Chapter 6
Rina Analilia
Malam di desa Karot yang sebelumnya tenang
berubah menjadi kericuhan penduduk yang sudah mendengar kedatangan mahluk
bernama Amygons. Thomas sang kepala desa juga terlihat memasang wajah penuh
cemas seolah kebingungan mengambil keputusan. Tubuhnya bahkan terlihat
bergemetar ketakutan seperti yang lainnya.
“Amygons? Apa itu?” Hanafi bertanya cemas langsung pada Thomas.
“Sle-Sleazer ulat pemakan daging manusia. Tubuhnya seukuran
dengan dua orang lelaki dewasa,” istri Thomas menjawab pertanyaan Hanafi dengan gugup. Kedua tangannya gemetaran. Tatapan kosong ia berikan pada lawan bicaranya.
“Be-berapa jumlah mereka?” Hanafi bertanya kembali.
“Amygons adalah
Sleazer tipe berkelompok. Kemungkinan lebih dari tiga puluh dan masing-masing tiap ekornya berkelas G bahkan F. Karena mereka bergerombol lah yang membuat monster
ini ditakuti oleh daratan benua ini.” Thomas menjawab sambil menutup mata perlahan.
“....” Hanafi tak
berucap kembali. Hanya melebarkan kedua mata menatap Thomas. Ekspresi
kekhawatiran mulai menempel di wajah sambil menatap para
penduduk yang berkumpul di sekitar
rumah Thomas.
“Kapan mereka sampai ke desa ini?” tanya Thomas kembali
pada lelaki bernama Ganga.
“Mungkin sekitar 2 jam lagi.”
“....” Thomas menundukkan kepala memperlihatkan
wajah putus asanya. Istrinya hanya menangis di punggung suaminya.
“Kita akan mati di sini?”
“Aku tidak ingin mati disini. Aku masih muda dan banyak
hal yang ingin kulakukan,” beberapa orang berucap mengemukakan isi hatinya. Anak-anak terlihat menangis ketakutan memeluk orang
tuanya.
“Se-setidaknya kita bisa melakukan perlawanan! Mati
karena melawan Sleazer akan membuat kita dikenang oleh dataran benua ini,
khususnya Kerajaan Angelwish,” ucap
Ganga berteriak cukup lantang sambil memberikan senyuman menguatkan diri.
Hanafi tetap terdiam mengamati sekitar. Sedikit kebingungan akan
perkataan mereka yang terlihat pasrah
akan ancaman yang datang. Perkataan mereka itu terdengar jika mereka tidak
bisa kabur dari Sleazer bernama Amygons itu.
“Benar yang
dikatakan Ganga. Semuanya, si-siapkan senjata untuk melawan bentuk kejahatan dunia ini!
Kita akan buktikan jika kita juga bisa melawan–“ Thomas ikut berteriak mencoba memberikan
semangat pada penduduknya, akan tetapi perkataanya terpotong oleh teriakan
Hanafi yang cukup kesal.
“Tunggu dulu! Kenapa
dengan kalian ini?! Jika kalian tidak bisa melawan, kenapa kalian tidak
lari dan menunggu mahluk itu melewati desa kalian?! Soal rumah atau harta
kalian yang hancur itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan nyawa kalian!”
“Tapi indra penciuman mereka kuat dan terlalu terlambat jika kita lari sekarang. Amygons
terkenal sebagai salah satu
monster pengejar terbaik. Setelah menetapkan targetnya, mereka akan tetap
mengejar kita dan memangsa kita. Karena hal
itulah–“
“Haaah?!! Jadi itu ‘kah masalahnya?!“ kesal
Hanafi mulai menutup mata dan mengepalkan kedua tangannya amat erat.
“Eh, apa maksud anda–“ Thomas terlihat was-was melihat Hanafi yang
berwajah kesal. Tapi pertanyaanya itu kembali
terpotong oleh teriakan Hanafi.
“Semuanya pergi ke
sungai!! Lumuri tubuh kalian dengan lumpur, setelah itu kita pergi
meninggalkan desa ini!!”
“....” Suasana desa langsung
terasa hening. Mereka menatap Hanafi penuh kebingungan. Tak mengerti dengan maksud perintahnya.
“Ke-kenapa kita harus melumuri tubuh kita dengan lumpur?“
Thomas bertanya pelan cukup segan.
“Tentu saja untuk
menyamarkan bau kita! Kita akan
mengecoh penciuman monster itu! Jika kalian ingin hidup cepat lakukan itu!!” Hanafi menjawab sambil berbalik dan berjalan
cepat menuju sungai.
“Pa-pangeran an-anda
...,” Thomas terlihat terkejut bukan main menatap Hanafi. Tak menduga ada ide seperti itu.
