Friday, 27 January 2017

Chapter 7

Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Chapter VII
Awal Penyerangan


Masih di hari yang sama, beberapa jam telah berlalu setelah pertengkaran Lapis dan Lisienata. Langit sudah berubah warna menjadi jingga. Lisienata terlihat di dapur, dekat pojokan ruangan. Mengupas kentang dengan ekspresi wajah yang muram. Kecepatan tangannya benar-benar luar biasa, seperti sudah terbiasa. Tak heran jika dia menarik perhatian sekitarnya.



Lisienata sudah memakai pakaian yang lebih pantas, seragam putih dengan beberapa atribut lambang Kerajaan Skyline. Terlihat lebih rapih dan enak untuk dipandang.


Pada dasarnya Lisienata memang mirip dengan ayahnya, tapi karena penampilannya yang tak rapih, membuat dia sering diabaikan sekitar. Tak disadari orang-orang di sekelilingnya.


Tapi kini berbeda, baik wajah, tatapan mata, raut wajah, bahkan aura benar-benar terlihat. Membuat orang-orang yang berada di dalam ruangan memiliki pertanyaan yang sama, akan siapa sebenarnya Lisienata.


Ada tiga orang dalam ruangan dapur itu, termasuk Lisienata sendiri. Memakai seragam yang sama dengan Lisienata. Lelaki dewasa, berwajah seram dengan luka tebasan di mata kiri terlihat memukul adonan. Sesekali memberikan senyuman bersemangat melirik anak yang mengupas kentang.


Wanita muda, cantik dan rupawan. Rambutnya panjang berwarna kuning keemasan, ada tahi lalat di bawah mata kanan. Dia terlihat memotong sayuran dengan cepat, terlihat elegan dan enak untuk diperhatikan. Dia juga memberikan senyuman kecil pada Lisienata.


“Aku sudah selesai, apa ada pekerjaan lagi yang bisa kulakukan?” Lisienata berdiri, berjalan mendekati lelaki berwajah seram, bertanya dengan senyuman kecilnya. Wajahnya terangkat ke atas, menatap langsung lelaki dewasa di hadapannya.


Mungkin hanya perasaanku saja, tapi jika dilihat semakin dekat, anak ini benar-benar mirip dengan Yang Mulia.”


“Pak Jordan?” Lisienata memiringkan kepala, bertanya penasaran. Menegaskan pertanyaan sebelumnya.


“Ah ...,” lelaki bernama Jordan itu terlihat khawatir, mengamati sekitar. Segala bahan sudah terpenuhi, bahkan lebih cepat yang direncanakan. Dia lekas menatap wanita yang sedang memotong sayuran.


Wanita itu membalas tatapannya, tersenyum menggelengkan kepala. Arti tak ada pekerjaan lagi untuknya.


“Kau benar-benar membantu kami, Hendra. Kita bahkan masih punya waktu lebih dari satu jam untuk mempersiapkan makan malam,” senyum khawatir Jordan. Lekas menghentikan tindakan. Sudah selesai juga tugasnya.


“Benar kan, Genia?” lanjutnya bertanya pada wanita yang sudah menyelesaikan memotong sayuran.


Wanita bernama Genia itu langsung menyimpan pisau, berbalik menatap Lisienata penuh senyuman.


“Benar. Tadinya kami ingin sedikit usil dengan menyuruhmu mengerjakan pekerjaan kami, tapi kau juga malah menyelesaikan bagian kami.” Genia tertawa, menutup mulutnya.


“Heee, jadi kalian melimpahkan tanggung jawab kalian padaku yah ....” Lisienata bertanya, nadanya terdengar datar. Membuat Jordan dan Genia berwajah khawatir.


“Itu pemikirannya, Hendra. Jadi aku tak bersalah,” Jordan tertawa, melirik khawatir Genia.


“Lelaki macam apa yang mengkambing hitamkan seorang wanita. Bukankah kau juga sama saja, Om Preman.” Genia memberikan senyuman kekesalan, lekas memberikan lirikan sinis pada Jordan.


“Apa maksudnya itu, Gadis Rubah!?” senyum kesal Jordan bertanya. Membalas lirikan Genia.


“Kyaa, premannya ngamuk!” Genia berteriak ketakutan, meski hanya dibuat-dibuat. Hal itu membuat Jordan semakin kesal. Membuat wajah Lisienata semakin datar.


