Thursday, 17 May 2018

Chapter 2


Tittle: Exitium

Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy

Author: r lullaby

Status: Ongoing


Chapter 2
Sadar

Hanafi berdiri di dekat pohon muda dengan tinggi yang tidak lebih dari lima meter.

Ekspresi wajahnya terlihat menunjukan kekhawatiran dan penasaran sambil menatap sekitar yang dipenuhi pepohonan dan semak belukar. Untuk alasan yang tak diketahui dia malah sampai di hutan yang tak dikenal.

Ba-baiklah, mari ingat-ingat apa yang sudah terjadi hingga aku sampai di tempat ini ...?  batinnya menghela nafas sambil menyentuh kepala dengan tangan kanan.

“Aww!” lirihnya kesakitan karena tak sengaja menyentuh bekas luka akibat pukulan di kepala. Tapi Hanafi tak ingat bagaimana bekas luka itu ia dapat, dan dia pun hanya memasang wajah kebingungan sambil melanjutkan kata hatinya.

“Malam itu aku pulang, lalu bertemu dengan lelaki cukup tua dan– Ah sial .... Aku tidak bisa mengingat seterusnya. Apa yang sudah terjadi padaku hingga sampai di hutan seperti ini ....

“GROAARR!!”

Isi pikiran lelaki berambut hitam itu pecah setelah mendengar auman buas suara hewan tak dikenal. Kini wajahnya terlihat semakin was-was dengan kedua tangan yang gemetar.

Perlahan, Hanafi mulai melangkahkan kakinya yang cukup kaku karena auman hewan ganas di belakangnya.

“Be-beruang? Harimau? Ay-ayolah yang benar saja! Kenapa aku harus mengalami ini semua!?”

Setiap Hanafi melewati dedaunan atau pepohonan, dia selalu memberikan tanda agar dirinya tidak tersesat. Tak mengejutkan dari satu-satunya siswa yang mendapatkan beasiswa di sekolah ternama di kotanya.

“Pertama-tama aku harus mencari seseorang dulu. Ya, itu yang terpenting ….“

Gruggk~

Suara perutnya yang lapar malah memotong perkataan. Membuat dia kembali menghela nafas dan menutup mata beberapa saat sambil berucap.

“.... dan juga makanan, tentu saja.”

Dengan ekspresi wajah yang masih dihiasi kecemasan, Hanafi berniat mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk memenuhi perut kosongnya.

Tapi yang terus dilihat lelaki bermata coklat itu hanyalah dedaunan hijau dan kayu berwarna coklat kehitaman. Dia bukan hewan herbivora yang senang memakan dedaunan hijau, ataupun serangga mirip rayap yang suka menggerogoti kayu kokoh.

Dia hanya terus melangkahkan kakinya sambil memperhatikan sekitar. Berharap menemukan sesuatu yang bisa dia makan.
Tapi hasil tak diharapkanlah yang datang padanya.

Sosok harimau berwarna kuning layaknya kulit pisang terlihat berdiri sambil memberikan tatapan tajam padanya.

Tak ada waktu bagi Hanafi untuk berpikir akan keanehan kulit harimau yang berwarna kuning cerah karena harimau itu yang langsung melompat dan berniat menerkam dirinya.

Tapi untuk beberapa alasan yang tak diketahui, Hanafi menghindari harimau tersebut dengan cukup mudah. Refleksnya amat sangat baik menghindari gerakan harimau itu yang terlihat lambat untuknya.

Hanafi menundukkan kepala dan tubuh untuk menghindari terkaman harimau. Kini, harimau ganas itu tepat berdiri di belakang tubuhnya. Benar-benar sangat dekat dengan punggungnya yang membawa tas.

Hanafi yang tau akan hal itu lekas berlari sambil melewati semak-semak yang cukup banyak. Ekspresi ketakutan menghiasi wajahnya. Teriakan lantang mulai ia keluarkan sambil terus menggerakkan kakinya dengan sangat cepat.

“Ya Tuhan!!”

“GROAARR!!” Harimau itu mengaum lalu mulai mengerjar Hanafi dengan amat sangat cepat.

