Monday, 8 April 2019

Chapter 2


Tittle: Exitium

Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy

Author: r lullaby

Status: Ongoing


Chapter 2
Pengakuan


           Kegaduhan langsung muncul di penginapan yang mayoritasnya berisi dari tim latihan ekspedisi Elisara. Para murid saling berbondong-bondong keluar dari kamar menuju ke depan penginapan untuk melihat kejadian yang benar-benar tak bisa dipercayai.


            “Eh, it-itu tunangan Celine?”


            “Tak cocok sama sekali. Apa yang sebenarnya dipikirkah Tuan Charles yah ....”


            “Benar, menjodohkan dengan lelaki biasa seperti itu ....”


            Seperti itulah pembicaraan para murid yang memberikan tatapan heran dan kecewa pada Celine yang berhadapan dengan lelaki berambut kuning, lelaki yang diperlihatkan sebelumnya dan bernama Enrik.


            Elisara juga terlihat berdiri di samping sahabatnya dengan tatapan penuh menyelidik pada Enrik.


            “Wa-waah ... dicemoohi seperti ini benar-benar terasa nostalgia,” batin Enrik menutup matanya dengan senyuman yang tertuju pada Celine dan Elisara. Tubuhnya sedikit bergetar karena rasa gugup bertemu pujaan hatinya.


            “Diamlah! Jika kalian di sini hanya ingin membicarakan orang lain seperti itu, sebaiknya kembali masuk ke kamar kalian sendiri!” teriakan Yoseph terdengar cukup keras dan berisikan amarah hingga menarik perhatian Elisara, Celine, dan Enrik.


            Lalu setelah itu, Yoseph terlihat menundukkan kepala ke arah Enrik, seolah meminta maaf untuk kekasaran para adik tingkatnya.


            Enrik melebarkan senyuman dan kedua matanya. Memberikan rasa kagum pada Yoseph. Meski itu tak lama sampai dia membalas menundukkan kepala juga. Menghormati sikap dari bangsawan berambut biru tua itu.


            “Umm ...,” Celine bergumam dengan senyuman kecil tertuju pada Enrik.


            “Ah, an-anu Putri Celine, ini saya ...,” kata Enrik dengan senyuman melebar dan tatapan tertuju langsung pada gadis yang ia kagumi itu. Kedua pipinya benar-benar memerah. Syarat dari dia yang diselimuti rasa malu dan gugup.


            “Senang bertemu dengan anda, Tuan Enrik. Perkenalkan, nama saya Celine Viluash Rosewood ....” Celine terlihat sedikit menundukkan kepala dan punggung seolah memperkenalkan diri dengan elegan dan anggun. Seperti bangsawan pada umumnya yang memperkenalkan diri untuk pertama kali.

     Enrik terkejut melebarkan matanya menatap Celine yang seperti itu. Bukan karena keanggunannya, akan tetapi.


            “Yah sudah jelas ... lebih dari sepuluh tahum kami tak bertemu,” batinnya sambil menghela nafas kecil dan menutup mata perlahan. Lalu perlahan dia pun menundukkan kepala sambil menyentuh lututnya di atas tanah dan berkata.


            “Suatu kehormatan bisa bertemu dengan anda, Putri Celine. Nama saya Enrik dan sesuai dengan permintaan Tuan Charles, saya datang menemui anda.”


            “....” Celine menyunggingkan senyuman tipis di wajah.


            “Saya juga merasa sangat terhormat bisa bertemu dengan anda, Putri Elisara. Pertemuan ini akan menjadi kenangan yang menjadi sangat berharga bagi hamba,”


            “....” Elisara dan Celine terdiam sambil melirik satu sama lain. Sedikit tak menduga akan perkenalan Enrik yang memiliki tata krama.


            “Y-ya, setidaknya dia memiliki tampang dan etika yang cukup bagus,” pelan Elisara berkata dengan senyuman kecil dan lirikan pada sahabatnya.


            “Ya,” senyum Celine menutup mata beberapa saat. Keheningan merangkul mereka beberapa saat sebelum akhirnya.


            “Kalau begitu ... maaf sudah membuat keributan dan menggangu waktu malam berharga kalian. Saya di sini hanya ingin memperkenalkan diri dan lekas pamit undur diri,” ucap Enrik mulai berdiri dengan senyuman yang masih terpasang, meski kedua pipinya masih memerah karena melihat gadis berambut putih kemerah mudaan di hadapannya yang membuat jantungnya terus berdetak cepat tak karuan.


            “Ah tunggu, sebelum kau pergi bisa kita berjalan-jalan sebentar? Kebetulan aku juga sedang memakai pakaian yang kusuka,” senyum Celine yang mengenakan pakaian mewah dan begitu enak dipandangan,  berbanding terbalik dengan Enrik yang terlihat tak ada apa-apanya. Meski pakaian yang dikenakan Enrik itu adalah yang terbaik dari semua pakaian yang ia punya.


            “Ta-tapi ini sudah memasuki jam malam. Terlalu berbahaya dan tak ada tempat yang pantas untuk anda kunjungi saat ini. Bu-bukankah lebih baik jika kita pergi bersama di besok pagi atau siang?” tanya khawatir Enrik dengan wajah semakin memerah, bahkan sampai menjalar ke telinga. Dia benar-benar tak menduga akan ajakan salah satu gadis menawan di hadapannya.


            “Aku memaksamu untuk hal ini. Kumohon, aku ingin kita pergi sekarang,” bujuk Celine dengan senyuman kecil seolah menyembunyikan sesuatu.


            “....” Enrik pun berwajah cemas melihat senyuman Celine yang tak wajar dan terlihat menyembunyikan sesuatu itu.


            “Kau sudah membulatkan tekadmu?” Elisara bertanya dengan nada pelan hingga tak terdengar oleh Enrik yang masih berwajah cemas.


            “Ya, aku akan mengatakannya. Tapi tidak di sini. Terlalu menyedihkan baginya jika memutuskan ikatan kita di hadapan orang-orang,” senyum Celine yang menundukkan kepala. Kedua tangannya terlihat bergemetar karena merasa bersalah setelah mengetahui jika lelaki pilihan ayahnya itu terlihat baik hati.


Tapi gadis itu tak bisa membohongi perasaannya. Berpikir jika terus melanjutkan hubungan mereka dengan perasaan untuk laki-laki lain adalah hal yang salah.


            “Kau memang gadis yang seperti itu ....” Elisara bergumam dengan helaan nafas dan kedua mata tertutup beberapa saat. Meski tak terlalu lama sampai dia membuka matanya kembali dan menatap sang sahabat yang mulai berjalan medekati Enrik.


            Enrik pun datang beberapa langkah menyambut kedatangan pujaan hatinya dengan senyuman kecil dan pipi merah merona.  Celine membalas senyuman kecil Enrik itu dengan mata tertutup beberapa saat.


            Keduanya pun pergi meninggalkan penginapan Amethstar. Terus berjalan dalam keheningan yang membuat wajah Enrik cemas dan kebingungan untuk memulai percakapan.


Memasuki pusat kota lebih dalam, keduanya dikejutkan oleh ramainya penduduk dengan berbagai macam lampion biru muda yang bercahaya sangat indah.


            “Festival?” Celine bertanya dengan mata terbelalak lebar. Tak lupa menyunggingkan senyuman di wajah yang membuat tingkat manis gadis itu berkali-kali lipat meningkat.


            “Ah iya, kita beruntung. Sepertinya keinginan Putri Celine untuk jalan-jalan sekarang adalah keputusan yang tepat,” Enrik berkata dan diakhiri dengan tertawaan kecil sambil menutup matanya beberapa saat.


            “Panggil aku Celine saja, Tuan Enrik,” senyum kecil Celine melirik lelaki yang lebih tinggi di samping kanannya itu.


            “Baiklah. Kalau begitu Putri juga bisa memanggilku juga dengan Enrik. Selain itu aku hanyalah rakyat biasa, jadi panggilan ‘tuan’ itu agak terlalu berlebihan.” Enrik berkata sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Tanda dari dia yang masih gugup dan malu-malu.


            “Hahaha ... kau benar. Baiklah, aku juga akan memanggilmu Enrik,” ucap Celine dengan anggukkan kepala pelan yang terlihat menggemaskan.


            “....” Setelah perkataan terakhir itu, Celine dan Enrik pun hanya berdiri dalam diam sambil memandangi sekitar. Sesekali, Enrik mulai mencuri-curi pandangan pada Celine dengan wajah yang masih memerah. Siapapun yang melihat wajahnya pasti menyadari jika lelaki berambut kuning itu benar-benar sedang gugup.


