Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Wilayah
terluar, Benua Aeldra. Tepat di pantai paling timur, perbatasan benua sebrang.
Terlihat Aeldra dan Hardy sedang berdiri di atas batu karang. Jauh dari
pemukiman warga.
Aeldra
menatap lautan cukup tajam, sedangkan Hardy melirik ke belakang, berharap tak
ada siapapun di sana.
“Aeldra,
kau yakin jika mahluk itu akan datang ke sini.”
“Yaa
..., aku sudah memberikan salam padanya, sebentar lagi dia akan datang padaku,”
Aeldra sedikit memberikan senyuman.
Hardy
hanya berwajah khawatir melihat wajah Aeldra yang seperti itu. Dia lekas
mengamati ke belakangnya, memastikan tak ada orang lain untuk kedua kalinya.
“Tenanglah,
aku sudah memasang penghalang kuat di seluruh bibir pantai ini. Orang-orang
takkan bisa melihat kita.” Aeldra menutup mata perlahan.
“Tapi
tetap saja –“
“Dia
datang.” Aeldra berucap, memotong perkataan. Masih menutup matanya. Mulai
mengeluarkan kedua tangan dari dalam saku celana.
“Eh!?”
Hardy cukup terkejut, kembali menatap lautan yang terlihat damai. Tak ada
tanda-tanda siapapun yang mendekat. Hal itu membuat wajahnya kebingungan akan
perkataan Aeldra sebelumnya.
Dia
mulai membuka mulut, berniat bertanya akan maksud Aeldra. Akan tetapi.
Suara
tubrukan amat dahsyat terdengar, hingga Hardy mengangkat kedua tangan, berniat
melindungi diri. Teriakkan mahluk maha besar yang penuh kemurkaan juga
terdengar.
Burung
berwarna hitam pekat terlihat di hadapan mereka berdua. Seluruh tubuhnya
diselimuti api hitam yang berkobar hebat. Matanya bersinar merah layaknya darah
mendidih. Banyak luka tebasan disekujur tubuhnya.
Cakarnya
yang berwarna abu-abu kehitaman terlihat mengarah ke arah Aeldra. Tapi Aeldra
hanya mengangkat tangan kiri, menahan serangan sambil membalas tatapan tajam
musuhnya.
Hardy
selangkah berjalan mundur, cukup ketakutan melihat aura kesakitan yang
dikeluarkan mahluk yang seperti burung garuda itu. Selain itu, ukurannya bukan
main-main. Benar-benar terlihat sangat besar, kuat, dan perkasa.
“Lebih dari ratusan ribu tahun aku menunggu
engkau bangkit, Wilfere ....” Mahluk itu menggeram, suaranya menggema
menggentarkan hati siapapun, termasuk Hardy sekalipun.
Hardy
menelan ludah, merinding seluruh permukaan kulit. Mulai bergumam gagap dalam
batinnya.
“Fa-familiar terkuat yang tak pernah tunduk
pada siapapun, burung legenda pemakan api neraka ....”
“Aufero.” Wanita dalam tubuh Hardy berucap, seolah melanjutkan ucapan
Hardy. Wanita yang menjadi keturunan Raja Iblis Gehena, Elenka.
Aeldra
menutup mata perlahan, lekas membuka matanya kembali. Pupil matanya berubah
seperti ular, iris bola matanya menjadi kuning keemasan. Dia berwajah datar,
berucap sambil membalas tatapan mahluk di depannya.
“Lama
tidak bertemu, Feniks.”
Api
hitam di sekitar burung itu semakin berkobar hebat, matanya semakin tajam dan
menyala menatap Aeldra. Mahluk itu benar-benar dipenuhi kemurkaan amat dalam.
Pernyataan
Aeldra itu sontak membuat wajah Hardy terkejut. Membuat Elenka bergemetar,
bertanya akan maksud pernyataan Aeldra pada Hardy. Tapi Hardy tak tau
maksudnya, hanya diam seribu bahasa, menggelengkan kepala.
“Berani sekali kau memanggilku seperti itu
..., aku yang sekarang berbeda. Kau pikir siapa yang membuatku seperti ini!?
Kalian lah, para mahluk bodoh yang berperang demi memperjuangkan kebenaran
masing-masing, hingga mengorbankan beliau yang kupuja.
