Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Epilog
Epilog
Langit terlihat
mendung, hujan menetes perlahan membasahi hampir seluruh permukaan benua. Aura
suram terasa di berbagai tempat, kesedihan menghinggapi setiap mahluk yang
berdiri di Benua Aeldra.
Dunia menangis, alam berteriak sedih
mengiringi kepergian orang yang dikagumi semua orang.
Pusat pemakaman Benua Aeldra. Di
ujung dekat pohon cemara besar terlihat kuburan terpencil tak bernama. Jasad
Halsy akan dikuburkan di sana, tepat di samping kuburan tak bernama itu.
Itu semua permintaan Halsy sendiri
langsung pada putra pertamanya. Karena seseorang yang terkubur di sana adalah
tempat peristirahatan lelaki yang dicintainya.
Tangisan dari orang-orang yang
merasa kehilangannya memenuhi setiap penjuru berbagai area. Pemberitaan atas
kematiannya terlihat dimana-mana. Dunia menangisi kepergian dia yang memberikan
kedamaian untuk dunia.
Saat mengantar jasadnya ke tempat
peristirahatan terakhir. Almeera tak henti-hentinya menangis, memeluk kakak
perempuannya yang menggendong dirinya. Lapis menutup mata, menggigit bibir
bawah. Dia terlihat mencoba tegar, meski matanya sudah merah, bengkak bagaikan
sudah menangis hebat di lain tempat.
Hardy merangkul kedua adiknya, kedua
matanya juga terlihat merah, sesekali mengeluarkan air mata penuh kesedihan. Selenia
berjalan di sampingnya, terus menutup wajah dengan kedua tangan, tak kuasa
menghentikan air mata.
Shina
dan Rina berjalan di belakang mereka, memberikan tatapan kecil pada mereka
berempat. Ikut berduka cita atas kematian Sang Demigod.
Alysha terus menangis dipelukan
suaminya, dia benar-benar terpukul dengan kepergian kakak yang senantiasa
memperhatikannya. Alyshial juga berwajah sedih, sedikit khawatir melihat ibunya
yang terkadang pingsan.
Berbagai upacara dilakukan untuk
menghormati beliau untuk terakhir kalinya. Dia benar-benar dicintai rakyatnya,
dia benar-benar dihormati oleh sekitarnya.
Dari atas bangunan tinggi, terlihat bagaikan seperti
lautan orang yang mengantar Halsy ke tempat peristirahatannya, serentak memakai
baju berwarna hitam.
Aeldra yang berdiri di atas bangunan
itu, menjadi saksi mata melihat betapa ditangisinya kepergian Halsy Aeldra. Dia
mulai menyipitkan mata, memberikan tatapan penuh kemurkaan pada Halsy Aeldra
yang berbaring terkujur kaku. Matanya memerah, ketakutan menjalar di permukaan
kulitnya.
“Kau menghianati perjanjian kita!”
Aeldra mulai melompat pergi, masih menunjukkan kemurkaan di raut wajahnya. Tapi
tidak hanya itu saja, air mata mulai menetes dari matanya yang memerah. Dia tak
dapat membohongi kesedihannya atas kepergian dari salah satu orang yang melindungi
dirinya.
Aura di sekitar Aeldra terasa amat
sangat berat. Perasaan murka benar-benar menyelimuti hatinya. Seluruh orang
yang melindungi kehidupannya telah tiada. Nyawa mereka diambil oleh musuh
alaminya. Dia tahu akan hal itu, jika Halsy juga akan menjadi korban dari
serangan kembarannya. Membuat dia tak memiliki ampunan pada dia yang menjadi
Dewa Havoc.
***
Di tempat lainnya, benua berbeda,
dekat dengan kastil istana Raja Iblis. Terlihat lelaki elf yang sebelumnya
menemui Lapis, yakni Kiril. Dia terlihat menatap langit mendung, cukup sedih
raut wajahnya.
Gadis berjubah coklat terlihat duduk
jongkok di dekatnya, berbicara pada bunga merah yang cukup layu. Rambutnya panjang
berwarna putih, seputih salju bercahaya. Di ujung rambutnya diikat kecil.