            Hal itu tak berlaku bagi Celine yang terus menyungginkan senyumannya. Mata tertuju ke depan,  ke arah festival, namun dalam kepalanya dia sedang memikirkan sesuatu. Menyusun kata-kata yang tepat untuk diutarakan nanti pada lelaki di sampingnya.


            “Ta-tapi di sini sangat ramai yah, hahaha.”


            “....” Tak ada jawaban dari Celine yang mulai menyentuh dagunya dan mengkerut dahinya, terlihat berpikir lebih dalam.


            “Um-umm anu, Celine?” tanya Enrik cemas sambil memiringkan kepalanya, hingga wajahnya itu berhadapan dengan Celine. Sedikit cemas melihat wajah gadis yang ia cinta seperti itu.


            “Ahh y-ya, apa?” gugup Celine tersentak kaget ketika melihat wajah Enrik di hadapannya.


            “Ma-maaf mengejutkanmu, Celine. Tapi apa kau ingin berjalan me-melihat-lihat?”


            “Ah yah tentu,” senyum Celine dengan anggukkan kepala manis.


            Keduanya pun memasuki keramaian lebih dalam. Melihat berbagai macam kios yang menjual aksesoris, makanan, pakaian, dan lainnya.


            Dengan wajah merah dan suaranya yang terkadang gugup, Enrik terlihat berucap mencoba mengajak berbicara dengan Celine mengenai pendapat tiap kios yang mereka lewati.


            Dia hanya ingin melihat gadis yang ia cinta sejak lama itu terus menunjukan senyuman, tawaan, dan kebahagiaannya.


            Tapi, setiap setelah Celine tersenyum atau tertawa olehnya. Gadis itu lekas memasang wajah muramnya, meski itu tak terlalu lama sampai dia memasang wajahnya kembali seperti biasa.


            Tak aneh jika Enrik menyadari hal itu, karena dia selalu memperhatikan wajahnya. Daripada bertanya dan menimbulkan kecanggung diantara mereka, Enrik pun memilih diam memendam, bersabar dan menunggu hingga Celine yang mengatakannya sendiri.


            Hingga waktu pun terlewat begitu cepat. Kini keduanya terlihat duduk di taman kota yang cukup sepi. Lantai keramik terlihat di bawah kaki mereka, kolam kecil dengan pancuran sederhana terlihat di belakang punggung mereka.


            Wajah muram Celine semakin terlihat jelas, semakin membuat ekspresi kecemasan mulai memenuhi wajah Enrik yang mulai menundukkan kepala dan berucap dengan nada gugup ketakutan.


            “Ak-aku sadar jika aku masih belum punya apa-apa. Jik-jika dibandingkan denganmu, mungkin aku tak ada apa-apanya sekarang, tapi suatu saat nanti–“


            “Terima kasih ....” Celine berucap dengan mata terpejam. Dia juga  menyunggingkan senyuman kecil di wajah seolah menunjukkan ekspresi kesedihan.


            “....” Enrik yang mendengar ucapan Celine itu lekas mendongakkan kepala, menatap langsung gadis berambut putih kemerah mudaan. Berisi penasaran hebat akan arti ucapan terima kasihnya itu.


            “Kau benar-benar membuatku senang hari ini. Tapi sejujurnya aku ingin keluar hari ini denganmu karena aku ingin menyampaikan sesuatu,” Celine membuka mata dan memberikan tatapan merasa bersalah pada Enrik.


            “....” Enrik kembali menundukkan kepala. Entah kenapa, dia sudah menduga akan perkataan selanjutnya dari gadis yang kini duduk di sampingnnya ini.


            “Aku tau ini keegoisan yang tak termaafkan, tapi maaf. Aku tak bisa menikah denganmu.”


            “Kenapa...?” Enrik bertanya pelan dengan senyuman yang seolah menguatkan diri. Masih tetap menundukkan kepala.


            “Aku masih terlalu muda,” senyum kecil Celine menjawab pelan.


            “Ki-kita takkan menikah waktu dekat ini, kan?” senyum Enrik semakin menguatkan diri, kali ini dia mengangkat kepalanya, lekas memberikan tatapan ketakutan pada Celine.


