Wednesday, 8 February 2017

Chapter 8

Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Chapter VIII
Amanat


           Tembakan api yang berbentuk bola meteor melesat cepat ke arah Heliasha dan Keisha. Itu berasal dari sang naga yang bernama Dracmina.



            “Aku ambil alih ...,” Heliasha melayang lebih cepat, terbang di depan Keisha.


            Dia mengambil nafas, mengangkat kedua tangan yang sedang memegang pedang legenda. Tidak dalam kurun waktu lama, detik-detik saat bola api itu hampir mengenai tubuhnya, Heliasha lekas menurunkan pedang, melayangkan tebasan horizontal amat cepat. Membelah serangan Dracmina menjadi dua. Memberikan jalan untuk dia dan sahabat.


            Sang naga menggeram, menunjukkan kemurkaan, khususnya kepala naga yang berwarna merah, yang menembakkan bola api. Dia berteriak dan menggema. Memberikan intimidasi kuat pada Heliasha dan Keisha yang tak gentar, terus melayang mendekati musuhnya.


            Kepala naga berwarna biru mulai membuka mulut, mengeluarkan hembusan putih kebiruan. Itu uap dengan suhu yang sangat rendah. Apapun yang terkena uap itu akan membeku terlihat mengerikan.


            Heliasha dan Keisha memperlambat kecepatan, menganggukkan kepala, saling memberikan lirikan penuh kepercayaan. Mereka berpencar, menghindari serangan sang naga.


            Keisha terbang memutari sang naga berlawanan arah jarum jam. Dia mulai mengangkat kedua tangan ke atas, berkonsentrasi menatap tajam sang naga.


            Bola listrik mengerikan terlihat di antara kedua tangannya, berwarna hitam dan putih yang berubah warna amat cepat. Dia terus berkonsentrasi menggunakan kemampuannya di saat dia terbang memutari musuhnya.


            Berbeda dengan Keisha, Heliasha memutari sang naga amat sangat cepat. Melayang dengan kecepatan maksimum. Memasang kuda-kuda seolah siap menebas sang naga dengan pedang legendanya. Selain itu, terlihat juga lima pedang berwarna merah darah yang melayang di sekitar tubuhnya, memberikan dukungan dalam pertempuran jarak dekat nanti.


            Saat lima meter saat jarak Heliasha di dekat musuhnya, lima pedang milik Heliasha lekas melayang lebih cepat ke arah Dracmina untuk membuka serangan.


            Lima pedang terbuat dari darah itu menancap di sayap kanan, membuat keseimbangan sang naga goyah. Di saat seperti itu Heliasha datang, melancarkan tebasan amat cepatnya.


            Darah merah keluar dari dada sang naga, membuat masing-masing kepala naga itu berteriak, memberikan tatapan kemurkaan pada lawannya.


            “Keisha sekarang!!” Heliasha berteriak, membalas tatapan sang naga dengan lirikan sinis. Setelah itu dia melayang cepat sejauh yang ia bisa, memberikan ruang untuk kemampuan sang sahabat.


            Bola listrik yang sebelumnya sekepalan tangan terlihat sudah membasar, besarnya hingga membuat Keisha mengangkat kedua tangannya ke atas. Besarnya setara dengan bola api yang sebelumnya dikeluarkan oleh musuhnya.


            Sang musuh yang melihat itu lekas bersiaga pada Keisha. Mulut kepala naga yang berwarna merah terbuka, bersiap kembali menembakkan bola api dengan ukuran yang sama seperti sebelumnya.


            Sedangkan kepala yang berwarna biru menembakkan uap dingin ke arah Heliasha yang berniat menyerangnya kembali.


            Hanya hitungan beberapa detik saja sampai benturan dua bola mengerikan yang dikeluarkan Keisha dan Dracmina terjadi.


            Kembali ke tempat Lapis dan yang lainnya.


Lapis kecil terlihat mulai berdiri, menatap dua wanita yang melawan iblis di atas langit. Terlihat mengagumkan, tapi terlihat menakutkan juga. Cahaya terang hasil benturan dari dua arah akhirnya terjadi, bagai gemerlap kembang api yang indah.


            Tapi tak ada yang tersenyum menatap gemerlapan cahaya itu. Semua orang berwajah khawatir, berdoa akan keselamatan Keisha dan Heliasha. Berdoa agar keduanya bisa bertahan, mengusir iblis yang mengusik kedamaian.