“Hii ...!!” pekik Hanafi dengan wajah semakin membiru ketakutan sambil melirik harimau yang masih mengejarnya.

Dia terus berlari amat kencang dan berusaha menghindari kejaran harimau berkulit aneh. Buluk kuduknya benar-benar berdiri. Berbagai pikiran negatif hinggap di kepalanya. Bahkan dia sampai menutup matanya rapat-rapat karena berpikir jika ini adalah akhir hidupnya.

Tapi tanpa disari, kecepatan lari hanafi berubah tidak normal. Dan tanpa ia sadari juga, lelaki itu sudah meninggalkan hutan dan memasuki padang rumput yang amat luas.

Lelaki bermata coklat itu terus belari beberapa saat sebelum dia membuka mata, dan menatap penasaran sekitar. Mulai menurunkan kecepatan secara perlahan. Lalu berjalan pelan sambil merasakan angin lembut yang menerpa tubuhnya.

Ketakutan dan kekhawatirannya seakan sirna oleh sentuhan angin lembut yang memeluk dirinya. Perasaan damai langsung terasa hingga membuat Hanafi tersenyum sambil menghirup udara yang terasa amat segar.

“Kupikir ..., ini tidak terlalu buruk. Udara di tempat ini terasa menyejukkan hati. Sangat berbeda dengan perkotaan.”
Berpikir jika sudah terlepas dari kejaran harimau aneh, Hanafi pun mulai duduk di atas rerumputan hijau. Lekas berbaring sambil menatap langit yang berwarna biru muda.

Secara perlahan dia mulai memejamkan mata kembali. Merasakan pelukan hangat dari sinar mentari, dan teringat akan ujian besok lusa di sekolah.

Sontak dia langsung terbangun. Duduk sambil memasang wajah khawatir ketakutan. Lekas memegang kepala dengan kedua tangan sambil berteriak menyadarkan diri.

“Tidak tidak! Tidak terlalu buruk apanya?! Ini benar-benar aneh!! Kenapa aku bisa berada di tempat seperti ini!”

Hanafi berdiri sambil membersihkan pakaiannya yang sedikit kotor. Lekas memegang kedua selendang ranselnya cukup erat sambil kembali berbicara pada dirinya sendiri.

“Untuk saat ini aku harus menemukan seseorang dulu. Lalu meminta makanan padanya. Kembali ke hutan ..., terlalu berbahaya,” risau Hanafi sedikit menoleh ke arah hutan di belakangnya beberapa saat.

Dia lekas berjalan kembali dengan ekspresi kekhawatiran yang masih menempel di wajah. Tak heran setelah melihat luasnya padang rumput. Sebagian padang rumput itu dikeliling oleh hutan.

Sisanya hanyalah padang rumput yang membentang luas ke utara hingga tak terlihat ujungnya.

“Ap-apa aku bisa menemukan seseorang di sini ...?” datarnya sambil memejamkan mata lalu terus berjalan ke depan.

Hembusan angin kembali datang seolah menghibur Hanafi yang sedang terpuruk.

“Aku tidak akan terhibur lagi. Aku lapar dan tak tau dimana aku ini sekarang?” senyumnya sambil melirik angin yang melewati tubuhnya.

Kalau begitu teruslah berjalan sampai kau menemukan jalan setapak untuk kereta kuda. Tunggulah di jalan kereta itu, maka kau akan menemui seseorang sekaligus takdirmu,”  suara wanita muda seketika terdengar setelah perkataan terakhir Hanafi. Suara itu berasal dari angin yang sebelumnya diajak bicara olehnya.

“....” Hanafi hanya terdiam dengan mulut yang sedikit menganga. Wajahnya kembali membiru memperlihatkan ketakutan.

“Si-siapa?” tanya Hanafi cukup gugup melirik sekitar. Tapi, tak terdengar kembali suara wanita muda itu.

Hanafi lekas berjalan cepat dengan bulu kuduk di tubuhnya yang mulai berdiri. Kedua tangannya bergemetar sambil melirik sekitarnya cukup ketakutan.