“Terserah kau ingin
memanggilku apa, tapi yang jelas jangan menyerah di sini! Kalian masih bisa
bertahan hidup! Manfaatkanlah potensi yang kalian miliki!” teriak kembali Hanafi
sangat kesal tanpa menolehkan kepalanya kepada para penduduk.
Setelah teriakan Hanafi para warga pun lekas
berlarian ke pinggiran sungai. Membasuh tubuh mereka dengan lumpur.
Hanafi yang telah selesai lebih dulu terlihat berdiri
sambil mengamati sekitar. Tersenyum khawatir mulai berteriak kembali.
“Siapapun yang sudah melumuri tubuhnya dengan lumpur
segeralah pergi ke bukit! Kita tak punya banyak waktu untuk mengambil barang
berharga kalian!!”
“Ya, Pangeran!!” teriak para penduduk, tak
terkecuali bagi Thomas. Tubuh mereka bergemetar karena aura ketegangan yang benar-benar
terasa. Tak aneh, Sleazer pemakan manusia akan datang sebentar lagi melewati
desa mereka.
Lalu dua jam kemudian, seluruh penduduk
akhirnya sudah berkumpul di balik bukit sebelah timur desa mereka. Aura
ketegangan masih terasa. Para pengamat terlihat berdiri di atas bukit dengan jumlah empat orang. Mereka
merangkak sambil mengamati para Sleazer.
“Ibu, aku takut,”gadis kecil berucap, menangis,
dan memeluk ibunya. Sang ibu mengusap pelan kepalanya. Berniat menenangkan buah
hatinya yang ketakutan.
Hanafi yang melihat hal itu tersenyum. Sedikit
bahagia melihat kasih sayang sang ibu pada anaknya. Dia berdiri di dekat para
pengamat dengan wajah kekhawatiran, merasa bertanggung jawab jika rencananya
gagal.
Tak lama, sontak Hanafi mulai mengingat
sesuatu ketika melihat gadis kecil yang menangis tadi. Tanpa berpikir panjang,
dia lekas berjalan, dan berlari mengengelingi para penduduk yang terduduk
ketakutan.
“Dimana!?
Dimana gadis itu?” Hanafi bertanya was-was pada sekitar.
Para penduduk mulai memperhatikan tingkah
anehnya. Thomas mulai berdiri dan bertanya pelan pada Hanafi berwajah cemas.
“Gadis itu mana!? Gadis kecil yang compang-camping!
Dipenuhi luka disekujur tubuhnya!?”
“Ah, maksudmu gadis terkutuk yang memiliki dua
warna mata berbeda, Pangeran?”
“Ga-gadis terkutuk?” Hanafi bertanya keheranan.
“Ah, gadis itu sengaja aku kunci di gudang biar
tidak bisa kabur.” Lelaki muda terlihat berdiri sambil memberikan senyuman
ramah dan menatap Hanafi.
“Benarkah!?” Thomas terkejut memasang wajah bahagia
yang bukan main.
“Syukurlah, akhirnya dia mati juga. Kedatangan
monster ini juga pasti karena ulahnya.” Beberapa orang juga terlihat bahagia
setelah mendengar pernyataan si lelaki muda.
Tanpa berpikir dua kali Hanafi lekas berjalan
cepat mendekati si lelaki muda dan memegang kerahnya. Memberikan tatapan
kemarahan padanya.
“Kenapa kau lakukan itu!?”
“Eeh, bu-bukankah lebih baik jika gadis
terkutuk sepertinya mati? Mereka yang memiliki warna berbeda hanya membawa
malapetaka pada sekitarnya.” Si lelaki muda terlihat ketakutan melihat ekspresi
kemarahan Hanafi. Para penduduk pun memberikan tatapan ketakutan dan kebingungan
ketika melihat Hanafi yang seperti itu.
“Be-benar yang dikatakannya, Pangeran. Dia
hanyalah ....“ Thomas berucap was-was berniat menenangkan Hanafi, tapi.
Hanafi tak mendengar penjelasan sang kepala
desa, lekas mendorong lelaki muda, dan berlari kembali ke desa sambil mengambil
pedang peninggalan Abbas.
Dia terus berlari mengabaikan orang-orang yang
berteriak mengkhawatirkan dirinya.
Kedua tangan Hanafi benar-benar gemetar,
ketakutan benar-benar menjalar memenuhi hati. Tapi karena rasa khawatirnya pada
gadis kecil. membuat dia berani mengambil tindakan ekstrim. Dia mengingat adik
angkatnya di panti asuhan yang tak bisa ia selamatkan di masa lalu karena suatu
alasan.
“Brengsek!!”
Sesampainya di desa, Hanafi lekas mencari tiap
gudang yang ada di pemukiman tersebut. Berteriak lantang memanggil seorang
gadis yang tak ia ketahui namanya.
“Hei gadis kecil dimana kau?! Aku datang untuk
menyelamatkanmu!!” teriak Hanafi amat keras sambil terus belari tak karuan.
