Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Chapter VIII
Amanat
Chapter VIII
Amanat
Tembakan api yang
berbentuk bola meteor melesat cepat ke arah Heliasha dan Keisha. Itu berasal
dari sang naga yang bernama Dracmina.
“Aku ambil alih ...,” Heliasha
melayang lebih cepat, terbang di depan Keisha.
Dia mengambil nafas, mengangkat
kedua tangan yang sedang memegang pedang legenda. Tidak dalam kurun waktu lama,
detik-detik saat bola api itu hampir mengenai tubuhnya, Heliasha lekas
menurunkan pedang, melayangkan tebasan horizontal amat cepat. Membelah serangan
Dracmina menjadi dua. Memberikan jalan untuk dia dan sahabat.
Sang naga menggeram, menunjukkan
kemurkaan, khususnya kepala naga yang berwarna merah, yang menembakkan bola
api. Dia berteriak dan menggema. Memberikan intimidasi kuat pada Heliasha dan
Keisha yang tak gentar, terus melayang mendekati musuhnya.
Kepala naga berwarna biru mulai
membuka mulut, mengeluarkan hembusan putih kebiruan. Itu uap dengan suhu yang
sangat rendah. Apapun yang terkena uap itu akan membeku terlihat mengerikan.
Heliasha dan Keisha memperlambat
kecepatan, menganggukkan kepala, saling memberikan lirikan penuh kepercayaan.
Mereka berpencar, menghindari serangan sang naga.
Keisha terbang memutari sang naga
berlawanan arah jarum jam. Dia mulai mengangkat kedua tangan ke atas, berkonsentrasi
menatap tajam sang naga.
Bola listrik mengerikan terlihat di
antara kedua tangannya, berwarna hitam dan putih yang berubah warna amat cepat.
Dia terus berkonsentrasi menggunakan kemampuannya di saat dia terbang memutari
musuhnya.
Berbeda dengan Keisha, Heliasha
memutari sang naga amat sangat cepat. Melayang dengan kecepatan maksimum.
Memasang kuda-kuda seolah siap menebas sang naga dengan pedang legendanya.
Selain itu, terlihat juga lima pedang berwarna merah darah yang melayang di
sekitar tubuhnya, memberikan dukungan dalam pertempuran jarak dekat nanti.
Saat lima meter saat jarak Heliasha di
dekat musuhnya, lima pedang milik Heliasha lekas melayang lebih cepat ke arah
Dracmina untuk membuka serangan.
Lima pedang terbuat dari darah itu
menancap di sayap kanan, membuat keseimbangan sang naga goyah. Di saat seperti
itu Heliasha datang, melancarkan tebasan amat cepatnya.
Darah merah keluar dari dada sang
naga, membuat masing-masing kepala naga itu berteriak, memberikan tatapan
kemurkaan pada lawannya.
“Keisha sekarang!!” Heliasha berteriak,
membalas tatapan sang naga dengan lirikan sinis. Setelah itu dia melayang cepat
sejauh yang ia bisa, memberikan ruang untuk kemampuan sang sahabat.
Bola listrik yang sebelumnya sekepalan
tangan terlihat sudah membasar, besarnya hingga membuat Keisha mengangkat kedua
tangannya ke atas. Besarnya setara dengan bola api yang sebelumnya dikeluarkan
oleh musuhnya.
Sang musuh yang melihat itu lekas
bersiaga pada Keisha. Mulut kepala naga yang berwarna merah terbuka, bersiap
kembali menembakkan bola api dengan ukuran yang sama seperti sebelumnya.
Sedangkan kepala yang berwarna biru
menembakkan uap dingin ke arah Heliasha yang berniat menyerangnya kembali.
Hanya hitungan beberapa detik saja
sampai benturan dua bola mengerikan yang dikeluarkan Keisha dan Dracmina
terjadi.
Kembali ke tempat Lapis dan yang
lainnya.
Lapis
kecil terlihat mulai berdiri, menatap dua wanita yang melawan iblis di atas
langit. Terlihat mengagumkan, tapi terlihat menakutkan juga. Cahaya terang hasil
benturan dari dua arah akhirnya terjadi, bagai gemerlap kembang api yang indah.
Tapi tak ada yang tersenyum menatap
gemerlapan cahaya itu. Semua orang berwajah khawatir, berdoa akan keselamatan
Keisha dan Heliasha. Berdoa agar keduanya bisa bertahan, mengusir iblis yang
mengusik kedamaian.