Ter-terbaik, sekarang ada sesosok hantu yang mengikutiku ...,” batinnya sambil terus berjalan cukup cepat memasuki padang rumput lebih dalam.

Setelah cukup lama lelaki SMA itu berjalan, sebuah jalan kereta kuda yang cukup rapih terlihat. Hanafi lekas berlari mendekati jalan tersebut. Lalu mulai jongkok ketika sampai di dekat jalan, dan langsung memperhatikan jalan itu dengan seksama.

Seperti yang dikatakan oleh wanita hantu itu. Ada jalan untuk kereta kuda di sini.”

Karena terlalu fokus mengamati, Hanafi jadi lupa sekitar. Tanpa ia sadar, kereta kuda mewah di belakangnya terlihat melesat cepat hampir menabraknya. Tersadar, Hanafi lekas berteriak ketakutan memberikan peringatan pada kereta kuda yang bergerak cepat.

DRUGGKK!!

Seperti itulah bunyi dari kereta kuda yang berhenti secara mendadak. Benturannya cukup keras hingga terdengar teriakan gadis dari dalam kereta.

Dalam sekejap muncul para lelaki gagah, lengkap dengan seragam prajurit dari belakang kereta kuda. Wajah mereka yang memperlihatkan kecemasan mulai berteriak pada isi kereta kuda yang cukup bergoncang beberapa saat itu.

“Para Tuan Putri, kalian tak apa-apa!?”

“Putri Lapis, Putri Bellarista, apa kalian terluka?!”

Hanafi terdiam beberapa saat setelah melihat sikap orang dewasa yang seperti itu.

Mereka terlihat ketakutan sambil membungkuk hormat dihadapan kereta kuda.

“Kenapa kau hentikan keretanya!?” kesal seorang gadis mulai turun dari kereta sambil memberikan tatapan tajam pada kusir kuda yang menundukkan kepala memohon ampunan. Gadis itu juga terlihat memegang kepalanya yang memerah. Mungkin terbentur karena goncangan cukup keras sebelumnya.

“Su-sungguh, maafkan hamba Putri Lapis. Hamba terkejut ketika mendengar teriakan lelaki itu,” kusir kuda turun dari kereta, lekas bersujud memohon ampunan.

Waaahh ..., apa saat ini aku sedang melihat penampilan sejarah abad pertengahan?” batin Hanafi menatap datar mereka. Merasa aneh dengan apa yang dia saksikan saat ini.

“Lelaki itu?” kesal Lapis melirik Hanafi cukup tajam. Kini terlihat rupanya yang amat sangat jelas oleh Hanafi.
Rambutnya panjang berwarna putih merata layaknya salju yang mendinginkan kemarahan. Matanya berwarna biru muda seperti langit cerah yang menenangkan hati siapapun yang melihatnya.

Lapis memakai pakaian yang berbeda dari yang lainnya. Seperti gaun seorang penyihir yang berwarna putih dengan beberapa corak mawar biru di ujungnya.

“Ha-Hallo ...,” senyum khawatir Hanafi memejamkan mata dan mengangkat tangan kanan ke atas.

“Siapa kau?” tanya Lapis menatap tajam Hanafi secara menyeluruh. Pandangannya terhenti ketika melihat jaket Hanafi yang terlihat usang dan menyedihkan.

“Aku–“

“Tak perlu kau jawab, aku sudah tau,” sela gadis itu dengan nada malas sambil memalingkan wajah. Sikapnya benar-benar terlihat menganggap rendah lelaki yang beberapa saat lalu menyapanya cukup ramah.

Sang putri berambut putih mulai berbalik, berjalan menjauhi Hanafi sambil melirik sinis kusir yang masih bersujud padanya.

“Jangan hentikan kereta hanya karena nyawa penduduk menyedihkan seperti dia,” kesal Lapis  sambil duduk di kursi yang sudah disediakan oleh para prajurit.

Perlahan, Lapis menutup mata sesaat sebelum dia memberikan tatapan Hanafi lebih rendah.

“Jatuhi dia hukuman mati karena sudah berani membuat keningku terluka,” ucap Lapis dengan senyuman penuh arogan yang tersungging di wajah.

