Tittle: Exitium
Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy
Author: r lullaby
Status: Ongoing
Chapter 4
Permintaan Sesepuh Arina
Masih
di hari yang sama, tengah malam dan tinggal satu jam lagi sebelum hari
berganti. Suasana penginapan mulai terlihat sepi, tak terkecuali di lantai
terbawah. Apa yang terlihat di sana hanya lelaki tua yang tertidur lelap dengan beberapa
bir di mejanya.
Suara
langkah kaki terdengar dari kamar nomor satu. Gadis itu mulai keluar kamar, berjalan
menuruni tangga. Salah satu anggota kelompok Hanafi. Gadis berambut biru muda
dengan wajah cukup rupawan, Asvia.
Dia
berjalan menuju pintu keluar dengan tatapan waspada pada sekitar. Sesekali
menengok ke samping kanan dan kiri, bahkan ke belakang. Memastikan agar tak ada
satu orang pun yang mengikutinya.
Dirasa
aman, dia pun lekas keluar penginapan, berjalan ke samping kanan, memutari bangunan
itu untuk sampai di belakang penginapan.
Dan,
seperti dugaannya.
Lelaki
berambut kuning seperti kulit lemon masak, bermata biru terlihat di sana. Itu
adalah Enrik yang terlihat berlatih mengayunkan pedang satu tangan dengan
tangan kanan. Di tangan kirinya juga terlihat memegang pedang.
Dia bertelanjang
dada, dan terlihat lah ototnya yang terbentuk dengan baik, meski tak terlalu
besar tapi terlihat padat dan begitu kuat. Tak disangka dibalik pakaian yang ia
kenakan itu terdapat tubuh yang begitu ideal dan menganggumkan.
Asvia
lekas menyunggingkan senyuman sambil bersandar pada dinding penginapan. Enrik
menyadari kehadirannya, tapi dia lebih memilih untuk terus melanjutkan
latihannya.
“Aah,
sudah kuduga kau akan berlatih di sini.” Kali ini senyuman Asvia terlihat
berbeda seolah menunjukan kesedihan ketika melihat beberapa luka yang cukup
banyak di tubuh Enrik.
“....”
Enrik tak menjawab dan terus berlatih mengayunkan pedangnya dengan sangat
cepat, terkadang melompat begitu atletis memperlihat gaya berpedangnya yang
elegan. Ekspresi keseriusannya bercampur dengan keringat yang membasahi
tubuhnya.
Asvia
mulai menghela nafas sesaat dengan mata terpejam. Lekas, berucap dengan nada
suara pelan dan hampir tak terdengar.
“Sungguh,
tak kusangka aku bisa melihatmu lagi, Putra Mahkota dari kekaisaran yang
terlupakan di masa lalu ... Enriklaus Sentraloasis.”
“....”
Enrik seketika menghentikan ayunan kedua pedangnya, melepas kuda-kudanya, dan
berdiri tegap memberikan ekspresi datar ke arah depan. Meski tak terlalu lama
sampai dia menghela nafas berat dan berucap.
“Enrik
saja ... sekarang aku hanyalah rakyat biasa. Kau juga tau, kan? Kekaisaran yang
kau maksud itu sudah hancur lebih dari beberapa tahun yang lalu, Syakilla.”
Enrik menyunggingkan senyuman kecil melirik gadis berambut biru muda itu yang
mulai membuka mata.
“.....”
Perlahan Asvia mulai menundukkan kepala, berharap bisa menyembunyikan kedua
bola matanya yang memerah karena kembali mengingat penyesalan terbesar dalam
hidupnya.
Tak
lama setelah itu, dia pun berucap dengan nada suara yang bergetar.
“Ba-bagaimana kau bisa selamat dari gempuran itu
...?”
“....”
Enrik terdiam dengan ekspresi wajah yang datar pada tubuh Asvia yang gemetar.
Meski tak terlalu lama sampai dia berucap dengan nada suara yang ringan.
“Ahh
... itu yah. Sungguh saat itu kami benar-benar kesusahan. Aku juga berpikir jika
saat itu adalah akhirnya ....” Enrik tertawa kecil sambil menggaruk-garuk
belakang kepalanya, berniat mencairkan suasana tegang yang mulai merangkul
mereka.
Tapi,
hal itu malah semakin membuat Asvia yang berumur lebih muda darinya itu berucap
meneriakkan kekesalan.
“Jangan
tertawa!!”
“....”
Enrik lekas menghentikan tertawaan dengan wajah cemas. Mengalihkan pandangan
dari Asvia dan sedikit kebingungan membalas pernyataan.
“Ma-maaf jika aku sudah membuatmu khawatir.” Tiba-tiba Enrik berkata dengan nada suara
pelan, dan pandangan yang masih teralihkan dari lawan bicaranya.
“....”
Tak ada jawaban dari Asvia yang masih menundukkan kepala dengan tubuh gemetar.
Berbagai macam emosi bercampur dalam hatinya saat itu.
“Ka-kami
sungguh berusaha untuk tepat waktu sampai di sana. Tapi, kar-karena jarak yang
terlalu jauh .... Ketika kami sampai ....” Asvia tak kuasa melanjutkan ucapan,
hanya bisa menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya.
“Itu
sudah berlalu, kau jangan merasa bersalah untuk hal ini, Syakilla. Aku masih
bisa hidup dan berdiri di sini karena keberuntungan.”
“Tapi–“
Asvia mengangkat wajahnya dan terlihatlah dia yang biasanya tenang kini mulai
menunjukan wajah berantakan karena dipenuhi air mata yang berlebih.
“Wa-waah,
jangan sampai orang lain melihatmu seperti ini loh. Reputasimu sebagai Ratu Xeria Syakilla yang terkenal arogan,
bengis, dan tak berperasaan bisa-bisa hancur dalam sekejap ...,” singgung Enrik
dengan senyuman kecil seolah mencemoohi gadis yang berumur lebih muda darinya
itu.
