Tittle: Exitium
Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy
Author: r lullaby
Status: Ongoing
Chapter 1
Awal
Bel telah berbunyi menghancurkan kelenggangan lorong sekolah. Pertanda telah tiba berakhirnya kegiatan belajar mengajar sekolah.
Beberapa saat setelah terdengarnya suara bel. Para siswa pun mulai pergi berhamburan keluar kelas sambil membawa tas mereka.
Di dalam kelas XI IPA 4, tersorot lelaki berambut hitam dengan warna bola mata coklat yang menulis catatan, dan sendirian di dalam kelas. Cukup rupawan wajahnya dengan hidung sedikit mancung dan warna kulit sawo matang yang cerah.
Tapi meski wajahnya rupawan, lelaki itu terlihat memasang ekspresi kecemasan sambil mulai bergumam dalam hati.
“Ah, sialan. Aku lupa dengan diskon telur di supermarket dekat terminal. Karena besok lusa UAS, mau tidak mau aku harus menulis catatan kisi-kisi ini.”
Tak lama setelah itu, seorang gadis berambut hitam panjang berjalan pelan kembali memasuki kelas, menghampiri lelaki itu, dan tersenyum sambil mengajukan pertanyaan.
“Hanafi, apa kau tidak pulang?”
“Kau duluan saja, Gina. Aku masih belum selesai menulis catatan itu,” jawab Hanafi sambil menatap papan tulis di hadapannya yang dipenuhi tulisan. Tangan kanannya tidak pernah berhenti untuk menulis catatan yang cukup banyak itu.
“Heehh, kau baru menulisnya sekarang?” datar Gina bertanya sambil menengok papan tulis di samping kanannya.
Hanafi hanya tertawa kecil merespon pertanyaan teman sekelasnya itu sebelum dia kembali menatap catatan dengan penuh konsentrasi.
“Ya sudah, aku pulang duluan yah. Sampai ketemu saat UAS nanti, Hanafi,” senyum Gina mulai berjalan meninggalkan kelas. Hanafi hanya diam dan tak menjawab pernyataan temannya. Dia terus menulis catatannya dengan keseriusan yang masih menempel di wajah.
Untuk sesaat Gina menghentikan langkah tepat di dekat pintu. Mulai tersenyum dan melirik Hanafi yang masih menulis catatannya.
“Setidaknya kamu masih bisa membalas perkataanku, kan?” batinnya sambil berjalan pergi meninggalkan kelas.
Beberapa menit setelah kepergian teman perempuannya itu, Hanafi akhirnya menyelesaikan tulisan. Dia lekas membereskan peralatan sekolah, mulai berlari meninggalkan kelas dan sekolah dengan ekspresi cemas di wajah.
Larinya sangat cepat mengingat ada urusan yang tak bisa dia tinggalkan. Ya, membeli telur diskon di supermarket dekat terminal.
Tapi sayang, ketika lelaki bermata coklat itu sampai, telur diskon itu telah habis terjual. Dia hanya bisa menghela nafas, kembali bergumam dalam hati sambil berjalan meninggalkan supermarket itu.
“Ini benar-benar kesialanku. Hanya dengan uang 40 ribu ini apa sebulan ke depan aku masih bisa bertahan ...?”
“Ah, Hanafi!” teriak lelaki berambut hitam lainnya. Bajunya terlihat kekinian dengan celana jeans berwarna hitam yang seperti pensil. Terlihat juga gadis cantik yang berjalan di sampingnya. Salah satu gadis yang menjadi idola di sekolah mereka, Shinta.
“Ah, Dimas,” senyum Hanafi memejamkan mata. Penampilan Dimas dengan Hanafi sungguh berbanding terbalik. Hanafi masih terlihat memakai seragam dengan jaket coklat yang sudah usang.
“Jadi kamu satu-satunya yang anak beasiswa itu?” tanya Shinta ramah pada Hanafi. Dia langsung melihat wajah Hanafi tanpa memperdulikan penampilannya.
“Ya, itu saya,” senyum Hanafi mengalihkan pandangan dengan pipi sedikit memerah. Tidak dapat dipungkiri kalau dia cukup tertarik dengan wajah Shinta yang menarik.
“Hei, Hanafi sialan ..., kau tertarik dengan pacarku, kan?” senyum Dimas bertanya dengan nada menggoda.
"Aku tidak bisa bilang bahwa aku tak tertarik yah. Dia memang terlihat menarik bagi para lelaki,” senyum khawatir Hanafi melirik Shinta.
“Hoo, aku senang kamu menyukai pacarku. Ini menjadi bukti kuat jika kamu adalah lelaki yang normal,” Dimas tertawa kecil sambil mengusap kepala Hanafi yang tingginya lebih rendah.
“Apa maksudnya itu ....” datar Hanafi tak senang sambil melepaskan tangan kanan Dimas dari kepalanya.
Shinta hanya tertawa kecil melihat tingkah Hanafi dan Dimas. Wajahnya masih sedikit memerah karena pernyataan Hanafi sebelumnya yang memuji dirinya.
“Wah wah, wajahmu memerah, Sayang? Apa kamu tertarik dengann–“
“Tidak! Aku hanya cukup terkejut dengan pujiannya tadi!” Shinta terlihat was-was dan sedikit terkejut karena pertanyaan langsung kekasihnya.
“Hei, Dimas. Apa ini sudah menjadi kebiasaanmu untuk membuatnya merasa bersalah-” Hanafi bertanya dengan kedua mata tertutup.
“Tak apa Shinta, jika kamu ingin selingkuh dengan lelaki ini. Bilang padaku terlebih dahulu yah,” senyum Dimas menyela pernyataan sang sahabat sambil memberikan ibu jarinya pada Shinta.
“Hei ...,” Hanafi semakin memasang wajah datar pada teman dekatnya itu. Tak tau harus merespon seperti apa pernyataan dia sebelumnya.
“Tenang, aku hanya bercanda, hahaha,” Dimas tertawa melihat Shinta yang masih menundukkan kepala karena menyembunyikan wajahnya yang masih memerah.
“....” Hanafi hanya melirik sahabatnya yang tertawa aneh itu.
“Em, Shinta?” senyum Hanafi melirik Shinta.
"Ya!?" gugup Shinta dengan kepala mendongak ke arah Hanafi.
“Dia memang agak usil, tapi dia lelaki yang baik kok. Tolong jaga dia yah,” lanjut Hanafi memberikan senyuman hangat.
“Ya tentu saja,” Shinta terlihat baikan dan tersenyum melihat Dimas.
“Tapi kalau dia berlebihan, kamu bisa berteriak dan memukul kepalanya,” senyum Hanafi menunduk sang sahabat dengan telunjuk kanan.
“Ya, akan kulakukan itu hahaha,” Shinta tertawa kecil sambil menyembunyikan mulut dengan telapak tangan kanan.
“Hei, apa maksudnya itu,” gerutu Dimas pada Hanafi. Dia merangkul leher sang sahabat cukup erat.
“Sudahlah, kalian pergi keluar bukan untuk menemuiku, kan? Cepatlah pergi jalan-jalan sana.”
“Selalu perhatian seperti biasanya, yah? Aku pasti menyukaimu jika kamu adalah perempuan Hanaf–“ Dimas mencoba memeluk Hanafi, tapi Hanafi lekas mendorong tubuhnya itu sambil memasang wajah tak senang. “Hentikan, kau menjijikan.”
“Hahaha, ya sudah, kami berangkat dulu,” senyum Dimas mulai memegang tangan pacarnya.
“Dimas jangan berlebihan dan melewati batas,” senyum Hanafi menggoda Dimas.
“Bo-bodoh! Aku tak akan melakukan itu!! Harus memasang wajah apa pada orang tuanya jika aku berani melakukan hal itu,” wajah Dimas sontak memerah tak karuan. Sedangkan Shinta hanya terdiam kebingungan dan tak mengerti akan pembicaraan dua lelaki di sekitarnya.
“Hahahaha ...!” Hanafi tertawa puas mendengar respon sahabatnya yang seperti itu. Lalu selanjutnya, dia pun berjalan pergi meninggalkan mereka.
“Ah, tunggu sebentar yah, Sayang.” Dimas melirik kekasihnya dan lekas berjalan cepat mengejar Hanafi sambil berteriak memanggil namanya.
“Hanafi!”
“Ada apa lagi?” Hanafi menghentikan langkah, berbalik, dan bertanya.
“Ak-aku dapat uang lebih dari orang tuaku. Daripada kubeli rokok atau kegiatan tak berguna, lebih baik dimanfaatkan olehmu saja,” senyum Dimas menutup matanya sambil memberikan beberapa uang.
“....” Hanafi hanya tersenyum kecil melihat Dimas. Dia tau jika dia menolaknya, itu sudah dipastikan akan melukai perasaan sahabatnya.
“Begini lagi ...,” keluhnya dalam hati.
“Hanafi?” tanya Dimas kebingungan.
“Ah, tidak apa-apa. Terima kasih Dimas, kau benar-benar sering membantuku,” senyum Hanafi memejamkan mata sambil menerima pemberian Dimas.
“Apa kau sedang menyindirku!? Justru kaulah yang paling sering membantuku. Ini sih masih belum seberapa!” senyum Dimas sambil berjalan kembali mendekati kekasihnya.
“Dasar ...,” senyum Hanafi melebar setelah mendengar ucapan sahabatnya. Dia pun berbalik dan berjalan kembali setelah berpamitan pada Dimas dan kekasihnya.
Uang yang diberikan Dimas adalah lima ratus ribu rupiah, dan itu benar-benar uang yang sangat banyak untuk Hanafi.
Kini dia tidak perlu khawatir dengan kebutuhan makannya selama satu bulan ke depan. Tapi, lelaki itu kembali merasa tidak enak karena diberikan bantuan oleh teman dekatnya.
Tidak hanya oleh Dimas. Bahkan Gina, perempuan yang berada di kelas yang sama dengannya juga pernah memberinya bantuan makanan. Para tetangganya, tukang sayur, dan orang-orang di sekitarnya juga cukup sering membantunya.
Hanya karena dia anak yatim piatu. Lalu tempat panti asuhannya bangkrut di tahun kemarin. Parahnya, dia sampai saat ini masih belum memiliki keluarga ….
Ah, mungkin wajar jika sekitarnya menjadi amat peduli pada lelaki yang ramah dan sedang berjuang hidup sendirian itu. Hanafi tergolong lelaki yang murah senyum meski sering mendapatkan kemalangan.
Tapi dalam hati terdalamnya, Hanafi sungguh merasa tidak enak. Tak senang akan perhatian berlebihan sekitarnya. Dirinya merasa menjadi seperti pengemis yang mudah mendapatkan uang meski sudah bekerja sampingan sekalipun.
Waktu terus berputar, warna langit pun mulai menggelap. Malam dengan suhu yang cukup rendah mulai datang.
Hanafi terlihat berjalan di trotoar yang cukup sepi sambil memeluk dirinya sendiri.
“Sebaiknya aku harus membeli jaket baru,” batinnya sambil melihat jaket usangnya secara menyeluruh yang beberapa bagiannya sudah berlubang.
Lalu, Hanafi mengeluarkan sebuah Solar Powerbank dari ransel. Mulai berpikir akan berapa harga jual dari benda yang saat ini dipegang oleh tangan kirinya. “Kenapa harus mendapatkan hadiah ini dari undian minggu lalu?”
“Ya bukan berarti aku tidak membutuhkannya, baterai ponsel androidku memang mudah kehabisan tenaga,” lanjutnya mulai mengeluarkan handphone dari saku dengan tangan kanannya.
“Apa harus kujual saja benda ini untuk membeli jaket baru,” lanjutnya sambil memasukan handphone dan powerbanknya ke dalam tas. Kembali berjalan sambil memandang langit yang mulai dihiasi bintang.
Sambil terus berjalan, Hanafi mengeluarkan sebuah roti dari dalam tasnya. Berniat memakan roti coklat yang masih terbungkus plastik itu segera. Tapi niatnya ia urungkan ketika melihat lelaki tua yang bersandar pada dinding bangunan.
Lelaki itu memakai jubah coklat dan terlihat seperti pengemis yang kesakitan. Hanafi cukup enggan sesaat, berniat mengabaikannya. Tapi setelah mendengar rintihannya, Hanafi pun mulai berjalan cukup cepat menghampiri lelaki tua itu, lekas bertanya dengan nada cukup khawatir.
“Ada yang bisa kubantu? Kau terlihat kesakitan, Pak.”
“Ah, aku tidak apa-apa. Aku hanya kelelahan karena perpindahan dimensi,” senyum khawatir lelaki tua itu mulai berdiri dengan bantuan dinding di belakangnya. Hanafi yang melihat hal itu lekas membantunya untuk berdiri.
“Sejak siang aku diperlakukan seolah tak ada oleh orang-orang sekitar. Tapi kau malah menolongku. Kau lelaki baik, anak muda. Bisa kutau namamu?” senyum lelaki itu bertanya sambil mengangkat kepala, otomatis tundung coklat dari jubahnya pun terbuka. Rambutnya berwarna putih menyeluruh meski wajahnya tidak terlalu tua.
“Hanafi, namaku Hanafi Anugerah.”
Lelaki itu hanya tersenyum setelah mendengar jawaban Hanafi. Dia mulai membungkuk dan memperkenalkan dirinya secara formal.
“Kebetulan, namaku juga Hanafi. Senang berkenalan denganmu.”
Hanafi hanya terdiam khawatir dan kebingungan melihat sikap lelaki paruh baya itu. Dia tersenyum kecil sambil memegang pundaknya.
“Ah ya, salam kenal. Tapi kau tak perlu berlebihan seperti itu, Pak.” canggung Hanafi memberikan senyuman.
“Ah, maaf. Budaya di dunia ini sedikit berbeda yah. Bahkan bahasanya pun cukup sulit bagi kami,” senyumnya sambil terlihat berpikir.
“Budaya dunia ini? Ma-maksudnya budaya negeri ini, yah?” batin Hanafi.
Tak lama setelah perkataannya, mulai terdengar suara perutnya yang lapar. Untuk sesaat suasana terasa hening. Hanafi hanya tersenyum sambil mengeluarkan roti coklatnya yang sebelumnya ia masukan kembali. Lekas memberikan makan malamnya itu pada lelaki paruh baya di hadapannya.
“Jika kau tak keberatan, kau bisa memilikinya.”
“Eh, tapi bukankah ini makananmu?” tanya Hanafi paruh baya cukup terkejut.
“Hahaha, ini memang makananku tapi aku ingin memberikannya padamu. Tenang saja, aku tidak mencurinya.” Hanafi menyunggingkan senyuman. Dia sadar jika lelaki di hadapannya lebih membutuhkan makanan itu.
“Tapi bagaimana denganmu?” tanya khawatir kembali si lelaki paruh baya berambut putih.
“Aku baru saja makan beberapa saat yang lalu. Roti itu hanya sebatas cemilan untukku,” senyum Hanafi menjawab sambil duduk bersandar pada dinding bangunan.
“Begitu, sepertinya kamu bukan orang sembarangan, Hanafi. Roti seenak ini hanya kamu anggap sebagai sebatas cemilan,” lelaki itu terlihat sangat bernafsu memakan roti tersebut.
“Kamu pasti bercanda, kan? Mana mungkin aku orang sembarangan, aku hanya anak SMA biasa, “ Hanafi tertawa kecil dan mulai memberikan lirikan padanya.
“Anak SMA?”
“Ya, hanya anak SMA, “ senyum Hanafi mulai membuka jaketnya. Seragam sekolahnya pun terlihat oleh si lelaki paru baya.
Setelah melihat hal itu, ekspresi lelaki paruh baya mulai berubah. Keterkejutan benar-benar tersungging di wajahnya. Kedua tangannya bahkan terlihat bergemetar seolah ketakutan.
Sungguh terlihat aneh ketika tubuh lelaki tua itu bergemetar setelah melihat Hanafi yang memperlihatkan seragamnya. Dia pun mulai melihat Hanafi secara keseluruhan. Dari kaki sampai kepala.
Hanafi yang mendapatkan tatapan aneh darinya hanya terdiam khawatir sambil mengajukan pertanyaan.
“Apa ada yang salah dariku, Pak?”
“A-ah tidak ada, “ jawab khawatir lelaki paruh baya itu mengalihkan pandangan dari lawan biacaranya.
“Be-begitu?” senyum Hanafi yang terlihat masih tak puas akan jawabannya.
“Ma-maaf Hanafi, mungkin aku sedikit lancang. Tapi, bisa kutahu dimana orang tuamu?” tanya lelaki paruh baya itu sambil berdiri dan menatap Hanafi dengan ekspresi keseriusan.
“Ah, sebenarnya aku yatim piatu. Panti asuhanku menemukanku di jalan ketika aku berumur tiga tahun. Aku bahkan tidak tau apa orang tuaku masih hidup atau tidak,” senyum Hanafi menjawab.
“Be-begitu,” pelan lelaki itu menundukkan kepala. Kedua tangannya tidak pernah berhenti bergemetar setelah melihat Hanafi yang melepas jaketnya.
“Apa kau mengatakan sesuat–“ Hanafi berbalik dan mulai bertanya, akan tetapi dirinya langsung mendapatkan pukulan hingga terjatuh dan tak sadarkan diri. Kini lelaki yang mengaku bernama Hanafi itu juga mulai mengangkat tangan kanannya ke arah Hanafi yang terlentang tak sadarkan diri.
Cahaya berwarna keemasan perlahan muncul di bawah telapak tangannya, dan menyinari tubuh Hanafi yang tak sadarkan diri. Sambil melakukan hal tersebut, dia pun mulai bergumam dalam hatinya sendiri dengan nada suara penuh kecemasan.
“Aku tahu kami tak pantas mendapatkan bantuanmu setelah apa yang kami lakukan pada kau dan keluargamu. Tapi mengertilah, kami sudah terlalu putus asa. Kumohon, kami berjanji jika ini adalah yang terakhir kalinya. Tolong pinjamkan kekuatanmu untuk menyelamatkan dunia kami lagi, wahai engkau yang ditakuti seluruh mahluk.”
Beberapa saat setelah terdengarnya suara bel. Para siswa pun mulai pergi berhamburan keluar kelas sambil membawa tas mereka.
Di dalam kelas XI IPA 4, tersorot lelaki berambut hitam dengan warna bola mata coklat yang menulis catatan, dan sendirian di dalam kelas. Cukup rupawan wajahnya dengan hidung sedikit mancung dan warna kulit sawo matang yang cerah.
Tapi meski wajahnya rupawan, lelaki itu terlihat memasang ekspresi kecemasan sambil mulai bergumam dalam hati.
“Ah, sialan. Aku lupa dengan diskon telur di supermarket dekat terminal. Karena besok lusa UAS, mau tidak mau aku harus menulis catatan kisi-kisi ini.”
Tak lama setelah itu, seorang gadis berambut hitam panjang berjalan pelan kembali memasuki kelas, menghampiri lelaki itu, dan tersenyum sambil mengajukan pertanyaan.
“Hanafi, apa kau tidak pulang?”
“Kau duluan saja, Gina. Aku masih belum selesai menulis catatan itu,” jawab Hanafi sambil menatap papan tulis di hadapannya yang dipenuhi tulisan. Tangan kanannya tidak pernah berhenti untuk menulis catatan yang cukup banyak itu.
“Heehh, kau baru menulisnya sekarang?” datar Gina bertanya sambil menengok papan tulis di samping kanannya.
Hanafi hanya tertawa kecil merespon pertanyaan teman sekelasnya itu sebelum dia kembali menatap catatan dengan penuh konsentrasi.
“Ya sudah, aku pulang duluan yah. Sampai ketemu saat UAS nanti, Hanafi,” senyum Gina mulai berjalan meninggalkan kelas. Hanafi hanya diam dan tak menjawab pernyataan temannya. Dia terus menulis catatannya dengan keseriusan yang masih menempel di wajah.
Untuk sesaat Gina menghentikan langkah tepat di dekat pintu. Mulai tersenyum dan melirik Hanafi yang masih menulis catatannya.
“Setidaknya kamu masih bisa membalas perkataanku, kan?” batinnya sambil berjalan pergi meninggalkan kelas.
Beberapa menit setelah kepergian teman perempuannya itu, Hanafi akhirnya menyelesaikan tulisan. Dia lekas membereskan peralatan sekolah, mulai berlari meninggalkan kelas dan sekolah dengan ekspresi cemas di wajah.
Larinya sangat cepat mengingat ada urusan yang tak bisa dia tinggalkan. Ya, membeli telur diskon di supermarket dekat terminal.
Tapi sayang, ketika lelaki bermata coklat itu sampai, telur diskon itu telah habis terjual. Dia hanya bisa menghela nafas, kembali bergumam dalam hati sambil berjalan meninggalkan supermarket itu.
“Ini benar-benar kesialanku. Hanya dengan uang 40 ribu ini apa sebulan ke depan aku masih bisa bertahan ...?”
“Ah, Hanafi!” teriak lelaki berambut hitam lainnya. Bajunya terlihat kekinian dengan celana jeans berwarna hitam yang seperti pensil. Terlihat juga gadis cantik yang berjalan di sampingnya. Salah satu gadis yang menjadi idola di sekolah mereka, Shinta.
“Ah, Dimas,” senyum Hanafi memejamkan mata. Penampilan Dimas dengan Hanafi sungguh berbanding terbalik. Hanafi masih terlihat memakai seragam dengan jaket coklat yang sudah usang.
“Jadi kamu satu-satunya yang anak beasiswa itu?” tanya Shinta ramah pada Hanafi. Dia langsung melihat wajah Hanafi tanpa memperdulikan penampilannya.
“Ya, itu saya,” senyum Hanafi mengalihkan pandangan dengan pipi sedikit memerah. Tidak dapat dipungkiri kalau dia cukup tertarik dengan wajah Shinta yang menarik.
“Hei, Hanafi sialan ..., kau tertarik dengan pacarku, kan?” senyum Dimas bertanya dengan nada menggoda.
"Aku tidak bisa bilang bahwa aku tak tertarik yah. Dia memang terlihat menarik bagi para lelaki,” senyum khawatir Hanafi melirik Shinta.
“Hoo, aku senang kamu menyukai pacarku. Ini menjadi bukti kuat jika kamu adalah lelaki yang normal,” Dimas tertawa kecil sambil mengusap kepala Hanafi yang tingginya lebih rendah.