“Eh ...,” Hanafi sontak mengeluarkan ucapan secara tak sadar. Dia bahkan masih menunjukkan senyuman kecemasan dan kebingungan. Terkejut mendengar perintah dari sang putri yang bernama Lapis.

“....”

Suasana hening langsung datang. Hembusan angin lembut kembali menerpa tubuh mereka. Pandangan kedua insan itu saling bertemu. Lapis masih memberikan tatapan merendahkannya pada Hanafi dengan bola mata indahnya yang berwarna seperti batu lapis lazuli.

Rambut lurus yang terlihat lembut mulai melayang-layang oleh hembusan angin sekitar. Pancaran sinar matahari seolah menyorot dia yang begitu anggun dan rupawan.

Bersamaan dengan itu, Hanafi mulai melebarkan kedua matanya menatap Lapis. Kecantikan dari wajahnya yang amat rupawan mulai membuat detak jantungnga berdetak lebih cepat.

Bibir Lapis yang alami dan enak dipandang bagaikan buah ceri masak yang menggoda membuat suhu tubuh Hanafi sedikit meningkat. Kulit Lapis yang berwarna putih juga membuat kedua tangan Hanafi bergemetar.

Apa dia manusia ...!?” hanya kalimat itu yang ada di dalam pikiran Hanafi. Dia masih belum bisa mengalihkan pandangan dari wajah rupawan gadis tersebut.

Setelah angin lembut melewati mereka. Wajah Lapis mulai berubah menjadi wajah kekecewan melirik orang-orang di sekitar. Dia mengalihkan pandangannya dari Hanafi secara penuh, lekas menatap tajam para prajurit yang berada di samping kanan dan kirinya.

“Kenapa kalian diam saja?! Apa kalian tidak mau menuruti perintahku lagi?!” tanya Lapis dengan nada suara yang mengancam.

“Ma-maaf, Putri! Akan segera kami laksanakan!” khawatir salah satu prajurit mengeluarkan pedang dari sarung pedangnya. Wajahnya terlihat was-was sambil berjalan mendekati Hanafi.

Hanafi lekas berdiri dengan wajah cukup ketakutan, mengangkat kedua tangan ke atas, dan mulai berteriak cukup ketakutan.

“Tu-tunggu dulu! Apa kesalahanku hingga aku harus memberikan nyawaku?!”

Apa kesalahanku, katamu ...!?” Putri Lapis terlihat marah dan mengkerutkan dahinya ke bawah. Gadis rupawan itu mulai berdiri dan berjalan mendekati Hanafi. Lekas memberikan tatapan tajam padanya sambil menunjuk tanah dengan tangan kanan.

“Bersujudlah dihadapanku, Budak! Apa otakmu itu sudah dimakan para monster hingga kau amat bodoh seperti ini?!”

Bu-budak!?”  batin Hanafi yang tersinggung mulai membalas tatapan Lapis cukup tajam.

Lapis yang mendapatkan tatapan dari Hanafi seketika semakin marah. Dia lekas menarik kembali tangan kanannya yang sudah ia kepalkan.

Aura kemarahan di sekitarnya benar-benar terasa oleh sekitar, termasuk oleh Hanafi sendiri. Hanafi seketika berjalan selangkah mundur karena intimidasi dari Lapis.

“Tak hanya bodoh, kau juga tidak punya sopan santun yah, Budak ...,” geram Lapis memejamkan mata cukup rapat sambil mengepalkan erat kedua tangannya.

“Pu-putri Lapis, tenanglah. Biar kami saja yang mengurus lelaki ini, anda tidak perlu terpancing emos–“ pinta salah satu prajurit dengan penuh kecemasan.

“DIAM!!” teriak Lapis pada sekitarnya.

Bersamaan teriakan sang putri, angin cukup kencang dan dingin seketika menyebar dari dalam tubuhnya, hingga menerbangkan rambut indahnya sesaat. Angin yang membuat para bawahannya terkejut ketakutan. Membuat Hanafi terkejut kebingungan karena keganjilan sesaat yang ia saksikan.

“Cepat penggal kepalanya!! Aku tak ingin mahluk ini hidup di dunia yang sama denganku!!” teriak Lapis kembali memberikan tatapan kemarahan pada Hanafi.

