Saturday, 6 July 2019

Chapter 4

Tittle: Exitium

Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy

Author: r lullaby

Status: Ongoing


Chapter 4
Permintaan Sesepuh Arina

Masih di hari yang sama, tengah malam dan tinggal satu jam lagi sebelum hari berganti. Suasana penginapan mulai terlihat sepi, tak terkecuali di lantai terbawah. Apa yang terlihat di sana hanya lelaki tua yang tertidur lelap dengan beberapa bir di mejanya.


Suara langkah kaki terdengar dari kamar nomor satu. Gadis itu mulai keluar kamar, berjalan menuruni tangga. Salah satu anggota kelompok Hanafi. Gadis berambut biru muda dengan wajah cukup rupawan, Asvia.


Dia berjalan menuju pintu keluar dengan tatapan waspada pada sekitar. Sesekali menengok ke samping kanan dan kiri, bahkan ke belakang. Memastikan agar tak ada satu orang pun yang mengikutinya.


Dirasa aman, dia pun lekas keluar penginapan, berjalan ke samping kanan, memutari bangunan itu untuk sampai di belakang penginapan.


Dan, seperti dugaannya.


Lelaki berambut kuning seperti kulit lemon masak, bermata biru terlihat di sana. Itu adalah Enrik yang terlihat berlatih mengayunkan pedang satu tangan dengan tangan kanan. Di tangan kirinya juga terlihat memegang pedang.


Dia bertelanjang dada, dan terlihat lah ototnya yang terbentuk dengan baik, meski tak terlalu besar tapi terlihat padat dan begitu kuat. Tak disangka dibalik pakaian yang ia kenakan itu terdapat tubuh yang begitu ideal dan menganggumkan.


Asvia lekas menyunggingkan senyuman sambil bersandar pada dinding penginapan. Enrik menyadari kehadirannya, tapi dia lebih memilih untuk terus melanjutkan latihannya.


“Aah, sudah kuduga kau akan berlatih di sini.” Kali ini senyuman Asvia terlihat berbeda seolah menunjukan kesedihan ketika melihat beberapa luka yang cukup banyak di tubuh Enrik.


“....” Enrik tak menjawab dan terus berlatih mengayunkan pedangnya dengan sangat cepat, terkadang melompat begitu atletis memperlihat gaya berpedangnya yang elegan. Ekspresi keseriusannya bercampur dengan keringat yang membasahi tubuhnya.


Asvia mulai menghela nafas sesaat dengan mata terpejam. Lekas, berucap dengan nada suara pelan dan hampir tak terdengar.


“Sungguh, tak kusangka aku bisa melihatmu lagi, Putra Mahkota dari kekaisaran yang terlupakan di masa lalu ...  Enriklaus Sentraloasis.”


“....” Enrik seketika menghentikan ayunan kedua pedangnya, melepas kuda-kudanya, dan berdiri tegap memberikan ekspresi datar ke arah depan. Meski tak terlalu lama sampai dia menghela nafas berat dan berucap.


“Enrik saja ... sekarang aku hanyalah rakyat biasa. Kau juga tau, kan? Kekaisaran yang kau maksud itu sudah hancur lebih dari beberapa tahun yang lalu, Syakilla.” Enrik menyunggingkan senyuman kecil melirik gadis berambut biru muda itu yang mulai membuka mata.


“.....” Perlahan Asvia mulai menundukkan kepala, berharap bisa menyembunyikan kedua bola matanya yang memerah karena kembali mengingat penyesalan terbesar dalam hidupnya.


Tak lama setelah itu, dia pun berucap dengan nada suara yang bergetar.


 “Ba-bagaimana kau bisa selamat dari gempuran itu ...?”


“....” Enrik terdiam dengan ekspresi wajah yang datar pada tubuh Asvia yang gemetar. Meski tak terlalu lama sampai dia berucap dengan nada suara yang ringan.