Matanya berwarna biru layaknya permata Sapphire.
Wajahnya
yang datar terlihat sangat rupawan. Dia bertanya pada bunga di hadapannya. Dengan
nada suara yang pelan.
“Hei, apa enak tinggal di sini? Di
benua ini? Di dunia ini?”
“....” Keheningan merangkul mereka,
tak ada suara dari Kiril maupun gadis itu, apalagi dari bunga yang layu.
Alam
meperhatikan dirinya yang memiliki kehadiran yang kuat. Dunia bergemetar,
mendatangkan hembusan angin pelan pada mereka berdua.
“Kalau tidak enak ..., boleh aku
mencabutmu? Kalau enak ...., boleh aku mencabutmu?” Gadis itu kembali bertanya,
menutup mata perlahan sambil menyentuh pelan bunga merah di hadapannya.
Kiril yang berdiri di sampingnya
mulai memberikan senyuman kecil, bertanya pada gadis yang lebih muda darinya
itu.
“Reia,
bagaimana dengan –“
“Sudah, Reia sudah mengurus Nyonya Salbina dan Angelina. Mereka
sudah tak ada di dunia ini lagi.” Gadis yang dipanggil Reia itu mulai menyentuh
tangkai bunga, besiap memetiknya.
Kiril mulai merentangkan kedua
tangan ke atas, merenggangkan tubuhnya. Kembali berucap dengan senyuman yang
bersemangat.
“Halsy Aeldra, sudah tiada,
benar-benar pergi meninggalkan dunia fana. Akhirnya ..., perang yang melibatkan
berbagai dunia dan para dewa sudah dikumandangkan.
Kita
yang berada di pihak dunia ini harus tetap siaga, Reia. Untuk melindungi Sang
Kunci Dunia, Last Mater.”
“Ya aku tau, tapi setidaknya kita
sudah mengetahui siapa yang harus kita lindungi. Leia bisa kutangani sendiri, meski harus bertarung habis-habisan.
Tapi bagaimana dengan adikmu? Bagaimanapun juga ..., dia adalah calon Dea. Memiliki kekuatan yang hampir sama
seperti ibunya.” Reia masih memasang wajah datar, melirik Kiril. Melepaskan tangan
dari bunga, tak jadi memetiknya.
“Jujur saja, aku tidak mampu
melawannya sendirian. Meski tak sepertinya, kekuatan Chacha masih dikategorikan
Anugerah Berlebihan. Kekuatannya bisa
menyamai Dewa di berbagai dunia.”
“Aku tau itu, maka dari itu aku
bertanya seperti sebelumnya. Dialah lawan yang paling merepotkan. Kekuatannya itu
mutlak, membuatku berpikir berkali-kali ketika ingin berhadapan dengannya.” Reia
menutup mata, sedikit menghela nafas.
“Kemungkinan
besarnya aku akan meminta bantuan pada Lisienata.”
“Begitu ..., langsung meminta Dewa
itu yah. Aku lega mendengarnya.” ucap pelan Reia, mulai berdiri, menatap langit
mendung di atasnya.
“....” Kiril menganggukkan kepala.
“Tapi
Lapis yah ..., nama Last Mater itu.”
Reia menutup mata, memberikan senyuman kecil yang terlihat menawan. Kiril
memberikan lirikan penasaran padanya. Sangat langka melihat Reia yang
menunjukan ekspresi itu.
“Ya,
aku sudah bertemu dengannya. Dia benar-benar mirip dengan Halsy Aeldra.
Memiliki lambang ras Demigod di dahi.”
“Tak
sopan, Kiril. Tadi juga kau memanggil nama beliau langsung seperti itu. Sadari
posisimu, kau juga mengetahuinya ‘kan derajat dia?” Reia melirik Kiril,
terlihat sedikit menunjukkan kemarahan.
“Baik
baik, maafkan aku.” Kiril tertawa kecil. Cukup khawatir.
“Tetap
memanggilnya seperti itu, meski sudah tau seberapa tingginya beliau adalah
kesombongan yang tak terampuni. Itu sama saja dengan kau yang menentang Dewa
yang memberikan anugerah pada kita,” datar Reia menatap langit di atasnya.