“....” Hanafi tetap membalas tatapan tajam Lapis. Meski, tubuhnya sedikit bergetar karena hukuman eksekusi mati sudah dijatuhkan padanya.

Prajurit di sekitarnya seketika berlari mendekati Hanafi. Memaksa tubuhnya untuk membungkuk dengan leher yang sudah siap dipenggal. Pajurit yang sebelumnya sudah mengeluarkan pedang lekas berjalan mendekati Hanafi dengan kaki bergemetar.

“Ma-maaf, aku terpaksa melakukan ini,” pelan prajurit yang masih muda itu berucap. Dia mulai mengangkat kedua tangannya yang memegang Two-handed sword.

Sesial inikah aku!? Belum tau dimana aku sekarang, aku sudah mendapatkan hukuman mati!! Dan juga apa-apaan gadis bernama Lapis ini. Dia benar-benar arogan–“  batin Hanafi yang dipenuhi kekesalan dan ketakutan.

“Cukup!!”

Tapi teriakan gadis lainnya terdengar cukup keras hingga menghentikan tindakan sang algojo muda. Teriakan itu terdengar dari dalam kereta kuda. Suaranya tedengar lembut dan menenangkan hati siapapun yang mendengarnya. Para prajurit seketika tersenyum bahagia setelah mendengar suara itu, Lapis seketika berwajah tak senang melirik kereta kuda.

“Kamu terlalu berlebihan, Lapis,” seorang gadis lainnya mulai turun dari kereta kuda. Dia yang memasang wajah kekesalan terlihat menutupi luka di pelipis kirinya dengan sapu tangan berwarna putih. Bekas darah juga masih terlihat di pipi kirinya.

Wajahnya begitu rupawan menandingi kecantikan Putri Lapis. Rambutnya hitam bergelombang cukup panjang.

Matanya yang berwarna merah seperti permata ruby itu sungguh tertuju pada Lapis yang terdiam kesal memejamkan mata.

“Bella, asal kau tau. Aku melakukan ini untukmu,” Lapis menggeram kesal menutup mata sambil menyilangkan kedua tangan tepat di bawah dada.

“Aku tidak memintamu untuk melakukan hal ini,” senyum gadis yang dipanggil Bella itu, dan mulai berjalan mendekati Hanafi.

“....” Hanafi hanya terdiam sambil terus menatap Bella yang kini berdiri di hadapannya.

“Lepaskan dia,” pinta Bella dengan tegas pada prajurit yang masih memegang Hanafi.

“Ba-baik Putri Bellarista, “ senyum para prajurit bahagia, lalu menundukkan kepala seakan memberi hormat pada sang putri berambut hitam.

Hanafi kembali berdiri dan langsung berhadapan dengan Bella. Dia lekas menyunggingkan senyuman bahagia pada gadis yang telah menyelamatkan dirinya.

“Te-terima kasih,” ucap Hanafi sedikit menundukkan kepala. Menunjukkan rasa terima kasih yang dalam.

“Tidak tidak, kau tak perlu berterima kasih. Aku yang harusnya minta maaf karena tindakan sahabatku yang berlebihan,” senyum Bella mengangkat tangan kanan. Menggoyang-menggoyangkannya secara perlahan di hadapan Hanafi.

“Tapi tetap saja aku harus berterima kasih padamu karena ...,” ucap Hanafi tapi perkataannya semakin mengecil. Senyuman di wajahnya berubah menjadi ekspresi kecemasan melihat pelipis Bella yang terluka.

Hasilnya, Hanafi memperbaiki rangkaian katanya dengan bertanya akan keadaan gadis di hadapannya.

“Ka-kau terluka, apa karena kesalahanku?”

“Tentu saja itu kesalahanmu!” tukas Lapis sedingin es. Tak lupa memberikan tatapan tajam tak menyenangkan pada Hanafi.

“Lapis ....” Bella berucap sambil melirik Lapis. Dia menenangkan sahabatnya dengan senyuman manis terpampang di wajah.

