruh pakaian dan
rambutnya melayang-layang, dipenuhi oleh tekanan yang kuat.
Tak
lama keduanya melayang dengan gravitasi buatan milik Keisha. Menyambut sang
pengacau dengan gagah berani, membuat sekitar memberikan senyuman lebar.
Terkagum-kagum melihat mereka yang memasuki pertempuran.
***
No comments:
Post a Comment