            “Se-selain itu aku ingin fokus dalam pekerjaanku nanti di masa depan, jadi –“ khawatir Celine dengan pandangan teralihkan dari lawan bicaranya. Seolah tak kuasa menatap ekspresi ketakutan lelaki di sampingnya.


            “Ak-aku akan menunggumu. Lima tahun? Sepuluh tahun? Ak-aku akan menunggumu sampai kapanpun, jadi kumohon untuk hal ini ....” Enrik terus memberikan senyuman khawatir pada gadis di sampingnya. Tangan kanannya terlihat berada di dada, seolah sedang menggenggam sesuatu dibalik pakaian yang ia kenakan.


            “....” Mendengar hal itu Celine langsung terdiam, tubuhnya bergemetar beberapa saat sebelum akhirnya beranjak dari kursi, berjalan beberapa langkah ke depan hingga membuat Enrik berwajah kebingungan.


            Tanpa diduga, tiba-tiba Celine menundukkan kepala dan punggungnya cukup rendah di hadapan Enrik. Hal itu semakin membuat tubuh Enrik bergemetar ketakutan.


            “....!?”


            “Kumohon putuskan pertunangan kita! Sungguh aku tak bisa. Masalah ayahku dan yang lainnya biar aku yang selesaikan.”


            “Ke-kenapa sampai sejauh ini ... ap-apa aku benar-benar terlihat buruk untukmu?” Enrik menundukkan kepala dengan kedua bola mata melebar. Hatinya, jiwanya, harga dirinya seolah benar-benar menghilang setelah melihat tindakan gadis yang ia cinta itu.


            “Tidak! Ka-kau lelaki yang tampan dan baik hati. Kuyakin kau akan mendapatkan gadis yang lebih baik dariku, Tuan Enrik....” Celine menjawab pertanyaan Enrik dengan nada tinggi. Tetesan air matanya pun mulai jatuh menabrak lantai keramik di bawahnya. Sungguh merasa bersalah pada lelaki baik hati di hadapannya.


            “Tapi yang kuinginkan hanyalah kau...” Enrik berkata dengan nada suara pelan dengan kepala yang terus tertunduk. Memegang kening dengan telapak tangan kanannya.


            “Ma-maaf, sungguh aku tak bisa. Sejujurnya aku tak ingin mengatakan ini, tapi ..., aku sudah mempunyai seseorang kucinta.” Celine tetap menundukkan kepalanya, menitiskan air mata lebih dalam.


            Enrik mendongakkan kepala, memberikan tatapan kosong pada Celine yang masih menundukkan kepala dan punggung. Hatinya bergetar, rasa sakit benar-benar semakin terasa di dada hingga menjalar ke seluruh tubuhnya yang gemetar.


“Selain itu aku juga sudah berjanji untuk menikah dengannya di masa depan kelak. Meski sebenarnya itu hanya janji anak kecil, tapi aku percaya jika itu akan terjadi.” Celine berucap sambil kembali berdiri tegap. Dengan air mata yang masih mengalir melewati pipi manisnya, Celine pun mengeluarkan kalung setengah lingkaran yang sudah diperlihatkan sebelumnya saat masih dalam perjalanan menuju Kota Rimanisa.


            Enrik yang melihat itu sontak tersenyum lebar, lekas memegang dadanya dan berniat mengeluarkan sesuatu di balik pakaiannya.


            “Ka-kalung itu!–“ Akan tetapi.


            “Ini pemberian teman masa kecilku, orang kumaksud sebelumnya, lelaki yang kucinta. Ka-kau juga sudah melihat dia kan? Lelaki yang berteriak di penginapan kami?” senyum Celine menutup mata sambil memegang kalung itu dengan kedua tangannya. Seolah kalung itu terasa amat sangat berharga baginya.


            “Tidak, kau salah. Kalung itu ....” Enrik berucap dengan nada ketakutan, tapi suaranya semakin mengecil. Tangan kanan yang berniat mengeluarkan sesuatu dibalik pakaiannya, ia urungkan.


            “Begitu ...,”


            “Ya, ini pemberiannya.”


            “....” Keheningan pun mulai merangkul keduanya, suasana malam yang terasa hening itu seolah menambah kesedihan yang saat ini merangkul keduanya.


            Perasaan bersalah amat hebat benar-benar memenuhi hati Celine yang ingin memutuskan pertunangan secara sepihak. Di sisi lain, Enrik terlihat menutup matanya sangat rapat karena rasa sakit berlebih yang ia dapat.


