Monday, 20 February 2017

Chapter 9

Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Chapter IX
Perjanjian Halsy & Lisienata


           Empat tahun berlalu setelah kepergian Zaxia. Benua sebrang yang dihuni oleh para iblis, area terdalam dekat istana Raja Iblis kelima.



            Lisienata terlihat lebih dewasa, rambutnya tetap hitam, cukup panjang. Umurnya sudah 12 tahun. Dia sudah menginjak remaja.


            Dia berlari cepat, sangat lincah menghindari serangan ratusan pedang yang jatuh ke arahnya.


            Serangan itu milik Salbina yang sedang duduk, memakan roti coklat. Wanita paruh baya itu memiringkan kepala, bertanya pada remaja lelaki yang menghindari serangannya.


            “Hei Aeldra, apa kau sudah makan?”


            “Aku sudah mencari makananku sendiri. Jangan bertindak seperti seorang ibu di hadapanku. Sungguh menjijikan.” Lisienata bergumam kesal, melirik sinis Salbina sambil terus menghindari serangannya.


            Salbina yang mendapatkan respon seperti itu lekas menghentikan serangan, memberikan senyuman kekesalan, mulai berdiri menatap rendah Lisienata. Lisienata juga menghentikan pergerakan, membalas lirikan Salbina yang kembali berbicara.


            “Ae-Aeldra ..., berani sekali kau berbicara seperti itu pada ibumu sendiri ....” Wanita berambut bunga lavender mulai berjalan mendekati Lisienata, memberikan tatapan penuh kekesalan.


            “Hoo mana ibuku? Kau? Wanita sombong dan keras kepala sepertimu?” senyum kesal Lisienata, membalas tatapan tajam Salbina.


            “Kau ...,”senyum kesal Salbina semakin mengkerutkan dahi ke bawah.


            “Selain itu namaku bukan Aeldra. Hanya aku menjadi alat untuk melindungi benua itu bukan berarti kau juga bisa memberiku nam–“


            “Kau juga butuh nama samaran kan? Lebih baik memiliki banyak nama untuk orang berbahaya sepertimu,” sanggah Salbina, mengeluh dan memotong perkataan Lisienata.


            Lisienata hanya terdiam, mengalihkan pandangan dari Salbina. Wajahnya terlihat kesal sambil mengamati sekitar. Beberapa bangunan yang sudah hancur terlihat. Dimakan oleh usia, dihinggapi tumbuhan seperti lumut.


            Sesekali ada beberapa monster kecil yang bersembunyi di balik bangunan itu, mengamati Lisienata dan Salbina. Mereka tak berani keluar, sadar akan kekuatan keduanya yang luar biasa.


            Salbina berbalik, berjalan menuju tempat duduknya yang terbuat dari kayu jati. Lisienata melihat punggungnya, mengkerutkan dahi. Kembali mengajukan pertanyaan berulang. Pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh Salbina.


            “Kenapa kau tak menolongnya?”


            “....” Reaksi tubuh Salbina merespon, kedua pundaknya sedikit terangkat sesaat ketika lelaki berambut hitam itu mengajukan pertanyaan.


            Dia tetap tak menjawab, terus berjalan. Duduk di atas kursi. Menutup mata, berucap mengalihkan pembicaraan.


            “Kau sudah mendengarnya? Program Bride–Elect yang dilakukan Halsy untuk kalian berdua,” senyum kecil Salbina.


            “Berhenti mengalihkan pembicaraan, aku sudah bosan dengan tingkah kau yang seperti itu. Kupikir, aku sudah dewasa sekarang. Aku akan mendengarnya. Apapun jawabanmu, aku takkan mengamuk sampai merepotkan kalian,” Lisienata menutup mata, mengkerutkan dahinya ke bawah. Kedua tangannya dikepal erat hingga bergemetar. Mengingat kematian wanita yang mengurusnya sedari bayi.


            Salbina menurunkan pandangannya. Tatapan matanya terlihat jika dia sedang berada di lain tempat, sedang mengingat masa lalu.


            “Maafkan kami Lisienata. Mungkin maaf saja tidak cukup untuk menebus dosa kami terhadap kau dan ibumu,” senyum sedih seorang wanita berjalan mendekati mereka. Berambut putih kebiruan, memiliki dua mata yang berbeda, biru dan kuning.