“Kau terlalu lembek, Bella! Aku tak menyukai sifat naifmu yang seperti ini,” kesal Lapis memejamkan mata. Membuang wajah dari Hanafi dan sahabat.

“....” Bella masih memasang senyuman sambil terus melirik sahabatnya yang seperti itu. Meski senyumannya terpasang di wajah, tapi aura kesedihan juga terasa keluar darinya. Hanafi berwajah khawatir karena menyadari hal itu.

“Jadi …, kau bukan berasal dari daerah ini, yah? Dilihat dari pakaianmu, kau pasti bukan seorang pedagang keliling. Apa kau seorang pengelana atau malah petualang?” tanya Bella kembali memberikan perhatian pada lelaki di hadapannya. Dia terlihat mengamati Hanafi yang membawa tas di punggungnya.

“Ah, iya aku memang bukan berasal dari daerah ini. Tapi aku bukan seorang pengelana maupun petualang. Jika boleh aku bertanya. Di manakah kita sekarang?” tanya Hanafi membalas senyuman Bella.

“Kita berada di pusat benua yang berdekatan dengan Yellow Forest, wilayah Kerajaan Auram ..., “ Bella berucap menjawab pertanyaan.

“Ke-Kerajaan Auram?” tanya Hanafi kembali berniat memastikan jawaban Bella.

“Ya, Kerajaan Auram,” senyum Bella menegaskan jawaban sambil menutup mata sesaat hingga dia kembali membuka mata, lalu memberikan tatapan lembut pada lelaki di depannya.

“Benua? Kita sekarang berada di benua apa!?“ tanya kembali Hanafi dengan nada kecemasan.

“Apa yang kamu katakan? Tentu saja kita berada di Benua Luna. Benua sebrang kita yakni Perona adalah benua tempat tinggal para monster dan Sleazer,” Bella sedikit tertawa akan pertanyaan Hanafi yang terasa aneh baginya. Sedikit menyembunyikan mulutnya itu dengan tangan kanan.

Hanafi hanya terdiam cukup terkejut. Luna? Perona? Dia belum pernah mendengar nama benua itu.

Tubuhnya kembali merinding sambil terus memberikan tatapan kecemasan pada Bella. Secara perlahan dia memegang kepalanya dengan tangan kanan seolah berusaha keras untuk menerima kenyataan aneh yang terjadi padanya.

Hanafi seketika menampar pipi kanan amat keras hingga menimbulkan bunyi yang membuat semua orang di sana terkejut. Lapis dan Bella pun terlihat cukup kebingungan menatap lelaki berambut hitam itu.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Lapis melirik Hanafi dengan tatapan heran.

“Sial, sakit! Ini bukan mimpi atau khayalanku ...,” Hanafi mengelus pipi kanannya, dan kembali bertanya pada gadis bermata merah ruby di hadapannya.

“Se-sekarang tahun berapa?!”

“Tahun 1545 setelah perang besar. Ada apa denganmu em ...,” Bella terlihat berpikir beberapa saat sebelum melanjutkan pertanyan.

“Bagaimana aku memanggilmu? Lelaki dengan baju usang atau apa?” tanya Bella sedikit tertawa sambil menatap jaket usang milik Hanafi.

“Itu lebih baik daripada panggilan budak, “ senyum Hanafi melirik Lapis yang membelakangi dirinya.

“Tapi kau bisa memanggilku Hanafi, Bella,” senyum Hanafi menutup matanya sesaat.

Semua orang di sana hanya terdiam amat terkejut mendengar ucapan ringan Hanafi. Bella langsung tersenyum bahagia menatap Hanafi, tapi sebaliknya bagi Lapis yang lekas berbalik dan mulai menatap tajam Hanafi. Dia berjalan cepat menghampiri lelaki bermata coklat itu sambil berkata.

“Bella, mahluk ini memang harus mati! Dia tidak tau adab dan sopan sant–“

“Berhenti, Lapis ..., jangan terlalu kaku seperti itu ah,” senyum Bella mengangkat tangan kirinya seolah menghalangi jalan untuk Lapis.

“Bella!!” teriak kesal Lapis.