Kontan,
kedua pipi Asvia memerah karena malu dan marah yang bercampur aduk. Dia pun
lekas memberikan tatapan tajam seolah memberikan ancaman sambil membersihkan
wajahnya dari air mata.
“Be-berisik!!”
pekiknya.
“Hahahahaha
....” Enrik hanya tertawa seolah puas mendengar teriakan menggemaskan dari
gadis yang sudah ia anggap adiknya sendiri itu.
“....”
Beberapa menit setelah tawaan Enrik, tak ada ucapan lagi yang keluar dari
mereka. Asvia hanya tetap menundukkan kepala sambil membersihkan air mata di
wajah, sedangkan Enrik terlihat mengamati langit malam yang dipenuhi oleh
jutaan bintang yang indah.
Suasana
hening pun mulai datang merangkul keduanya. Kedua hanya berdiri berdekatan
dalam diam sebelum akhirnya.
“Apa
yang sebenarnya coba kau lakukan, Syakilla? Apa tujuanmu sampai membuat seluruh
dataran ini membencimu,” Enrik menyuarakan isi hatinya sambil memasang wajah
keseriusan atau mungkin kemarahan.
“In-ini
tak ada urusannya denganmu.” Asvia menjawab dengan wajah yang teralihkan dari
lawan bicaranya dan sedikit cemas.
“Benar-benar
keras kepalamu tak pernah berubah. Jika kau berniat melakukan sesuatu berbahaya
atau hal bodoh, aku takkan pernah membiarkanmu melakukannya. Kau sudah kuanggap
seperti adikku sendiri. Kau tau itu, kan?”
“Lakukan
saja sesukamu.” Asvia mendengus seolah tak ingin melanjutkan perdebatan masalah
yang disinggung Enrik.
“Ya,
akan kulakukan sesukaku. Bahkan jika diperlukan, aku akan mengorbankan nyawaku
jika kau benar-benar terlibat sesuatu yang merepotkan,” senyum kecil Enrik dan
terkekeh geli sambil menutup matanya.
“Seharusnya
kau mengatakan hal ini pada gadis itu. Celine yang sangat baik, manis dan
blablabla!” kesal Asvia sambil menyilangkan kedua tangan dan kedua mata
terpejam. Entah kenapa dia benar-benar terlihat tak senang ketika memikirkan
gadis yang ia singgung.
“Ah
... dia yah,” Enrik hanya tertawa kecil dengan mata tertutup beberapa saat. Dia
juga terlihat sedikit mengusap-ngusap belakang lehernya sebelum membuka mata
dengan tatapan kecil yang seolah menunjukkan aura keputusasaan.
“Argh,
tak aneh jika aku masih ingat namanya, bahkan segala tentangnya. Itu semua
karena ulah seseorang yang tak bosan-bosannya terus menceritakan dia sejak
kecil padaku ....” jelas Asvia dengan mata yang mulai terbuka dan mendelik
tajam pada Enrik. Tapi, ucapannya semakin mengecil dan menghilang ketika
melihat lelaki yang ia kaguminya itu hanya tersenyum kecil dengan tatapan kecil
ke bawah.
“Kau
sudah ... bertemu dengannya?” tanya Asvia pelan dengan raut wajah khawatir dan
menurunkan kedua tangannya ke bawah.
“Ya
....” Enrik mendongakkan kepala, membalas tatapan Asvia dengan senyuman yang
sedikit melebar.
“Melihat
dari ekspresi wajahmu, aku sudah bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Jadi
jangan katakan apapun lagi.” Asvia memalingkan wajahnya dari laki-laki di
dekatnya itu. Hatinya sedikit berdenyut merasakan sakit ketika melihat dia yang
sudah ia anggap sebagai kakaknya memperlihatkan senyuman yang menyembunyikan
kesedihan.
“Hmm
... begitu ‘kah?” senyum Enrik dengan kedua mata tertutup.
“....”
Tak ada jawaban dari Asvia yang masih terdiam. Merasakan sakit hati karena
mengetahui lelaki yang berdiri di sampingnya itu sedang merasakan patah hati
yang amat dalam.
“Yah
tapi aku memang tak berguna yah, apa yang sebenarnya kuharapkan setelah sekian
lama kita tak bertemu–“
“Gadis
itu ... akan menyesalinya! Akan kupastikan hal itu ....” Asvia menggeram dan
memasang wajahnya yang diselimuti kemarahan dan kekecewaan. Tatapannya tertuju
langsung ke depan seolah tak kuasa melihat wajah kesedihan dari lelaki yang
sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.
“....!”
Lelaki berwarna rambut kuning itu terkejut mendengar pernyataan Asvia hingga
kedua bola matanya melebar, tapi itu tak terlalu lama sampai dia menyunggingkan
senyuman kebahagiaan di wajah dan berucap sambil mengusap-ngusap rambut biru Asvia
dengan sangat lembut.
“Aku
baik-baik saja! Tak usah menunjukkan wajah menyeramkan seperti itu, Syakilla
....”
“....”
Asvia mengalihkan pandangan dari Enrik dengan kedua pipi sedikit memerah.
Merasa tak keberatan dengan elusan di kepala yang diberikan lelaki itu padanya.
Malah, memang sejak awal dia menginginkan hal itu.
“Selain
itu, hanya karena aku tak mendapatkannya bukan berarti kau bisa berkata seperti
sebelumnya, Syakilla.”
“Ya,
tapi tetap secara pribadi .... Aku takkan pernah memaafkan gadis itu.” Asvia
kembali menukikkan alis ke bawah. Hatinya kembali diselimuti kemarahan yang
sangat hebat.
“....”
Enrik hanya tersenyum kecil dengan ekspresi wajah kebingungan melihat gadis
yang sudah ia anggap seperti adiknya itu yang tak bisa mengendalikan emosinya.
***
Keesekokan
harinya, jauh di utara dari tempat Hanafi dan kelompoknya berada. Di Kota
Aldosta, Kerajaan Angelwish, atau mungkin lebih tepatnya di sekolah yang
menjadi tempat Lapis dan Bella menuntut ilmu.