Atas nama beliau yang kujunjung tinggi
kehormatannya. Aku bersumpah akan membunuh kau dan kembaranmu, menghancurkan
Charlotte dan Hanafi ....”
Mendengar pernyataan sang burung
legenda, Hardy lekas menutup mata, berpikir. Bertanya pada wanita yang berdiam
diri dalam tubuhnya. “Mungkinkah Hanafi
ayah dari Selenia?”
“Ak-aku
tidak tau. Tapi kupikir itu bukan dia,”
khawatir Elenka menjawab pertanyaan.
“Kau benar-benar terperangkap oleh
masa lalu Feniks. Kemana api indahmu yang selalu memberikan kehidupan –“
Aeldra menghentikan perkataan,
terpotong oleh teriakan– hembusan api hitam yang mengerikan. Mahluk bernama
Aufero itu menghembuskan api hitam amat kuat ke arah Aeldra dan Hardy. Amat
sangat besar, hingga langit menggelap bagaikan malam hari.
Aeldra dan Hardy melompat mundur,
menghindari serangan mahluk berbentuk burung itu. Benteng sihir dan transparan
terlihat membentang di setiap sisi pantai, menahan serangan sang burung yang
murka. Terbungkus hingga mengecil, meledak dalam kurungan benteng sihir yang amat
kuat. Itu milik Aeldra.
“Dengarkan aku dulu, Burung Bodoh!”
geram Aeldra kesal, mengangkat kedua
tangan, sedikit kelelahan. Berniat menenangkan mahluk besar di hadapannya.
“Tak
ada yang perlu kita bicarakan, Wilfere. Kuyakin Demigod Halsey juga
menginginkan kematianmu. Memang seharusnya Beliau membunuhmu waktu itu,
menghancurkan kau dan kembaranmu ....” Geram Aufero, seluruh tubuhnya mulai
menyusut. Wujudnya berubah bentuk menjadi anak berumur 7 tahun. Bermata merah
bercahaya, berambut putih dengan ujung hitam pekat.
“Kau takkan bisa lari lagi, tebus
dosa-dosamu di masa lampau, Sang Naga Surga. Biarkan aku membalaskan dendam
kematian tuanku,” anak itu berjalan di atas air, dengan air mata menetes,
mengalir melewati pipinya yang putih pucat.
“Ae-Aeldra, dia berubah jadi
anak-anak –“Hardy berwajah khawatir, melirik Aufero yang menjadi anak-anak.
Akan tetapi perkataannya tersanggahkan oleh Aeldra.
“Aku ingin perjanjian, Feniks!
Perjanjian ini kuyakin dapat membantumu untuk membalaskan dendam kematiannya!”
teriak khawatir Aeldra.
“Perjanjian, katamu!?” geram Aufero,
menghentikan langkah. Semakin mengkerutkan dahinya ke bawah.
“Aku tak yakin kau bisa membalaskan
dendam pada mereka berdua. Tapi pada kami, kau bisa. Aku akan membantumu,”
senyum kecil Aeldra, dengan kedua matanya yang mulai bercahaya keemasan.
Aufero menutup mata perlahan,
menundukkan kepala, terlihat berpikir. Tak lama dia kembali berubah menjadi
burung raksasa yang dipenuhi api hitam. Mulai berucap hingga menggema di
sekitarnya.
“Sejak
tadi aku merasakannya. Kau yang saat ini berbeda, bukan Wilfere yang kukenal. Kau
memiliki aroma seperti dirinya, tapi kau bukan dirinya.
Kuyakin ini pasti ada maksudnya. Sekarang katakan
lebih jelas maksudmu, Wilfere ....”
“Sayangnya bukan aku yang akan
mengatakan lebih jelas semuanya. Ubah wujudmu menjadi manusia, akan kuantarkan
engkau padanya.” Aeldra yang masih memberikan senyuman kecil, mulai menutup
matanya.
Tak lama Auefero kembali berubah ke
wujud manusia. Seperti anak kecil berumur 7 tahun. Tatapan tajam mata merahnya
tetap ia tunjukan pada Aeldra.
Aeldra mulai berbalik, berucap
sambil membuka matanya.” Aku hanya sebagai perantara di sini, mempertemukan kau
dan dirinya.”