“Ahh ... itu yah. Sungguh saat itu kami benar-benar kesusahan. Aku juga berpikir jika saat itu adalah akhirnya ....” Enrik tertawa kecil sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya, berniat mencairkan suasana tegang yang mulai merangkul mereka.


Tapi, hal itu malah semakin membuat Asvia yang berumur lebih muda darinya itu berucap meneriakkan kekesalan.


“Jangan tertawa!!”


“....” Enrik lekas menghentikan tertawaan dengan wajah cemas. Mengalihkan pandangan dari Asvia dan sedikit kebingungan membalas pernyataan.


“Ma-maaf jika aku sudah membuatmu khawatir.” Tiba-tiba Enrik berkata dengan nada suara pelan, dan pandangan yang masih teralihkan dari lawan bicaranya.


“....” Tak ada jawaban dari Asvia yang masih menundukkan kepala dengan tubuh gemetar. Berbagai macam emosi bercampur dalam hatinya saat itu.


“Ka-kami sungguh berusaha untuk tepat waktu sampai di sana. Tapi, kar-karena jarak yang terlalu jauh .... Ketika kami sampai ....” Asvia tak kuasa melanjutkan ucapan, hanya bisa menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya.


“Itu sudah berlalu, kau jangan merasa bersalah untuk hal ini, Syakilla. Aku masih bisa hidup dan berdiri di sini karena keberuntungan.”


“Tapi–“ Asvia mengangkat wajahnya dan terlihatlah dia yang biasanya tenang kini mulai menunjukan wajah berantakan karena dipenuhi air mata yang berlebih.


“Wa-waah, jangan sampai orang lain melihatmu seperti ini loh. Reputasimu sebagai Ratu Xeria Syakilla yang terkenal arogan, bengis, dan tak berperasaan bisa-bisa hancur dalam sekejap ...,” singgung Enrik dengan senyuman kecil seolah mencemoohi gadis yang berumur lebih muda darinya itu.


Kontan, kedua pipi Asvia memerah karena malu dan marah yang bercampur aduk. Dia pun lekas memberikan tatapan tajam seolah memberikan ancaman sambil membersihkan wajahnya dari air mata.


“Be-berisik!!” pekiknya.


“Hahahahaha ....” Enrik hanya tertawa seolah puas mendengar teriakan menggemaskan dari gadis yang sudah ia anggap adiknya sendiri itu.


“....” Beberapa menit setelah tawaan Enrik, tak ada ucapan lagi yang keluar dari mereka. Asvia hanya tetap menundukkan kepala sambil membersihkan air mata di wajah, sedangkan Enrik terlihat mengamati langit malam yang dipenuhi oleh jutaan bintang yang indah.


Suasana hening pun mulai datang merangkul keduanya. Kedua hanya berdiri berdekatan dalam diam sebelum akhirnya.


“Apa yang sebenarnya coba kau lakukan, Syakilla? Apa tujuanmu sampai membuat seluruh dataran ini membencimu,” Enrik menyuarakan isi hatinya sambil memasang wajah keseriusan atau mungkin kemarahan.


“In-ini tak ada urusannya denganmu.” Asvia menjawab dengan wajah yang teralihkan dari lawan bicaranya dan sedikit cemas.


“Benar-benar keras kepalamu tak pernah berubah. Jika kau berniat melakukan sesuatu berbahaya atau hal bodoh, aku takkan pernah membiarkanmu melakukannya. Kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Kau tau itu, kan?”


“Lakukan saja sesukamu.” Asvia mendengus seolah tak ingin melanjutkan perdebatan masalah yang disinggung Enrik.


“Ya, akan kulakukan sesukaku. Bahkan jika diperlukan, aku akan mengorbankan nyawaku jika kau benar-benar terlibat sesuatu yang merepotkan,” senyum kecil Enrik dan terkekeh geli sambil menutup matanya.