Jam
istirahat siang sudah berbunyi cukup lama, tapi Lapis dan Bella terlihat baru
mendapatkan jam istirahatnya karena tugas mereka yang seorang putri kerajaan.
Sambil
memakan makanan di kafeteria sekolah kelas utama, keduanya memulai diskusi
mengenai pembelajaran yang mereka dapatkan sebelumnya, temanya mengenai
efektifitas waktu dalam mengeluarkan kemampuan mereka.
Tapi
suara para siswa dari luar ruangan yang cukup bising terdengar, hingga membuat
wajah keduanya menoleh pada pintu keluar.
“Ada
apa di luar? Tak biasanya berisik seperti ini,” tanya Lapis yang terlihat sudah
menyelesaikan menyantap makanannya.
“Ahh
soal itu, sepertinya ada seseorang dari luar sekolah yang memancing di kolam
taman sekolah.”
“Hah
memancing? Lalu kenapa para penjaga tidak mengusirnya!?” kesal Lapis yang
beranjak dari kursi, berjalan cepat meninggalkan ruangan dan berniat menegur
orang asing yang disinggung sahabatnya.
“Ah
soal itu sebaiknya kita tak ikut campur untuk masalah ini, Lapis. Karena orang
itu ...!” khawatir Bella yang juga ikut beranjak dari kursinya, lekas berjalan
cepat mengikuti langkah kaki sahabatnya. Dia juga terlihat sudah menyelesaikan
makanannya.
“Karena
apa hah!?” kesal Lapis yang terus berjalan ke depan tanpa menolehkan kepala
sedikitpun pada Bella yang berjalan di belakangnya.
Kontan,
para siswa dan siswi pun memberikan jalan padanya sambil memberikan tatapan
kagum pada gadis yang dijuluki ‘Fillie Ros’ itu.
Tapi
langkah Lapis langsung terhenti di sisi taman. Dia terkejut setelah melihat
sosok yang melanggar peraturan sekolah mereka adalah benar-benar orang yang tak
terduga.
“Karena
orang itu adalah be-beliau ....” khawatir Bella yang juga terlihat segan
menatap gadis yang sedang memancing di kolam taman yang berisikan ikan-ikan
hias yang sangat indah.
Gadis
berambut putih dengan telinga sedikit lancip yang sudah diperlihatkan
sebelumnya. Electus yang menduduki posisi pertama dari Lima Eksekutif Electus
yang dikagumi seluruh dataran benua.
“Cla-Clarice
Fysher ...?” Lapis bertanya gugup dengan mata terbelalak dengan rasa segan yang
cukup dalam.
“Ya, ma-makanya
banyak orang yang tak berani berbicara apalagi menegurnya,” jelas Bella sambil
menarik lengan kanan Lapis, isyarat dari dia yang membujuk sang sahabat untuk
tak terlibat dengan gadis bernama Clarice itu.
“....!”
Tapi meski begitu, Lapis tetap melangkah kakinya kembali dengan wajah yang
seolah menguatkan diri. Kedua bola mata Bella pun terbelalak dan wajahnya itu
pun lekas berubah menjadi ekspresi cemas yang meneriakkan nama sahabatnya.
“La-Lapis!?”
“Diamlah!
Dia hanya Eluser manja yang mendapatkan perlakuan khusus dari Sesepuh Arina!”
“Jika
dia diperlakukan khusus maka ada sesuatu yang ganjil tentangnya! Maka dari itu lebih
baik kita tak –“ bujuk Bella lagi yang ikut berjalan mengikuti sahabatnya. Tapi
sang sahabat tetap berjalan mendekati Clarice, tak ayal membuat sahabatnya pun
menyerah dan lebih memilih berjalan mengikutinya.
Perhatian
para siswa pun semakin tertuju pada taman. Mereka tak menyangka bisa melihat
kejadian sangat langka, yakni bisa melihat dua dari anggota Lima Eksekutif di
tempat yang sama. Lebih dari itu, salah satu anggota elit itu merupakan siswa
dari sekolah tempat mereka menuntut ilmu.
“Clarice
Fysher, ikan-ikan di kolam ini adalah ikan hias yang tak seharusnya ditangkap,”
jelas Lapis yang masih bisa mempertahankan kewibawaannya, meski orang yang
sedang ia peringati itu menduduki puncak dari kelompoknya.
“....”
Tak ada jawaban dari Clarice yang terus menghadap kolam dengan kepala sedikit
meneleng.
“Hei,
apa kau mendengarkanku ...?” Lapis kembali bertanya, menengok, dan menatap
langsung wajah Clarice. Tapi suaranya semakin mengecil dan menghilang karena
terkejut melihat wajah gadis itu yang menutup mata, tertidur lelap dengan
posisi duduk di atas kursi.
“Di-dia
tertidur ...?”
Bella
yang berdiri di belakangnya pun sedikit terkejut setelah mendengar pernyataan
sahabatnya. Meski tidak terlalu lama sampai dia mengubah ekspresi wajahnya dan
berucap.
“Hei,
Lapis. Sebaiknya kita biarkan saja dia, lagipula lihat ... meski kail
pancingannya mengenai ikan. Dia tak menarik pancingannya.”
“Tapi
tetap saja ...?” kesal Lapis lalu berbalik dan menatap Bella. Tapi kata
terakhirnya semakin mengecil dan terdengar seperti mengajukan pertayaan.
Ekspresi
keterkejutan terlihat darinya yang menatap gerbang hitam dan tiba-tiba muncul
di belakang Bella.
Bella
juga lekas menengok dan berbalik dengan ekspresi kecemasan seperti halnya Lapis
sebelum akhirnya berjalan mundur hingga berdiri sejajar dengan sahabatnya.
Keterkejutan
mereka bertambah ketika sosok yang mereka kagumi muncul dari gerbang itu. Dia
wanita yang sudah diperlihatkan sebelumnya, wanita yang sudah sangat berumur
lanjut.
Salah
satu anggota yang masih tersisa dari pahlawan Seven Arceluser, dan juga
merupakan anggota termuda dari kelompok mereka. Gadis yang mendapat julukan ‘Dimension Breaker’, Arina Matchowel.
“Sesepuh
Arina ....” Lapis tak sadar berucap dengan penuh rasa segan. Bella pun hanya
bisa menyunggingkan senyuman kagum di wajah sambil menatap dia yang berjalan
dan berucap dengan senyuman kecil yang menenangkan dua gadis di hadapannya.
“Maaf
yah karena kelakuan gadis ini. Tapi Putri Lapis, Putri Bella ... bisakah aku
yang ambil alih dia dari sini,”
“Ya,
Sesepuh ....” Lapis pun sedikit menundukkan kepala diikuti oleh Bella sebelum keduanya
berjalan pergi meninggalkan taman.
Setelah
keduanya pergi, Sesepuh terlihat berjalan mendekati si gadis pemancing hingga
berdiri sejajar. Lalu lekas membuka gerbang dimensinya kembali, mengambil
sesuatu dengan tangan kanannya dari gerbang dimensinya itu, yakni sebuah kursi
kayu kecil seperti halnya kursi yang kini diduduki Clarice.
Kemudian
gadis berumur lanjut usia itu duduk di dekat Clarice sambil mengeluarkan
pertanyaan dengan nada suara pelan.
“Tidak
kau tarik pancingannya?”
“....”
Tak ada jawaban dari gadis berambut putih bersinar itu untuk beberapa saat. Sesepuh Arina hanya tersenyum kecil menutup mata, mulai merasakan hembusan
angin yang begitu menenangkan jiwa.
Kelenggangan
benar-benar terasa di antara mereka ketika angin lembut itu datang, dan Clarice
tetap terlelap dalam tidurnya. Berbanding para siswa di luar taman yang saling
berbisik melontarkan perhatian pada mereka.
Tapi
setelah hembusan angin itu berhenti, Clarice mulai membuka mata perlahan sambil
menarik kail pancingannya yang mengenai ikan.
Ikan
yang ia dapat adalah ikan paling indah dengan warna pelangi yang enak untuk
pandangan siapapun. Selain itu ukuran ikan itu tak terlalu besar maupun kecil,
pas dengan kepalan tangan gadis itu.
Clarice
pun mulai melepaskan kail pancingannya dari mulut ikan itu dengan lembut,
sebelum akhirnya melepas ikan tersebut kembali ke kolam, dan berucap dengan wajah
datar dan tatapan tanpa emosi ke depan.
“Apa ...?”
Pertanyaann
itu ditunjukan untuk wanita lanjut usia di sampingnya.
“Padahal
dulu kau sering menunjukkan berbagai emosi, Clarice. Tersenyum dan tertawa
bahagia. Sering kali juga menangis untuk hal-hal yang sepele ....”
“....”
Clarice terdiam dengan tatapan terus ke depan, lalu menutup mata beberapa saat
sebelum akhirnya melirik Sesepuh Arina tanpa emosi.
Sesepuh
Arina membalas ekspresi wajah gadis itu dengan senyuman kecil dengan kepala
sedikit tertunduk. Seolah mengingat sesuatu di masa lalunya.
Meskipun
itu tak terlalu lama sampai dia berucap dengan nada suara yang pelan, tapi
masih tetap terdengar oleh gadis muda di sampingnya.
“Clarice
... kau adalah cucuku, dan calon ratu ke-28 dari Kerajaan Elvenlied. Aku tak
akan kecewa jika kau menolak posisi itu dan lebih memilih membuang segala apa
yang kau miliki sebelumnya.”
“....” Tak ada jawaban dari Clarice yang
kembali melemparkan kail pancingannya ke dalam kolam.
“Tapi
Clarice ....” Sesepuh Arina menolehkan kepala, memberikan tatapan penuh harapan
pada gadis berambut putih bercahaya itu.
“Kumohon
untuk hal yang satu ini, kau tak bisa menelantarkan tugas dan takdirmu. Tak ada
yang bisa mengambil dan menggantikan peranmu untuk hal ini. Kumohon kembalilah,
bangkitlah, dan lindungi dataran ini.
Ini
permintaan egois satu-satunya dariku kepada cucu tercintaku ... bukan kepada
salah satu anggota dari Tridivine Hero.”
“....”
Clarice mulai menundukkan kepalanya sesaat, seolah menahan emosi yang ingin
membeludak keluar. Tekanan di sekitarnya terasa berat hingga membuat gadis
lanjut usia di sampingnya cemas. Meski pada akhirnya, gadis itu bisa kembali
mengotrol emosinya dan berucap dengan nada pelan tapi terdengar bergetar.
“Mahluk
perkasa tanpa kepala hanyalah bongkahan daging tak berharga, kerajaan tanpa
raja hanya akan membawa kehancuran bagi rakyatnya, dan Tridivine Hero tanpa ‘Dirinya’
... hanyalah kelompok bodoh yang takkan pernah memiliki tujuan yang sama.”
“....”
Sesepuh Arina menurunkan pandangan dengan tetesan air mata yang melewati
pipinya. Menutup mata, merasakan penyesalan terbesar seumur hidupnya. Tapi dia
lekas membuka matanya untuk tak terlarut lebih dalam, lekas berucap melanjutkan
pernyataan.
“Tapi
Clarice ... meski hanya kalian berdua, kuyakin kalian bisa –“
“Kami
sudah memutuskan hal ini. Tanpa dia yang
memimpin kami, Tridivine takkan pernah ada lagi. Aku yang
sekarang hanyalah gadis biasa yang tak tertarik dengan pertempuran dan sedang
fokus dengan hobi seperti ini .... Karena itulah maaf, aku tak bisa
mengambulkan permintaanmu, Nek,” senyum kecil Clarice yang menutup matanya, seolah
berisi kesedihan yang amat sangat dalam. Dan bersamaan dengan itu dia beranjak
dari kursi, menarik pancingannya, berjalan pergi meninggalkan Sesepuh Arina
yang memasang ekspresi kesedihan dan penyesalan yang amat sangat dalam.
***
Masih
di hari yang sama, tengah malam dan tinggal satu jam lagi sebelum hari
berganti. Suasana penginapan mulai terlihat sepi, tak terkecuali di lantai
terbawah. Apa yang terlihat di sana hanya lelaki tua yang tertidur lelap dengan beberapa
bir di mejanya.
Suara
langkah kaki terdengar dari kamar nomor satu. Gadis itu mulai keluar kamar, berjalan
menuruni tangga. Salah satu anggota kelompok Hanafi. Gadis berambut biru muda
dengan wajah cukup rupawan, Asvia.
Dia
berjalan menuju pintu keluar dengan tatapan waspada pada sekitar. Sesekali
menengok ke samping kanan dan kiri, bahkan ke belakang. Memastikan agar tak ada
satu orang pun yang mengikutinya.
Dirasa
aman, dia pun lekas keluar penginapan, berjalan ke samping kanan, memutari bangunan
itu untuk sampai di belakang penginapan.
Dan,
seperti dugaannya.
Lelaki
berambut kuning seperti kulit lemon masak, bermata biru terlihat di sana. Itu
adalah Enrik yang terlihat berlatih mengayunkan pedang satu tangan dengan
tangan kanan. Di tangan kirinya juga terlihat memegang pedang.
Dia bertelanjang
dada, dan terlihat lah ototnya yang terbentuk dengan baik, meski tak terlalu
besar tapi terlihat padat dan begitu kuat. Tak disangka dibalik pakaian yang ia
kenakan itu terdapat tubuh yang begitu ideal dan menganggumkan.
Asvia
lekas menyunggingkan senyuman sambil bersandar pada dinding penginapan. Enrik
menyadari kehadirannya, tapi dia lebih memilih untuk terus melanjutkan
latihannya.
“Aah,
sudah kuduga kau akan berlatih di sini.” Kali ini senyuman Asvia terlihat
berbeda seolah menunjukan kesedihan ketika melihat beberapa luka yang cukup
banyak di tubuh Enrik.
“....”
Enrik tak menjawab dan terus berlatih mengayunkan pedangnya dengan sangat
cepat, terkadang melompat begitu atletis memperlihat gaya berpedangnya yang
elegan. Ekspresi keseriusannya bercampur dengan keringat yang membasahi
tubuhnya.
Asvia
mulai menghela nafas sesaat dengan mata terpejam. Lekas, berucap dengan nada
suara pelan dan hampir tak terdengar.
“Sungguh,
tak kusangka aku bisa melihatmu lagi, Putra Mahkota dari kekaisaran yang
terlupakan di masa lalu ... Enriklaus Sentraloasis.”
“....”
Enrik seketika menghentikan ayunan kedua pedangnya, melepas kuda-kudanya, dan
berdiri tegap memberikan ekspresi datar ke arah depan. Meski tak terlalu lama
sampai dia menghela nafas berat dan berucap.
“Enrik
saja ... sekarang aku hanyalah rakyat biasa. Kau juga tau, kan? Kekaisaran yang
kau maksud itu sudah hancur lebih dari beberapa tahun yang lalu, Syakilla.”
Enrik menyunggingkan senyuman kecil melirik gadis berambut biru muda itu yang
mulai membuka mata.
“.....”
Perlahan Asvia mulai menundukkan kepala, berharap bisa menyembunyikan kedua
bola matanya yang memerah karena kembali mengingat penyesalan terbesar dalam
hidupnya.
Tak
lama setelah itu, dia pun berucap dengan nada suara yang bergetar.
“Ba-bagaimana kau bisa selamat dari gempuran itu
...?”
“....”
Enrik terdiam dengan ekspresi wajah yang datar pada tubuh Asvia yang gemetar.
Meski tak terlalu lama sampai dia berucap dengan nada suara yang ringan.
“Ahh
... itu yah. Sungguh saat itu kami benar-benar kesusahan. Aku juga berpikir jika
saat itu adalah akhirnya ....” Enrik tertawa kecil sambil menggaruk-garuk
belakang kepalanya, berniat mencairkan suasana tegang yang mulai merangkul
mereka.
Tapi,
hal itu malah semakin membuat Asvia yang berumur lebih muda darinya itu berucap
meneriakkan kekesalan.
“Jangan
tertawa!!”
“....”
Enrik lekas menghentikan tertawaan dengan wajah cemas. Mengalihkan pandangan
dari Asvia dan sedikit kebingungan membalas pernyataan.
“Ma-maaf jika aku sudah membuatmu khawatir.” Tiba-tiba Enrik berkata dengan nada suara
pelan, dan pandangan yang masih teralihkan dari lawan bicaranya.
“....”
Tak ada jawaban dari Asvia yang masih menundukkan kepala dengan tubuh gemetar.
Berbagai macam emosi bercampur dalam hatinya saat itu.
“Ka-kami
sungguh berusaha untuk tepat waktu sampai di sana. Tapi, kar-karena jarak yang
terlalu jauh .... Ketika kami sampai ....” Asvia tak kuasa melanjutkan ucapan,
hanya bisa menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya.
“Itu
sudah berlalu, kau jangan merasa bersalah untuk hal ini, Syakilla. Aku masih
bisa hidup dan berdiri di sini karena keberuntungan.”
“Tapi–“
Asvia mengangkat wajahnya dan terlihatlah dia yang biasanya tenang kini mulai
menunjukan wajah berantakan karena dipenuhi air mata yang berlebih.
“Wa-waah,
jangan sampai orang lain melihatmu seperti ini loh. Reputasimu sebagai Ratu Xeria Syakilla yang terkenal arogan,
bengis, dan tak berperasaan bisa-bisa hancur dalam sekejap ...,” singgung Enrik
dengan senyuman kecil seolah mencemoohi gadis yang berumur lebih muda darinya
itu.
Kontan,
kedua pipi Asvia memerah karena malu dan marah yang bercampur aduk. Dia pun
lekas memberikan tatapan tajam seolah memberikan ancaman sambil membersihkan
wajahnya dari air mata.
“Be-berisik!!”
pekiknya.
“Hahahahaha
....” Enrik hanya tertawa seolah puas mendengar teriakan menggemaskan dari
gadis yang sudah ia anggap adiknya sendiri itu.
“....”
Beberapa menit setelah tawaan Enrik, tak ada ucapan lagi yang keluar dari
mereka. Asvia hanya tetap menundukkan kepala sambil membersihkan air mata di
wajah, sedangkan Enrik terlihat mengamati langit malam yang dipenuhi oleh
jutaan bintang yang indah.
Suasana
hening pun mulai datang merangkul keduanya. Kedua hanya berdiri berdekatan
dalam diam sebelum akhirnya.
“Apa
yang sebenarnya coba kau lakukan, Syakilla? Apa tujuanmu sampai membuat seluruh
dataran ini membencimu,” Enrik menyuarakan isi hatinya sambil memasang wajah
keseriusan atau mungkin kemarahan.
“In-ini
tak ada urusannya denganmu.” Asvia menjawab dengan wajah yang teralihkan dari
lawan bicaranya dan sedikit cemas.
“Benar-benar
keras kepalamu tak pernah berubah. Jika kau berniat melakukan sesuatu berbahaya
atau hal bodoh, aku takkan pernah membiarkanmu melakukannya. Kau sudah kuanggap
seperti adikku sendiri. Kau tau itu, kan?”
“Lakukan
saja sesukamu.” Asvia mendengus seolah tak ingin melanjutkan perdebatan masalah
yang disinggung Enrik.
“Ya,
akan kulakukan sesukaku. Bahkan jika diperlukan, aku akan mengorbankan nyawaku
jika kau benar-benar terlibat sesuatu yang merepotkan,” senyum kecil Enrik dan
terkekeh geli sambil menutup matanya.
“Seharusnya
kau mengatakan hal ini pada gadis itu. Celine yang sangat baik, manis dan
blablabla!” kesal Asvia sambil menyilangkan kedua tangan dan kedua mata
terpejam. Entah kenapa dia benar-benar terlihat tak senang ketika memikirkan
gadis yang ia singgung.
“Ah
... dia yah,” Enrik hanya tertawa kecil dengan mata tertutup beberapa saat. Dia
juga terlihat sedikit mengusap-ngusap belakang lehernya sebelum membuka mata
dengan tatapan kecil yang seolah menunjukkan aura keputusasaan.
“Argh,
tak aneh jika aku masih ingat namanya, bahkan segala tentangnya. Itu semua
karena ulah seseorang yang tak bosan-bosannya terus menceritakan dia sejak
kecil padaku ....” jelas Asvia dengan mata yang mulai terbuka dan mendelik
tajam pada Enrik. Tapi, ucapannya semakin mengecil dan menghilang ketika
melihat lelaki yang ia kaguminya itu hanya tersenyum kecil dengan tatapan kecil
ke bawah.
“Kau
sudah ... bertemu dengannya?” tanya Asvia pelan dengan raut wajah khawatir dan
menurunkan kedua tangannya ke bawah.
“Ya
....” Enrik mendongakkan kepala, membalas tatapan Asvia dengan senyuman yang
sedikit melebar.
“Melihat
dari ekspresi wajahmu, aku sudah bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Jadi
jangan katakan apapun lagi.” Asvia memalingkan wajahnya dari laki-laki di
dekatnya itu. Hatinya sedikit berdenyut merasakan sakit ketika melihat dia yang
sudah ia anggap sebagai kakaknya memperlihatkan senyuman yang menyembunyikan
kesedihan.
“Hmm
... begitu ‘kah?” senyum Enrik dengan kedua mata tertutup.
“....”
Tak ada jawaban dari Asvia yang masih terdiam. Merasakan sakit hati karena
mengetahui lelaki yang berdiri di sampingnya itu sedang merasakan patah hati
yang amat dalam.
“Yah
tapi aku memang tak berguna yah, apa yang sebenarnya kuharapkan setelah sekian
lama kita tak bertemu–“
“Gadis
itu ... akan menyesalinya! Akan kupastikan hal itu ....” Asvia menggeram dan
memasang wajahnya yang diselimuti kemarahan dan kekecewaan. Tatapannya tertuju
langsung ke depan seolah tak kuasa melihat wajah kesedihan dari lelaki yang
sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.
“....!”
Lelaki berwarna rambut kuning itu terkejut mendengar pernyataan Asvia hingga
kedua bola matanya melebar, tapi itu tak terlalu lama sampai dia menyunggingkan
senyuman kebahagiaan di wajah dan berucap sambil mengusap-ngusap rambut biru Asvia
dengan sangat lembut.
“Aku
baik-baik saja! Tak usah menunjukkan wajah menyeramkan seperti itu, Syakilla
....”
“....”
Asvia mengalihkan pandangan dari Enrik dengan kedua pipi sedikit memerah.
Merasa tak keberatan dengan elusan di kepala yang diberikan lelaki itu padanya.
Malah, memang sejak awal dia menginginkan hal itu.
“Selain
itu, hanya karena aku tak mendapatkannya bukan berarti kau bisa berkata seperti
sebelumnya, Syakilla.”
“Ya,
tapi tetap secara pribadi .... Aku takkan pernah memaafkan gadis itu.” Asvia
kembali menukikkan alis ke bawah. Hatinya kembali diselimuti kemarahan yang
sangat hebat.
“....”
Enrik hanya tersenyum kecil dengan ekspresi wajah kebingungan melihat gadis
yang sudah ia anggap seperti adiknya itu yang tak bisa mengendalikan emosinya.
***
Keesekokan
harinya, jauh di utara dari tempat Hanafi dan kelompoknya berada. Di Kota
Aldosta, Kerajaan Angelwish, atau mungkin lebih tepatnya di sekolah yang
menjadi tempat Lapis dan Bella menuntut ilmu.
Jam
istirahat siang sudah berbunyi cukup lama, tapi Lapis dan Bella terlihat baru
mendapatkan jam istirahatnya karena tugas mereka yang seorang putri kerajaan.
Sambil
memakan makanan di kafeteria sekolah kelas utama, keduanya memulai diskusi
mengenai pembelajaran yang mereka dapatkan sebelumnya, temanya mengenai
efektifitas waktu dalam mengeluarkan kemampuan mereka.
Tapi
suara para siswa dari luar ruangan yang cukup bising terdengar, hingga membuat
wajah keduanya menoleh pada pintu keluar.
“Ada
apa di luar? Tak biasanya berisik seperti ini,” tanya Lapis yang terlihat sudah
menyelesaikan menyantap makanannya.
“Ahh
soal itu, sepertinya ada seseorang dari luar sekolah yang memancing di kolam
taman sekolah.”
“Hah
memancing? Lalu kenapa para penjaga tidak mengusirnya!?” kesal Lapis yang
beranjak dari kursi, berjalan cepat meninggalkan ruangan dan berniat menegur
orang asing yang disinggung sahabatnya.
“Ah
soal itu sebaiknya kita tak ikut campur untuk masalah ini, Lapis. Karena orang
itu ...!” khawatir Bella yang juga ikut beranjak dari kursinya, lekas berjalan
cepat mengikuti langkah kaki sahabatnya. Dia juga terlihat sudah menyelesaikan
makanannya.
“Karena
apa hah!?” kesal Lapis yang terus berjalan ke depan tanpa menolehkan kepala
sedikitpun pada Bella yang berjalan di belakangnya.
Kontan,
para siswa dan siswi pun memberikan jalan padanya sambil memberikan tatapan
kagum pada gadis yang dijuluki ‘Fillie Ros’ itu.
Tapi
langkah Lapis langsung terhenti di sisi taman. Dia terkejut setelah melihat
sosok yang melanggar peraturan sekolah mereka adalah benar-benar orang yang tak
terduga.
“Karena
orang itu adalah be-beliau ....” khawatir Bella yang juga terlihat segan
menatap gadis yang sedang memancing di kolam taman yang berisikan ikan-ikan
hias yang sangat indah.
Gadis
berambut putih dengan telinga sedikit lancip yang sudah diperlihatkan
sebelumnya. Electus yang menduduki posisi pertama dari Lima Eksekutif Electus
yang dikagumi seluruh dataran benua.
“Cla-Clarice
Fysher ...?” Lapis bertanya gugup dengan mata terbelalak dengan rasa segan yang
cukup dalam.
“Ya, ma-makanya
banyak orang yang tak berani berbicara apalagi menegurnya,” jelas Bella sambil
menarik lengan kanan Lapis, isyarat dari dia yang membujuk sang sahabat untuk
tak terlibat dengan gadis bernama Clarice itu.
“....!”
Tapi meski begitu, Lapis tetap melangkah kakinya kembali dengan wajah yang
seolah menguatkan diri. Kedua bola mata Bella pun terbelalak dan wajahnya itu
pun lekas berubah menjadi ekspresi cemas yang meneriakkan nama sahabatnya.
“La-Lapis!?”
“Diamlah!
Dia hanya Eluser manja yang mendapatkan perlakuan khusus dari Sesepuh Arina!”
“Jika
dia diperlakukan khusus maka ada sesuatu yang ganjil tentangnya! Maka dari itu lebih
baik kita tak –“ bujuk Bella lagi yang ikut berjalan mengikuti sahabatnya. Tapi
sang sahabat tetap berjalan mendekati Clarice, tak ayal membuat sahabatnya pun
menyerah dan lebih memilih berjalan mengikutinya.
Perhatian
para siswa pun semakin tertuju pada taman. Mereka tak menyangka bisa melihat
kejadian sangat langka, yakni bisa melihat dua dari anggota Lima Eksekutif di
tempat yang sama. Lebih dari itu, salah satu anggota elit itu merupakan siswa
dari sekolah tempat mereka menuntut ilmu.
“Clarice
Fysher, ikan-ikan di kolam ini adalah ikan hias yang tak seharusnya ditangkap,”
jelas Lapis yang masih bisa mempertahankan kewibawaannya, meski orang yang
sedang ia peringati itu menduduki puncak dari kelompoknya.
“....”
Tak ada jawaban dari Clarice yang terus menghadap kolam dengan kepala sedikit
meneleng.
“Hei,
apa kau mendengarkanku ...?” Lapis kembali bertanya, menengok, dan menatap
langsung wajah Clarice. Tapi suaranya semakin mengecil dan menghilang karena
terkejut melihat wajah gadis itu yang menutup mata, tertidur lelap dengan
posisi duduk di atas kursi.
“Di-dia
tertidur ...?”
Bella
yang berdiri di belakangnya pun sedikit terkejut setelah mendengar pernyataan
sahabatnya. Meski tidak terlalu lama sampai dia mengubah ekspresi wajahnya dan
berucap.
“Hei,
Lapis. Sebaiknya kita biarkan saja dia, lagipula lihat ... meski kail
pancingannya mengenai ikan. Dia tak menarik pancingannya.”
“Tapi
tetap saja ...?” kesal Lapis lalu berbalik dan menatap Bella. Tapi kata
terakhirnya semakin mengecil dan terdengar seperti mengajukan pertayaan.
Ekspresi
keterkejutan terlihat darinya yang menatap gerbang hitam dan tiba-tiba muncul
di belakang Bella.
Bella
juga lekas menengok dan berbalik dengan ekspresi kecemasan seperti halnya Lapis
sebelum akhirnya berjalan mundur hingga berdiri sejajar dengan sahabatnya.
Keterkejutan
mereka bertambah ketika sosok yang mereka kagumi muncul dari gerbang itu. Dia
wanita yang sudah diperlihatkan sebelumnya, wanita yang sudah sangat berumur
lanjut.
Salah
satu anggota yang masih tersisa dari pahlawan Seven Arceluser, dan juga
merupakan anggota termuda dari kelompok mereka. Gadis yang mendapat julukan ‘Dimension Breaker’, Arina Matchowel.
“Sesepuh
Arina ....” Lapis tak sadar berucap dengan penuh rasa segan. Bella pun hanya
bisa menyunggingkan senyuman kagum di wajah sambil menatap dia yang berjalan
dan berucap dengan senyuman kecil yang menenangkan dua gadis di hadapannya.
“Maaf
yah karena kelakuan gadis ini. Tapi Putri Lapis, Putri Bella ... bisakah aku
yang ambil alih dia dari sini,”
“Ya,
Sesepuh ....” Lapis pun sedikit menundukkan kepala diikuti oleh Bella sebelum keduanya
berjalan pergi meninggalkan taman.
Setelah
keduanya pergi, Sesepuh terlihat berjalan mendekati si gadis pemancing hingga
berdiri sejajar. Lalu lekas membuka gerbang dimensinya kembali, mengambil
sesuatu dengan tangan kanannya dari gerbang dimensinya itu, yakni sebuah kursi
kayu kecil seperti halnya kursi yang kini diduduki Clarice.
Kemudian
gadis berumur lanjut usia itu duduk di dekat Clarice sambil mengeluarkan
pertanyaan dengan nada suara pelan.
“Tidak
kau tarik pancingannya?”
“....”
Tak ada jawaban dari gadis berambut putih bersinar itu untuk beberapa saat. Sesepuh Arina hanya tersenyum kecil menutup mata, mulai merasakan hembusan
angin yang begitu menenangkan jiwa.
Kelenggangan
benar-benar terasa di antara mereka ketika angin lembut itu datang, dan Clarice
tetap terlelap dalam tidurnya. Berbanding para siswa di luar taman yang saling
berbisik melontarkan perhatian pada mereka.
Tapi
setelah hembusan angin itu berhenti, Clarice mulai membuka mata perlahan sambil
menarik kail pancingannya yang mengenai ikan.
Ikan
yang ia dapat adalah ikan paling indah dengan warna pelangi yang enak untuk
pandangan siapapun. Selain itu ukuran ikan itu tak terlalu besar maupun kecil,
pas dengan kepalan tangan gadis itu.
Clarice
pun mulai melepaskan kail pancingannya dari mulut ikan itu dengan lembut,
sebelum akhirnya melepas ikan tersebut kembali ke kolam, dan berucap dengan wajah
datar dan tatapan tanpa emosi ke depan.
“Apa ...?”
Pertanyaann
itu ditunjukan untuk wanita lanjut usia di sampingnya.
“Padahal
dulu kau sering menunjukkan berbagai emosi, Clarice. Tersenyum dan tertawa
bahagia. Sering kali juga menangis untuk hal-hal yang sepele ....”
“....”
Clarice terdiam dengan tatapan terus ke depan, lalu menutup mata beberapa saat
sebelum akhirnya melirik Sesepuh Arina tanpa emosi.
Sesepuh
Arina membalas ekspresi wajah gadis itu dengan senyuman kecil dengan kepala
sedikit tertunduk. Seolah mengingat sesuatu di masa lalunya.
Meskipun
itu tak terlalu lama sampai dia berucap dengan nada suara yang pelan, tapi
masih tetap terdengar oleh gadis muda di sampingnya.
“Clarice
... kau adalah cucuku, dan calon ratu ke-28 dari Kerajaan Elvenlied. Aku tak
akan kecewa jika kau menolak posisi itu dan lebih memilih membuang segala apa
yang kau miliki sebelumnya.”
“....” Tak ada jawaban dari Clarice yang
kembali melemparkan kail pancingannya ke dalam kolam.
“Tapi
Clarice ....” Sesepuh Arina menolehkan kepala, memberikan tatapan penuh harapan
pada gadis berambut putih bercahaya itu.
“Kumohon
untuk hal yang satu ini, kau tak bisa menelantarkan tugas dan takdirmu. Tak ada
yang bisa mengambil dan menggantikan peranmu untuk hal ini. Kumohon kembalilah,
bangkitlah, dan lindungi dataran ini.
Ini
permintaan egois satu-satunya dariku kepada cucu tercintaku ... bukan kepada
salah satu anggota dari Tridivine Hero.”
“....”
Clarice mulai menundukkan kepalanya sesaat, seolah menahan emosi yang ingin
membeludak keluar. Tekanan di sekitarnya terasa berat hingga membuat gadis
lanjut usia di sampingnya cemas. Meski pada akhirnya, gadis itu bisa kembali
mengotrol emosinya dan berucap dengan nada pelan tapi terdengar bergetar.
“Mahluk
perkasa tanpa kepala hanyalah bongkahan daging tak berharga, kerajaan tanpa
raja hanya akan membawa kehancuran bagi rakyatnya, dan Tridivine Hero tanpa ‘Dirinya’
... hanyalah kelompok bodoh yang takkan pernah memiliki tujuan yang sama.”
“....”
Sesepuh Arina menurunkan pandangan dengan tetesan air mata yang melewati
pipinya. Menutup mata, merasakan penyesalan terbesar seumur hidupnya. Tapi dia
lekas membuka matanya untuk tak terlarut lebih dalam, lekas berucap melanjutkan
pernyataan.
“Tapi
Clarice ... meski hanya kalian berdua, kuyakin kalian bisa –“
“Kami
sudah memutuskan hal ini. Tanpa dia yang
memimpin kami, Tridivine takkan pernah ada lagi. Aku yang
sekarang hanyalah gadis biasa yang tak tertarik dengan pertempuran dan sedang
fokus dengan hobi seperti ini .... Karena itulah maaf, aku tak bisa
mengambulkan permintaanmu, Nek,” senyum kecil Clarice yang menutup matanya, seolah
berisi kesedihan yang amat sangat dalam. Dan bersamaan dengan itu dia beranjak
dari kursi, menarik pancingannya, berjalan pergi meninggalkan Sesepuh Arina
yang memasang ekspresi kesedihan dan penyesalan yang amat sangat dalam.
***
Pembaca setia hadir
ReplyDelete