Tuesday, 14 July 2020

Rina 2

Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Rina 2

Tembok kokoh dengan wallpaper bunga anggrek memenuhi dinding kantin ini. Dinding kaca transparan yang megah, menjadi pembatas antara kantin dengan lorong sekolah.
Beruntung dengan arsitektur bangunan yang seperti ini memudahkanku untuk melihat orang-orang yang sedang berjalan lalu lalang di lorong sekolah. Aku cukup senang melihat orang-orang yang sedang berjalan.
Apalagi melihat orang-orang yang berbicara, bercanda, dan memasang wajah kebahagiaan satu sama lain. Hatiku terasa tenang ketika melihat kebahagiaan seperti itu.
Aku menyukai kehidupan sekolahku ini.
"Rina, apa kau yakin hanya ingin makan itu?" Geisha bertanya khawatir dan menatap roti coklat di atas meja.
Aku mulai mengambil roti itu. Mulai memakannya sambil menganggukkan kepala menjawab pertanyaan sang sahabat.
"Ka-kau masih marah, yah?" wajah Geisha semakin terlihat khawatir.
"Aku memang masih marah, tapi alasanku memakan makanan ini bukan berarti karenamu."
"Ja-jadi kau masih marah padak –"
"Aku tidak terlalu lapar. Aku sudah makan cukup banyak tadi pagi."
Geisha memasang wajah datar, tak senang pada responku. Aku hanya tersenyum kecil padanya. Sungguh sangat senang melihat dia yang berwajah seperti itu.
"Tenanglah, aku hanya bercanda soal aku yang masih marah padamu."
"Astaga, kenapa kau ini selalu ...."
Geisha semakin mengecilkan suaranya hingga langsung terdiam dengan kepala tertunduk ke bawah. Tubuhnya bergemetar.
Dia ketakutan.
Melihat reaksi sahabat ... aku pun mengerti. Aku hanya ikut terdiam dan menutup mata. Detak jantungku mulai berdetak cukup cepat. Ritme pernapasanku mulai berhembus tak tak stabil.
Benar. Ada empat julukan yang terkenal di sekolah ini.
Julukan ini bukan dari kami sendiri, melainkan ada dan muncul dengan sendirinya. Julukan yang diberikan pada kami dari pihak siswa maupun guru.
Selain julukan memalukanku, ada lagi siswa yang sama terkenal denganku. Tentunya terkenal dalam arti lain yang amat sangat berbanding terbalik.
'Sang Bajingan'.
Tidak ada yang tak mengenal preman di sekolah kami ini. Lelaki berambut hitam dengan banyak tindik dan tato ini membuat seluruh siswa ketakutan. Wajahnya yang menyeramkan membuat para guru segan menatap dirinya. Dia tak memiliki emosi yang stabil dan nekat melakukan tindakan kekerasan pada sekitar.
Selain itu, ada satu hal lagi yang membuat dia terlihat semakin menakutkan. Hampir seluruh tubuh bagian kirinya berwarna putih terlihat mengerikan, termasuk telinga kiri dan sebagian pipinya.
Sungguh berbeda dengan warna kulit aslinya yang coklat kehitaman.
Banyak rumor yang beredar hingga lelaki itu mendapatkan luka bakar di sebagian tubuhnya. Mulai dari pertarungan dengan para gangster sampai karena ganjaran dari dia yang dikabarkan pernah merampok bank.
Kelenggangan pun kontan menyeruak memenuhi kantin ini. Setiap dia melangkahkan kakinya, para siswa seketika menjauh memberikan ruang.
Tidak sepertiku. Tak ada satupun tatapan yang diberikan dari para siswa yang dilewatinya. Tatapan penasaran, khawatir, apalagi kagum tidak pernah dikeluarkan oleh mereka.
Kami terlalu takut hanya dengan menatap wajahnya.
"Roti coklat," pintanya pada bibi kantin yang terlihat masih muda. Suaranya cukup pelan namun terdengar berat dan itu lebih dari cukup untuk membuat suasana kantin menjadi lebih tak mengenakkan.
"Y-ya, harganya dua ribu," jawab khawatir si bibi kantin memberikan roti coklat.
Lelaki yang ditakuti itu mulai mengambil uang receh di dalam sakunya. Sesaat, dia melebarkan mata. Cukup terkejut sambil memberikan dua buah koin lima ratus.
"Aku hanya punya seribu."
"Baiklah, tak apa! Kau bisa memilikinya!" khawatir bibi itu ketakutan. Mengambil cepat uang lelaki tersebut.
Dia yang ditakuti pun berbalik dan berjalan pergi meninggalkan kantin. Para siswa masih terlihat ketakutan memberikan ruang untuknya. Hanya beberapa orang saja yang berani menatap dan memberikan wajah ketidaksukaan pada dia.
Ketika dia melewati pintu, mulai terlihat juga gadis yang sama terkenalnya dengan kami berdua. Dia memberikan tatapan sinis pada Sang Bajingan yang berjalan melewati pintu.
Su-sungguh pemandangan langka.
Benar, sekarang aku mengingatnya. Akan keberadaan dua orang yang tidak kusukai di sekolah ini. Pertama, lelaki yang memberikan intimidasi pada kami semua.
Dan yang kedua adalah ... gadis yang baru saja memberikan tatapan sinis pada preman sekolah itu.
Si Gadis Arogan ... Annisa.
Tak seperti Sang Bajingan. Para siswa berani memberikan tatapan tajam pada gadis berambut hitam lurus itu. Namun, untuk beberapa alasan mereka juga sesekali menatapku cukup cemas.
Annisa kembali memberikan tatapan tak mengenakkan padaku. Aku mulai berdiri dan membalas tatapannya.
Aku paling tidak menyukai dirinya yang angkuh dan sombong. Siapa memangnya dia hingga berani memandang rendah kami semua?
Seandainya dia– mereka tidak bersekolah di sini, mungkin kehidupan sekolah kami akan lebih baik dan menyenangkan.
"Apa?" tanyaku dengan tekanan nada tak bersahabat.
Gadis itu malah berjalan melewatiku, mengabaikan pertanyaanku.
Benar-benar gadis yang menyebalkan.
"Wah tetap arogan ya, padahal cuman anak miskin yang beruntung masuk sini," celetuk Geisha ikut berdiri dan melirik sinis dirinya.
Annisa berbalik dan melotot pada Geisha. Terlihat sangat terima dengan ucapan Geisha yang mungkin memang agak keterlaluan.
Suasana tegang pun semakin terasa ketika sahabatku dan Annisa mengadu tatapan. Tak kalah tatapan sinis para siswa pun mengarah pada Annisa.
Annisa mendecik kesal, berbalik, dan berjalan pergi.
"Hei–" kesal Geisha merasa diacuhkan, tapi.
"Sudahlah, Geisha. Biarkan gadis itu. Kita kembali ke kelas," kesalku menutup mata. Berjalan meninggalkan kantin. Aku tak ingin lama-lama di tempat yang sama dengan gadis itu.
Seperti biasanya. Para siswa pun mulai memberikan jalan untukku. Geisha pun mengikuti di belakang dengan lirikan sinis pada Annisa.
Annisa ... gadis itu terlalu sombong dan menganggap kalau dirinya sempurna. Segala bentuk bantuan yang kuberikan padanya, selalu tak dihargai.
Dia seolah mengatakan, jika dirinya bisa melakukan semuanya sendiri. Dia seolah memperlihatkan, jika dirinya tak membutuhkanku dan orang lain.
Apa dia tidak bisa berbicara? Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang ada di pikirannya. Kenapa dia begitu angkuh? Kenapa dia selalu memberikan tatapan kekesalan padaku?
Aku sungguh tak mengerti apa kesalahanku padanya hingga dia bersikap seperti itu.
"Sungguh, jika kau bertemu dengannya suasana sekitar berubah menjadi tegang. Apa kau memiliki masalah yang lebih dalam dengan Si Gadis Arogan?" khawatir Geisha yang masih berjalan di sampingku.
"Aku merasa tak punya salah padanya. Sifatnya saja memang seperti itu. Sifat arogan yang menyebalkan." Aku tersenyum kesal menundukkan kepala. Terus berjalan cepat. Membuat sahabat kerepotan berjalan mengikutiku.
"Hei, tunggu awas–"
Durkgghh!
Sakit! Kepalaku membentur badan seseorang. Dari posturnya tubuhnya pasti seorang laki-laki. Aku perlahan mengangkat kepala dan berniat meminta maaf. Tapi.
Orang itu lah yang kutabrak. Ya ... Sang Bajingan. Dari banyak siswa di sekolah ini, ke-kenapa harus preman ini!?
Wajahku membiru ketakutan. Kedua kakiku kontan bergemetar lemas, tapi aku paksa gerakan ke belakang. Berjalan mundur menjauhi dia yang terus menatapku penuh ancaman.
"Kau ...!" ucapnya dengan sebelah alis menukik ke bawah.
"Ak-aku, ak-aku –" gugupku yang masih dalam kondisi ketakutan. Apa dia akan memukulku? Apa dia akan membentakku?! Apa aku akan mati–
"Ma-maafkan dia!! Dia tidak sengaja!" teriak Geisha menghancurkan pikiranku. Aku sungguh menatap bahagia sahabatk– tidak! Penyelamatku!
"La-la-lagipula kau yang sa-salah!" Geisha memberanikan diri menunjuk Sang Bajingan. Aku tau dia sangat ketakutan dan itu terlihat jelas dari tangannya yang bergemetar.
Sang Bajingan hanya terdiam tak merespon pernyataan Geisha. Dia hanya berbalik dan berjalan pergi karena bel masuk sudah berbunyi.
Detak jantungku masih berdegup cepat sambil menatap dia yang terlihat menakutkan. Astaga, lelaki itu sungguh mirip dengan pembunuh dalam film horror yang kutonton.
Jika dia membawa gergaji mesin yang dipenuhi darah, pasti akan lebih mirip lagi.
Aku memeluk sahabatku dan berterima kasih padanya. Geisha yang mendapat pelukanku hanya tersenyum khawatir ketakutan.
Tubuhnya masih bergemetar. Pandangannya cukup kosong sambil mengulangi perkataan yang sama.
"Aku membentaknya, aku membentaknya, aku membentaknya."
"Sadarlah, Geisha! Jangan frustasi, jangan bunuh diri! Sekarang giliranku yan –"
"Siapa yang mau bunuh diri!" Geisha cukup kesal dan melepaskan pelukanku. Dia mengusap keningnya dan terlihat ingin menangis.
"Tapi, apa yang harus kulakukan sekarang? Dia mungkin akan menyerangku sepulang sekola–"
"Tenang saja! Jika dia membuat masalah lagi, kita akan melawan! Hukum ada bersama kita."
"Perkataan dan senyuman khawatirmu tidak membuatku lebih baik, Rina."
Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku memang cukup ketakutan jika bertemu dengan lelaki itu.
"Untuk saat ini kita lupakan preman itu. Sebaiknya kita kembali ke kelas. Ujian terakhir sudah mau dimulai." Geisha mulai berjalan dan menarik tanganku. Aku berjalan mengikutinya. Menganggukkan kepala secara perlahan membenarkan perkataanya.


***

No comments:

Post a Comment