“To-tolong, aku di sini ...!” ketukan pintu
gudang dekat gerbang utama terdengar, bersamaan dengan teriakan gadis kecil dipenuhi
ketakutan. Amygons sudah berdatangan dari gerbang utama. Merayap amat cepat ke
gudang tersebut.
Hanafi lekas berlari menuju pintu tersebut dan
berteriak.
“Menjauh dari pintu!!”
Tanpa berpikir panjang dia mulai mendobrak pintu
gudang tersebut dengan kakinya. Pintu langsung hancur dan membuat si gadis memasang
wajah terkejut yang dihiasi ketakutan. Hanafi lekas menggendong si gadis penuh
luka layaknya tuan putri. Tak lupa memberikan tatapan menyesal padanya. Lalu
lekas berlari menjauhi gudang dan gerbang utama.
Amygons sudah menguci targetnya, lalu mengejar mereka
dengan sangat cepat. Jumlahnya sangat banyak.
Jika saja Hanafi melepaskan gadis itu, maka
Amygons akan langsung mengerubuninya. Sepertinya, Amygons itu hanya bereaksi
pada bau si gadis kecil.
Tapi Hanafi tetap membawanya hingga keluar dari
pemukiman. Bukan ke bukit tempat para penduduk berada, tapi ke arah lainnya.
Menuju danau besar yang menjadi muara sungai.
Para penduduk berwajah was-was mengamati sang
penyelamat yang dikejar oleh sekumpulan Amygons. Memanjatkan doa pada Tuhan
akan keselamatan lelaki berambut hitam tersebut.
Si gadis mulai berpikir sambil memberikan
tatapan kecil pada Hanafi. Anggapan jika dirinya hanya menjadi beban kembali
mulai muncul dalam benak.
Perlahan, dia lekas menggegam erat pakaian
Hanafi, berwajah ketakutan menurunkan pandangan.
“Ka-kakak ..., orang yang baik yah?” Gadis itu
bertanya pelan. Sedikit gugup nada suaranya sambil memberikan senyuman kecil
pada Hanafi. Tatapan matanya kecil dengan tetesan air mata terlihat di
masing-masing sisi mata.
“Ha-hah!?” Hanafi tak mendengar jelas, dan
hanya berwajah cemas sambil terus berlari kencang. Jarak Amygons dengannya
sudah cukup jauh. Tanpa Hanafi sadari, kecepatan larinya benar-benar di luar
kata normal.
“Sejujurnya, aku sudah senang karena masih ada
orang lain yang memperhatikanku. Tapi jika begini terus, mereka akan terus
mengejar kita, bahkan sampai ke ujung dunia. Aku sadar jika para Sleazer ini hanya
mengejar kita karena bauku. Lalu aku tak ingin orang baik seperti Kakak mati
hanya mengorbankan gadis hina sepertiku, maka dari itu ....” Gadis itu
memberikan senyuman kecil dengan air mata yang menghiasi wajah.
“Tunggu, apa maksudmu ....“ Ucapan Hanafi
semakin mengecil dan menghilang ketika melihat tindakan tak terduga dari gadis
kecil yang digendongnya.
Gadis itu mulai melompat dari pangkuan Hanafi.
“BRUGH!!”
Hanafi yang sedang berlari di atas kecepatan normal
lekas terkejut keheranan. Lekas berbalik menatap tajam sang gadis yang terjatuh
dengan amat keras.
Para Amygons semakin bergerak cepat karena mengetahui
jika sang mangsa tak bisa bergerak. Gadis itu dipenuhi luka lecet. Layaknya
terjatuh dari kendaraan yang berkecapatan tinggi. Dia hanya menutup mata.
Menitiskan air mata karena mengerti jika ajalnya yang mendekat.
Salah satu Amygons tercepat berhasil sampai,
dan sudah memperlihatkan gigi berancunnya yang mengerikan. Dia bersiap memangsa
gadis mungil yang terbaring lemah dan tak berdaya.
Akan tetapi.
Hanafi melompat dengan hentakan kuat, hingga
tanah pijakan sebelumnya berubah jadi cekung tak karuan. Tujuannya bukan yang
lainnya selain ke arah depan, yakni tempat si gadis kecil berada. Kecepatan lompatannya
di luar nalar bagai kecepatan yang melebihi suara.
“Ming-gir ...!” Hanafi menggeram murka, mengeja
ucapan sambil mengeluarkan pedang milik Abbas, lalu menebaskan pedangnya dari
atas ke bawah dengan satu tangan.
Ekspresi keseriusan dan kemarahan benar-benar tersungging
di wajah. Untuk sesaat langit semakin menggelap keunguan. Intimidasi mengerikan
benar-benar terasa ketika Hanafi yang menggeram murka hingga menggetarkan daratan
benua.
Hanya satu tebasan yang Hanafi berikan, tapi
dampak dari satu tebasannya itu terlihat sangat menakutkan. Bagai penampakan
dari bencana yang tak terpikirkan oleh semua orang yang melihatnya.
