Sunday, 26 March 2017

Chapter 13

Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Chapter XIII
Permintaan Terakhir

Wilayah terluar, Benua Aeldra. Tepat di pantai paling timur, perbatasan benua sebrang. Terlihat Aeldra dan Hardy sedang berdiri di atas batu karang. Jauh dari pemukiman warga.


Aeldra menatap lautan cukup tajam, sedangkan Hardy melirik ke belakang, berharap tak ada siapapun di sana.


“Aeldra, kau yakin jika mahluk itu akan datang ke sini.”


“Yaa ..., aku sudah memberikan salam padanya, sebentar lagi dia akan datang padaku,” Aeldra sedikit memberikan senyuman.


Hardy hanya berwajah khawatir melihat wajah Aeldra yang seperti itu. Dia lekas mengamati ke belakangnya, memastikan tak ada orang lain untuk kedua kalinya.


“Tenanglah, aku sudah memasang penghalang kuat di seluruh bibir pantai ini. Orang-orang takkan bisa melihat kita.” Aeldra menutup mata perlahan.


“Tapi tetap saja –“


“Dia datang.” Aeldra berucap, memotong perkataan. Masih menutup matanya. Mulai mengeluarkan kedua tangan dari dalam saku celana.


“Eh!?” Hardy cukup terkejut, kembali menatap lautan yang terlihat damai. Tak ada tanda-tanda siapapun yang mendekat. Hal itu membuat wajahnya kebingungan akan perkataan Aeldra sebelumnya.


Dia mulai membuka mulut, berniat bertanya akan maksud Aeldra. Akan tetapi.


Suara tubrukan amat dahsyat terdengar, hingga Hardy mengangkat kedua tangan, berniat melindungi diri. Teriakkan mahluk maha besar yang penuh kemurkaan juga terdengar.


Burung berwarna hitam pekat terlihat di hadapan mereka berdua. Seluruh tubuhnya diselimuti api hitam yang berkobar hebat. Matanya bersinar merah layaknya darah mendidih. Banyak luka tebasan disekujur tubuhnya.


Cakarnya yang berwarna abu-abu kehitaman terlihat mengarah ke arah Aeldra. Tapi Aeldra hanya mengangkat tangan kiri, menahan serangan sambil membalas tatapan tajam musuhnya.


Hardy selangkah berjalan mundur, cukup ketakutan melihat aura kesakitan yang dikeluarkan mahluk yang seperti burung garuda itu. Selain itu, ukurannya bukan main-main. Benar-benar terlihat sangat besar, kuat, dan perkasa.


Lebih dari ratusan ribu tahun aku menunggu engkau bangkit, Wilfere ....” Mahluk itu menggeram, suaranya menggema menggentarkan hati siapapun, termasuk Hardy sekalipun.


Hardy menelan ludah, merinding seluruh permukaan kulit. Mulai bergumam gagap dalam batinnya.


Fa-familiar terkuat yang tak pernah tunduk pada siapapun, burung legenda pemakan api neraka ....”


“Aufero.” Wanita dalam tubuh Hardy berucap, seolah melanjutkan ucapan Hardy. Wanita yang menjadi keturunan Raja Iblis Gehena, Elenka.


Aeldra menutup mata perlahan, lekas membuka matanya kembali. Pupil matanya berubah seperti ular, iris bola matanya menjadi kuning keemasan. Dia berwajah datar, berucap sambil membalas tatapan mahluk di depannya.


“Lama tidak bertemu, Feniks.”


Api hitam di sekitar burung itu semakin berkobar hebat, matanya semakin tajam dan menyala menatap Aeldra. Mahluk itu benar-benar dipenuhi kemurkaan amat dalam.


Pernyataan Aeldra itu sontak membuat wajah Hardy terkejut. Membuat Elenka bergemetar, bertanya akan maksud pernyataan Aeldra pada Hardy. Tapi Hardy tak tau maksudnya, hanya diam seribu bahasa, menggelengkan kepala.


Berani sekali kau memanggilku seperti itu ..., aku yang sekarang berbeda. Kau pikir siapa yang membuatku seperti ini!? Kalian lah, para mahluk bodoh yang berperang demi memperjuangkan kebenaran masing-masing, hingga mengorbankan beliau yang kupuja.