“Sungguh amat sangat langka kau,
sang dewa agung mau menuruti perintah orang lain? Siapa sebenarnya orang yang
bisa memerintahmu seperti ini? Seberapa kuatkah dia?” Aufero tertawa kecil,
terlihat seperti ejekan.
Aeldra membalas tertawaanya, melirik
Aufero dengan senyuman lebar. “Kau juga akan mengetahuinya, seberapa kuatnya
dia. Bahkan membuat seluruh bulumu itu bergemetar ketakutan.”
“Hah!? Aku ketakutan, katamu?”
Aufero menggeram, terlihat kesal.
***
Di
tempat lain, kediaman Sang penguasa Benua Aeldra. Sang Demigod yang disegani
oleh berbagai kalangan, Halsy Aeldra.
Halsy
terlihat masih duduk, menyandarkan tubuh di atas ranjang. Seluruh wajahnya
pucat, kantung mata kelelahan benar-benar terlihat dengan jelas. Dia sudah
mencapai batas kehidupannya.
Ada
Putri kecilnya di samping, Almeera. Dia menatap sang ibu dengan mata
berkaca-kaca, menyentuh tangan kanannya sangat erat. Benar-benar takut
kehilangannya.
Lapis
yang berdiri di depannya tetap berwajah tegas, seolah menahan ekspresi
kesedihan sekuat mungkin di hadapan orang yang paling ia hormatinya itu.
Selain
Lapis, terlihat Rina dan Reeslevia juga yang berdiri di masing-masing samping
Lapis. Keduanya berwajah khawatir menatap Halsy.
Halsy
mulai memberikan senyuman kecil pada Lapis, berisi kasih sayang yang luar
biasa. Membuat Lapis tak kuasa menahan air mata. Lekas menundukkan kepala,
menangis kecil melihat kondisi ibunya yang sudah di ambang batas kehidupan.
“Rina,
Reeslevia, aku ingin mengajukan permintaan terakhirku– uhuk uhuk.” Halsy mulai
menatap Rina dan Reeslevia. Berisi keseriusan. Sedikit batuk di ucapan
terakhirnya, membuat sekitarnya berwajah semakin cemas.
“De-dengar,
kita tidak punya banyak waktu. Aku ingin kalian berdua melindungi Lapis. Apapun
yang terjadi.
Aku
juga berbicara pada kalian, Para Malaikat Agung.” Halsy berucap menatap Rina dan Reeslevia
dengan sebelah mata.
Sesaat
Rina dan Reeslevia terkejut, melirik penasaran Lapis yang juga sama
terkejutnya. Tapi setelah itu keduanya menganggukan kepala, menjawab permintaan
dengan jelas.”Ya, Yang Mulia.”
Setelah
itu, Halsy lekas melirik Almeera, mengusap pelan kepalanya. Memberikan senyuman
kecil melihat Almeera yang terus menangis menempelkan dahi dengan tangan Halsy.
Dia terus memegang tangan ibunya dengan kedua tangan yang bergemetar.
“Almeera,
boleh Mamah minta sesuatu sama Almeera?”
“Em
em,” Almeera menganggukkan kepala terlihat menggemaskan, terus menangis hingga
membasahi tangan ibunya.
“Almeera
yang saat ini sudah sangat kuat. Melebihi kedua kakakmu, melebihi papahmu.
Mamah tahu, Almeera hanya masih belum menyadarinya. Maka dari itu, tolong
lindungi Kak Lapis yah.”
“Emm!!”
Almeera kembali menganggukkan kepalanya kembali.
Lapis
berjalan selangkah maju mendekati ibunya, bertanya penasaran akan maksud sang
ibu sebelumnya.
Halsy
hanya memberikan senyuman kecil, menjawab pertanyaan putrinya.
“Kau
tau kenapa aku memberimu nama Lapis?”
“Ti-tidak.
Bu-bukankah jika kutanya masalah ini, ibu hanya selalu tertawa, berujung tak
menjawab pertanyaanku.” Lapis berwajah cemas, sedikit mengalihkan pandangan.
“Jauh
sebelum aku memiliki kau, Hardy, dan Almeera. Jauh sebelum aku menikah dengan
ayahmu. Jauh sebelum aku menghentikan Elenka dan adiknya, aku bertemu
dengannya.
Lapis
adalah nama dari seseorang yang menyelamatkan nyawaku. Hingga orang tersebut
meninggal mengorbankan nyawa untukku.”
“Eh?”
Lapis cukup terkejut.
“Berkat
dirinya, aku tersadar. Ketika engkau terlahir ke dunia ini, aku semakin
menyadarinya. Akan peran kita, tugas kita. Dan akan apa yang akan terjadi pada
dunia ini selanjutnya ....”
“Aku
tak mengerti, Ibu.” Lapis menatap Halsy cemas, kedua matanya sedikit
berkaca-kaca, tak kuasa menahan beban di mata. Sedangkan Halsy masih memberikan
senyuman kecilnya, mulai melanjutkan kembali ucapannya.
“Tak
apa jika kau masih tak mengerti. Tapi dengarkan aku, Wahai Putriku. Di masa
depan, di masa yang akan datang setelah kepergianku. Benua in– tidak, dunia ini
akan mengalami cobaan terberat untuk yang terakhir
kalinya.
Mahluk
dari berbagai dunia akan datang padamu, akan mencari dirimu yang menjadi kunci
dunia ini. Ku-kumohon agar engkau bisa bertahan, kumohon agar engkau tetap terus
hidup. Sampai engkau memenuhi takdirmu nanti.” Halsy menutup mata, hampir
menangis.
“Ibu ...?” Lapis berwajah ketakutan menatap Halsy yang seperti itu.
“Maafkan
kami yang saat itu tak bisa ikut melindungimu. Maafkan kami yang tak bisa bersamamu
ketika hal tersulit itu datang. Apapun yang terjadi, aku dan Angela akan selalu
melindungimu, mendoakan keselamatan kalian wahai anak-anakku!” Halsy merangkul Almeera,
menangis menatap Lapis.
Setelah
mendengar ucapan dari Sang Demigod, suasana sekitar lekas berubah haru.
Terlihat raut wajah kekhawatiran dari semua orang di sana.
Reeslevia
dan Rina benar-benar memberikan tatapan penasaran pada Lapis. Mereka amat
penasaran, akan apa arti dari yang sudah diucapkan oleh Halsy.
Tapi
suasana haru itu terpecahkan dengan kedatangan anak kecil berumur 7 tahun. Dia
memasang wajah arogan, sedikit mengkerutkan dahi ke bawah. Kehadirannya sontak
membuat Lapis dan yang lainnya terkejut. Berbalik, melihatnya ke belakang.
Itu
adalah Aufero atau Feniks. Mahluk yang sebelumnya hampir melakukan pertarungan
dengan Aeldra. Salah satu familiar terkuat yang dikabarkan tak pernah tunduk
pada siapapun
“Baik
ceritakan lebih jelas maksud dari mahluk itu ...,” jelasnya, akan tetapi nada
suaranya semakin mengecil. Anak lelaki itu melebarkan mata, terkejut ketakutan
menatap Lapis dan Halsy. Khususnya lambang di dahi mereka.
Seluruh
tubuhnya merinding, tak kuasa menyembunyikan ketakutan. Mahluk mengerikan,
berumur ratusan ribuan tahun itu benar-benar ketakutan meantap Halsy dan Lapis.
“Siapa
kalian ...!?” Aufero bertanya, nadanya cukup dalam. Berisi kekhawatiran cukup
dalam. Dia berjalan selangkah mundur, seolah tak mempercayai apa yang
dilihatnya.
“Lapis,
Reeslevia, Rina, dan Almeera ..., keluarlah,” Halsy menutup mata, memasang
wajah keseriusan amat dalam. Sontak, Almeera terkejut, berteriak tak ingin
meninggalkan sang ibu dengan anak lelaki yang memiliki aura berbahaya itu.
“Tak
apa, tinggalkan kami berdua. Aku baik-baik saja.” Halsy menjawab, mulai membuka
mata, menatap Aufero. Memberikan senyuman kecil juga padanya.
Aufero
berjalan selangkah mundur untuk kedua kalinya, air mata menetes, ketakutan
semakin hebat menjalar seluruh tubuh. Segala kilas balik ingatan dalam
kepalanya terulang, sangat cepat. Membuat dia menundukkan kepala, menutup mata
serapat-rapatnya. Bergumam dalam hati kecilnya. “Jadi begitu rupanya, jadi beliau lah orangnya ....”
Lapis
dan yang lainnya mulai meninggalkan ruangan. Almeera sempat memberontak, tak
ingin berpisah dengan ibunya. Tapi dengan bujukan sang kakak dan ibunya, dia
akhirnya menurut.
Kini
hanya Halsy dan Aufero di dalam ruangan. Halsy mulai mengubah ekspresi
wajahnya, terlihat khawatir. Dia sadar diri, jika mahluk yang sedang berdiri di
depannya amat sangat kuat. Hampir menyamai kekuatan Dewa Wilfere atau Havoc.
“Maaf
sudah merepotkanmu untuk datang ke sini, Tuan Aufero. Jika saja kondisiku tak
seperti ini, aku pasti datang langsung menemuimu sendiri ....” Halsy
mengecilkan suara, mulai memberikan tatapan penasaran pada Aufero yang
tertunduk, terlihat sangat menghormatinya.
“Ap-apa
aku sudah melukai perasaanmu –“ khawatir Halsy melanjutkan ucapan.
“Ti-tidak,
aku hanya ingin tertawa melihat kondisi saat ini. Astaga, beliau benar-benar bisa melihat segalanya. “ Aufero tertawa kecil
menutup mata, membuat wajah Halsy semakin kebingungan, penasaran akan arti
ucapannya.
“Aku
hanya berbicara sendiri, Yang Mulia. Jadi perjanjian apa yang engkau tawarkan
padaku,” senyum Aufero mengangkat kepalanya. Aura kebencian dan negatif lainnya
menghilang, bagaikan hilang tak berbekas.
“Mungkin
anda berpikir, ketika pertarungan puncak antara Wilfere dan Havoc terjadi, aku
ingin dirimu datang memanfaatkan kesempatan itu. Untuk menghancurkan mereka
berdua, menyelamatkan dunia ini. Dengan begitu balas dendam anda padanya pun bisa
terbalaskan juga, akan tetapi ....” Halsy menutup mata, bergemetar seluruh
tubuh.
“Aku
tak ingin kau melakukannya, kumohon. Ak-aku tau ini permintaan yang sangat
egois, mungkin juga kau takkan mau melakukan ini, tapi kumohon jangan biarkan
mereka bertemu, memenuhi takdir mereka.”
“Katakan
saja apa yang anda ingin saya lakukan, Yang Mulia.” Aufero kembali berucap
masih dengan nada suara penuh kehormatan.
Halsy
terdiam khawatir, kebingungan menatap Aufero. Berbagai pertanyaan menghinggap
di dalam kepalanya. Sungguh penasaran akan sikap mahluk di depan yang begitu
menghormatinya.
“Ray
kau bisa masuk sekarang ....” Halsy berucap menatap pintu keluar. Sedikit
menarik perhatian Aufero yang lekas melirik ke belakang.
Tak
lama lelaki berambut kuning keemasan memasuki ruangan, sang raja dari kerajaan
Skyline, Ray Moonlight Skyline.
Dia
memasang wajah keseriusan, ikut membungkukkan tubuh, menghormati Halsy yang
sedang berbaring.
“Aku
akan memenuhi permintaanmu. Aku juga berpikir jika seperti ini terus dia hanya
akan menderita.” Halsy menutup mata, memasang wajah kesedihan menatap Ray.
“Aku
baik-baik saja. Lagipula dari awal, ini adalah usulanku demi menyelamatkan
dirinya. Seharusnya aku melakukan ini dari awal.” Ray berucap, mengangkat
tubuhnya, sedikit menurunkan pandangan.
“Jadi,
Yang Mulia ...?” Aufero lekas mengangkat tubuhnya juga, menatap Halsy Aeldra
dengan senyuman.
“Dengarkan
aku, Aufero. Hanya kau satu-satunya yang bisa melakukan ini. Saat Lisienata
atau Wilfere masih memiliki segel di punggungnya, saat dia masih belum
mengetahui jati diri sebenarnya dari Dewa Havoc, Aku ingin engkau, dirimu membunuh dia secepat mungkin. Aku ingin
engkau membebaskan penderitaannya.”
Aufero
sedikit terkejut dengan permintaan Halsy. Tapi setelah itu dia lekas tersenyum,
menganggukkan kepala dengan mantap. Berbalik, berjalan pergi, berucap dengan
nada suara yang tegas.
“Akan
kulaksanakan, Yang Mulia.”
Anak
lelaki berambut putih itu berjalan melewati Lapis dan yang lainnya, sedikit
membuat penasaran Lapis dan sekitarnya. Tak ada aura balas dendam, mengancam,
dan negatif yang menyesakkan dada. Selain itu ujung rambunya juga berubah dari
hitam menjadi kuning keemasan.
Setelah
keluar dari kediaman Halsy Aeldra. Anak lelaki itu berubah menjadi mahluk
legendaris yang dipuja oleh beberapa umat manusia. Burung yang dikabarkan tak
pernah mati, selalu beregenerasi.
Tidak
seperti sebelumnya, api yang berwarna hitam pekat. Tapi api yang dimiliki
Aufero kini terlihat berwarna merah, kuning, dan jingga. Sungguh indah
berkilauan, memberikan kedamain dan ketentraman hati pada mereka yang
melihatnya.
***
Masih
di tempat yang sama, kediaman Halsy Aeldra. Akan tetapi dengan waktu yang
berbeda. Di puncak malam, yang menguasai kegelapan dunia.
Seorang
gadis berjubah hitam berjalan memasuki bangunan vital di benua tersebut. Para
penjaga yang dilewati gadis itu berjatuhan, pingsan ketakutan, bahkan sampai
yang ada kejang-kejang.
Gadis
berjubah hitam itu memasuki kamar Halsy, menghentikan langkahnya tepat di depan
kasur sederhana.
Tak
lama, dia mulai mengangkat tangan kanan ke arahnya. Berniat mengeluarkan
sesuatu dari tangan kanannya itu. Cahaya berwarna ungu terlihat, cukup gelap,
sedikit menakutkan bagi orang awam.
Akan
tetapi.
“Akhirnya
kau datang, Dewa Havoc.” Halsy berucap, menghentikan tindakannya. Mulai membuka
mata, duduk di atas kasur, memberikan senyuman kecil pada lawan bicaranya.
Gadis
itu terdiam, menundukkan kepala. Mulai berucap dengan tubuh yang gemetar.
“Ha-Halsy
Aeldra, aku ingin membunuhmu sekarang. Hari ini, kau harus meninggalkan dunia.
Apapun yang terjadi, kau harus tiada dari dunia ini.” Gadis itu berucap pelan,
sedikit bergemetar mulutnya.
Halsy
tersenyum bahagia, menutup matanya. Hal itu membuat sang gadis mengepalkan
kedua tangannya amat erat, hingga bergemetar.
“Kau
dulu sangat menggemaskan, berlari-larian ke sana kemari. Tertawa riang seperti
Almeera.” Halsy berucap, sedikit tertawa kecil.
“Kau
dan Angela mengkhianati kepercayaan berbagai mahluk di dunia ini. Kau
bahkan berani mengambil nyawa kakak kandung dan kakak iparmu, mengambil nyawa
orang-orang terdekatmu. Itu semua hanya demi melindungiku, hanya untukku kau
rela melakukan hal itu.” Gadis itu menundukkan kepala, menyembunyikan wajah
dari Halsy Aeldra.
“Aku
melakukan hal yang benar menurutku. Meski kau ancaman dunia ini, meski kau
adalah simbol malapetaka. Kau tetap berharga bagiku. Kuperjuangkan kehidupanmu,
meski itu artinya aku harus memusuhi dunia. Karena bagaimanapun ..., kau tetaplah putriku.”
Gadis
itu tetap diam, tak membantah ucapan Halsy. Tubuhnya hanya terus bergemetar,
entah amarah atau tangisan.
Tak
lama Halsy tertawa kecil hingga terlihat giginya. Tetesan butir air mata juga
terlihat di masing-masing sisi matanya. Wanita yang dihormati mahluk berbagai
dunia itu mulai berucap kembali.
“Sebelum
kau mengambil nyawaku, bisakah kita mengobrol dulu, bercerita dulu? Selain itu
ada beberapa hal penting yang ingin kusampaikan sebelum kematianku. Penting
untukmu, penting untuk kembaranmu, dan penting untuk dunia ini.”
***
Makin mantap aja ceritanya.
ReplyDeleteTks