Sleazers paling depan hancur dibinasakan. Bersamaan
juga dengan gerombolan Sleazers di belakangnya. Bagaikan pembataian dalam kurun
waktu sekejap mata.
Tapi bukan itu saja yang membuat sang gadis dan
para penduduk menggigil ketakutan. Efek dari tebasan itu terus masih terasa. Membuat
retakan maha besar, bagaikan tanah yang membelah hingga menciptakan
jurang besar. Lebar menganga
terlihat mengerikan.
Retakan itu terus merambat lurus ke depan,
membelah dataran hijau, Hutan Yellow Forest, dan gunung terbesar di benua.
Burung-burung berterbangan ketakutan. Hewan-hewan,
monster-monster, ..., berlarian meninggalkan hutan. Langit
gelap semakin memunculkan keunguan. Benua bahkan dunia dibuat terguncang oleh
suara getaran yang bagaikan bencana dahsyat itu.
Seluruh umat manusia dan lainnya di benua itu
menghentikan aktivitas. Orang-orang dari berbagai kerajaan terlihat ketakutan
menatap langit ungu yang terlihat aneh.
Begitupula Lapis dan Bella yang masih dalam
perjalanan.
Karena guncangan hebat, mereka sampai
menghentikan perjalanan. Keduanya bahkan sampai keluar dari dalam kereta.
Bella terlihat berwajah ketakutan, bahkan
hampir menitiskan air mata melihat pemandangan mengerikan di belakangnya.
Seluruh permukaan tubuhnya menggigil merasakan atmosfir yang tak mengenakkan.
Tubuh Lapis juga terlihat bergemetar. Mulai
bertanya menatap ketakutan gunung raksasa yang terbelah menjadi dua.
“Ap-apa yang sebenarnya terjadi ...?”
***
Langit mulai terlihat normal, tapi kelenggangan
di sekitar Hanafi masih terasa. Gadis
kecil berwarna rambut seperti lemon masak masih memberikan tatapan lebarnya,
bukan untuk Hanafi melainkan retakan lebar bagaikan jurang yang membelah gunung
raksasa.
“Ap-apa
ini?” Hanafi juga melebarkan kedua
bola mata, dan sama terkejutnya melihat retakan besar yang ia ciptakan. Lengan
kanan pakaian sekolahnya terlihat hancur sampai bahu. Perlahan, tatapan matanya
berubah ke arah pedang yang ia ganggam dengan tangan kanan.
Pedang pemberian Abbas juga terlihat hancur tak
berbekas, dan membuat tubuh lelaki berambut coklat itu merinding ketakutan akan
fenomena gila yang ia alami.
Bersamaan dengan masih tubuh yang bergemetar, cahaya
hitam langsung muncul di sekitar lehernya. Lebih tepatnya dari tanda lahir yang
berbentuk ‘X’.
Hanafi lekas memegang cahaya itu yang terasa
panas sebelum akhirnya padam kembali. Lalu dia lekas bertanya penasaran dengan
ekspresi wajah ketakutan pada dirinya sendiri.
“Ap-apa-apaan ini ...!?”
Si gadis kecil lekas berdiri meski luka lecet
di sekujur tubuh terlihat. Tatapan penuh kecemasan tertuju pada Hanafi sambil memegang
tangan kiri Hanafi dengan kedua tangan.
“Eh?” celetuk Hanafi melirik si gadis belia. Sedikit
terkejut akan tindakan tak terduga darinya. Tapi ekspresi keterkejutan itu tak
lama sampai Hanafi memberikan senyuman hangat, dan mengusap pelan kepalanya
dengan tangan kanan.
Para penduduk desa berdatangan sambil
memberikan tatapan penuh penasaran pada Hanafi. Terlihat juga tatapan ketakutan
setelah melihat kekuatan dari lelaki yang mereka hormati itu.
Gadis kecil itu berlindung di balik Hanafi
sambil memasang ekspresi ketakutan dari para penduduk yang datang.
“Pa-pangeran Hanafi?” Thomas bertanya gagap
dengan tetesan keringat kecemasan menghiasi wajah.
“Ma-maaf, aku benar-benar tak mengetahui akan
hal ini,” ucap pelan Hanafi menundukkan kepala. Merasa amat sangat bersalah
karena perbuatannya.
“Ke-kenapa anda meminta maaf? Anda telah
menyelamatkan kami, dan memusnakan gerombolan monster itu yang sudah lama
meresahkan daratan benua ini.” Thomas menjelaskan dengan senyuman kecil, dan
sedikit dihiasi ketakutan.
“Tapi lihat retakan ini .... Bahkan sampai
membelah hutan dan gunung besar itu? Aku sungguh tidak menyangka akan menjadi
seperti ini,” khawatir Hanafi menatap ketakutan retakan yang ia perbuat.