            “He-Hendra!!” Lapis lekas berteriak, mulai mengingat kembali lelaki berharga baginya. Dia mengeluarkan air mata, ketakutan menatap sebagian bangunan yang sudah hangus terbakar. Sebagian api telah menghilang, itu semua berkat bantuan pemadam kebakaran dan para Kineser.


            Sisa bangunan yang berada di samping kiri masih diselimuti api, memeluk tiang-tiang, atap bangunan, dan perabotan mewah. Percikan api terdengar, ledakan dari bahan eletronik menggetarkan jiwa. Membuat orang-orang yang tetap tinggal memberikan tatapan khawatir pada bangunan. Sisanya belarian ketakutan, mencari keselamatan.


            Bukan karena bangunan yang terbakar, tapi ada ancaman lain yang lebih mengerikan dari itu. Sang iblis yang bertarung dengan Keisha dan Heliasha di atas langit.


            “Lepaskan aku!!” Lapis berteriak pada kakaknya, menitiskan air mata penuh ketakutan. Hardy tetap memegang erat pergelangan tangan kanan adiknya. Dia tak ingin adiknya memasuki bangunan yang terbakar.


            “Dia pasti melakukan hal yang sama, tak ingin kau masuk ke dalam bahaya –“


            “Ta-tapi dia ada di dalam Hiks!! Kumohon lepaskan aku Kak!! Ak-aku takkan pernah bisa memaafkan diriku jika dia- hiks ....,” Lapis menghentikan perkataan, dadanya terasa sakit, terisak karena tangisan yang semakin hebat. Dia kesulitan berbicara, karena pernfasannya yang terasa sesak oleh rasa ketakutan yang luar biasa.


            Dia hanya menangis kembali, memaksa masuk meski beberapa Kineser termasuk kakaknya menghentikan dia yang keras kepala.



***
           


Masih di waktu yang sama, di tempat yang sama. Tepatnya di dalam bangunan yang diselimuti api.


Lisienata yang tak bisa menghindari bongkahan kayu hanya terlentang tak berdaya, sebagian tubuh bagian kanannya tertimpa, menambah luka bakar di sekujur tubuhnya.


            Pandangan Lisienata sayu, tak bisa membedakan kenyataan. Detak jantungnya berdetak cepat, hembusan nafasnya terlihat cepat. Dia kesulitan bernafas.


            Kalung hitam milik Lapis terlihat di tangan kirinya. Ia genggam dengan erat hingga bergemetar.


            Hanya satu hal yang terpikir dalam benaknya, yakni kematian. Dia berpikir jika ini adalah akhir hidupnya. Bayangan wanita yang paling ia kagumi mulai muncul, memberikan senyuman kecil seperti di pagi hari.


            Tak hanya Zaxia saja yang muncul, tapi Lapis. Gadis seumuran yang menerima dirinya juga mulai muncul di benaknya. Membuat dia sedikit melebarkan senyuman, bahagia karena mengingat dia yang berharga.


            Sesaat, dia mulai menutup mata, mengingat kenangan di masa lalunya. Baik atau buruk, semua terlintas dalam pikirannya. Hingga menggentarkan jiwa, merambat ke dua bola matanya. Mulai menitiskan air mata penuh arti.


            Tapi ditengah keterperukannya itu, telapak tangan mulai menyentuh pipinya. Menghapus air mata dengan ibu jari yang bergemetar. Sentuhannya sangat lembut, dipenuhi rasa kasih luar biasa.


            Lisienata lekas membuka mata, menatap seseorang yang menyentuh pipinya. Matanya melebar, terus melebar. Dia menggigit bibir bawah, ketakutan mulai menjalar di seluruh tubuhnya.


            Tangisan semakin mengucur deras melihat wanita paling berharga dalam hidupnya duduk di hadapannya. Memberikan senyuman kecil melihatnya.


            Itu adalah Zaxia. Meski dia memberikan senyuman, tapi kantung mata kelelahan terlihat dengan jelas. Wajahnya sungguh terlihat pucat. Dia sudah mencapai batasnya.


            “Ke-kenapa anda bisa ada di sini, Nyonya!” Lisienata masih menangis, menutup matanya. Merinding seluruh tubuhnya.


            Zaxia tak menjawab, lekas beridiri dan menyingkirkan bongkahan kayu yang menimpa putranya.