“He-Hendra!!” Lapis lekas berteriak,
mulai mengingat kembali lelaki berharga baginya. Dia mengeluarkan air mata,
ketakutan menatap sebagian bangunan yang sudah hangus terbakar. Sebagian api
telah menghilang, itu semua berkat bantuan pemadam kebakaran dan para Kineser.
Sisa bangunan yang berada di samping
kiri masih diselimuti api, memeluk tiang-tiang, atap bangunan, dan perabotan mewah.
Percikan api terdengar, ledakan dari bahan eletronik menggetarkan jiwa. Membuat
orang-orang yang tetap tinggal memberikan tatapan khawatir pada bangunan.
Sisanya belarian ketakutan, mencari keselamatan.
Bukan karena bangunan yang terbakar,
tapi ada ancaman lain yang lebih mengerikan dari itu. Sang iblis yang bertarung
dengan Keisha dan Heliasha di atas langit.
“Lepaskan aku!!” Lapis berteriak
pada kakaknya, menitiskan air mata penuh ketakutan. Hardy tetap memegang erat
pergelangan tangan kanan adiknya. Dia tak ingin adiknya memasuki bangunan yang
terbakar.
“Dia pasti melakukan hal yang sama,
tak ingin kau masuk ke dalam bahaya –“
“Ta-tapi dia ada di dalam Hiks!!
Kumohon lepaskan aku Kak!! Ak-aku takkan pernah bisa memaafkan diriku jika dia- hiks ....,” Lapis menghentikan perkataan, dadanya terasa sakit,
terisak karena tangisan yang semakin hebat. Dia kesulitan berbicara, karena
pernfasannya yang terasa sesak oleh rasa ketakutan yang luar biasa.
Dia hanya menangis kembali, memaksa
masuk meski beberapa Kineser termasuk kakaknya menghentikan dia yang keras
kepala.
***
Masih
di waktu yang sama, di tempat yang sama. Tepatnya di dalam bangunan yang
diselimuti api.
Lisienata
yang tak bisa menghindari bongkahan kayu hanya terlentang tak berdaya, sebagian
tubuh bagian kanannya tertimpa, menambah luka bakar di sekujur tubuhnya.
Pandangan Lisienata sayu, tak bisa membedakan
kenyataan. Detak jantungnya berdetak cepat, hembusan nafasnya terlihat cepat.
Dia kesulitan bernafas.
Kalung hitam milik Lapis terlihat di
tangan kirinya. Ia genggam dengan erat hingga bergemetar.
Hanya satu hal yang terpikir dalam
benaknya, yakni kematian. Dia berpikir jika ini adalah akhir hidupnya. Bayangan
wanita yang paling ia kagumi mulai muncul, memberikan senyuman kecil seperti di
pagi hari.
Tak hanya Zaxia saja yang muncul,
tapi Lapis. Gadis seumuran yang menerima dirinya juga mulai muncul di benaknya.
Membuat dia sedikit melebarkan senyuman, bahagia karena mengingat dia yang
berharga.
Sesaat, dia mulai menutup mata,
mengingat kenangan di masa lalunya. Baik atau buruk, semua terlintas dalam
pikirannya. Hingga menggentarkan jiwa, merambat ke dua bola matanya. Mulai menitiskan
air mata penuh arti.
Tapi ditengah keterperukannya itu,
telapak tangan mulai menyentuh pipinya. Menghapus air mata dengan ibu jari yang
bergemetar. Sentuhannya sangat lembut, dipenuhi rasa kasih luar biasa.
Lisienata lekas membuka mata,
menatap seseorang yang menyentuh pipinya. Matanya melebar, terus melebar. Dia
menggigit bibir bawah, ketakutan mulai menjalar di seluruh tubuhnya.
Tangisan semakin mengucur deras
melihat wanita paling berharga dalam hidupnya duduk di hadapannya. Memberikan
senyuman kecil melihatnya.
Itu adalah Zaxia. Meski dia
memberikan senyuman, tapi kantung mata kelelahan terlihat dengan jelas.
Wajahnya sungguh terlihat pucat. Dia sudah mencapai batasnya.
“Ke-kenapa anda bisa ada di sini,
Nyonya!” Lisienata masih menangis, menutup matanya. Merinding seluruh tubuhnya.
Zaxia tak menjawab, lekas beridiri
dan menyingkirkan bongkahan kayu yang menimpa putranya.
Setelah Zaxia menyingkirkan kayu
dengan kemampuannya. Dia langsung tersungkur jatuh, menutup matanya hampir tak
sadarkan diri. Tapi ada Lisienata di sana, memeluk tubuhnya sangat erat. Kedua
tangan dan tubuhnya tak pernah berhenti gemetar, merasakan tubuh wanita itu
yang bergemetar mencapai batas kehidupan.