“....” Thomas terdiam semakin cemas melihat
penampakan yang membuat dia masih bergemetar. Retakan yang diciptakan Hanafi
benar-benar sulit dipercaya, bagaikan bukan perbuatan seorang manusia ataupun
Electus.
“Ta-tapi apa memang seperti ini kekuatanmu,
Pangeran? Bahkan aku ragu jika Eluser terkuat saat ini pun bisa melakukan hal
ini,” istri Thomas bertanya pelan, dan menatap Hanafi cukup ketakutan.
“Be-benar, tak kusangka aku bisa menyaksikan
gunung raksasa di Benua Luna yang bisa terbelah seperti ini,” Ganga sang pemantau
ikut mengeluarkan pendapat sambil menatap ketakutan gunung tersebut.
“Kekuatanku tak segila ini. Ada yang aneh
dengan tubuhku? Tapi jika apa yang kalian katakan benar, aku berharap jika
kejadian ini tak kalian katakan pada siapapun.” Hanafi menjelaskan dengan nada
suara pelan sambil menatap para penduduk seolah meminta pertolongan.
“Kenapa? Bukankah dengan kejadian ini nama anda
akan semakin terkenal. Kerajaan anda akan mendapatkan perhatian dari dataran in–“
“Aku tidak menginginkan hal itu, tak mustahil
jika dengan tindakan cerobohku ini peperangan akan terjadi. Tolong, bisa kalian
jelaskan saja jika retakan ini tercipta dari serangan Sleazer tak dikenal yang
mirip seperti manusia, dan bahkan sampai bisa berbicara.”
“Kenapa harus monster mirip seperti manusia?”
“Dengan begitu mereka bisa berpendapat jika
retakan ini tercipta oleh Sleazer berkelas A ke atas.”
“.....” Thomas melebarkan mata sambil
menganggukkan pelan kepala terlihat memahami penjelasan.
“Dengan begitu orang-orang takkan menaruh
curiga. Mereka akan berpikir jika tak aneh Sleazer tingkat atas membuat retakan
seperti ini,” khawatir Hanafi kembali menatap retakan.
“Baiklah, Pangeran. Kami akan menuruti permintaanmu.”
Thomas mulai menundukkan kepala kembali. Memberi hormat pada Hanafi lebih
dalam. Orang-orang di sekitarnya juga menuruti tindakannya.
“Aku sungguh minta maaf akan hal ini. Lain kali
aku akan lebih berhati-hati,” cemas Hanafi menutup mata. Detak jantungnya masih
berdetak cepat karena masih merasakan perasaan bersalah.
“Jika
tadi aku tak meninggalkan desa, tak menutup kemungkinan kalau desa juga akan
terkena dampaknya,” batin Hanafi sambil memberikan tatapan kecil pada desa
di belakang Thomas dan para penduduk.
“Pangeran adalah penyelamat kami. Kami tak tau
apa yang akan terjadi jika anda tak di sini. Tolong jangan menyalahkan diri
anda sediri.” Istri Thomas memberikan senyuman pada Hanafi. Para penduduk juga
mulai menganggukkan kepala terlihat membenarkan ucapannya.
Perasaan tenang mulai muncul di Hanafi. Dia hanya
bisa membalas ucapan wanita paruh baya di hadapannya dengan senyuman.
Genggaman kecil mulai terasa lebih erat di
tangan kirinya. Membuat Hanafi menoleh ke bawah, dan menatap penasaran tindakan
gadis kecil di samping kiri.
Gadis itu tak mengucapkan sepatah kata apapun
dan hanya menyungginkan senyuman dengan kedua mata yang melebar. Memberikan
tatapan kagum untuk si lelaki berambut coklat.
Melihat hal itu, Hanafi mulai tersenyum dan
menutup mata sesaat. Lekas menatap para penduduk desa sambil bertanya dengan
nada suara bersahabat.
“Bisa aku mengambil gadis ini?”
Seluruh penduduk desa terdiam sesaat, dan lekas
memasang wajah terkejut dengan ucapan Hanafi. Tidak hanya mereka, tetapi gadis
kecil di sampingnya juga lekas melepas senyuman, dan memberikan tatapan semakin
penasaran pada Hanafi.
“Tu-tunggu, anda pasti bergurau kan? Gadis itu
adalah pembawa bencana. Bagaimana jika bencana mengerikan terus mengikuti and–“
“Bagaimana kalian bisa sampai berpikir jika
gadis kecil sepertinya membawa bencana?”
“Ka-karena aku seorang Duplicare, pemegang berkah keserakahan ...,” gadis itu menjawab pelan
pertanyaan sambil melepas kedua tangannya dari Hanafi. Dia mulai mengangkat
kedua tangannya, dan memperlihatkan masing-masing telapak tangannya.