“Baik
baiklah, aku sudah minta maaf, 'kan?” khawatir Kiril.
“Ya
terserah lah, tapi ....” Reia menutup mata, kembali memberikan senyuman kecil.
“Entah
suatu kebetulan atau tidak, tapi nama Last Mater itu seperti ibuku. Benar-benar suatu
kebetulan yang mengerikan. Aku tak sabar bertemu dengannya, seperti apa
orangnya,” Reia berbalik, berjalan pergi memasuki istana raja iblis.
Sontak
para monster yang berada di belakangnya terlihat. Mereka lekas tunduk padanya,
terlihat segan pada dia yang memiliki aura mengerikan.
“Ah
lalu soal Zaxia, Reia?” tanya khawatir Kiril.
“Aku
tak mau mengurus masalah yang merepotkan, biarkan Stella yang urus,” jelas Reia sesaat menghentikan langkah.
“Tapi
dia belum sampai ke dunia ini,” senyum khawatir Kiril.
“Nanti
juga sampai. Dia memang seperti itu, kan?” Reia melirik kecil Kiril. Kembali
memasang wajah datarnya. Membuat wajah Kiril terlihat cemas kembali.
Di benua sebrang, dekat dengan pemakaman
Halsy. Di dalam hotel bertingkat lima, dua gadis yang melakukan penyerangan
pada Selenia terlihat. Chacha dan Leia.
Keduanya bersandar pada tembok,
dekat dengan pinggir jendela. Seolah mengamati proses pemakaman Halsy Aeldra.
Keduanya berwajah datar, tak menunjukkan rasa kesedihan apapun.
“Sang Dewi sudah tak ada, kini dia
mutlak sebagai pemantau dunia.” Chacha berucap, menutup mata sesaat.
“Terasa sakit, terasa terbakar,
terus mengeluarkan sisi kelemahan ketika orang yang kita sayang pergi untuk
selamanya.” Leia menutup mata, sudah membuka kupluk besarnya. Wajahnya sangat
mirip dengan Reia, hanya warna rambutnya saja yang berbeda. Yakni warna hitam pekat.
“Tapi Kalian masih beruntung. Masih bisa melihat jasadnya yang memberikan
senyuman, melihat dia untuk terakhir kalinya. Tapi Kami ... ” Reia membuka mata, mengkerutkan dahi terlihat murka.
Air mata mengalir, melewati pipinya yang lembut.
“Dunia ini sudah melakukan hal tak
termaafkan, sudah melakukan yang seharusnya tak dilakukan. Dunia ini harus dimusnahkan,
mutlak untuk dihancurkan. Sejak dulu, sejak lama ...., putaran dunia ini
seharusnya sudah berakhir.
Kalian membebankan tanggung jawab
besar pada pahlawan kami, demi membuat dunia ini tetap terus berjalan. Meski mereka
tak berkewajiban mempertahankan keberadaan dunia ini,” Chacha berucap membuka
mata, memberikan tatapan sinis melihat langit, lewat kaca jendela.
“Kedua orang tuaku ....,” pelan Leia
dan Chacha bersamaan. Leia menundukkan kepala. Chacha memberikan tatapan kecil pada langit, berisi kesedihan amat dalam.
“Mati karena kalian, karena berjuang
untuk kalian,” lanjut Leia kembali mengangkat kepala, memberikan
senyuman kecil.
“Aku bersumpah atas Dewi Auroleshia,
akan menghancurkan dunia ini, apapun yang terjadi, siapapun yang menghalangi.” Chacha memberikan senyuman penuh semangat.
“Aku bersumpah atas Dewi Lunashia,
akan menghancurkan harapan kalian, Sang Last Mater, yang menjadi kunci dunia
ini. Membuat kalian menyesali karena mengambil nyawa ibuku tercinta,” Leia
memberikan tatapan kemarahan, tetap menangis.
Keduanya menatap langit, seolah
menantang dunia. Membuat langit semakin menggelap. Segan terhadap mereka berdua
yang diliputi balas dendam.
***
Apa orang tua mereka masih punya hubungan di masa lalu
ReplyDelete