Atas nama beliau yang kujunjung tinggi kehormatannya. Aku bersumpah akan membunuh kau dan kembaranmu, menghancurkan Charlotte dan Hanafi ....”


            Mendengar pernyataan sang burung legenda, Hardy lekas menutup mata, berpikir. Bertanya pada wanita yang berdiam diri dalam tubuhnya. “Mungkinkah Hanafi ayah dari Selenia?”


            “Ak-aku tidak tau. Tapi kupikir itu bukan dia,” khawatir Elenka menjawab pertanyaan.


            “Kau benar-benar terperangkap oleh masa lalu Feniks. Kemana api indahmu yang selalu memberikan kehidupan –“


            Aeldra menghentikan perkataan, terpotong oleh teriakan– hembusan api hitam yang mengerikan. Mahluk bernama Aufero itu menghembuskan api hitam amat kuat ke arah Aeldra dan Hardy. Amat sangat besar, hingga langit menggelap bagaikan malam hari.


            Aeldra dan Hardy melompat mundur, menghindari serangan mahluk berbentuk burung itu. Benteng sihir dan transparan terlihat membentang di setiap sisi pantai, menahan serangan sang burung yang murka. Terbungkus hingga mengecil, meledak dalam kurungan benteng sihir yang amat kuat. Itu milik Aeldra.


            “Dengarkan aku dulu, Burung Bodoh!” geram Aeldra kesal,  mengangkat kedua tangan, sedikit kelelahan. Berniat menenangkan mahluk besar di hadapannya.


            “Tak ada yang perlu kita bicarakan, Wilfere. Kuyakin Demigod Halsey juga menginginkan kematianmu. Memang seharusnya Beliau membunuhmu waktu itu, menghancurkan kau dan kembaranmu ....” Geram Aufero, seluruh tubuhnya mulai menyusut. Wujudnya berubah bentuk menjadi anak berumur 7 tahun. Bermata merah bercahaya, berambut putih dengan ujung hitam pekat.


            “Kau takkan bisa lari lagi, tebus dosa-dosamu di masa lampau, Sang Naga Surga. Biarkan aku membalaskan dendam kematian tuanku,” anak itu berjalan di atas air, dengan air mata menetes, mengalir melewati pipinya yang putih pucat.


            “Ae-Aeldra, dia berubah jadi anak-anak –“Hardy berwajah khawatir, melirik Aufero yang menjadi anak-anak. Akan tetapi perkataannya tersanggahkan oleh Aeldra.


            “Aku ingin perjanjian, Feniks! Perjanjian ini kuyakin dapat membantumu untuk membalaskan dendam kematiannya!” teriak khawatir Aeldra.


            “Perjanjian, katamu!?” geram Aufero, menghentikan langkah. Semakin mengkerutkan dahinya ke bawah.


            “Aku tak yakin kau bisa membalaskan dendam pada mereka berdua. Tapi pada kami, kau bisa. Aku akan membantumu,” senyum kecil Aeldra, dengan kedua matanya yang mulai bercahaya keemasan.


            Aufero menutup mata perlahan, menundukkan kepala, terlihat berpikir. Tak lama dia kembali berubah menjadi burung raksasa yang dipenuhi api hitam. Mulai berucap hingga menggema di sekitarnya.


            “Sejak tadi aku merasakannya. Kau yang saat ini berbeda, bukan Wilfere yang kukenal. Kau memiliki aroma seperti dirinya, tapi kau bukan dirinya.
Kuyakin ini pasti ada maksudnya. Sekarang katakan lebih jelas maksudmu, Wilfere ....”


            “Sayangnya bukan aku yang akan mengatakan lebih jelas semuanya. Ubah wujudmu menjadi manusia, akan kuantarkan engkau padanya.” Aeldra yang masih memberikan senyuman kecil, mulai menutup matanya.


            Tak lama Auefero kembali berubah ke wujud manusia. Seperti anak kecil berumur 7 tahun. Tatapan tajam mata merahnya tetap ia tunjukan pada Aeldra.


            Aeldra mulai berbalik, berucap sambil membuka matanya.” Aku hanya sebagai perantara di sini, mempertemukan kau dan dirinya.”