Dua api dengan berbeda warna tiba-tiba muncul
di masing telapak tangan. Api berwarna biru terlihat di tangan kanan, membara
kecil terlihat tak berbahaya. Api berwana merah jingga juga terlihat di tangan
kirinya, membara seperti halnya api biru di sampingnya.
Hanafi terkejut melebarkan mata. Tapi itu tak
lama sampai dia memberikan senyuman dan berucap.
“Bu-bukankah itu hebat? Kau memiliki kemampuan
–“
“Tapi hanya sebatas ini dan tak bisa berkembang
lagi. Kekuatanku tak berguna karena tabrakan berkah yang kualami.” Gadis itu
berucap pelan menurunkan kedua tangan dan menundukkan kepala.
“Ap-apa–“
“Selain itu, karena bakat keserakahannya itu dia
selalu menarik perhatian beberapa Sleazer yang mengejar kekuatan. Karena hal
itulah dia selalu mendatangkan bahaya.” Jelas Thomas menjelaskan dengan nada
cemas.
“Eh jadi maksudmu alasan Sleazer tadi datang adalah
karena gadis ini?” tanya Hanafi.
“Ti-tidak, bukan seperti itu, Kak! Bakatku
hanya menarik perhatian Sleazer yang memiliki akal. Dengan kata lain Kelas B ke
atas,” jelas gadis kecil itu mengemukakan pendapat dengan cukup gugup.
“Tapi bukankah jarang untuk melihat Sleazer
sekelas itu? Jadi–“
“Tapi itu tidak menutup kemungkinan juga jika
me-mereka bisa datang kapanpun!” gadis itu berucap kembali dengan nada sedikit
lebih tinggi. Tatapan matanya yang berisi kekhawatiran tertuju ke atas.
Langsung tertuju ke arah Hanafi.
Hanafi terdiam sesaat menatap gadis kecil. Tapi
tak lama setelah itu dia menyunggingkan senyuman, berucap kembali hingga
menggentarkan hati si gadis belia.
“Aku akan tetap membawamu. Kau juga melihatnya
‘kan tadi akan kekuatanku?”
“.... Y-ya.” Gadis itu menganggukkan kepala
perlahan. Menjawab pertanyaan Hanafi dengan nada suara yang kembali gugup.
“....” Seluruh penduduk juga ikut terdiam
seperti si gadis kecil. Mereka memberikan tatapan penasaran pada Hanafi.
“Ya, mungkin hanya anda yang bisa mengambil
gadis ini,” ucap Thomas sambil melukiskan senyuman di wajah. Tatapan matanya itu
tertuju pada Hanafi yang membalas senyuman.
“Terima kasih, jadi siapa namamu?” Hanafi
menatap gadis kecil. Tapi gadis itu hanya terdiam dan menundukkan kepala.
Melihat sikapnya itu Hanafi lekas memberikan
tatapannya pada sang kepala desa. Thomas menggelengkan kepala, arti tak
mengetahui namanya juga.
“Wah bagaimana aku memanggilmu jika kau tak
memberitahu namamu ...,” khawatir Hanafi menutup mata. Nada suaranya terdengar pelan
dengan tertawaan kecil di akhir ucapan.
“....” Gadis itu tetap diam menundukkan kepala.
“Maaf, betapa kasarnya diriku. Sebelum itu,
biarkan aku menanyakan hal ini padamu,” ucap Hanafi sambil menyunggingkan
senyuman kecil.
“Eh?” Kepala si gadis kecil mendongak, dan menatap
Hanafi penuh penasaran.
“Maukah kau ikut bersamaku? Aku tak ingin
memaksamu jika kau memang tak mau–”
“Te-tentu saja, Kak!” ucap sang gadis dengan tatapan
penuh harap. Mendengar hal itu, senyuman Hanafi melebar kembali dan berucap
mengajukan pertanyaan yang belum sempat terjawab.
“Kalau begitu bisakah aku mengetahui namamu?”
Gadis itu kembali terdiam sesaat dan
menundukkan kepala. Ekspresi wajahnya terlihat cemas seolah takut untuk
mengeluarkan ucapan.
“Siapapun, apa ada yang tau nama gadis in–“
Hanafi menolehkan kepala ke arah para penduduk, bertanya akan nama gadis kecil.
Tapi ucapannya tersanggahkan oleh si gadis kecil yang semakin menundukkan
kepala dan mengaluarkan ucapan.
“Ak-aku tak memilikinya ...,”suaranya terdengar
pelan bahkan sampai tak terdengar jelas oleh Hanafi.
“Eh apa? Aku tak mendengar dengan jelas,” was-was
Hanafi meminta kembali jawaban, meski dia masih bisa mendengar ucapan si gadis.
Dia bertanya lagi hanya untuk
memastikan.
“Sejak aku dibuang, aku sudah tak memiliki
nama. Lagipula keberadaanku ini lebih rendah dari budak, bahkan mungkin sejajar
dengan para monster.”