“Jika tidak ingin ada barang-barangmu yang hilang, sebaiknya perhatikan barang-barangmu, Hendra.” Jordan lekas berucap, melirik Lisienata. Mendengar hal itu, Genia lekas merubah ekspresi ketakutan yang dibuat-buat. Menjadi terlihat marah dan memberikan tatapan tajam pada Jordan.


“Apa maksudnya itu, Preman tak berotak!?”


“Kau yang mulai duluan, Gadis Rubah –“


“Oke time! Minta waktu, apa maksudnya preman dan gadis rubah?” Lisienata masih berwajah datar, mengacungkan tangan kanan. Mengajukan pertanyaan.


“Ah, lelaki ini dulunya seorang preman yang meresahkan beberapa area,” Genia menjawab, melirik Jordan, menunjuknya dengan ibu jarinya seolah menunjukkan kesopanan. Ya, kesopanan dalam arti yang lain.


Jordan lekas menepis tangan kanan Genia, lekas menunjuk wajah Genia dengan telunjuk kanannya. “Gadis ini seorang pencuri, penipu di masa lalu yang sulit di tangkap oleh pemerintah.”


“Heee ....” Lisienata mengecilkan kelopak mata, berucap dengan nada panjang menatap keduanya yang kembali bertengkar.


Astaga, apa kerajaan ini baik-baik saja dengan  memperkejakan mereka ...,” batinnya, tetap menatap Jordan dan Genea.


Lisienata berjalan mundur, mendekati kursi lipat yang sudah ia duga. Mulai duduk, mengambil tas yang berada di samping kursi itu.


Memeriksa tasnya, mencari buku milik penjaga toko sayur yang ia pinjam.


“Baiklah, kesampingkan pertengkaran suami istri kalian itu. Jadi ....” Lisienata berucap, memberikan senyuman kecil sambil membuka lembaran bukunya. Tapi perkataanya tak selesai, terpotong oleh suara Jordan yang keras.


“Kau menyadari hubungan kami!?” khawatir Jordan.


“He-hebatt ....” Genia menyatukan kedua tangan, memberikan senyuman kekaguman.


“Siapa saja pasti bisa langsung menyadari hubungan kalian. Pertama, dari cara kalian memandang satu sama lain, kedua ..., cincin kalian itu ....” Lisienata menyimpan buku di atas paha, menunjuk jari manis milik Genia.


“Jadi jadi, apa yang ingin kamu katakan sebelum terpotong oleh lelaki bodoh itu ....” Genia berjalan cepat, jongkok di depan Lisienata. Tersenyum menunggu pernyataan Lisienata. Sedangkan Jordan hanya melotot menatap istrinya. Tak menyukai pernyataan istrinya tersebut.


“Aku tadi melihat jika Sang Ratu dan beberapa orang dewasa lainnya meninggalkan villa ini menggunakan F-car. Apa terjadi sesuatu? Hingga mereka pergi meninggalkan anak-anak mereka di sini?” tanya Lisienata cukup khawatir.


“Ah itu ....” Genia dan Jordan saling memberikan tatapan, berwajah khawatir, kebingungan menjawab pertanyaan anak lelaki di hadapannya.


Lisienata yang melihat itu hanya menyipitkan mata, mengalihkan pandangan dari keduanya. Berucap sambil mulai menutup matanya.


“Ya, kalian tak perlu memberitahuku jika memang tak boleh. Karena pada dasarnya aku hanyalah orang luar.”


“Lagipula besok juga aku keluar dari sini,” senyum kecil Lisienata melanjutkan pernyataan.


“Ada penyerangan iblis di berbagai pelabuhan benua ini, Hendra.”  Jordan memberikan senyuman kesedihan, membuat Lisienata dan Genia terkejut. Keterkejutan mereka berbeda.


“Ap-apa katamu–“ khawatir Lisienata bertanya, akan tetapi.


“Kenapa kau mengatakannya!? Meski terlihat dewasa, dia masih tetaplah anak-anak!!” Genia terlihat kesal, memberikan tatapan kekecewaan pada suaminya.


“Tenanglah, Genia. Hendra bukanlah anggota kerajaan, dia sama seperti kita, rakyat biasa. Jika ada apa-apa kita bisa meminta pertolongan padanya untuk melindungi para pangeran dan putri –“


“Apa yang bisa dilakukan dari anak lelaki sepertinya!?  Bagaimana jadinya jika kau berharap pertolongan pada seorang anak kecil layaknya dia. Selain itu, dia memang rakyat biasa, tapi dia masih anak-anak, masuk dalam prioritas keselamatan!! Hanya kita berdua di sini yang harus menjaga mereka, termasuk Hendra sendiri!!” Genia kesal mengeluarkan pendapat. Wajar dia seperti itu, naluri keibuannya keluar.