“Bertahanlah Nyonya!! Aku akan
membawamu ke rumah sakit –“ Lisienata berteriak ketakutan, air mata di wajah
tak pernah berhenti mengalir. Tapi teriakannya itu terhentikan, oleh sentuhan
dari tangan Zaxia untuk rambut Lisienata. Sangat lembut sentuhannya, dia
mengusap kepala Lisenata dipenuhi perasaan. Mulai menitiskan air mata
kebahagiaan, berbisik dengan nada suara yang sayu.
“Waktu berjalan cepat, tak terasa
kau sudah sebesar ini. Sungguh maafkan aku, meski aku orang yang harus
mengurusmu, yang harusnya menjagamu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kau
yang paling serin –“
“Diam ...,” Lisienata berucap,
melirik ketakutan tubuh Zaxia. Dia memberikan bantuan pada tubuhnya yang kesulitan
berjalan, meski tubuhnya sendiri juga sudah kelelahan. Tangisan kekhawatiran terus menetes dari wajah Lisienata. Bukan untuk
siapapun, tapi hanya untuk wanita yang dianggap sebagai ibunya.
Zaxia hanya tersenyum melirik anak
lelaki itu. Sesaat, dia menutup mata. Berucap dengan air mata yang mulai
menetes. Seolah mengucapkan kata-kata terakhirnya.
“Setelah kematian ibu dan adikku,
dunia terlihat hitam-putih bagiku, terasa hambar. Aku membenci semua orang dan dunia
ini. Tapi itu semua berubah setelah aku bertemu denganmu.”
“Nyonya ....” Lisienata melirik
Zaxia dengan mata yang melebar. Ketakutan akan kehilangan dirinya benar-benar
menyelimuti hatinya. Tak ingin, amat sangat tak ingin kehilangan dari dia yang
pertama kali menerima kehadirannya.
“Kau memberikan rasa indahnya hidup.
Untuk sekali lagi aku bisa melihat warna dunia, mengeluarkan eskpresi canda
tawa di belakangmu. Melihat engkau yang tumbuh dewasa, melihat engkau yang
tertawa melihat dunia.”
“Hentikan ....” Lisienata berucap,
tetap melirik Zaxia penuh ketakutan. Tubuhnya semakin bergemetar ketakutan.
“Se-selain itu maafkan aku, karena
tindakan dinginku padamu selama ini. Sungguh aku tahu akan batas waktuku
sendiri, lebih tau dari siapapun termasuk dirimu. Maka dari itu aku bersikap
seburuk mungkin, agar engkau, dirimu, bisa membenciku. Tak menunjukkan
kesedihan yang membuatku kesulitan meninggalkanmu nanti.”
“Kumohon hentikan ....” Lisienata
menggeram, menundukkan kepala. Terus melangkah, membimbing Zaxia menuju jalan
keluar.
“Ta-tapi memang mustahil, sangat
mustahil aku terus berbuat seperti itu. Aku menyayangimu, sungguh dari lubuk
hatiku. Meski kau ditakuti dunia dan akhirat ini, kau tetap berharga bagiku.
Tak tergantikan, oleh apapun itu.”
“....” Lisienata menangis dalam
kondisi kepala tertunduk, hatinya diselimuti oleh berbagai macam perasaan.
“Di malam terakhirku, izinkan wanita
ini mengajukan permintaannya yang sangat egois. Kau memang bukan anak
kandungku, aku memang tak melahirkanmu, aku tak melihatmu yang pertama kali
datang ke dunia.
Tapi
akulah yang menjagamu, mengurusmu, sebisa mungkin melakukan hal yang terbaik untuk
dirimu. Nama Lisienata berarti Anak
Buangan, tapi aku tak bermaksud untuk menjelekkan engkau yang berharga. Aku
ingin kau tau, meski kau anak buangan dan tak diinginkan dunia sekalipun, aku
akan tetap menjagamu, melindungimu sebisaku.” Zaxia menghentikan langkah. Dia
berhadapan dengan Lisienata yang menangis dan menundukkan kepala.
“.....”