“Be-begitu ....” Hanafi terdiam dan cukup terkejut
dengan ucapan si gadis belia. Sedangkan gadis itu tetap menundukkan kepala
dengan tubuh bergemetar.
“Baiklah, jika kau tak memilikinya maka aku
yang akan memberimu nama,” senyum Hanafi pada si gadis.
Ucapan Hanafi yang sederhana itu membuat
seluruh orang di sekitarnya terkejut hingga beberapa orang di antara mereka
saling berbisik.
Si gadis juga lekas menatap Hanafi ketakutan,
dan mengeluarkan air mata berlebihan di wajah. Bukan air mata kesedihan,
melainkan kebahagiaan yang tak terbendung.
“Tunggu, Pangeran! An-anda serius ingin
memberikan nama padanya!?” Thomas bertanya ketakutan, dan sedikit memberikan
tatapan penasaran juga ke arah si gadis.
“Eh kenapa? Ini hanyalah nama, kan?” senyum
kecil Hanafi. Heran juga karena melihat sekitarnya yang terkejut berlebihan.
“Pa-pangeran sedang bercanda, kan? Ini bukanlah
sekadar nama. Jika seseorang memberi nama pada orang lain yang bukan
keluarganya, maka itu adalah perbuatan yang sangat tabu. Lain halnya sebuah
julukan yang bersifat sementara. Ini sama saja dengan anda memberikan
kepercayaan penuh pada orang tersebut.” Istri Thomas menjelaskan dengan nada
kekhawatiran.
“Ehh, benarkah ...?” pelan Hanafi cukup
terkejut. Ekspresi keheranan juga sedikit tersungging di wajahnya.
“Tapi ada beberapa kondisi pengecualian,
seperti seorang majikan pada budaknya. Maka hal itu dapat diperbolehkan.
Memberikan nama itu bukan sebuah kepercayaan melainkan kepemilikan,” jelas
Thomas.
“Jadi di
dunia ini benar-benar masih ada perbudakan,” batin Hanafi yang mulai menutup
matanya terlihat berpikir.
“Tapi aku tak menganggap gadis ini budak,” ucap
Hanafi sambil membuka mata dan menatap Thomas penuh keseriusan.
“Aku juga sudah menduganya jika Pangeran
bukanlah orang seperti itu.” Thomas menjawab dengan senyuman kagum.
“Tapi ada satu kondisi khusus lainnya, yakni penyatuan
pasangan yang diberkati dewa. Seperti hubungan suami pada istrinya. Di sini
suami berhak memberi nama baru pada istrinya,” jelas istri Thomas dan masih
memasang wajah cemas.
“Jadi maksudmu aku harus menikahinya jika ingin
memberi nama padanya?” cemas Hanafi melirik si gadis kecil. Wajah gadis itu
memerah terlihat menggemaskan.
“Iya seperti itu,” pelan Thomas menjawab.
“Anda bercanda, kan?”
“Kami serius tentang hal ini ....”
“....” Hanafi menolehkan kepala sesaat dan
menatap si gadis yang menundukkan kepala dan menyembunyikan wajah merahnya.
“Tapi bukankah ada satu kondisi lagi? Yakni kondisi
penyatuan hubungan darah,“ Ganga bertanya.
“Itu benar, tapi mustahil Pangeran mau melakukannya.
Kondisi khusus pasangan saja beliau sudah memikirkannya seperti ini,” Thomas
menjawab.
“Tunggu, biar aku dengar. Bagaimana dengan
kondisi penyatuan hubungan darah itu?” Hanafi bertanya kembali.
“Kondisi ini memang sering dilakukan, tapi aku
tak pernah mendengar seorang bangsawan bahkan keturunan Kerajaan melakukan hal
ini untuk rakyat biasa, malah untuk Duplicare,” jelas istri Thomas.
“Maksudnya?”
“Penyatuan hubungan darah merupakan sumpah
hubungan keluarga dengan meminta persetujuan dewa dan alam. Dengan kata lain
jika sumpah ini berhasil dilakukan, gadis ini akan menjadi bagian dari
keluargamu dan seluruh dunia akan menyadari hal ini.” Thomas menjelaskan dengan
ekspresi kecemasan.
“Aku mengerti bagian dari gadis ini yang
menjadi keluargaku. Tapi apa maksudnya dunia menyadari hubungan kami? Lalu apa
memang harus meminta persetujuan dari dewa dan alam?” Hanafi bertanya kembali
terlihat kebingungan.
“Maksudnya seperti ini, apa kau tau siapa
saudara dari lelaki ini?” Thomas memegang pundak Ganga. Hanafi berniat
menggelengkan kepala karena tak mengetahui jawaban. Tetapi, tatapan matanya
tiba-tiba menengok ke samping ke kanan, ke arah wanita dewasa yang berdiri
paling ujung para penduduk.
“Benar, Pangeran.”