            Setelah Zaxia menyingkirkan kayu dengan kemampuannya. Dia langsung tersungkur jatuh, menutup matanya hampir tak sadarkan diri. Tapi ada Lisienata di sana, memeluk tubuhnya sangat erat. Kedua tangan dan tubuhnya tak pernah berhenti gemetar, merasakan tubuh wanita itu yang bergemetar mencapai batas kehidupan.


            “Bertahanlah Nyonya!! Aku akan membawamu ke rumah sakit –“ Lisienata berteriak ketakutan, air mata di wajah tak pernah berhenti mengalir. Tapi teriakannya itu terhentikan, oleh sentuhan dari tangan Zaxia untuk rambut Lisienata. Sangat lembut sentuhannya, dia mengusap kepala Lisenata dipenuhi perasaan. Mulai menitiskan air mata kebahagiaan, berbisik dengan nada suara yang sayu.


            “Waktu berjalan cepat, tak terasa kau sudah sebesar ini. Sungguh maafkan aku, meski aku orang yang harus mengurusmu, yang harusnya menjagamu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kau yang paling serin –“


            “Diam ...,” Lisienata berucap, melirik ketakutan tubuh Zaxia. Dia memberikan bantuan pada tubuhnya yang kesulitan berjalan, meski tubuhnya sendiri juga sudah kelelahan. Tangisan kekhawatiran terus menetes dari wajah Lisienata. Bukan untuk siapapun, tapi hanya untuk wanita yang dianggap sebagai ibunya.


            Zaxia hanya tersenyum melirik anak lelaki itu. Sesaat, dia menutup mata. Berucap dengan air mata yang mulai menetes. Seolah mengucapkan kata-kata terakhirnya.


            “Setelah kematian ibu dan adikku, dunia terlihat hitam-putih bagiku, terasa hambar. Aku membenci semua orang dan dunia ini. Tapi itu semua berubah setelah aku bertemu denganmu.”


            “Nyonya ....” Lisienata melirik Zaxia dengan mata yang melebar. Ketakutan akan kehilangan dirinya benar-benar menyelimuti hatinya. Tak ingin, amat sangat tak ingin kehilangan dari dia yang pertama kali menerima kehadirannya.


            “Kau memberikan rasa indahnya hidup. Untuk sekali lagi aku bisa melihat warna dunia, mengeluarkan eskpresi canda tawa di belakangmu. Melihat engkau yang tumbuh dewasa, melihat engkau yang tertawa melihat dunia.”


            “Hentikan ....” Lisienata berucap, tetap melirik Zaxia penuh ketakutan. Tubuhnya semakin bergemetar ketakutan.


            “Se-selain itu maafkan aku, karena tindakan dinginku padamu selama ini. Sungguh aku tahu akan batas waktuku sendiri, lebih tau dari siapapun termasuk dirimu. Maka dari itu aku bersikap seburuk mungkin, agar engkau, dirimu, bisa membenciku. Tak menunjukkan kesedihan yang membuatku kesulitan meninggalkanmu nanti.”


            “Kumohon hentikan ....” Lisienata menggeram, menundukkan kepala. Terus melangkah, membimbing Zaxia menuju jalan keluar.


            “Ta-tapi memang mustahil, sangat mustahil aku terus berbuat seperti itu. Aku menyayangimu, sungguh dari lubuk hatiku. Meski kau ditakuti dunia dan akhirat ini, kau tetap berharga bagiku. Tak tergantikan, oleh apapun itu.”


            “....” Lisienata menangis dalam kondisi kepala tertunduk, hatinya diselimuti oleh berbagai macam perasaan.


            “Di malam terakhirku, izinkan wanita ini mengajukan permintaannya yang sangat egois. Kau memang bukan anak kandungku, aku memang tak melahirkanmu, aku tak melihatmu yang pertama kali datang ke dunia.


Tapi akulah yang menjagamu, mengurusmu, sebisa mungkin melakukan hal yang terbaik untuk dirimu. Nama Lisienata berarti Anak Buangan, tapi aku tak bermaksud untuk menjelekkan engkau yang berharga. Aku ingin kau tau, meski kau anak buangan dan tak diinginkan dunia sekalipun, aku akan tetap menjagamu, melindungimu sebisaku.” Zaxia menghentikan langkah. Dia berhadapan dengan Lisienata yang menangis dan menundukkan kepala.


“.....”