“Seharusnya kau mengatakan hal ini pada gadis itu. Celine yang sangat baik, manis dan blablabla!” kesal Asvia sambil menyilangkan kedua tangan dan kedua mata terpejam. Entah kenapa dia benar-benar terlihat tak senang ketika memikirkan gadis yang ia singgung.


“Ah ... dia yah,” Enrik hanya tertawa kecil dengan mata tertutup beberapa saat. Dia juga terlihat sedikit mengusap-ngusap belakang lehernya sebelum membuka mata dengan tatapan kecil yang seolah menunjukkan aura keputusasaan.


“Argh, tak aneh jika aku masih ingat namanya, bahkan segala tentangnya. Itu semua karena ulah seseorang yang tak bosan-bosannya terus menceritakan dia sejak kecil padaku ....” jelas Asvia dengan mata yang mulai terbuka dan mendelik tajam pada Enrik. Tapi, ucapannya semakin mengecil dan menghilang ketika melihat lelaki yang ia kaguminya itu hanya tersenyum kecil dengan tatapan kecil ke bawah.


“Kau sudah ... bertemu dengannya?” tanya Asvia pelan dengan raut wajah khawatir dan menurunkan kedua tangannya ke bawah.


“Ya ....” Enrik mendongakkan kepala, membalas tatapan Asvia dengan senyuman yang sedikit melebar.


“Melihat dari ekspresi wajahmu, aku sudah bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Jadi jangan katakan apapun lagi.” Asvia memalingkan wajahnya dari laki-laki di dekatnya itu. Hatinya sedikit berdenyut merasakan sakit ketika melihat dia yang sudah ia anggap sebagai kakaknya memperlihatkan senyuman yang menyembunyikan kesedihan.


“Hmm ... begitu ‘kah?” senyum Enrik dengan kedua mata tertutup.


“....” Tak ada jawaban dari Asvia yang masih terdiam. Merasakan sakit hati karena mengetahui lelaki yang berdiri di sampingnya itu sedang merasakan patah hati yang amat dalam.


“Yah tapi aku memang tak berguna yah, apa yang sebenarnya kuharapkan setelah sekian lama kita tak bertemu–“


“Gadis itu ... akan menyesalinya! Akan kupastikan hal itu ....” Asvia menggeram dan memasang wajahnya yang diselimuti kemarahan dan kekecewaan. Tatapannya tertuju langsung ke depan seolah tak kuasa melihat wajah kesedihan dari lelaki yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.


“....!” Lelaki berwarna rambut kuning itu terkejut mendengar pernyataan Asvia hingga kedua bola matanya melebar, tapi itu tak terlalu lama sampai dia menyunggingkan senyuman kebahagiaan di wajah dan berucap sambil mengusap-ngusap rambut biru Asvia dengan sangat lembut.


“Aku baik-baik saja! Tak usah menunjukkan wajah menyeramkan seperti itu, Syakilla ....”


“....” Asvia mengalihkan pandangan dari Enrik dengan kedua pipi sedikit memerah. Merasa tak keberatan dengan elusan di kepala yang diberikan lelaki itu padanya. Malah, memang sejak awal dia menginginkan hal itu.


“Selain itu, hanya karena aku tak mendapatkannya bukan berarti kau bisa berkata seperti sebelumnya, Syakilla.”


“Ya, tapi tetap secara pribadi .... Aku takkan pernah memaafkan gadis itu.” Asvia kembali menukikkan alis ke bawah. Hatinya kembali diselimuti kemarahan yang sangat hebat.


“....” Enrik hanya tersenyum kecil dengan ekspresi wajah kebingungan melihat gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya itu yang tak bisa mengendalikan emosinya.



***


            Keesekokan harinya, jauh di utara dari tempat Hanafi dan kelompoknya berada. Di Kota Aldosta, Kerajaan Angelwish, atau mungkin lebih tepatnya di sekolah yang menjadi tempat Lapis dan Bella menuntut ilmu.


            Jam istirahat siang sudah berbunyi cukup lama, tapi Lapis dan Bella terlihat baru mendapatkan jam istirahatnya karena tugas mereka yang seorang putri kerajaan.


Sambil memakan makanan di kafeteria sekolah kelas utama, keduanya memulai diskusi mengenai pembelajaran yang mereka dapatkan sebelumnya, temanya mengenai efektifitas waktu dalam mengeluarkan kemampuan mereka.


Tapi suara para siswa dari luar ruangan yang cukup bising terdengar, hingga membuat wajah keduanya menoleh pada pintu keluar.


“Ada apa di luar? Tak biasanya berisik seperti ini,” tanya Lapis yang terlihat sudah menyelesaikan menyantap makanannya.


“Ahh soal itu, sepertinya ada seseorang dari luar sekolah yang memancing di kolam taman sekolah.”


“Hah memancing? Lalu kenapa para penjaga tidak mengusirnya!?” kesal Lapis yang beranjak dari kursi, berjalan cepat meninggalkan ruangan dan berniat menegur orang asing yang disinggung sahabatnya.


“Ah soal itu sebaiknya kita tak ikut campur untuk masalah ini, Lapis. Karena orang itu ...!” khawatir Bella yang juga ikut beranjak dari kursinya, lekas berjalan cepat mengikuti langkah kaki sahabatnya. Dia juga terlihat sudah menyelesaikan makanannya.


“Karena apa hah!?” kesal Lapis yang terus berjalan ke depan tanpa menolehkan kepala sedikitpun pada Bella yang berjalan di belakangnya.


Kontan, para siswa dan siswi pun memberikan jalan padanya sambil memberikan tatapan kagum pada gadis yang dijuluki ‘Fillie Ros’ itu.


Tapi langkah Lapis langsung terhenti di sisi taman. Dia terkejut setelah melihat sosok yang melanggar peraturan sekolah mereka adalah benar-benar orang yang tak terduga.


“Karena orang itu adalah be-beliau ....” khawatir Bella yang juga terlihat segan menatap gadis yang sedang memancing di kolam taman yang berisikan ikan-ikan hias yang sangat indah.


Gadis berambut putih dengan telinga sedikit lancip yang sudah diperlihatkan sebelumnya. Electus yang menduduki posisi pertama dari Lima Eksekutif Electus yang dikagumi seluruh dataran benua.


“Cla-Clarice Fysher ...?” Lapis bertanya gugup dengan mata terbelalak dengan rasa segan yang cukup dalam.


“Ya, ma-makanya banyak orang yang tak berani berbicara apalagi menegurnya,” jelas Bella sambil menarik lengan kanan Lapis, isyarat dari dia yang membujuk sang sahabat untuk tak terlibat dengan gadis bernama Clarice itu.


“....!” Tapi meski begitu, Lapis tetap melangkah kakinya kembali dengan wajah yang seolah menguatkan diri. Kedua bola mata Bella pun terbelalak dan wajahnya itu pun lekas berubah menjadi ekspresi cemas yang meneriakkan nama sahabatnya. “La-Lapis!?”


“Diamlah! Dia hanya Eluser manja yang mendapatkan perlakuan khusus dari Sesepuh Arina!”


“Jika dia diperlakukan khusus maka ada sesuatu yang ganjil tentangnya! Maka dari itu lebih baik kita tak –“ bujuk Bella lagi yang ikut berjalan mengikuti sahabatnya. Tapi sang sahabat tetap berjalan mendekati Clarice, tak ayal membuat sahabatnya pun menyerah dan lebih memilih berjalan mengikutinya.


Perhatian para siswa pun semakin tertuju pada taman. Mereka tak menyangka bisa melihat kejadian sangat langka, yakni bisa melihat dua dari anggota Lima Eksekutif di tempat yang sama. Lebih dari itu, salah satu anggota elit itu merupakan siswa dari sekolah tempat mereka menuntut ilmu.