            Dia tiba-tiba muncul di belakang Lisienata, melewati gerbang dimensi berwarna ungu kehitaman.


            “Engelina,” Lisienata melirik wanita itu, memberikan tatapan tak mengenakkan.


            “Astaga, sebenci itu kah kau pada kami. Tapi jangan kau pikir kami tak membencimu, kami juga amat sangat memben –“ Elena yang berada dalam tubuh Engelina berucap, akan tetapi lekas terpotong oleh wanita yang satu tubuh dengannya.


“Berisik Elena,” senyum kecil Engelina.


Elena terdiam, terlihat kesal setelah mendapatkan peringatan dari Engelina. Sesaat, suasana terasa hening. Salbina memberikan senyuman kecil pada Lisienata yang terlihat seperti itu.


Lisienata tak pernah tersenyum di hadapannya. Dia hanya mengalihkan pandangan.  Selalu menolak kontak mata ketika Salbina memasang ekspresi wajah seperti itu.


“Jadi ada apa, Engelina? Sampai kau datang ke tempat kami. Apa dia memanggilku lagi?” Salbina bertanya, memberikan pandangannya pada Engelina.


“Umm bukan kamu sih, tapi ...,” senyum khawatir Engelina, melirik Lisienata yang berjalan ke arah Salbina. Dia berniat mengambil botol minuman dekat Salbina.


“Ahh dia. Tak apa, kau bisa mengambilnya. Aku sudah selesai memberikan beberapa latihan padanya. Tadi juga latihan terakhir kami sebelum dia kembali ke kota kelahirannya,” lirik Salbina pada Lisienata yang meminum air.


“Ah begitu rupanya, tapi apa ini tidak terlalu cepat?” tanya Engelina.


“Tidak-tidak, seperti julukannya sebagai salah satu mahluk tekuat. Dia benar-benar hampir melampuiku beberapa tahun ini, “senyum khawatir Salbina menutup mata.


Lisienata yang sudah meminum air mulai berucap sambil membersihkan mulut dengan tangan kanannya.


“Tapi ada apa sampai Sang Penguasa Benua repot-repot memanggil diriku yang menyedihkan ini. Apa dia berniat memanfaatkanku lagi seperti yang kau lakukan ....” Lisienata berucap sinis, berbalik menatap dua wanita terkuat. Tapi perkataannya terhenti, dia langsung terdiam ketika melihat ekspresi wajah Salbina. Tidak hanya Salbina, tapi Engelina juga memberikan ekspresi wajah yang sama.


Ekspresi wajah yang amat sangat serius jika keduanya marah. Membuat wajah Lisienata sedikit khawatir, tak melanjutkan perkataan.


“Dengarkan aku ..., kau bisa menghinaku, mengolok-ngolok diriku. Tapi tidak untuk dirinya,” Salbina berucap, memberikan tatapan tajam.


“Kau juga bisa membenciku, jika memang perlu, kau bisa membunuhku. Tapi tidak untuk Halsy Aeldra.” Engelina berucap, memberikan tatapan kemarahan. Tatapan Elena juga sama, mengkerutkan dahinya ke bawah.


“Kenapa? Sungguh, sejak dulu aku selalu penasaran, alasan kalian mengagung-ngaggungkan wanita itu. Jika masalah kekuatan, dia yang terlemah. Dia hanya manusia biasa dipandanganku –“


“Kau tak tau apa-apa tentangnya, tentang perjuangannya. Kau tak tau apa-apa tentang dia sesungguhnya.” Salbina menutup mata, memberikan senyuman kecil penuh kesedihan.


“....” Engelina dan Elena menurunkan pandangan, hampir menangis. Mulai mengingat masa lalunya, penyesalan terbesar dalam hidupnya.


Lisienata hanya berwajah khawatir melihat tampang wanita kuat seperti keduanya yang terlihat lemah dan tak berdaya.


“Kau boleh tak mempercayai segala perkataanku. Kau boleh memberikan pandangan apapun padaku. Tapi tolong Aeldra, dengarkan dan percayalah perkataanku ini, Halsy sangat memperhatikanmu. Dia mencari ribuan bahkan jutaan cara agar dapat menyelamatkanmu. Dia mencari solusi agar kau bisa menjadi anak-anak yang normal hingga mendapatkan kebahagiaan.”


“Benar yang dikatakan Salbina, dialah yang paling bekerja keras untuk menyelamatkanmu, menarikmu dari jurang takdir menyedihkan. Dia ...” Engelina terlihat ingin menangis.


“Aku tak mempercayainya yah. Jika Halsy memang seperti yang kalian katakan, kemana dia saat beliau kesulitan mempertahankan kehidupan. Jika dia memang memperhatikanku, kemana dia di saat aku berada di jurang kehidupan? Apa yang kalian katakan tak bisa kupercayai. Tak ada fakta, tak ada bukti jika dia yang kalian agung-agungkan –“


“Akan kuceritakan, peran Halsy yang  bergerak di belakang layar. Akan kuceritakan apa yang dilakukan Halsy dan Zaxia untuk melindungimu. Akan kukatakan pengorbanan Zaxia untuk Halsy Aeldra yang membuat kami terkejut ketakut–“


“Tunggu Salbina!! Halsy akan marah jika kau mengatakan hal ini!! Kau hanya akan membuatnya bersedih –“ kesal Engelina ketakutan. Sedangkan Lisienata hanya berwajah penasaran menatap Salbina. Seluruh permukaan kulitnya mulai merinding ketakutan.


“Tidak Engelina, akan kuceritakan semuanya!! Aku sudah muak melihat dia yang terus direndahkan oleh bocah ini!” kesal Salbina menatap tajam Lisienata. Lisienata hanya terdiam khawatir, mengalihkan pandangan. Menatap langit yang sudah menggelap.


Malam sudah datang, kilauan bintang menyinari langit yang gelap. Di bawah langit yang terlihat indah itu, Salbina mulai menceritakan fakta sebenarnya pada Lisienata. Membuat Lisienata melebarkan mata, amat sangat ketakutan.


Hatinya hancur, diliputi perasaan campur aduk yang luar biasa. Wajahnya terlihat sangat shock, amat sangat ketakutan. Membuat Engelina menutup mata, memasang wajah prihatin amat dalam pada Lisienata yang menyadari jika kematian ibunya adalah kesalahan dirinya sendiri.



***


Masih di hari yang sama, setelah mendengar pernyataan fakta dari Salbina. Lisienata lekas pergi ke tempat Halsy tinggal, bersama Engelina. Berniat menanyakan kebenaran yang diceritakan Salbina.


Halsy terlihat berbaring di tempat tidur, punggungnya bersandar pada bantal yang menempel di dinding bangunan. Puluhan buku terlihat menumpuk di sekitar kasurnya.


Wajahnya terlihat pucat, tapi ekspresi wajahnya dihiasi keseriusan dalam mencari informasi. Sesekali dia batuk, lekas mengambil tisu di dekatnya. Menghapus noda merah yang keluar dari mulut tanpa melepas konsentrasinya.


Tapi konsentrasinya itu pecah saat gerbang dimensi ungu kehitaman langsung terbuka di hadapannya. Membuat wajah Halsy khawatir ketakutan, lekas membereskan bukunya itu.


Tapi terlambat, sosok gadis berambut putih sudah melihatnya. Membuat dia berteriak, berwajah khawatir ketakutan melihat apa yang dilakukan Halsy.


“Kakak!! Sudah kubilang untuk istirahat kan!?” itu Engelina yang berjalan cepat mendekati Halsy. Wajahnya sungguh terlihat khawatir, bertanya dengan nada tinggi. Sedangkan Halsy hanya tertawa kecil, menutup mulutnya.


Rambut Halsy panjang, terlihat dewasa. Amat sangat menawan dan enak dipandang. Ya, meski wajahnya sangat pucat karena kondisi tubuhnya. Banyak peralatan rumah sakit yang menempel di sekujur tubuhnya juga.


“Aku datang Halsy Aeldra ....” Lisienata memberikan tatapan tajam pada Halsy, baru saja keluar dari gerbang dimensi. Halsy yang menyadari itu lekas menurunkan pandangan. Hancur segala senyuman dan ekspresi positifnya.


 “Tak kusangka kau datang secepat ini, Lisienata.” Halsy memberikan senyuman kesedihan, sedikit memiringkan kepala.


“....” Lisienata tetap diam, memberikan tatapan dalam pada Halsy. Terlihat berisi kemarahan dan kekecewaan amat dalam.


“Ba-bagaimana dengan Salbina? Apa dia memperlakukanmu dengan baik selama ini?” Halsy bertanya kecil, menatap langsung Lisienata.


“Ah wanita itu yah, dia menganggapku sebagai alat kekaisaran ini. Tak lebih dan kurang,” senyum kecil Lisienata, menutup mata sesaat.


“Astaga, padahal sudah kuperingatkan untuk tak mengatakan hal itu,” kesal Halsy menggigit ibu jarinya, mengalihkan pandangan dari Lisienata.


“Lalu –“ Halsy berniat bertanya, tapi.


“Hentikan basa-basinya, katakan apa alasanmu memanggilku.” Lisienata menutup mata sesaat, lekas menatap kembali Halsy dengan cukup tajam.


Halsy hanya tersenyum, mulai menundukkan kepala, hampir menitiskan air mata. Menutup mata serapat-rapatnya. Berucap di saat Engelina membereskan buku-buku miliknya.


“Su-sungguh aku turut berduka cita atas kematian ibumu beberapa tahun lalu. Selain itu maafkan aku, sungguh maafkan aku karena tak bisa sedikit lebih keras pada Zaxia waktu it –“


“Jika kau memanggilku hanya untuk ini, kau hanya membuang-buang waktumu. Aku tak butuh kata maafmu, tak butuh wajah kesedihanmu.

Sekarang giliranku bertanya padamu, akan kebenaran yang dia ceritakan tentang kau dan ibuku.” Lisienata berucap, menggeram memberikan tatapan kemarahan. Meski kekuatannya masih terkekang, tekanan di sekitarnya terasa berat, terasa berbahaya, membuat wajah Engelina khawatir ketakutan.


Tak seperti Engelina, Halsy lebih terkejut ketakutan karena mendengar pernyataan Lisienata. Dia lekas menolehkan kepala, menatap Engelina penasaran.


“Ka-kakak tau ‘kan bagaiman sifat Salbina jika menyangkut masalah kakak sendiri.”


“Salbina!? Astaga aku benar-benar harus memarahinya nan– uhuk uhuk!!” Halsy batuk, terlihat kesakitan. Engelina lekas berjalan mendekat, memberikan tisu pada kakak iparnya.


“Ma-maaf ....” Halsy terlihat khawatir menundukkan kepala. Hal itu malah membuat Lisienata semakin marah, mengkerutkan dahinya ke bawah. Dia terlihat sangat murka, memberikan tatapan lebih tajam.


“Aku bukan siapa-siapa bagimu, kau bukan siapa-siapa untukku. Jika bisa kukatakan, kau adalah musuhku! Terus dan selama-lamanya, takkan pernah berubah! Aku membenci kemunafikanmu, kebaikanmu yang menggelikan itu.”


“Maaf ....” Halsy menangis menundukkan kepala. Menyatukan setiap ruas jemari kedua tangannya, hingga bergemetar. Air matanya jatuh menabrak sela-sela pergelangan kedua tangannya itu.


“Jika saja kau tidak memberikan kutukan itu pada ibuku, pasti dia masih hidup!! Aku tak peduli jika hanya kau yang mati!! Sejujurnya, meski dunia mengaggumimu, mengagung-ngagungkan dirimu ...!! Kau tetaplah tak berharga bagiku.”


“Sungguh, ma-maafkan aku.” Halsy masih menangis menundukkan kepalanya. Membuat Engelina berwajah marah melihat wanita yang dihormatinya diperlakukan seperti itu.


“Kurang ajar kau, memang benar dia memberikan kutukan itu. TAPI–“ Engelina berucap murka, tapi ucapannya terhenti oleh Halsy yang mengangkat tangan kanan. Menggelengkan kepala cukup pelan.


“Dengar ..., aku takkan berterima kasih atas apa yang kau lakukan untukku. Sesungguhnya apa yang kau lakukan untukku adalah hal yang wajar! Seharusnya kau yang meminta maaf padaku, Halsy Aeldra!” geram Lisienata terus memberikan tajam pada Halsy yang menundukkan kepala.


“Aku tau itu, maka dari itulah aku ingin meminta maaf padamu sekarang. Apapun yang kau inginkan –“ Halsy mengangkat kepala, memperlihatkan wajah yang dihiasi penuh air mata.


“Kita buat perjanjian Halsy Aeldra. Aku akan memaafkanmu tapi ada satu permintaan yang kuinginkan darimu.” Lisienata menggeram memotong perkataan, lekas menundukkan kepala ketika Halsy mengangkat wajah. Tubuh Lisienata, kedua tangannya bergemetar cukup hebat.


“Apa itu katakan saj –“


“Be-berikan nyawamu. Biarkan aku membunuhmu, Halsy Aeldra ....” Lisienata berucap dengan tekanan nada yang dalam. Dia tetap menundukkan kepala, bergemetar meneteskan air mata penuh arti.


Sudah cukup Angelina, aku tak tahan!! Tak peduli Halsy memang bersalah, tapi tetap kubinasakan siapapun yang berani melukai diriny –“ iblis dalam tubuh Engelina menggeram, menunjukkan kemurkaan yang hebat. Tapi perkataanya itu lekas terpotong oleh suara Halsy yang lembut.


“Ta-tak apa Elena, aku tak keberatan. Pada dasarnya memang akulah yang bersalah,” Halsy berucap, memberikan senyuman lebar pada Lisienata. Terlihat ikhlas mengorbankan kehidupannya, demi meredam kemarahan dari sang terkuat.


“....” Keheningan tercipta setelah pernyataan Halsy. Engelina amat sangat terkejut mendengar pernyataannya, tubuhnya bergemetar. Dia lekas menatap ketakutan Lisienata. Berucap gugup, terlihat amat ketakutan dengan air mata menetes di kedua matanya.


“De-dengarkan permintaanku, Lisienata. Aku rela bersujud padamu sekarang. Kau bahkan bisa membunuhku, membunuh kami berdua. Memiliki benua ini, memiliki segalanya. Aku akan membantumu apapun itu, baik atau jahat– Tapi ...!! Ja-jangan ambil dirinya. Kau tak tau betapa berharganya dia bagi kam ....” Perkataannya lekas tersanggahkan oleh Lisienata.


“Per-perjanjian kita telah selesai. Ayo kita pergi, Nyonya Engelina.“ Lisienata berbalik, memperlihatkan punggungnya pada Halsy. Pernyataanya itu membuat Halsy dan Engelina kebingungan, menatap penasaran Lisienata yang tetap menundukkan kepala, menggetarkan kedua tangannya


“Tunggu, kau belum membunuhku, belum memaafkanku!? Kau bisa mengambil nyawaku sebagai pelampiasan kemarahanmu, tapi tolong jangan pada orang lain –“ Halsy bertanya khawatir, menatap punggung Lisienata penasaran.


“Aku tak bilang akan membunuhmu sekarang. Tapi nyawamu sekarang sudah milikku. Aku takkan memaafkanmu jika kau mati bukan karenaku.” Lisienata berucap, perlahan mulai memiringkan badan.


Dia melirik Halsy Aeldra dengan kepala yang sedikit terangkat. Melanjutkan pernyataan yang menggetarkan hati Sang Demigod.


“Jadi sampai waktunya tiba, janganlah mati, oleh siapapun, apapun, bahkan oleh penyakit yang sedang menggerogoti tubuhmu itu. Ku-kumohon teruslah hidup, sampai aku membunuhmu nanti.”


Halsy hanya menutup mulutnya setelah melihat ekspresi wajah Lisienata., mengeluarkan air mata yang berlebihan. Dia mengerti, akan apa yang sebenarnya diinginkan Lisienata. Sungguh tak terduga oleh dirinya, membuat dia terus menjatuhkan air mata penuh arti. Menganggukkan kepala, berucap dengan nada suara yang tinggi.


“Ya, pasti akan kulakukan!!”




***

No comments:

Post a Comment