            “Sungguh amat sangat langka kau, sang dewa agung mau menuruti perintah orang lain? Siapa sebenarnya orang yang bisa memerintahmu seperti ini? Seberapa kuatkah dia?” Aufero tertawa kecil, terlihat seperti ejekan.


            Aeldra membalas tertawaanya, melirik Aufero dengan senyuman lebar. “Kau juga akan mengetahuinya, seberapa kuatnya dia. Bahkan membuat seluruh bulumu itu bergemetar ketakutan.”


            “Hah!? Aku ketakutan, katamu?” Aufero menggeram, terlihat kesal.



***


Di tempat lain, kediaman Sang penguasa Benua Aeldra. Sang Demigod yang disegani oleh berbagai kalangan, Halsy Aeldra.


Halsy terlihat masih duduk, menyandarkan tubuh di atas ranjang. Seluruh wajahnya pucat, kantung mata kelelahan benar-benar terlihat dengan jelas. Dia sudah mencapai batas kehidupannya.


Ada Putri kecilnya di samping, Almeera. Dia menatap sang ibu dengan mata berkaca-kaca, menyentuh tangan kanannya sangat erat. Benar-benar takut kehilangannya.


Lapis yang berdiri di depannya tetap berwajah tegas, seolah menahan ekspresi kesedihan sekuat mungkin di hadapan orang yang paling ia hormatinya itu.


Selain Lapis, terlihat Rina dan Reeslevia juga yang berdiri di masing-masing samping Lapis. Keduanya berwajah khawatir menatap Halsy.


Halsy mulai memberikan senyuman kecil pada Lapis, berisi kasih sayang yang luar biasa. Membuat Lapis tak kuasa menahan air mata. Lekas menundukkan kepala, menangis kecil melihat kondisi ibunya yang sudah di ambang batas kehidupan.


“Rina, Reeslevia, aku ingin mengajukan permintaan terakhirku– uhuk uhuk.” Halsy mulai menatap Rina dan Reeslevia. Berisi keseriusan. Sedikit batuk di ucapan terakhirnya, membuat sekitarnya berwajah semakin cemas.


“De-dengar, kita tidak punya banyak waktu. Aku ingin kalian berdua melindungi Lapis. Apapun yang terjadi.
Aku juga berbicara pada kalian, Para Malaikat Agung.”  Halsy berucap menatap Rina dan Reeslevia dengan sebelah mata.


Sesaat Rina dan Reeslevia terkejut, melirik penasaran Lapis yang juga sama terkejutnya. Tapi setelah itu keduanya menganggukan kepala, menjawab permintaan dengan jelas.”Ya, Yang Mulia.”


Setelah itu, Halsy lekas melirik Almeera, mengusap pelan kepalanya. Memberikan senyuman kecil melihat Almeera yang terus menangis menempelkan dahi dengan tangan Halsy. Dia terus memegang tangan ibunya dengan kedua tangan yang bergemetar.


“Almeera, boleh Mamah minta sesuatu sama Almeera?”


“Em em,” Almeera menganggukkan kepala terlihat menggemaskan, terus menangis hingga membasahi tangan ibunya.


“Almeera yang saat ini sudah sangat kuat. Melebihi kedua kakakmu, melebihi papahmu. Mamah tahu, Almeera hanya masih belum menyadarinya. Maka dari itu, tolong lindungi Kak Lapis yah.”


“Emm!!” Almeera kembali menganggukkan kepalanya kembali.


Lapis berjalan selangkah maju mendekati ibunya, bertanya penasaran akan maksud sang ibu sebelumnya.


Halsy hanya memberikan senyuman kecil, menjawab pertanyaan putrinya.


“Kau tau kenapa aku memberimu nama Lapis?”


“Ti-tidak. Bu-bukankah jika kutanya masalah ini, ibu hanya selalu tertawa, berujung tak menjawab pertanyaanku.” Lapis berwajah cemas, sedikit mengalihkan pandangan.