“Maka dari itu, izinkan aku, di malam hari ini untuk menjadi ibum–“


“Tak hanya malam ini, tak hanya saat ini. Dari dulu, dan sampai kapapanpun kau adalah ibuku. Aku menyayangimu, lebih dari apapun itu. Ketika dunia menyerangmu, merendahkan dirimu. Aku yang akan pertama kali berdiri, melawan mereka, menghancurkan, membinasakan siapun yang mengusik  ....” Zaxia tersenyum, menyentuh mulutnya, menghentikan perkataan Lisienata. Dia memeluk tubuh putranya. Tersenyum bahagia sambil mengusap rambutnya.


“Janganlah jadi sepertiku. Cukup hanya satu mahluk sepertiku. Kau ..., jadilah lelaki yang berhati mulia. Lindungi orang-orang sekitarmu, keluargamu, adik kembarmu .... Mereka hanya masih belum sadar, betapa berharganya dirimu.”


“Satu hal lagi. Lindungi Lapis, lindungi dia layaknya melindungiku. Dia gadis yang sangat berharga, kau juga mengetahuinya, kan?” Zaxia tersenyum, melepas pelukan, menatap Lisienata yang memegang kalung milik Lapis.


Lisienata menganggukkan kepala, tetap menatap Zaxia dengan air mata yang mengucur deras. Zaxia lekas menutup mata, membuka matanya kembali mengamati sekitar. Api semakin mengecil, karena bantuan para pemadam dan kineser.


Tapi wajah Zaxia semakin terlihat khawatir mengamati sekitar, dia merasakan sesuatu yang tidak dirasakan Lisienata.


Tapi wajah khawatirnya itu berubah menjadi terlihat tenang. Dia tersenyum menatap putranya, berjalan selangkah mendekat. Mencium keningnya.


Tombak bersinar ungu melayang cepat ke arah mereka berdua, dari arah belakang. Tapi Zaxia memperlambat kecepatannya dengan kemampuannya. Membuat ujung tombak itu berhenti tepat di depan dada Lisienata.


Tapi tombak itu benar-benar menembus perut Zaxia, membuat Lisienata terkejut melebarkan mata, melihat cahaya tombak ungu itu memakan tubuh Zaxia.


Zaxia hanya tersenyum berjalan mundur, mendorong pundak Lisienata ke belakang hingga tersungkur jatuh.


Tapi belum sempat punggungnya menyentuh tanah, ada gerbang dimensi berkilauan yang muncul. Membuat dia masuk ke sana, berpindah ke tempat lain.


“IBU!!” Lisienata berteriak ketakutan, menangis melihat Zaxia yang berbalik membelakangi dirinya.


Zaxia yang mendengar teriakkan itu lekas menolehkan kepala, air mata terlihat jelas di wajah. Dia tersenyum lebar hingga terlihat giginya. Mengucapkan kata perpisahan yang menghancurkan jiwa.


“Hiduplah, wahai Putraku yang berharga! Selamat tinggal dan terima kasih untuk segalanya.”


Gerbang dimensi tertutup, Lisienata berpindah tempat. Ledakan berwarna ungu maha dahsyat terjadi. Orang-orang disekitarnya sudah dievakuasi.


Lisienata yang berada di atas gedung bersama wanita dewasa terlihat melebarkan mata. Menatap vila tempat ibunya berada. Hatinya bergemetar amat ketakutan.


“Siapa itu!? Siapa itu!? Siapa itu!? Siapa yang berani melakukannya!!” Lisienata menggeram penuh kemurkaan, berteriak pada vila yang meledak terlihat mengerikan, terbakar oleh api kegelapan yang berwarna ungu.


Wanita berwarna rambut bunga lavender menjawab pertanyaan. “Musuh alamimu, Naga surga kuno, Raja Iblis Havoc.”


“Sal-bi-na!!” Lisienata melirik Salbina, mengeja namanya dengan nada amat dalam. Pandangannya berisi tatapan penuh kemurkaan. Intimidasi mengerikan langsung muncul di sekitar, beradu dengan intimidasi yang dikeluarkan Salbina.


Salbina mengangkat kepala, memberikan tatapan rendah padanya. Berucap dengan nada penuh ancaman.


“Sesuai dengan kesepakatan. Setelah kepergiannya, aku yang akan mengurusmu sekarang, Bocah. Jaga sikapmu, persiapkan dirimu, aku akan melatihmu sangat keras agar kau bisa melindungi benua ini.
Jangan berpikir kau akan mendapatkan kasih sayang seperti yang Zaxia berikan. Kau tak lebih dari sekadar alat bagiku ..., bagi Kekaisaran Aeldra ini.”


***

No comments:

Post a Comment