“Maka
dari itu, izinkan aku, di malam hari ini untuk menjadi ibum–“
“Tak
hanya malam ini, tak hanya saat ini. Dari dulu, dan sampai kapapanpun kau
adalah ibuku. Aku menyayangimu, lebih dari apapun itu. Ketika dunia
menyerangmu, merendahkan dirimu. Aku yang akan pertama kali berdiri, melawan
mereka, menghancurkan, membinasakan siapun yang mengusik ....” Zaxia tersenyum, menyentuh mulutnya,
menghentikan perkataan Lisienata. Dia memeluk tubuh putranya. Tersenyum bahagia
sambil mengusap rambutnya.
“Janganlah
jadi sepertiku. Cukup hanya satu mahluk sepertiku. Kau ..., jadilah lelaki yang
berhati mulia. Lindungi orang-orang sekitarmu, keluargamu, adik kembarmu ....
Mereka hanya masih belum sadar, betapa berharganya dirimu.”
“Satu
hal lagi. Lindungi Lapis, lindungi dia layaknya melindungiku. Dia gadis yang
sangat berharga, kau juga mengetahuinya, kan?” Zaxia tersenyum, melepas
pelukan, menatap Lisienata yang memegang kalung milik Lapis.
Lisienata
menganggukkan kepala, tetap menatap Zaxia dengan air mata yang mengucur deras.
Zaxia lekas menutup mata, membuka matanya kembali mengamati sekitar. Api
semakin mengecil, karena bantuan para pemadam dan kineser.
Tapi
wajah Zaxia semakin terlihat khawatir mengamati sekitar, dia merasakan sesuatu
yang tidak dirasakan Lisienata.
Tapi
wajah khawatirnya itu berubah menjadi terlihat tenang. Dia tersenyum menatap
putranya, berjalan selangkah mendekat. Mencium keningnya.
Tombak
bersinar ungu melayang cepat ke arah mereka berdua, dari arah belakang. Tapi
Zaxia memperlambat kecepatannya dengan kemampuannya. Membuat ujung tombak itu
berhenti tepat di depan dada Lisienata.
Tapi
tombak itu benar-benar menembus perut Zaxia, membuat Lisienata terkejut
melebarkan mata, melihat cahaya tombak ungu itu memakan tubuh Zaxia.
Zaxia
hanya tersenyum berjalan mundur, mendorong pundak Lisienata ke belakang hingga
tersungkur jatuh.
Tapi
belum sempat punggungnya menyentuh tanah, ada gerbang dimensi berkilauan yang
muncul. Membuat dia masuk ke sana, berpindah ke tempat lain.
“IBU!!”
Lisienata berteriak ketakutan, menangis melihat Zaxia yang berbalik
membelakangi dirinya.
Zaxia
yang mendengar teriakkan itu lekas menolehkan kepala, air mata terlihat jelas
di wajah. Dia tersenyum lebar hingga terlihat giginya. Mengucapkan kata
perpisahan yang menghancurkan jiwa.
“Hiduplah,
wahai Putraku yang berharga! Selamat tinggal dan terima kasih untuk segalanya.”
Gerbang
dimensi tertutup, Lisienata berpindah tempat. Ledakan berwarna ungu maha
dahsyat terjadi. Orang-orang disekitarnya sudah dievakuasi.
Lisienata
yang berada di atas gedung bersama wanita dewasa terlihat melebarkan mata.
Menatap vila tempat ibunya berada. Hatinya bergemetar amat ketakutan.
“Siapa
itu!? Siapa itu!? Siapa itu!? Siapa yang berani melakukannya!!” Lisienata
menggeram penuh kemurkaan, berteriak pada vila yang meledak terlihat
mengerikan, terbakar oleh api kegelapan yang berwarna ungu.
Wanita
berwarna rambut bunga lavender menjawab pertanyaan. “Musuh alamimu, Naga surga
kuno, Raja Iblis Havoc.”
“Sal-bi-na!!”
Lisienata melirik Salbina, mengeja namanya dengan nada amat dalam. Pandangannya
berisi tatapan penuh kemurkaan. Intimidasi mengerikan langsung muncul di
sekitar, beradu dengan intimidasi yang dikeluarkan Salbina.
Salbina
mengangkat kepala, memberikan tatapan rendah padanya. Berucap dengan nada penuh
ancaman.
“Sesuai
dengan kesepakatan. Setelah kepergiannya, aku yang akan mengurusmu sekarang,
Bocah. Jaga sikapmu, persiapkan dirimu, aku akan melatihmu sangat keras agar
kau bisa melindungi benua ini.
Jangan
berpikir kau akan mendapatkan kasih sayang seperti yang Zaxia berikan. Kau tak
lebih dari sekadar alat bagiku ..., bagi Kekaisaran Aeldra ini.”
***
No comments:
Post a Comment