“Aku senang kau memanggilku seperti itu. Biar lebih formal, aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Bellarista Essential Nigrum, putri tunggal dari Kerajaan Nigrum Valle.”  Bella menundukkan sedikit kepalanya, dan membungkukkan punggungnya layaknya tuan putri.

“Ah, na-nama lengkapku Hanafi Anugerah. Umurku 17 tahun, pelajar SMA kelas tiga,” senyum Hanafi cukup gugup dan ikut menundukkan kepala.

Bella mengangkat kepala dengan senyuman kebahagiaan masih tersungging di wajah. Tatapannya yang indahnya kembali tertuju pada Hanafi.

“Aku harap kamu masih memanggil namaku seperti sebelumnya, meski kamu sudah mengetahui siapa aku sebenarnya.”

“Jika itu tak menggangumu, aku akan dengan senang hati melakukannya. Selain itu, ini menjadi suatu kehormatan besar bagiku untuk bisa menjadi teman gadis secantik dirimu yang memiliki kebaikan hati. Diriku sungguh merasa tersanjung,” jelas Hanafi yang masih menundukkan kepala. Wajahnya sedikit memerah sambil bergumam dalam hatinya.

Aku bersukur karena ada tugas drama saat SMP dulu. Tidak kusangka ilmu ini bisa berguna untukku saat ini.”

Lapis terdiam sambil memberikan lirikan penasaran pada Hanafi. Tidak seperti sahabatnya, Bella malah semakin melebarkan senyuman setelah mendengarkan rangkaian kata Hanafi.

Tak hanya mereka berdua, tapi para prajurit di sekitarnya juga terdiam setelah mendengar susunan kata Hanafi.
Melihat sekitarnya yang memberikan tatapan kagum pada Hanafi. Lapis lekas menunjukkan ekspresi tak senang sambil memberikan tatapan tajam pada Hanafi.

“Maaf Bella, bukan aku bermaksud mengganggu perkenalan kalian. Tapi sebagai pemegang kuasa tertinggi kerajaan ini, aku harus bersikap adil,” Lapis berjalan melewati sahabatnya.

“Ak-aku mengerti, tapi hukuman mati itu terlalu berlebihan. Aku tau cara kerajaan kita berbeda dalam menjatuhi hukuman, tapi–“ khawatir Bella mengemukakan pendapatnya.

“Aku mengerti, atas pertimbangan darimu aku takkan melakukan hal itu. Aku hanya ingin menangkap dan memenjarakannya selama beberapa bulan. Hanya itu yang bisa kuberikan meski kau sahabatku, Bella,” jelas Lapis melirik Bella. Sesaat, dia juga melihat pelipis Bella yang terluka
.
“....” Hanafi terlihat berwajah muram melihat pelipis gadis berambut hitam di hadapannya yang terluka.

“Hanafi Anugerah, aku Lapis Ros Auram, putri pertama dari Kerajaan Auram menjatuhi hukuman penjara lima bulan dengan pelanggaran membuat keluarga kerajaan dalam keadaan bahaya.”

“Seharusnya aku menjatuhkan hukuman mati padamu, karena ini juga bisa termasuk dalam tindakan percobaan pembunuhan,” jelas Lapis dan menutup mata sesaat.

“Maaf Hanafi, lima bulan mungkin terasa lama. Tapi aku akan berusaha meringankan hukumanmu dengan bantuan kerajaanku,” senyum Bella.

“Tak apa, aku memang sudah membahayakan nyawamu. Aku minta maaf karena kecerobohanku hingga membuatmu jadi terluka,” senyum Hanafi.

“Aku berbicara tentangmu juga, Putri Lapis. Aku minta maaf karena membuat keningmu terluka.”

Lapis tak menjawab dan hanya mengangguk pelan seolah menerima permintaan maaf Hanafi.

“Karena kita sudah berada di ujung perbatasan wilayah kerajaanku. Aku akan memenjarakanmu di wilayah Kerajaan Angelwish. Nanti biar aku berbicara dengan gadis itu untuk melakukan mutasi tahanan,” jelas Lapis.

Lalu untuk selanjutnya kedua tangan Hanafi pun mulai diikat dengan tali. Meskipun ikatannya tidak terlalu kuat karena menghormati keinginan Putri Kerajaan Nigrum Vale untuk tidak bersikap kasar padanya.

Hanafi berjalan di belakang kereta kuda bersama dengan para prajurit pengawal. Meski secara resminya dia seorang tahanan, tapi lelaki berambut hitam itu malah terlihat mengobrol akrab dengan para pengawal. Mereka bahkan sesekali tertawa hingga terdengar oleh kedua putri yang berada di dalam kereta kuda.

Bella terus menyunggingkan senyuman di wajah sambil melirik Hanafi yang berjalan mengikuti kereta yang ia tumpangi. Dia terlihat benar-benar tertarik dengan Hanafi. Tidak seperti Lapis yang menatap datar pemandangan di sampingnya lewat jendela kereta.

“Bella, lukamu?” Lapis mengajukan pertanyaan dengan wajah yang masih menghadap ke arah jendela.

Bella mulai melirik sahabatnya dengan senyuman yang masih terpampang. Lalu, gadis itu mulai bersandar dan memejamkan matanya sesaat.

“Sudah lebih baik, tapi yang lebih penting ....” Bella melepas senyuman setelah membuka matanya kembali.

“....” Lapis mulai melirik sahabatnya.

“Kau tau alasan hutan yang kita lewati disebut Yellow Forrest, Lapis?”  tanya Bella melirik sahabatnya. Lapis yang mendapatkan pertanyaan itu lekas menjawab sambil melihat kembali pemandangan di sampingnya.

“Karena Sleazer Kelas C menguasai hutan itu, Flavo Tigris. Monster tercepat di benua ini. Salah satu dari 18 monster yang diwaspadai oleh empat kerajaan besar di benua kita.”

“Selain itu, hutan ini terkenal dengan banyak Sleazer berkelas F, E, bahkan D. Seharusnya orang-orang bahkan Electus seperti kita enggan untuk mendekati hutan itu.”

“Ya ....” Lapis menutup matanya kembali.

“Berbicara soal Sleazer, apa kau pernah melihat langsung monster tercepat itu, Lapis?” tanya Bella menatap sahabatnya.

“Belum, tapi aku sudah mendengar rumornya. Dia terlihat seperti harimau biasa. Hanya warna kulitnya saja yang berbeda. Warna kuning cerah seperti kulit pisang yang masak.”

“Warna kuning cerah, yah ...? Tapi rumor itu masih belum tentu mengingat semua orang yang pernah bertemu dengan monster itu dipastikan takkan pernah selamat. Mereka mustahil kabur dari monster super cepat itu,” senyum Bella kembali dengan tertawaan kecil di akhir ucapan. Sedangkan Lapis hanya tersenyum kecil melirik sahabatnya.

“Nah, sekarang pertanyaannya. Kenapa lelaki bernama Hanafi ini bisa ada di tempat yang ditakuti orang-orang ini sendirian?” lanjut Bella.

“Entahlah, aku juga tidak tau.”

“Selain itu aku merasakan kalau ada yang aneh. Ada yang berbeda darinya. Perkataannya beberapa saat lalu bukan perkataan orang sembarangan. Itu ucapan orang yang berpendidikan tinggi, mungkin di tingkat yang sama seperti kita. Bahkan kalangan bangsawan biasa saja tidak cukup mampu untuk merangkai kata-kata yang terdengar berharga itu.”

“....” Lapis hanya terdiam sambil memandang pemandangan di sampingnya.

“Hei, Lapis. Apa kau mengabaikanku lagi?” keluh Bella terliha kecewa, tapi tetap tak ada jawab dari Lapis. Alhasil Bella kembali melihat Hanafi yang masih bersenda gurau dengan para prajurit.

“....” Lapis hanya tersenyum melirik sahabatnya sesaat. Setelah itu kembali melihat pemandangan sambil bergumam penasaran dalam hatinya.

Itulah yang saat ini kupikirkan, Bella. Aku daritadi berpikir akan siapa sebenarnya lelaki yang saat ini menjadi tahanan kita.”


***

No comments:

Post a Comment