“Apa maksudnya itu ....” datar Hanafi tak senang sambil melepaskan tangan kanan Dimas dari kepalanya.
Shinta hanya tertawa kecil melihat tingkah Hanafi dan Dimas. Wajahnya masih sedikit memerah karena pernyataan Hanafi sebelumnya yang memuji dirinya.
“Wah wah, wajahmu memerah, Sayang? Apa kamu tertarik dengann–“
“Tidak! Aku hanya cukup terkejut dengan pujiannya tadi!” Shinta terlihat was-was dan sedikit terkejut karena pertanyaan langsung kekasihnya.
“Hei, Dimas. Apa ini sudah menjadi kebiasaanmu untuk membuatnya merasa bersalah-” Hanafi bertanya dengan kedua mata tertutup.
“Tak apa Shinta, jika kamu ingin selingkuh dengan lelaki ini. Bilang padaku terlebih dahulu yah,” senyum Dimas menyela pernyataan sang sahabat sambil memberikan ibu jarinya pada Shinta.
“Hei ...,” Hanafi semakin memasang wajah datar pada teman dekatnya itu. Tak tau harus merespon seperti apa pernyataan dia sebelumnya.
“Tenang, aku hanya bercanda, hahaha,” Dimas tertawa melihat Shinta yang masih menundukkan kepala karena menyembunyikan wajahnya yang masih memerah.
“....” Hanafi hanya melirik sahabatnya yang tertawa aneh itu.
“Em, Shinta?” senyum Hanafi melirik Shinta.
"Ya!?" gugup Shinta dengan kepala mendongak ke arah Hanafi.
“Dia memang agak usil, tapi dia lelaki yang baik kok. Tolong jaga dia yah,” lanjut Hanafi memberikan senyuman hangat.
“Ya tentu saja,” Shinta terlihat baikan dan tersenyum melihat Dimas.
“Tapi kalau dia berlebihan, kamu bisa berteriak dan memukul kepalanya,” senyum Hanafi menunduk sang sahabat dengan telunjuk kanan.
“Ya, akan kulakukan itu hahaha,” Shinta tertawa kecil sambil menyembunyikan mulut dengan telapak tangan kanan.
“Hei, apa maksudnya itu,” gerutu Dimas pada Hanafi. Dia merangkul leher sang sahabat cukup erat.
“Sudahlah, kalian pergi keluar bukan untuk menemuiku, kan? Cepatlah pergi jalan-jalan sana.”
“Selalu perhatian seperti biasanya, yah? Aku pasti menyukaimu jika kamu adalah perempuan Hanaf–“ Dimas mencoba memeluk Hanafi, tapi Hanafi lekas mendorong tubuhnya itu sambil memasang wajah tak senang. “Hentikan, kau menjijikan.”
“Hahaha, ya sudah, kami berangkat dulu,” senyum Dimas mulai memegang tangan pacarnya.
“Dimas jangan berlebihan dan melewati batas,” senyum Hanafi menggoda Dimas.
“Bo-bodoh! Aku tak akan melakukan itu!! Harus memasang wajah apa pada orang tuanya jika aku berani melakukan hal itu,” wajah Dimas sontak memerah tak karuan. Sedangkan Shinta hanya terdiam kebingungan dan tak mengerti akan pembicaraan dua lelaki di sekitarnya.
“Hahahaha ...!” Hanafi tertawa puas mendengar respon sahabatnya yang seperti itu. Lalu selanjutnya, dia pun berjalan pergi meninggalkan mereka.
“Ah, tunggu sebentar yah, Sayang.” Dimas melirik kekasihnya dan lekas berjalan cepat mengejar Hanafi sambil berteriak memanggil namanya.
“Hanafi!”
“Ada apa lagi?” Hanafi menghentikan langkah, berbalik, dan bertanya.
“Ak-aku dapat uang lebih dari orang tuaku. Daripada kubeli rokok atau kegiatan tak berguna, lebih baik dimanfaatkan olehmu saja,” senyum Dimas menutup matanya sambil memberikan beberapa uang.
“....” Hanafi hanya tersenyum kecil melihat Dimas. Dia tau jika dia menolaknya, itu sudah dipastikan akan melukai perasaan sahabatnya.
“Begini lagi ...,” keluhnya dalam hati.
“Hanafi?” tanya Dimas kebingungan.
“Ah, tidak apa-apa. Terima kasih Dimas, kau benar-benar sering membantuku,” senyum Hanafi memejamkan mata sambil menerima pemberian Dimas.
“Apa kau sedang menyindirku!? Justru kaulah yang paling sering membantuku. Ini sih masih belum seberapa!” senyum Dimas sambil berjalan kembali mendekati kekasihnya.
“Dasar ...,” senyum Hanafi melebar setelah mendengar ucapan sahabatnya. Dia pun berbalik dan berjalan kembali setelah berpamitan pada Dimas dan kekasihnya.
Uang yang diberikan Dimas adalah lima ratus ribu rupiah, dan itu benar-benar uang yang sangat banyak untuk Hanafi.
Kini dia tidak perlu khawatir dengan kebutuhan makannya selama satu bulan ke depan. Tapi, lelaki itu kembali merasa tidak enak karena diberikan bantuan oleh teman dekatnya.
Tidak hanya oleh Dimas. Bahkan Gina, perempuan yang berada di kelas yang sama dengannya juga pernah memberinya bantuan makanan. Para tetangganya, tukang sayur, dan orang-orang di sekitarnya juga cukup sering membantunya.
Hanya karena dia anak yatim piatu. Lalu tempat panti asuhannya bangkrut di tahun kemarin. Parahnya, dia sampai saat ini masih belum memiliki keluarga ….
Ah, mungkin wajar jika sekitarnya menjadi amat peduli pada lelaki yang ramah dan sedang berjuang hidup sendirian itu. Hanafi tergolong lelaki yang murah senyum meski sering mendapatkan kemalangan.
Tapi dalam hati terdalamnya, Hanafi sungguh merasa tidak enak. Tak senang akan perhatian berlebihan sekitarnya. Dirinya merasa menjadi seperti pengemis yang mudah mendapatkan uang meski sudah bekerja sampingan sekalipun.
Waktu terus berputar, warna langit pun mulai menggelap. Malam dengan suhu yang cukup rendah mulai datang.
Hanafi terlihat berjalan di trotoar yang cukup sepi sambil memeluk dirinya sendiri.
“Sebaiknya aku harus membeli jaket baru,” batinnya sambil melihat jaket usangnya secara menyeluruh yang beberapa bagiannya sudah berlubang.
Lalu, Hanafi mengeluarkan sebuah Solar Powerbank dari ransel. Mulai berpikir akan berapa harga jual dari benda yang saat ini dipegang oleh tangan kirinya. “Kenapa harus mendapatkan hadiah ini dari undian minggu lalu?”
“Ya bukan berarti aku tidak membutuhkannya, baterai ponsel androidku memang mudah kehabisan tenaga,” lanjutnya mulai mengeluarkan handphone dari saku dengan tangan kanannya.
“Apa harus kujual saja benda ini untuk membeli jaket baru,” lanjutnya sambil memasukan handphone dan powerbanknya ke dalam tas. Kembali berjalan sambil memandang langit yang mulai dihiasi bintang.
Sambil terus berjalan, Hanafi mengeluarkan sebuah roti dari dalam tasnya. Berniat memakan roti coklat yang masih terbungkus plastik itu segera. Tapi niatnya ia urungkan ketika melihat lelaki tua yang bersandar pada dinding bangunan.
Lelaki itu memakai jubah coklat dan terlihat seperti pengemis yang kesakitan. Hanafi cukup enggan sesaat, berniat mengabaikannya. Tapi setelah mendengar rintihannya, Hanafi pun mulai berjalan cukup cepat menghampiri lelaki tua itu, lekas bertanya dengan nada cukup khawatir.
“Ada yang bisa kubantu? Kau terlihat kesakitan, Pak.”
“Ah, aku tidak apa-apa. Aku hanya kelelahan karena perpindahan dimensi,” senyum khawatir lelaki tua itu mulai berdiri dengan bantuan dinding di belakangnya. Hanafi yang melihat hal itu lekas membantunya untuk berdiri.
“Sejak siang aku diperlakukan seolah tak ada oleh orang-orang sekitar. Tapi kau malah menolongku. Kau lelaki baik, anak muda. Bisa kutau namamu?” senyum lelaki itu bertanya sambil mengangkat kepala, otomatis tundung coklat dari jubahnya pun terbuka. Rambutnya berwarna putih menyeluruh meski wajahnya tidak terlalu tua.
“Hanafi, namaku Hanafi Anugerah.”
Lelaki itu hanya tersenyum setelah mendengar jawaban Hanafi. Dia mulai membungkuk dan memperkenalkan dirinya secara formal.
“Kebetulan, namaku juga Hanafi. Senang berkenalan denganmu.”
Hanafi hanya terdiam khawatir dan kebingungan melihat sikap lelaki paruh baya itu. Dia tersenyum kecil sambil memegang pundaknya.
“Ah ya, salam kenal. Tapi kau tak perlu berlebihan seperti itu, Pak.” canggung Hanafi memberikan senyuman.
“Ah, maaf. Budaya di dunia ini sedikit berbeda yah. Bahkan bahasanya pun cukup sulit bagi kami,” senyumnya sambil terlihat berpikir.
“Budaya dunia ini? Ma-maksudnya budaya negeri ini, yah?” batin Hanafi.
Tak lama setelah perkataannya, mulai terdengar suara perutnya yang lapar. Untuk sesaat suasana terasa hening. Hanafi hanya tersenyum sambil mengeluarkan roti coklatnya yang sebelumnya ia masukan kembali. Lekas memberikan makan malamnya itu pada lelaki paruh baya di hadapannya.
“Jika kau tak keberatan, kau bisa memilikinya.”
“Eh, tapi bukankah ini makananmu?” tanya Hanafi paruh baya cukup terkejut.
“Hahaha, ini memang makananku tapi aku ingin memberikannya padamu. Tenang saja, aku tidak mencurinya.” Hanafi menyunggingkan senyuman. Dia sadar jika lelaki di hadapannya lebih membutuhkan makanan itu.
“Tapi bagaimana denganmu?” tanya khawatir kembali si lelaki paruh baya berambut putih.
“Aku baru saja makan beberapa saat yang lalu. Roti itu hanya sebatas cemilan untukku,” senyum Hanafi menjawab sambil duduk bersandar pada dinding bangunan.
“Begitu, sepertinya kamu bukan orang sembarangan, Hanafi. Roti seenak ini hanya kamu anggap sebagai sebatas cemilan,” lelaki itu terlihat sangat bernafsu memakan roti tersebut.
“Kamu pasti bercanda, kan? Mana mungkin aku orang sembarangan, aku hanya anak SMA biasa, “ Hanafi tertawa kecil dan mulai memberikan lirikan padanya.
“Anak SMA?”
“Ya, hanya anak SMA, “ senyum Hanafi mulai membuka jaketnya. Seragam sekolahnya pun terlihat oleh si lelaki paru baya.
Setelah melihat hal itu, ekspresi lelaki paruh baya mulai berubah. Keterkejutan benar-benar tersungging di wajahnya. Kedua tangannya bahkan terlihat bergemetar seolah ketakutan.
Sungguh terlihat aneh ketika tubuh lelaki tua itu bergemetar setelah melihat Hanafi yang memperlihatkan seragamnya. Dia pun mulai melihat Hanafi secara keseluruhan. Dari kaki sampai kepala.
Hanafi yang mendapatkan tatapan aneh darinya hanya terdiam khawatir sambil mengajukan pertanyaan.
“Apa ada yang salah dariku, Pak?”
“A-ah tidak ada, “ jawab khawatir lelaki paruh baya itu mengalihkan pandangan dari lawan biacaranya.
“Be-begitu?” senyum Hanafi yang terlihat masih tak puas akan jawabannya.
“Ma-maaf Hanafi, mungkin aku sedikit lancang. Tapi, bisa kutahu dimana orang tuamu?” tanya lelaki paruh baya itu sambil berdiri dan menatap Hanafi dengan ekspresi keseriusan.
“Ah, sebenarnya aku yatim piatu. Panti asuhanku menemukanku di jalan ketika aku berumur tiga tahun. Aku bahkan tidak tau apa orang tuaku masih hidup atau tidak,” senyum Hanafi menjawab.
“Be-begitu,” pelan lelaki itu menundukkan kepala. Kedua tangannya tidak pernah berhenti bergemetar setelah melihat Hanafi yang melepas jaketnya.
“Apa kau mengatakan sesuat–“ Hanafi berbalik dan mulai bertanya, akan tetapi dirinya langsung mendapatkan pukulan hingga terjatuh dan tak sadarkan diri. Kini lelaki yang mengaku bernama Hanafi itu juga mulai mengangkat tangan kanannya ke arah Hanafi yang terlentang tak sadarkan diri.
Cahaya berwarna keemasan perlahan muncul di bawah telapak tangannya, dan menyinari tubuh Hanafi yang tak sadarkan diri. Sambil melakukan hal tersebut, dia pun mulai bergumam dalam hatinya sendiri dengan nada suara penuh kecemasan.
“Aku tahu kami tak pantas mendapatkan bantuanmu setelah apa yang kami lakukan pada kau dan keluargamu. Tapi mengertilah, kami sudah terlalu putus asa. Kumohon, kami berjanji jika ini adalah yang terakhir kalinya. Tolong pinjamkan kekuatanmu untuk menyelamatkan dunia kami lagi, wahai engkau yang ditakuti seluruh mahluk.”
***
No comments:
Post a Comment