“Clarice Fysher, ikan-ikan di kolam ini adalah ikan hias yang tak seharusnya ditangkap,” jelas Lapis yang masih bisa mempertahankan kewibawaannya, meski orang yang sedang ia peringati itu menduduki puncak dari kelompoknya.


“....” Tak ada jawaban dari Clarice yang terus menghadap kolam dengan kepala sedikit meneleng.


“Hei, apa kau mendengarkanku ...?” Lapis kembali bertanya, menengok, dan menatap langsung wajah Clarice. Tapi suaranya semakin mengecil dan menghilang karena terkejut melihat wajah gadis itu yang menutup mata, tertidur lelap dengan posisi duduk di atas kursi.


“Di-dia tertidur ...?”


Bella yang berdiri di belakangnya pun sedikit terkejut setelah mendengar pernyataan sahabatnya. Meski tidak terlalu lama sampai dia mengubah ekspresi wajahnya dan berucap.


“Hei, Lapis. Sebaiknya kita biarkan saja dia, lagipula lihat ... meski kail pancingannya mengenai ikan. Dia tak menarik pancingannya.”


“Tapi tetap saja ...?” kesal Lapis lalu berbalik dan menatap Bella. Tapi kata terakhirnya semakin mengecil dan terdengar seperti mengajukan pertayaan.


Ekspresi keterkejutan terlihat darinya yang menatap gerbang hitam dan tiba-tiba muncul di belakang Bella.


Bella juga lekas menengok dan berbalik dengan ekspresi kecemasan seperti halnya Lapis sebelum akhirnya berjalan mundur hingga berdiri sejajar dengan sahabatnya.


Keterkejutan mereka bertambah ketika sosok yang mereka kagumi muncul dari gerbang itu. Dia wanita yang sudah diperlihatkan sebelumnya, wanita yang sudah sangat berumur lanjut.


Salah satu anggota yang masih tersisa dari pahlawan Seven Arceluser, dan juga merupakan anggota termuda dari kelompok mereka. Gadis yang mendapat julukan ‘Dimension Breaker’, Arina Matchowel.


“Sesepuh Arina ....” Lapis tak sadar berucap dengan penuh rasa segan. Bella pun hanya bisa menyunggingkan senyuman kagum di wajah sambil menatap dia yang berjalan dan berucap dengan senyuman kecil yang menenangkan dua gadis di hadapannya.


“Maaf yah karena kelakuan gadis ini. Tapi Putri Lapis, Putri Bella ... bisakah aku yang ambil alih dia dari sini,”


“Ya, Sesepuh ....” Lapis pun sedikit menundukkan kepala diikuti oleh Bella sebelum keduanya berjalan pergi meninggalkan taman.


Setelah keduanya pergi, Sesepuh terlihat berjalan mendekati si gadis pemancing hingga berdiri sejajar. Lalu lekas membuka gerbang dimensinya kembali, mengambil sesuatu dengan tangan kanannya dari gerbang dimensinya itu, yakni sebuah kursi kayu kecil seperti halnya kursi yang kini diduduki Clarice.


Kemudian gadis berumur lanjut usia itu duduk di dekat Clarice sambil mengeluarkan pertanyaan dengan nada suara pelan.


“Tidak kau tarik pancingannya?”


“....” Tak ada jawaban dari gadis berambut putih bersinar itu untuk beberapa saat. Sesepuh Arina hanya tersenyum kecil menutup mata, mulai merasakan hembusan angin yang begitu menenangkan jiwa.


Kelenggangan benar-benar terasa di antara mereka ketika angin lembut itu datang, dan Clarice tetap terlelap dalam tidurnya. Berbanding para siswa di luar taman yang saling berbisik melontarkan perhatian pada mereka.


Tapi setelah hembusan angin itu berhenti, Clarice mulai membuka mata perlahan sambil menarik kail pancingannya yang mengenai ikan.