“EH!?” Hanafi kembali menatap Thomas. Wajahnya
benar-benar dihiasi ekspresi keterkejutan.
“Ma-maksudmu wanita yang tak sengaja kutatap
tadi!??”
“Ya, dia adalah saudari Ganga, Ganya.”
“Ja-jadi begitu maksud dari dunia menyadari
hubungan kami.”
“Benar seperti itu, tapi apa anda yakin mau
mengambil gadis ini sebagai bagian keluargamu, dan mengangkat dia menjadi putri
anda?” istri Thomas bertanya.
“Ya, tentu saja. Tapi aku terlalu muda untuk
memiliki seorang putri. Bagaimana jika dia kuangkat menjadi adik perempuanku,”
senyum Hanafi mengajukan pendapat.
“Ide bagus, tapi kau takkan menyesal tentang
hal ini ‘kan, Pangeran?” cemas Thomas kembali bertanya menegaskan keyakinan
Hanafi.
“Tentu saja, bagaimana denganmu? Bolehkan aku
menjadi Kakakmu?” senyum Hanafi pada Thomas lalu menatap gadis kecil yang masih
mengeluarkan tangisannya. Dia menganggukan kepala mengemukakan jawaban.
“Aku ingin!”
“....” Hanafi tersenyum lega mendengar jawaban
si gadis belia.
Di malam hari itu juga upacara penyatuan darah
kekeluargaan dilakukan. Hanya membutuhkan pendeta setempat yang memimpin
upacara dan beberapa saksi.
Teknisnya benar-benar mirip seperti upacara
pernikahan akan tetapi tentunya dengan konteks yang berbeda. Hanafi dan Rina
berdiri saling berdampingan dan menatap pendeta yang memimpi upacara.
Di belakang mereka ada para penduduk yang
mengikuti upacara dengan penuh hikmat.
Setelah bercerita panjang lebar tentang dunia
yang tak diketahui Hanafi, pendeta yang
memimpin acara pun mulai memberikan giliran pada Hanafi untuk mengucapkan
kalimat sakral yang sudah dia hapal sebelumnya.
“Saya Hanafi dengan ini mengangkat dirinya
sebagai adikku dan memberikan nama baru untuknya yakni ..., Rina Analilia.”
Pendeta menganggukkan kepala seolah membenarkan
ucapan. Setelah itu, dia lekas menatap si gadis kecil yang menundukkan kepala
dan bertanya.
“Bersediakah engkau menerima pernyataan Saudara
Hanafi?”
Gadis itu mendongakkan kepala, lekas menatap
pendeta dengan kedua mata yang berair. Dia pun menganggukkan kepala dan berucap
dengan nada suara bergetar.
“Sa-saya menerima pernyataan Saudara Hanafi. Dan
saya bersedia menjadi adiknya dan menerima pemberian nama darinya!”
Mendengar hal itu pendeta tersenyum lebar, lekas
menganggukkan kepala dan mengangkat kedua telapak tangannya ke arah mereka
berdua.
Hanafi mengangkat tangan kanan, dan Rina
mengangkat tangan kiri. Pendeta itu mulai memegang pergelangan tangan mereka dan
lalu mengadu masing-masing ibu jari mereka yang sudah terluka mengeluarkan
darah.
Seolah-olah tanda jika ikatan darah mereka berdua
sudah menyatu.
“Dengan ini di hadapan beberapa saksi, alam,
dan Sang Penjaga jika kedua orang ini sudah menjadi keluarga yang sah. Sampai
maut memisahkan, hubungan darah tetap mengalir dalam tubuh mereka. Jika salah
satu dari kalian melanggar sumpah ini, maka malapetaka akan datang pada orang
tersebut!”
Berakhir ucapan sang pendeta, tepukan tangan
meriah langsung muncul dari dari belakang. Sedikit membuat Hanafi terkejut dan
menengok ke belakang.
Dia tersenyum melihat orang-orang di
belakangnya, tapi perhatiannya teralihkan oleh tarikan kecil pada celananya.
Itu ulah Rina yang kini menjadi adiknya.
Rina terlihat memberikan tatapan kecil pada
Hanafi. Air mata sudah mengalir di wajah, dan Hanafi hanya memberikan senyuman
kecil untuknya.
Banyak hal yang sudah dilewati gadis itu
sendirian, dan kebanyakan pengalaman yang tak menyenangkan. Tapi itu semua
berakhir ketika Hanafi datang dan menyelamatkannya.
Hanafi berbalik menghadapnya, lalu mengankat
sedikit kedua tangan sebagai tanda untuk Rina. Mengerti maksud tanda itu, Rina
pun melompat memeluk Hanafi dengan tubuh kecilnya. Menangis dan berteriak penuh
kebahagiaan hingga membuat jiwa Hanafi terasa tentram.
“Terima kasih, Kakak!”
***
No comments:
Post a Comment