“Ka-kau benar, maafkan aku sudah menceritakan –“ khawatir Jordan, lekas memberikan tatapan bersalah pada Lisienata. Mulai jonkok tepat di depan wajahnya.


Tapi perkataanya terhentikan oleh suara pintu dapur yang terbuka lebar. Lapis memasuki dapur, bersama balita perempuan berumur 2 tahun. Berambut coklat pendek, bermata biru cerah.


Balita itu memeluk pakaian lapis amat erat, memberikan tatapan mata berkaca-kaca pada Lisienata dan yang lainnya.


“Pak Jordan, ada susu enggak? Seica lapar kayaknya,” khawatir Lapis bertanya, langsung memberikan tatapan pada Jordan.


Genia lekas berwajah khawatir, berjalan mendekati mereka. Sedangkan Jordan lekas membuatkan susu panas untuk balita bernama Seica.


Lisienata yang menyadari keberadaan pujaan hatinya lekas berdiri, memberikan senyuman kecil padanya.


Lapis tak menatapnya sedikitpun, seolah sedang mengabaikan keberadaannya. Dia masih tetap marah padanya.


“Putri, seharusnya anda tak perlu repot-repot datang ke sini. Hubungi kami saja dengan telepon vila seperti biasanya,” khawatir Genia berucap, menatap Lapis penuh kekhawatiran.


“Tak apa-apa, Bu Geni. Aku hanya ingin jalan-jalan sama Seica.” Lapis sedikit menatap Lisienata, tatapan keduanya bertemu. Tapi itu tak lama sampai Lapis lekas menolehkan kepala, menunjukkan sikap sinis yang berlebihan. Seperti anak kecil. Ya tapi wajar, pada dasarnya dia memang masih anak-anak.


Lisienata yang mendapatkan perlakuan itu hanya mengendurkan senyuman, hatinya sakit. Tapi dia tak bisa membencinya, tak pernah berpikir untuk melunturkan kasih sayang padanya.


Hanya dua orang berharga dalam kehidupan Lisienata. Yaitu wanita yang membesarkannya, wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya, yakni Zaxia. Lalu satu lagi, gadis seumuran dengannya, yang juga menerima kehadirannya yang mengerikan, cinta pertamanya, Putri Lapis.


Apapun sikap, perkataan, tindakan mereka yang melukai hatinya, mulai dari menghinanya, mengabaikannya. Lisienata tetap mengagumi mereka, menaruh hormat pada keduanya. Selalu dan selalu berpikir positif untuk keduanya yang bertindak seperti itu.


Genia melirik Lisienata, mulai berwajah penasaran akan hubungan keduanya. Tak terkecuali bagi Jordan yang berjalan mendekati Putri Lapis. Sesekali, dia meneteskan air susu pada tangan untuk memeriksa suhunya.


“Apias ....” Seica bergumam lucu, memukul dada Lapis. Terlihat tak sabar ingin mendapatkan susunya. Benar-benar terlihat menggemaskan, membuat seluruh penghuni ruangan menatapnya, memberikan senyuman damai pada Seica yang masih balita. Tak terkecuali juga bagi Lisienata.


Lapis hanya memberikan senyuman kecil pada Seica, mencubit pelan pipinya. Dia benar-benar gemas pada balita yang sudah ia anggap seperti adiknya itu.


Mata Seica semakin berkaca-kaca, hanya hitungan detik sampai balita itu menitiskan air mata, mengeluarkan teriakkan yang membuat semua orang ketakutan.


Genia dan Jordan memberikan senyuman khawatir menatap Lapis. Lisienata juga hanya memberikan senyuman kecil melihat pujaan hatinya yang tersenyum seperti itu.


Kejadian mengerikan pun terjadi, Seica akhirnya mengeluarkan teriakan, menangis karena terus diusili oleh Lapis. Semua orang di dalam ruangan semakin khawatir menatap Seica.


Tapi Lapis lekas memberikan susu pada si balita, membuat dia langsung tenang, dengan nafas terisak dan mata memerah bekas tangisan. Lapis hanya mengusap air matanya, memberikan senyuman penuh kasih sayang sambil mengusap kepalanya.


Setelah itu dia berbalik, kembali berjalan pergi meninggalkan ruangan. Kembali ke lantai atas, tempat kakak dan sepupunya berada.



***
           
Langit semakin menggelap, sesi makan malam sudah terlewat. Sang Demigod dan sang penguasa kerajaan masih belum kembali dari garis depan. Selama makan malam tadi, hanya terlihat Hardy, Lapis, Alyshial, dan Seica.


Jordan dan Genia bahkan sudah berpakaian kasualnya, berdiri di depan gerbang bersama Lisienata yang masih memakai seragam putih.


“Jika saja anak kami tidak sakit, kami pasti menginap di vila ini,” khawatir Genia, menatap Lisienata.


“Selain itu maafkan kami yah, sudah menyuruhmu membersihkan dapur sendirian,” senyum Jordan pada Lisienata.


“Tidak apa-apa Pak, setelah membersihkan dapur aku juga akan langsung pulang.”


“Kalau begitu sampai jumpa lagi yah, Hendra. Kami berharap bisa bekerja sama lagi denganmu, “ senyum Genia cemas. Setelah itu lekas berbalik dan berjalan cepat memasuki kendaraan. Diikuti oleh sang suami yang memberikan senyuman kecil pada Lisienata.


Tak aneh, putri satu-satunya sedang sakit, sendirian di rumah. Ibu mana yang tidak khawatir jika putrinya dalam keadaan seperti itu?


Lisienata menutup gerbang besi setinggi 1.5m, berbalik, menatap vila tempat ia bekerja. Sesaat dia menatap langit gelap yang dipenuhi oleh miliaran bintang berkilauan. Memberikan senyuman kebahagiaan, menutup mata merasakan kedamaian hati. Bersatu dengan alam.


“Baiklah, waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan ....” Lisenata membuka mata, memberikan senyuman penuh semangat. Tapi suaranya mengecil dan menghilang. Mulutnya terbuka, matanya melebar melihat penampakan langit yang terlihat mengerikan.


Bola api cukup besar melayang di udara, jatuh ke arah belakang vila tempat Lisienata berada. Ledakan terdengar keras, terasa dahsyat membuat Lisienata menutup tubuh dengan kedua tangan.


Api langsung merambat layaknya sedang kelaparan, memakan sekitarnya terlihat mengerikan. Membuat Lisienata terkejut ketakutan, berjalan selangkah mundur berniat melarikan diri dari pemandangan mencekam di depan.


Tapi bayangan gadis itu terlintas dalam pikiran, dia mengingatnya, akan sosok salah satu gadis yang ia puja sedang beristirahat di sana.


Sifat pengecutnya langsung hancur, kecemasan langsung memenuhi jiwa dan raga, memaksanya bergerak memasuki vila yang diselimuti si jago merah. Dia tak berpikir dua kali untuk memasuki vila yang sudah hampir terbakar sepenuhnya.


“LAPIS!!?” teriaknya penuh ketakutan, berjalan– berlari di lorong lantai pertama. Air mata mulai jatuh, sungguh ketakutan menatap sekitarnya yang terlihat mengerikan. Dia berniat menaiki anak tangga, tapi sudah ada Lapis menggendong Seica yang menangis. Hardy berwajah khawatir menggendong Alys yang pingsan.


Kebahagiaan memenuhi hatinya, pemandangan melihat dia yang baik-baik saja menjadi berkah untuk dirinya. Dia menangis bahagia, menatap Lapis yang berwajah khawatir.


“Ka-kau baik-baik saja!?”


“Hah, aku ini seorang Kineser loh, kebakaran seperti ini hal yang enteng untukku,” Lapis berwajah khawatir.


“Oh astaga, syukurlah,” Lisienata memberikan senyuman kebahagiaan, benar-benar terlihat bahagia melihat Lapis yang baik-baik saja.


Pipi Lapis memerah, hatinya berdetak cepat. Dia memang soerang Kineser, tapi juga seorang gadis. Hatinya berbunga-bunga, bahagia tak tertahankan melihat lelaki disukainya mengkhawatirkan dirinya.


Hardy hanya tersenyum melirik adiknya yang salah tingkah.


“Baiklah, sekarang kita keluar dari sini. Biar aku yang memandu kalian, aku tau jalan keluar yang am –“


“Hendra, tolong bawa Seica. Ada barangku yang tertinggal –“


“Hah!? Jangan bercanda!! Lupakan barang itu, cepat kita keluar dari sini!” Lisienata berteriak, menarik tangan Lapis.


“Enggak! Itu kalung berharga bagiku, pemberian nenekku yang sudah meninggal!” Lapis membalas teriakkan, memberikan tatapan tajam dan berkaca-kaca pada Lisienata.


“Lapis ...” Lisienata menyipitkan mata, tatapannya sungguh  memperlihatkan jika dirinya sangat khawatir pada gadis di hadapannya.


            “Lapis, benar yang dikatakan Hendra, kita keluar dari sini. Kumohon jangan kekanak-kanak, bersikaplah dewasa. Kita ....” Hardy ikut berucap membujuk adiknya. Tapi tak selesai, Lapis kembali berteriak memarahinya.


            “Gak mau! Sampai aku mati! Aku gak mau meninggalkan kalung nenek!!” teriak Lapis, matanya memerah terlihat ingin menangis.


            Melihat hal itu, Lisienata hanya menundukkan kepala. Kedua tangannya bergemetar, benar-benar bergemetar ketakutan.


Gadis berharga dalam hidupnya ingin kembali memasuki  tempat berbahaya, gadis yang menerima dirinya ingin menghadapi bahaya yang mungkin mengancam nyawa. Dia tak bisa membiarkan itu, tak menginginkan itu. Tak ingin melihatnya terluka.


“Pergilah ..., biar kuambilkan kalungmu itu,” Lisienata berucap dengan tekanan nada dalam. Masih menundukkan kepala, membuat terkejut Lapis dan Hardy.


“Tu-tunggu, Hendra –“


“Aku kuat, sesungguhnya aku lebih kuat darimu Lapis. Aku lebih kuat dari kakakmu, Lapis. Maka dari itu biarkan aku yang pergi, biarkan aku yang terkuat pergi!” Lisienata mengangkat wajah, memberikan tatapan keseriusan pada Lapis. Membuat Lapis terkejut melebarkan mata, bergetar hatinya.


“Jangan bercanda! Aku yang tau –“ Hardy berwajah khawatir, tapi lekas terdiam melihat Lisienata yang menggelengkan kepala pelan.


“Ka-kalau begitu aku juga ikut. Lagipula itu kalungku, itu milikku. Aku cukup kuat –“


“Tidak! Aku sendiri saja, kau keluar!! Kau hanya menghambatku,” senyum sinis Lisienata, berjalan melewati Lapis dan Hardy. Tatapan Lisienata itu benar-benar menusuk hati Lapis.


“Apa-apaan sikapmu yang sombong itu!? Selain itu yah, kau ini hanya orang luar –“


“Hardy, jalan lurus terus untuk keluar, jangan berbelok. Pintu keluar sudah terhalang oleh puing-puing bangunan. Keluarlah dari jendela yang kupecahkan untuk masuk kesini.” Lisienata berucap, memotong perkataan Lapis. Tekanan nadanya yang terdengar dalam itu ditunjunkan untuk Hardy.


Hardy memberikan senyuman khawatir, lekas memegang erat pergelangan tangan kanan adiknya. Menganggukkan kepala seakan paham. Berjalan cepat menarik adiknya tanpa menolehkan kepala ke arah  Lisienata yang berjalan memasuki wailayah kekuasaan sang api.


Lisienata menaiki tangga rapuh, beberapa anak tangganya sudah bersatu dengan api. Tak mengherankan jika ada yang jatuh, membuat dia harus melompat, memberikan kewaspadaan ekstra pada sekitar.


Beberapa luka bakar mulai terlihat, di sebagian wajah dan beberapa tangan kanannya. Tak mengherankan. Sudah lebih dari 5 menit kebakaran berlalu, api sudah sangat besar hingga tak ada jalan masuk untuk kembali ke kamar Lapis yang sudah terlalap api. Dia menggunakan tubuh bagian kanannya untuk melindungi diri.


Itu lebih baik, dari pada seluruh tubuhnya, khususnya organ vitalnya terbakar oleh sang api.


Sesampainya di tempat tujuan, yakni kamar Lapis. Dia lekas mengambil sebuah kalung di atas lemari kecil. Kalung berwarna hitam yang indah dan berkilauan.


Lelaki berambut hitam itu berniat berbalik, berjalan cepat untuk keluar dari gedung yang sudah dipenuhi kobaran api mengerikan. Hawa terasa panas, membakar kulitnya yang berkeringat hebat. Udara terasa menipis, membuatnya kesulitan untuk bernafas.


Pandangan Lisenata kabur, kesulitan mempertahankan kesadaran dan konsentrasinya. Menurunkan tingkat kewaspadaan akan sekitarnya.


Meski begitu dia terus berjalan, melawan api yang terus berkobar hebat. Membuat sang api marah, memberikan cobaan lebih berat padanya.


Atap gedung di atasnya roboh ketika Lisienata berhasil mendarat dari ketinggian lantai dua.


Kakinya terasa sakit karena baru saja mendarat di tanah. Karena hal itu, dia tak memiliki waktu untuk menghindari batang kayu besar yang jatuh itu. Selain itu pandangan, kewaspadaan, dan refleks tubuhnya sudah terlalu lelah. Membuat dia tak bisa menghindari bencana lain yang datang padanya.


Di luar gedung vila itu, terlihat pemadam kebakaran berbondong-bondong memadamkan api. Bahkan para Adjoin dan Kineser dengan tipe air juga mencoba menghentikan vila orang nomor satu Kerajaan Skyline.


Orang-orang sekitar berkumpul mengililingi gedung vila, memberikan senyuman khawatir pada bangunan bercahaya itu. Tapi, ada juga beberapa yang terlihat lega menatap para pangeran dan putri kerjaan yang selamat.


Lapis dan yang lainnya sudah keluar dari vila itu. Mereka menganggap tak ada korban jiwa. Keselamatan mereka lah yang diutamakan. Alyshial dan Seica sudah di bawa ke rumah sakit untuk diperiksa kondisinya.


Tapi perhatian orang-orang sekitar kembali dimiliki sang putri dari Kerajaan Central. Untuk alasan yang tidak diketahui, dia berteriak, menangis ingin kembali memasuki bagunan yang terbakar.


Semua orang, bahkan kakaknya menghentikan tindakan cerobohnya. Menahan dia yang terus menangis ketakutan.


Tindakan Lapis yang ceroboh itu dipicu dari Hardy yang mengatakan jika Lisienata hanyalah manusia biasa. Hal itu membuat sang putri merasa bersalah, ketakutan hingga merinding di seluruh tubuhnya.


Dia membenci dirinya sendiri yang kekanak-kanakan saat situasi mulai memburuk, hingga lelaki dicintainya masuk ke dalam situasi bahaya. Mempertaruhkan nyawa demi keegoisan pribadinya.


Di saat suasana semakin tegang karena menghentikan sang putri. Tiba-tiba, mulai terlihat sosok di belakang vila yang menghancurkan suasana ketegangan.


Dua kepala naga dengan leher yang panjang, berwarna merah dan biru bercahaya. Hanya kepalanya saja yang terlihat. Tubuhnya terhalang oleh bangunan vila yang terbakar. Ukurannya dipastikan amat sangat besar. Mahluk mengerikan itu terbang di atas laut belakang vila yang sangat jauh.


Kepala naga yang berwarna merah menyemburkan api ke atas, pada awan hingga berubah menjadi merah kejinggaan. Memberikan intimdasi pada mahluk di bawahnya.


Lapis berjalan mundur, tersungkur jatuh ke belakang. Tak pernah berhenti bergemetar. Semua orang juga berwajah ketakutan menatap mahluk mengerikan itu, tak terkecuali bagi Hardy.


Lapis yang masih dalam ketakutan seketika terdiam. Tangan wanita dewasa menyentuh kepalanya menenangkan dia yang ketakutan.


“Tenanglah, Lapis. Ada Tante sekarang ....” Wanita berambut hitam pendek itu mengusap pelan rambutnya. Melayang melewati Lapis sambil terus memberikan tatapan tajam pada musuhnya.


“Ini perbuatannya, Keisha,” wanita berambut putih kemerahmudaan berucap. Rambutnya terlihat panjang sampai punggung. Dia menatap vila yang terbakar sambil mengusap punggung dua keponakannya, Hardy dan Lapis.


 “Dracmina ..., sang naga kembar elemental. Tapi kenapa Familiar mahluk itu bisa ada di sini?” Keisha semakin mengkerutkan dahi. Memberikan tatapan kemarahan semakin dalam.


“Entahlah,” Heliasha mulai menutup mata, berkonsentrasi keras hingga mengeluarkan pedang dasmacusnya.


Keisha juga terlihat berkonsentrasi memasuki tahapan terkuat. Hingga rambutnya berwarna putih, sebelah matanya berubah terlihat berbeda, seluruh pakaian dan rambutnya melayang-layang, dipenuhi oleh tekanan yang kuat.


Tak lama keduanya melayang dengan gravitasi buatan milik Keisha. Menyambut sang pengacau dengan gagah berani, membuat sekitar memberikan senyuman lebar. Terkagum-kagum melihat mereka yang memasuki pertempuran.



***

No comments:

Post a Comment