Ikan yang ia dapat adalah ikan paling indah dengan warna pelangi yang enak untuk pandangan siapapun. Selain itu ukuran ikan itu tak terlalu besar maupun kecil, pas dengan kepalan tangan gadis itu.


Clarice pun mulai melepaskan kail pancingannya dari mulut ikan itu dengan lembut, sebelum akhirnya melepas ikan tersebut kembali ke kolam, dan berucap dengan wajah datar dan tatapan tanpa emosi ke depan.


“Apa ...?”


Pertanyaann itu ditunjukan untuk wanita lanjut usia di sampingnya.


“Padahal dulu kau sering menunjukkan berbagai emosi, Clarice. Tersenyum dan tertawa bahagia. Sering kali juga menangis untuk hal-hal yang sepele ....”


“....” Clarice terdiam dengan tatapan terus ke depan, lalu menutup mata beberapa saat sebelum akhirnya melirik Sesepuh Arina tanpa emosi.


Sesepuh Arina membalas ekspresi wajah gadis itu dengan senyuman kecil dengan kepala sedikit tertunduk. Seolah mengingat sesuatu di masa lalunya.


Meskipun itu tak terlalu lama sampai dia berucap dengan nada suara yang pelan, tapi masih tetap terdengar oleh gadis muda di sampingnya.


“Clarice ... kau adalah cucuku, dan calon ratu ke-28 dari Kerajaan Elvenlied. Aku tak akan kecewa jika kau menolak posisi itu dan lebih memilih membuang segala apa yang kau miliki sebelumnya.”


 “....” Tak ada jawaban dari Clarice yang kembali melemparkan kail pancingannya ke dalam kolam.


“Tapi Clarice ....” Sesepuh Arina menolehkan kepala, memberikan tatapan penuh harapan pada gadis berambut putih bercahaya itu.


“Kumohon untuk hal yang satu ini, kau tak bisa menelantarkan tugas dan takdirmu. Tak ada yang bisa mengambil dan menggantikan peranmu untuk hal ini. Kumohon kembalilah, bangkitlah, dan lindungi dataran ini.
Ini permintaan egois satu-satunya dariku kepada cucu tercintaku ... bukan kepada salah satu anggota dari Tridivine Hero.”


“....” Clarice mulai menundukkan kepalanya sesaat, seolah menahan emosi yang ingin membeludak keluar. Tekanan di sekitarnya terasa berat hingga membuat gadis lanjut usia di sampingnya cemas. Meski pada akhirnya, gadis itu bisa kembali mengotrol emosinya dan berucap dengan nada pelan tapi terdengar bergetar.


“Mahluk perkasa tanpa kepala hanyalah bongkahan daging tak berharga, kerajaan tanpa raja hanya akan membawa kehancuran bagi rakyatnya, dan Tridivine Hero tanpa ‘Dirinya’ ... hanyalah kelompok bodoh yang takkan pernah memiliki tujuan yang sama.”


“....” Sesepuh Arina menurunkan pandangan dengan tetesan air mata yang melewati pipinya. Menutup mata, merasakan penyesalan terbesar seumur hidupnya. Tapi dia lekas membuka matanya untuk tak terlarut lebih dalam, lekas berucap melanjutkan pernyataan.


“Tapi Clarice ... meski hanya kalian berdua, kuyakin kalian bisa –“


“Kami sudah memutuskan hal ini. Tanpa dia yang memimpin kami, Tridivine takkan pernah ada lagi. Aku yang sekarang hanyalah gadis biasa yang tak tertarik dengan pertempuran dan sedang fokus dengan hobi seperti ini .... Karena itulah maaf, aku tak bisa mengambulkan permintaanmu, Nek,” senyum kecil Clarice yang menutup matanya, seolah berisi kesedihan yang amat sangat dalam. Dan bersamaan dengan itu dia beranjak dari kursi, menarik pancingannya, berjalan pergi meninggalkan Sesepuh Arina yang memasang ekspresi kesedihan dan penyesalan yang amat sangat dalam.


***

1 comment: