Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Rina 2
Tembok kokoh dengan wallpaper bunga
anggrek memenuhi dinding kantin ini. Dinding kaca transparan yang megah,
menjadi pembatas antara kantin dengan lorong sekolah.
Beruntung dengan arsitektur bangunan yang seperti ini
memudahkanku untuk melihat orang-orang yang sedang berjalan lalu lalang di
lorong sekolah. Aku cukup senang melihat orang-orang yang sedang berjalan.
Apalagi melihat orang-orang yang berbicara, bercanda,
dan memasang wajah kebahagiaan satu sama lain. Hatiku terasa tenang ketika
melihat kebahagiaan seperti itu.
Aku menyukai kehidupan sekolahku ini.
"Rina, apa kau yakin hanya ingin makan itu?"
Geisha bertanya khawatir dan menatap roti coklat di atas meja.
Aku mulai mengambil roti itu. Mulai memakannya sambil
menganggukkan kepala menjawab pertanyaan sang sahabat.
"Ka-kau masih marah, yah?" wajah Geisha
semakin terlihat khawatir.
"Aku memang masih marah, tapi alasanku memakan
makanan ini bukan berarti karenamu."
"Ja-jadi kau masih marah padak –"
"Aku tidak terlalu lapar. Aku sudah makan cukup
banyak tadi pagi."
Geisha memasang wajah datar, tak senang pada responku.
Aku hanya tersenyum kecil padanya. Sungguh sangat senang melihat dia yang
berwajah seperti itu.
"Tenanglah, aku hanya bercanda soal aku yang
masih marah padamu."
"Astaga, kenapa kau ini selalu ...."
Geisha semakin mengecilkan suaranya hingga langsung
terdiam dengan kepala tertunduk ke bawah. Tubuhnya bergemetar.
Dia ketakutan.
Melihat reaksi sahabat ... aku pun mengerti. Aku hanya
ikut terdiam dan menutup mata. Detak jantungku mulai berdetak cukup cepat.
Ritme pernapasanku mulai berhembus tak tak stabil.
Benar. Ada empat julukan yang terkenal di sekolah ini.
Julukan ini bukan dari kami sendiri, melainkan ada dan
muncul dengan sendirinya. Julukan yang diberikan pada kami dari pihak siswa
maupun guru.
Selain julukan memalukanku, ada lagi siswa yang sama
terkenal denganku. Tentunya terkenal dalam arti lain yang amat sangat
berbanding terbalik.
'Sang Bajingan'.
Tidak ada yang tak mengenal preman di sekolah kami
ini. Lelaki berambut hitam dengan banyak tindik dan tato ini membuat seluruh
siswa ketakutan. Wajahnya yang menyeramkan membuat para guru segan menatap
dirinya. Dia tak memiliki emosi yang stabil dan nekat melakukan tindakan
kekerasan pada sekitar.
Selain itu, ada satu hal lagi yang membuat dia
terlihat semakin menakutkan. Hampir seluruh tubuh bagian kirinya berwarna putih
terlihat mengerikan, termasuk telinga kiri dan sebagian pipinya.
Sungguh berbeda dengan warna kulit aslinya yang coklat
kehitaman.
Banyak rumor yang beredar hingga lelaki itu
mendapatkan luka bakar di sebagian tubuhnya. Mulai dari pertarungan dengan para
gangster sampai karena ganjaran dari dia yang dikabarkan pernah merampok bank.
Kelenggangan pun kontan menyeruak memenuhi kantin ini.
Setiap dia melangkahkan kakinya, para siswa seketika menjauh memberikan ruang.
Tidak sepertiku. Tak ada satupun tatapan yang
diberikan dari para siswa yang dilewatinya. Tatapan penasaran, khawatir, apalagi
kagum tidak pernah dikeluarkan oleh mereka.
Kami terlalu takut hanya dengan menatap wajahnya.
"Roti coklat," pintanya pada bibi kantin
yang terlihat masih muda. Suaranya cukup pelan namun terdengar berat dan itu
lebih dari cukup untuk membuat suasana kantin menjadi lebih tak mengenakkan.
"Y-ya, harganya dua ribu," jawab khawatir si
bibi kantin memberikan roti coklat.
Lelaki yang ditakuti itu mulai mengambil uang receh di
dalam sakunya. Sesaat, dia melebarkan mata. Cukup terkejut sambil memberikan
dua buah koin lima ratus.
"Aku hanya punya seribu."
"Baiklah, tak apa! Kau bisa memilikinya!"
khawatir bibi itu ketakutan. Mengambil cepat uang lelaki tersebut.
Dia yang ditakuti pun berbalik dan berjalan pergi
meninggalkan kantin. Para siswa masih terlihat ketakutan memberikan ruang
untuknya. Hanya beberapa orang saja yang berani menatap dan memberikan wajah
ketidaksukaan pada dia.
Ketika dia melewati pintu, mulai terlihat juga gadis
yang sama terkenalnya dengan kami berdua. Dia memberikan tatapan sinis pada
Sang Bajingan yang berjalan melewati pintu.
Su-sungguh pemandangan langka.
Benar, sekarang aku mengingatnya. Akan keberadaan dua
orang yang tidak kusukai di sekolah ini. Pertama, lelaki yang memberikan
intimidasi pada kami semua.
Dan yang kedua adalah ... gadis yang baru saja
memberikan tatapan sinis pada preman sekolah itu.
Si Gadis Arogan ... Annisa.
Tak seperti Sang Bajingan. Para siswa berani
memberikan tatapan tajam pada gadis berambut hitam lurus itu. Namun, untuk
beberapa alasan mereka juga sesekali menatapku cukup cemas.
Annisa kembali memberikan tatapan tak mengenakkan
padaku. Aku mulai berdiri dan membalas tatapannya.
Aku paling tidak menyukai dirinya yang angkuh dan
sombong. Siapa memangnya dia hingga berani memandang rendah kami semua?
Seandainya dia– mereka tidak bersekolah di sini,
mungkin kehidupan sekolah kami akan lebih baik dan menyenangkan.
"Apa?" tanyaku dengan tekanan nada tak
bersahabat.
Gadis itu malah berjalan melewatiku, mengabaikan
pertanyaanku.
Benar-benar gadis yang menyebalkan.
"Wah tetap arogan ya, padahal cuman anak miskin
yang beruntung masuk sini," celetuk Geisha ikut berdiri dan melirik sinis
dirinya.
Annisa berbalik dan melotot pada Geisha. Terlihat
sangat terima dengan ucapan Geisha yang mungkin memang agak keterlaluan.
Suasana tegang pun semakin terasa ketika sahabatku dan
Annisa mengadu tatapan. Tak kalah tatapan sinis para siswa pun mengarah pada
Annisa.
Annisa mendecik kesal, berbalik, dan berjalan pergi.
"Hei–" kesal Geisha merasa diacuhkan, tapi.
"Sudahlah, Geisha. Biarkan gadis itu. Kita
kembali ke kelas," kesalku menutup mata. Berjalan meninggalkan kantin. Aku
tak ingin lama-lama di tempat yang sama dengan gadis itu.
Seperti biasanya. Para siswa pun mulai memberikan
jalan untukku. Geisha pun mengikuti di belakang dengan lirikan sinis pada
Annisa.
Annisa ... gadis itu terlalu sombong dan menganggap
kalau dirinya sempurna. Segala bentuk bantuan yang kuberikan padanya, selalu
tak dihargai.
Dia seolah mengatakan, jika dirinya bisa melakukan
semuanya sendiri. Dia seolah memperlihatkan, jika dirinya tak membutuhkanku dan
orang lain.
Apa dia tidak bisa berbicara? Aku benar-benar tak
mengerti dengan apa yang ada di pikirannya. Kenapa dia begitu angkuh? Kenapa
dia selalu memberikan tatapan kekesalan padaku?
Aku sungguh tak mengerti apa kesalahanku padanya
hingga dia bersikap seperti itu.
"Sungguh, jika kau bertemu dengannya suasana
sekitar berubah menjadi tegang. Apa kau memiliki masalah yang lebih dalam
dengan Si Gadis Arogan?" khawatir Geisha yang masih berjalan di sampingku.
"Aku merasa tak punya salah padanya. Sifatnya
saja memang seperti itu. Sifat arogan yang menyebalkan." Aku tersenyum
kesal menundukkan kepala. Terus berjalan cepat. Membuat sahabat kerepotan
berjalan mengikutiku.
"Hei, tunggu awas–"
Durkgghh!
Sakit! Kepalaku membentur badan seseorang. Dari
posturnya tubuhnya pasti seorang laki-laki. Aku perlahan mengangkat kepala dan
berniat meminta maaf. Tapi.
Orang itu lah yang kutabrak. Ya ... Sang Bajingan.
Dari banyak siswa di sekolah ini, ke-kenapa harus preman ini!?
Wajahku membiru ketakutan. Kedua kakiku kontan
bergemetar lemas, tapi aku paksa gerakan ke belakang. Berjalan mundur menjauhi
dia yang terus menatapku penuh ancaman.
"Kau ...!" ucapnya dengan sebelah alis
menukik ke bawah.
"Ak-aku, ak-aku –" gugupku yang masih dalam
kondisi ketakutan. Apa dia akan memukulku? Apa dia akan membentakku?! Apa aku
akan mati–
"Ma-maafkan dia!! Dia tidak sengaja!" teriak
Geisha menghancurkan pikiranku. Aku sungguh menatap bahagia sahabatk– tidak!
Penyelamatku!
"La-la-lagipula kau yang sa-salah!" Geisha
memberanikan diri menunjuk Sang Bajingan. Aku tau dia sangat ketakutan dan itu
terlihat jelas dari tangannya yang bergemetar.
Sang Bajingan hanya terdiam tak merespon pernyataan
Geisha. Dia hanya berbalik dan berjalan pergi karena bel masuk sudah berbunyi.
Detak jantungku masih berdegup cepat sambil menatap
dia yang terlihat menakutkan. Astaga, lelaki itu sungguh mirip dengan pembunuh
dalam film horror yang kutonton.
Jika dia membawa gergaji mesin yang dipenuhi darah,
pasti akan lebih mirip lagi.
Aku memeluk sahabatku dan berterima kasih padanya.
Geisha yang mendapat pelukanku hanya tersenyum khawatir ketakutan.
Tubuhnya masih bergemetar. Pandangannya cukup kosong
sambil mengulangi perkataan yang sama.
"Aku membentaknya, aku membentaknya, aku
membentaknya."
"Sadarlah, Geisha! Jangan frustasi, jangan bunuh
diri! Sekarang giliranku yan –"
"Siapa yang mau bunuh diri!" Geisha cukup
kesal dan melepaskan pelukanku. Dia mengusap keningnya dan terlihat ingin
menangis.
"Tapi, apa yang harus kulakukan sekarang? Dia
mungkin akan menyerangku sepulang sekola–"
"Tenang saja! Jika dia membuat masalah lagi, kita
akan melawan! Hukum ada bersama kita."
"Perkataan dan senyuman khawatirmu tidak
membuatku lebih baik, Rina."
Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku memang
cukup ketakutan jika bertemu dengan lelaki itu.
"Untuk saat ini kita lupakan preman itu.
Sebaiknya kita kembali ke kelas. Ujian terakhir sudah mau dimulai." Geisha
mulai berjalan dan menarik tanganku. Aku berjalan mengikutinya. Menganggukkan
kepala secara perlahan membenarkan perkataanya.
***
No comments:
Post a Comment