            Tapi cukup lama setelah itu, dia lekas berdiri dan berhadapan dengan Celine, lalu berucap.


“Ba-baiklah, aku akan menyetujui permintaanmu sebelumnya. Tapi, itu tergantung dari jawaban yang kau berikan padaku dari pertanyaan ini,” senyum Enrik dengan ekspresi kesedihan yang masih nampak terlihat jelas.


            “Lelaki itu ... kau sangat menyukainya?” senyum Enrik dengan mata terpejam seolah tak kuasa melihat wajah gadis di hadapannya.


            “Ya, sejak kecil aku sudah menyukainya.” Celine menjawab dengan senyuman lebar dan mata terpejam.


            “Begitu, aku mengerti ....” Enrik membalas senyuman Celine dan lekas menurunkan pandangan, menatap tempat ia berpijak saat ini. Seolah apa yang terjadi saat ini bagaikan mimpi buruk yang ia takutkan terjadi.


            Tapi mimpi buruk itu benar-benar terjadi hingga membuat kedua kakinya lemas, kesulitan untuk berdiri. Tapi meski begitu, ia mencoba untuk tetap bertahan agar tak membuat gadis di hadapannya khawatir.


            “Aku akan menyutujui permintaanmu, Putri Celine. Pertunangan kita ... dibatalkan, dan soal ayahmu dia pasti akan mengerti. Kau tak usah khawatir,” Enrik kembali mengangkat kepalanya menatap gadis berambut putih kemerah mudaan.


            “.... Terima kasih!” Celine tersenyum lebar bahkan sampai menitiskan air mata kebahagiaan. Dia menutup mulutnya tak kuasa jika permintaanya itu benar-benar dikabulkan.


            “Kau benar-benar lelaki yang baik, Enrik! Kupikir kita bisa berteman bahkan menjadi sahabat!” Celine melangkah mendekati Enrik, mengangkat tangan kanan seolah mengajak bersalaman.


            “Ya ...,” Enrik mengangkat tangan kanannya untuk bersalaman dengan Celine. Ketika tangan mereka bersentuhan, kilas balik memori mulai berputar dalam kepala Enrik yang mengingat masa lalunya. Membuat dia sedikit menyunggingkan senyuman kecil seolah sudah melepas dan merelakan keputusan gadis yang sejak ia lama tunggu.


            “Elisara dan penjaganya sudah menungguku. Jadi aku tak bisa merepotkanmu lebih dari ini,” jelas Celine sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menjauhi Enrik.


            Enrik tersadar dan kembali ke waktu sebenarnya. Kini dia hanya menatap punggung kecil milik Celine yang perlahan menjauh.


            “Putri Celine ...!!” Enrik tak sadar berteriak.


            Celine menghentikan langkah, membalikkan setengah badan pada Enrik yang memanggilnya.


            “Ak-aku juga akan mendoakanmu. Semoga cintamu terbalaskan dan kau mendapatkan kebahagiaan yang kau inginkan ...!” senyum kecil Enrik dengan tatapan langsung tertuju pada gadis yang menjadi cinta pertamanya, bahkan terus sampai sekarang dan tak pernah berubah.


            “Ya ... terima kasih!” Celine menjawab dan membalas senyuman Enrik sebelum akhirnya berjalan lebih jauh meninggalkan Enrik sendirian.


            Setelah kepergian gadis yang ia cinta, Enrik pun duduk di atas keramik, menunjukkan kelemahan yang sejak tadi ia sembunyikan. Perlahan, dia menyandarkan kepala di atas kursi sambil bergumam dalam hati.


            “Sungguh, apa yang kuharapkan? Ten-tentu saja akan jadi seperti ini. Tempat yang kita tuju pun sudah tak ada. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu, maka wajar bagi dia jika melupakanku dan ....” Enrik tak kuasa melanjutkan gumaman. Dia lekas menundukkan kepala, menutup kedua mata dengan telapak tangan kanannya. Tetesan air mata terlihat, terkadang mengalir melewati pipinya. Dia menangis, setelah sekian lama ia hidup sendirian mengembara. Karena patah hati untuk pertama kalinya dari gadis yang selalu ia cinta.


            “Si-sial, tak kusangka akan sesakit dan semenyedihkan ini ....”


***

No comments:

Post a Comment