“Jauh sebelum aku memiliki kau, Hardy, dan Almeera. Jauh sebelum aku menikah dengan ayahmu. Jauh sebelum aku menghentikan Elenka dan adiknya, aku bertemu dengannya.
Lapis adalah nama dari seseorang yang menyelamatkan nyawaku. Hingga orang tersebut meninggal mengorbankan nyawa untukku.”


“Eh?” Lapis cukup terkejut.


“Berkat dirinya, aku tersadar. Ketika engkau terlahir ke dunia ini, aku semakin menyadarinya. Akan peran kita, tugas kita. Dan akan apa yang akan terjadi pada dunia ini selanjutnya ....”


“Aku tak mengerti, Ibu.” Lapis menatap Halsy cemas, kedua matanya sedikit berkaca-kaca, tak kuasa menahan beban di mata. Sedangkan Halsy masih memberikan senyuman kecilnya, mulai melanjutkan kembali ucapannya.


“Tak apa jika kau masih tak mengerti. Tapi dengarkan aku, Wahai Putriku. Di masa depan, di masa yang akan datang setelah kepergianku. Benua in– tidak, dunia ini akan mengalami cobaan terberat untuk yang terakhir kalinya.
Mahluk dari berbagai dunia akan datang padamu, akan mencari dirimu yang menjadi kunci dunia ini. Ku-kumohon agar engkau bisa bertahan, kumohon agar engkau tetap terus hidup. Sampai engkau memenuhi takdirmu nanti.” Halsy menutup mata, hampir menangis.


“Ibu ...?” Lapis berwajah ketakutan menatap Halsy yang seperti itu.


“Maafkan kami yang saat itu tak bisa ikut melindungimu. Maafkan kami yang tak bisa bersamamu ketika hal tersulit itu datang. Apapun yang terjadi, aku dan Angela akan selalu melindungimu, mendoakan keselamatan kalian wahai anak-anakku!” Halsy merangkul Almeera, menangis menatap Lapis.


Setelah mendengar ucapan dari Sang Demigod, suasana sekitar lekas berubah haru. Terlihat raut wajah kekhawatiran dari semua orang di sana.


Reeslevia dan Rina benar-benar memberikan tatapan penasaran pada Lapis. Mereka amat penasaran, akan apa arti dari yang sudah diucapkan oleh Halsy.


Tapi suasana haru itu terpecahkan dengan kedatangan anak kecil berumur 7 tahun. Dia memasang wajah arogan, sedikit mengkerutkan dahi ke bawah. Kehadirannya sontak membuat Lapis dan yang lainnya terkejut. Berbalik, melihatnya ke belakang.


Itu adalah Aufero atau Feniks. Mahluk yang sebelumnya hampir melakukan pertarungan dengan Aeldra. Salah satu familiar terkuat yang dikabarkan tak pernah tunduk pada siapapun


“Baik ceritakan lebih jelas maksud dari mahluk itu ...,” jelasnya, akan tetapi nada suaranya semakin mengecil. Anak lelaki itu melebarkan mata, terkejut ketakutan menatap Lapis dan Halsy. Khususnya lambang di dahi mereka.


Seluruh tubuhnya merinding, tak kuasa menyembunyikan ketakutan. Mahluk mengerikan, berumur ratusan ribuan tahun itu benar-benar ketakutan meantap Halsy dan Lapis.


“Siapa kalian ...!?” Aufero bertanya, nadanya cukup dalam. Berisi kekhawatiran cukup dalam. Dia berjalan selangkah mundur, seolah tak mempercayai apa yang dilihatnya.


“Lapis, Reeslevia, Rina, dan Almeera ..., keluarlah,” Halsy menutup mata, memasang wajah keseriusan amat dalam. Sontak, Almeera terkejut, berteriak tak ingin meninggalkan sang ibu dengan anak lelaki yang memiliki aura berbahaya itu.


“Tak apa, tinggalkan kami berdua. Aku baik-baik saja.” Halsy menjawab, mulai membuka mata, menatap Aufero. Memberikan senyuman kecil juga padanya.


Aufero berjalan selangkah mundur untuk kedua kalinya, air mata menetes, ketakutan semakin hebat menjalar seluruh tubuh. Segala kilas balik ingatan dalam kepalanya terulang, sangat cepat. Membuat dia menundukkan kepala, menutup mata serapat-rapatnya. Bergumam dalam hati kecilnya. “Jadi begitu rupanya, jadi beliau lah orangnya ....”


Lapis dan yang lainnya mulai meninggalkan ruangan. Almeera sempat memberontak, tak ingin berpisah dengan ibunya. Tapi dengan bujukan sang kakak dan ibunya, dia akhirnya menurut.


Kini hanya Halsy dan Aufero di dalam ruangan. Halsy mulai mengubah ekspresi wajahnya, terlihat khawatir. Dia sadar diri, jika mahluk yang sedang berdiri di depannya amat sangat kuat. Hampir menyamai kekuatan Dewa Wilfere atau Havoc.


“Maaf sudah merepotkanmu untuk datang ke sini, Tuan Aufero. Jika saja kondisiku tak seperti ini, aku pasti datang langsung menemuimu sendiri ....” Halsy mengecilkan suara, mulai memberikan tatapan penasaran pada Aufero yang tertunduk, terlihat sangat menghormatinya.


“Ap-apa aku sudah melukai perasaanmu –“ khawatir Halsy melanjutkan ucapan.


“Ti-tidak, aku hanya ingin tertawa melihat kondisi saat ini. Astaga, beliau benar-benar bisa melihat segalanya. “ Aufero tertawa kecil menutup mata, membuat wajah Halsy semakin kebingungan, penasaran akan arti ucapannya.


“Aku hanya berbicara sendiri, Yang Mulia. Jadi perjanjian apa yang engkau tawarkan padaku,” senyum Aufero mengangkat kepalanya. Aura kebencian dan negatif lainnya menghilang, bagaikan hilang tak berbekas.


“Mungkin anda berpikir, ketika pertarungan puncak antara Wilfere dan Havoc terjadi, aku ingin dirimu datang memanfaatkan kesempatan itu. Untuk menghancurkan mereka berdua, menyelamatkan dunia ini. Dengan begitu balas dendam anda padanya pun bisa terbalaskan juga, akan tetapi ....” Halsy menutup mata, bergemetar seluruh tubuh.


“Aku tak ingin kau melakukannya, kumohon. Ak-aku tau ini permintaan yang sangat egois, mungkin juga kau takkan mau melakukan ini, tapi kumohon jangan biarkan mereka bertemu, memenuhi takdir mereka.”


“Katakan saja apa yang anda ingin saya lakukan, Yang Mulia.” Aufero kembali berucap masih dengan nada suara penuh kehormatan.


Halsy terdiam khawatir, kebingungan menatap Aufero. Berbagai pertanyaan menghinggap di dalam kepalanya. Sungguh penasaran akan sikap mahluk di depan yang begitu menghormatinya.


“Ray kau bisa masuk sekarang ....” Halsy berucap menatap pintu keluar. Sedikit menarik perhatian Aufero yang lekas melirik ke belakang.


Tak lama lelaki berambut kuning keemasan memasuki ruangan, sang raja dari kerajaan Skyline, Ray Moonlight Skyline.


Dia memasang wajah keseriusan, ikut membungkukkan tubuh, menghormati Halsy yang sedang berbaring.


“Aku akan memenuhi permintaanmu. Aku juga berpikir jika seperti ini terus dia hanya akan menderita.” Halsy menutup mata, memasang wajah kesedihan menatap Ray.


“Aku baik-baik saja. Lagipula dari awal, ini adalah usulanku demi menyelamatkan dirinya. Seharusnya aku melakukan ini dari awal.” Ray berucap, mengangkat tubuhnya, sedikit menurunkan pandangan.


“Jadi, Yang Mulia ...?” Aufero lekas mengangkat tubuhnya juga, menatap Halsy Aeldra dengan senyuman.


“Dengarkan aku, Aufero. Hanya kau satu-satunya yang bisa melakukan ini. Saat Lisienata atau Wilfere masih memiliki segel di punggungnya, saat dia masih belum mengetahui jati diri sebenarnya dari Dewa Havoc, Aku ingin engkau, dirimu membunuh dia secepat mungkin. Aku ingin engkau membebaskan penderitaannya.”


Aufero sedikit terkejut dengan permintaan Halsy. Tapi setelah itu dia lekas tersenyum, menganggukkan kepala dengan mantap. Berbalik, berjalan pergi, berucap dengan nada suara yang tegas.


“Akan kulaksanakan, Yang Mulia.”


Anak lelaki berambut putih itu berjalan melewati Lapis dan yang lainnya, sedikit membuat penasaran Lapis dan sekitarnya. Tak ada aura balas dendam, mengancam, dan negatif yang menyesakkan dada. Selain itu ujung rambunya juga berubah dari hitam menjadi kuning keemasan.


Setelah keluar dari kediaman Halsy Aeldra. Anak lelaki itu berubah menjadi mahluk legendaris yang dipuja oleh beberapa umat manusia. Burung yang dikabarkan tak pernah mati, selalu beregenerasi.


Tidak seperti sebelumnya, api yang berwarna hitam pekat. Tapi api yang dimiliki Aufero kini terlihat berwarna merah, kuning, dan jingga. Sungguh indah berkilauan, memberikan kedamain dan ketentraman hati pada mereka yang melihatnya.



***



Masih di tempat yang sama, kediaman Halsy Aeldra. Akan tetapi dengan waktu yang berbeda. Di puncak malam, yang menguasai kegelapan dunia.


Seorang gadis berjubah hitam berjalan memasuki bangunan vital di benua tersebut. Para penjaga yang dilewati gadis itu berjatuhan, pingsan ketakutan, bahkan sampai yang ada kejang-kejang.


Gadis berjubah hitam itu memasuki kamar Halsy, menghentikan langkahnya tepat di depan kasur sederhana.


Tak lama, dia mulai mengangkat tangan kanan ke arahnya. Berniat mengeluarkan sesuatu dari tangan kanannya itu. Cahaya berwarna ungu terlihat, cukup gelap, sedikit menakutkan bagi orang awam.


Akan tetapi.


“Akhirnya kau datang, Dewa Havoc.” Halsy berucap, menghentikan tindakannya. Mulai membuka mata, duduk di atas kasur, memberikan senyuman kecil pada lawan bicaranya.


Gadis itu terdiam, menundukkan kepala. Mulai berucap dengan tubuh yang gemetar.


“Ha-Halsy Aeldra, aku ingin membunuhmu sekarang. Hari ini, kau harus meninggalkan dunia. Apapun yang terjadi, kau harus tiada dari dunia ini.” Gadis itu berucap pelan, sedikit bergemetar mulutnya.


Halsy tersenyum bahagia, menutup matanya. Hal itu membuat sang gadis mengepalkan kedua tangannya amat erat, hingga bergemetar.


“Kau dulu sangat menggemaskan, berlari-larian ke sana kemari. Tertawa riang seperti Almeera.” Halsy berucap, sedikit tertawa kecil.


“Kau dan Angela mengkhianati kepercayaan berbagai mahluk di dunia ini. Kau bahkan berani mengambil nyawa kakak kandung dan kakak iparmu, mengambil nyawa orang-orang terdekatmu. Itu semua hanya demi melindungiku, hanya untukku kau rela melakukan hal itu.” Gadis itu menundukkan kepala, menyembunyikan wajah dari Halsy Aeldra.


“Aku melakukan hal yang benar menurutku. Meski kau ancaman dunia ini, meski kau adalah simbol malapetaka. Kau tetap berharga bagiku. Kuperjuangkan kehidupanmu, meski itu artinya aku harus memusuhi dunia. Karena bagaimanapun ..., kau tetaplah putriku.”


Gadis itu tetap diam, tak membantah ucapan Halsy. Tubuhnya hanya terus bergemetar, entah amarah atau tangisan.


Tak lama Halsy tertawa kecil hingga terlihat giginya. Tetesan butir air mata juga terlihat di masing-masing sisi matanya. Wanita yang dihormati mahluk berbagai dunia itu mulai berucap kembali.


“Sebelum kau mengambil nyawaku, bisakah kita mengobrol dulu, bercerita dulu? Selain itu ada beberapa hal penting yang ingin kusampaikan sebelum kematianku. Penting untukmu, penting untuk kembaranmu, dan penting untuk dunia ini.”


***

1 comment: