Saturday, 1 April 2017

Epilog

Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Epilog


          Langit terlihat mendung, hujan menetes perlahan membasahi hampir seluruh permukaan benua. Aura suram terasa di berbagai tempat, kesedihan menghinggapi setiap mahluk yang berdiri di Benua Aeldra.



            Dunia menangis, alam berteriak sedih mengiringi kepergian orang yang dikagumi semua orang.


            Pusat pemakaman Benua Aeldra. Di ujung dekat pohon cemara besar terlihat kuburan terpencil tak bernama. Jasad Halsy akan dikuburkan di sana, tepat di samping kuburan tak bernama itu.


            Itu semua permintaan Halsy sendiri langsung pada putra pertamanya. Karena seseorang yang terkubur di sana adalah tempat peristirahatan lelaki yang dicintainya.


            Tangisan dari orang-orang yang merasa kehilangannya memenuhi setiap penjuru berbagai area. Pemberitaan atas kematiannya terlihat dimana-mana. Dunia menangisi kepergian dia yang memberikan kedamaian untuk dunia.


            Saat mengantar jasadnya ke tempat peristirahatan terakhir. Almeera tak henti-hentinya menangis, memeluk kakak perempuannya yang menggendong dirinya. Lapis menutup mata, menggigit bibir bawah. Dia terlihat mencoba tegar, meski matanya sudah merah, bengkak bagaikan sudah menangis hebat di lain tempat.


            Hardy merangkul kedua adiknya, kedua matanya juga terlihat merah, sesekali mengeluarkan air mata penuh kesedihan. Selenia berjalan di sampingnya, terus menutup wajah dengan kedua tangan, tak kuasa menghentikan air mata.


Shina dan Rina berjalan di belakang mereka, memberikan tatapan kecil pada mereka berempat. Ikut berduka cita atas kematian Sang Demigod.


            Alysha terus menangis dipelukan suaminya, dia benar-benar terpukul dengan kepergian kakak yang senantiasa memperhatikannya. Alyshial juga berwajah sedih, sedikit khawatir melihat ibunya yang terkadang pingsan.


            Berbagai upacara dilakukan untuk menghormati beliau untuk terakhir kalinya. Dia benar-benar dicintai rakyatnya, dia benar-benar dihormati oleh sekitarnya.


             Dari atas bangunan tinggi, terlihat bagaikan seperti lautan orang yang mengantar Halsy ke tempat peristirahatannya, serentak memakai baju berwarna hitam.


            Aeldra yang berdiri di atas bangunan itu, menjadi saksi mata melihat betapa ditangisinya kepergian Halsy Aeldra. Dia mulai menyipitkan mata, memberikan tatapan penuh kemurkaan pada Halsy Aeldra yang berbaring terkujur kaku. Matanya memerah, ketakutan menjalar di permukaan kulitnya.


            “Kau menghianati perjanjian kita!” Aeldra mulai melompat pergi, masih menunjukkan kemurkaan di raut wajahnya. Tapi tidak hanya itu saja, air mata mulai menetes dari matanya yang memerah. Dia tak dapat membohongi kesedihannya atas kepergian dari salah satu orang yang melindungi dirinya.


            Aura di sekitar Aeldra terasa amat sangat berat. Perasaan murka benar-benar menyelimuti hatinya. Seluruh orang yang melindungi kehidupannya telah tiada. Nyawa mereka diambil oleh musuh alaminya. Dia tahu akan hal itu, jika Halsy juga akan menjadi korban dari serangan kembarannya. Membuat dia tak memiliki ampunan pada dia yang menjadi Dewa Havoc.



***


            Di tempat lainnya, benua berbeda, dekat dengan kastil istana Raja Iblis. Terlihat lelaki elf yang sebelumnya menemui Lapis, yakni Kiril. Dia terlihat menatap langit mendung, cukup sedih raut wajahnya.


            Gadis berjubah coklat terlihat duduk jongkok di dekatnya, berbicara pada bunga merah yang cukup layu. Rambutnya panjang berwarna putih, seputih salju bercahaya. Di ujung rambutnya diikat kecil. Matanya berwarna biru layaknya permata Sapphire.


Wajahnya yang datar terlihat sangat rupawan. Dia bertanya pada bunga di hadapannya. Dengan nada suara yang pelan.


            “Hei, apa enak tinggal di sini? Di benua ini? Di dunia ini?”


            “....” Keheningan merangkul mereka, tak ada suara dari Kiril maupun gadis itu, apalagi dari bunga yang layu.


Alam meperhatikan dirinya yang memiliki kehadiran yang kuat. Dunia bergemetar, mendatangkan hembusan angin pelan pada mereka berdua.


            “Kalau tidak enak ..., boleh aku mencabutmu? Kalau enak ...., boleh aku mencabutmu?” Gadis itu kembali bertanya, menutup mata perlahan sambil menyentuh pelan bunga merah di hadapannya.


            Kiril yang berdiri di sampingnya mulai memberikan senyuman kecil, bertanya pada gadis yang lebih muda darinya itu.


            “Reia, bagaimana dengan –“


            “Sudah, Reia sudah mengurus Nyonya Salbina dan Angelina. Mereka sudah tak ada di dunia ini lagi.” Gadis yang dipanggil Reia itu mulai menyentuh tangkai bunga, besiap memetiknya.


            Kiril mulai merentangkan kedua tangan ke atas, merenggangkan tubuhnya. Kembali berucap dengan senyuman yang bersemangat.


            “Halsy Aeldra, sudah tiada, benar-benar pergi meninggalkan dunia fana. Akhirnya ..., perang yang melibatkan berbagai dunia dan para dewa sudah dikumandangkan.


Kita yang berada di pihak dunia ini harus tetap siaga, Reia. Untuk melindungi Sang Kunci Dunia, Last Mater.”


            “Ya aku tau, tapi setidaknya kita sudah mengetahui siapa yang harus kita lindungi. Leia bisa kutangani sendiri, meski harus bertarung habis-habisan. Tapi bagaimana dengan adikmu? Bagaimanapun juga ..., dia adalah calon Dea. Memiliki kekuatan yang hampir sama seperti ibunya.Reia masih memasang wajah datar, melirik Kiril. Melepaskan tangan dari bunga, tak jadi memetiknya.


            “Jujur saja, aku tidak mampu melawannya sendirian. Meski tak sepertinya, kekuatan Chacha masih dikategorikan Anugerah Berlebihan. Kekuatannya bisa menyamai Dewa di berbagai dunia.”


            “Aku tau itu, maka dari itu aku bertanya seperti sebelumnya. Dialah lawan yang paling merepotkan. Kekuatannya itu mutlak, membuatku berpikir berkali-kali ketika ingin berhadapan dengannya.” Reia menutup mata, sedikit menghela nafas.


“Kemungkinan besarnya aku akan meminta bantuan pada Lisienata.”


            “Begitu ..., langsung meminta Dewa itu yah. Aku lega mendengarnya.” ucap pelan Reia, mulai berdiri, menatap langit mendung di atasnya.


            “....” Kiril menganggukkan kepala.


“Tapi Lapis yah ..., nama Last Mater itu.” Reia menutup mata, memberikan senyuman kecil yang terlihat menawan. Kiril memberikan lirikan penasaran padanya. Sangat langka melihat Reia yang menunjukan ekspresi itu.


“Ya, aku sudah bertemu dengannya. Dia benar-benar mirip dengan Halsy Aeldra. Memiliki lambang ras Demigod di dahi.”


“Tak sopan, Kiril. Tadi juga kau memanggil nama beliau langsung seperti itu. Sadari posisimu, kau juga mengetahuinya ‘kan derajat dia?” Reia melirik Kiril, terlihat sedikit menunjukkan kemarahan.


“Baik baik, maafkan aku.” Kiril tertawa kecil. Cukup khawatir.


“Tetap memanggilnya seperti itu, meski sudah tau seberapa tingginya beliau adalah kesombongan yang tak terampuni. Itu sama saja dengan kau yang menentang Dewa yang memberikan anugerah pada kita,” datar Reia menatap langit di atasnya.


“Baik baiklah, aku sudah minta maaf, 'kan?” khawatir Kiril.


“Ya terserah lah, tapi ....” Reia menutup mata, kembali memberikan senyuman kecil.


“Entah suatu kebetulan atau tidak, tapi nama Last Mater itu seperti ibuku. Benar-benar suatu kebetulan yang mengerikan. Aku tak sabar bertemu dengannya, seperti apa orangnya,” Reia berbalik, berjalan pergi memasuki istana raja iblis.


Sontak para monster yang berada di belakangnya terlihat. Mereka lekas tunduk padanya, terlihat segan pada dia yang memiliki aura mengerikan.


“Ah lalu soal Zaxia, Reia?” tanya khawatir Kiril.


“Aku tak mau mengurus masalah yang merepotkan, biarkan Stella yang urus,” jelas Reia sesaat menghentikan langkah.


“Tapi dia belum sampai ke dunia ini,” senyum khawatir Kiril.


“Nanti juga sampai. Dia memang seperti itu, kan?” Reia melirik kecil Kiril. Kembali memasang wajah datarnya. Membuat wajah Kiril terlihat cemas kembali.


            Di benua sebrang, dekat dengan pemakaman Halsy. Di dalam hotel bertingkat lima, dua gadis yang melakukan penyerangan pada Selenia terlihat. Chacha dan Leia.


            Keduanya bersandar pada tembok, dekat dengan pinggir jendela. Seolah mengamati proses pemakaman Halsy Aeldra. Keduanya berwajah datar, tak menunjukkan rasa kesedihan apapun.


            “Sang Dewi sudah tak ada, kini dia mutlak sebagai pemantau dunia.” Chacha berucap, menutup mata sesaat.


            “Terasa sakit, terasa terbakar, terus mengeluarkan sisi kelemahan ketika orang yang kita sayang pergi untuk selamanya.” Leia menutup mata, sudah membuka kupluk besarnya. Wajahnya sangat mirip dengan Reia, hanya warna rambutnya saja yang berbeda. Yakni warna hitam pekat.


            “Tapi Kalian masih beruntung. Masih bisa melihat jasadnya yang memberikan senyuman, melihat dia untuk terakhir kalinya. Tapi Kami ... ” Reia membuka mata, mengkerutkan dahi terlihat murka. Air mata mengalir, melewati pipinya yang lembut.


            “Dunia ini sudah melakukan hal tak termaafkan, sudah melakukan yang seharusnya tak dilakukan. Dunia ini harus dimusnahkan, mutlak untuk dihancurkan. Sejak dulu, sejak lama ...., putaran dunia ini seharusnya sudah berakhir.

            Kalian membebankan tanggung jawab besar pada pahlawan kami, demi membuat dunia ini tetap terus berjalan. Meski mereka tak berkewajiban mempertahankan keberadaan dunia ini,” Chacha berucap membuka mata, memberikan tatapan sinis melihat langit, lewat kaca jendela.


            “Kedua orang tuaku ....,” pelan Leia dan Chacha bersamaan. Leia menundukkan kepala. Chacha memberikan tatapan kecil pada langit, berisi kesedihan amat dalam.


            “Mati karena kalian, karena berjuang untuk kalian,” lanjut Leia kembali mengangkat kepala, memberikan senyuman kecil.


            “Aku bersumpah atas Dewi Auroleshia, akan menghancurkan dunia ini, apapun yang terjadi, siapapun yang menghalangi.”  Chacha memberikan senyuman penuh semangat.


            “Aku bersumpah atas Dewi Lunashia, akan menghancurkan harapan kalian, Sang Last Mater, yang menjadi kunci dunia ini. Membuat kalian menyesali karena mengambil nyawa ibuku tercinta,” Leia memberikan tatapan kemarahan, tetap menangis.


            Keduanya menatap langit, seolah menantang dunia. Membuat langit semakin menggelap. Segan terhadap mereka berdua yang diliputi balas dendam.



***

1 comment:

  1. Apa orang tua mereka masih punya hubungan di masa lalu

    ReplyDelete