Tuesday, 14 July 2020

Rina 3

Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Rina 3

Ujian Tengah Semester (UTS) telah selesai. Tidak ada waktu libur UTS di sekolah kami. Kegiatan belajar mengajar langsung berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, ada satu hal yang membedakan lagi antara sekolah kami dengan sekolah yang lainnya. Sudah menjadi tradisi bagi sekolah ini untuk memasang pengumuman 10 besar siswa terbaik saat UTS dan Ujian Akhir Semester (UAS). Tentunya dengan tingkatan yang sama.
Aku sungguh benci mengakuinya. Ini sudah keempat kalinya jika total nilaiku di bawah gadis yang tidak kusukai sifatnya.
Annisa ... sejak memasuki sekolah ini dia selalu menjadi siswa nomor satu. Maka secara otomatis dia pun mendapatkan beasiswa pendidikan gratis.
Tidak heran, jika gadis yang satu-satunya memasuki jalan Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) itu amat sangat pintar. Selama di sekolah, dia jarang atau mungkin tak pernah bersosialisasi.
Belajar belajar belajar, dan hanya terus belajar. Annisa benar-benar gadis yang suram. Itu yang dikatakan teman sekelasnya.
Memang benar sekolah itu tempat untuk belajar. Tempat untuk menuntut ilmu bagi kita yang akan menghadapi masa depan.
Tapi tidak seperti itu juga. Kehidupan sekolah akan terasa hambar jika seperti dirinya. Setidaknya buatlah kenangan dengan teman-teman dan sekitar kita yang berada di lingkungan sekolah.
Kita mungkin hanya masuk SMA satu kali dalam kehidupan ini. Suatu saat nanti, keadaan saat ini akan menjadi kenangan yang berharga bagi kita di masa depan.
Apa dia tidak memikirkan hal itu? Apa sifat arogannya itu yang membuat dia enggan untuk berbaur dengan kami?
Sombong sekali!
Argh ... memikirkan hal itu semua membuatku tak terasa sampai di sekolah.
Bel masuk berdering cukup keras bersamaan aku turun dari mobil. Tatapan para siswa kembali mengarah padaku. Aku tersenyum kecil pada mereka, pada orang-orang yang sudah memperhatikanku. Beryukur karena masih banyak yang mengakuiku.
"Pagi, Sang Putri!" teriak sahabatku yang muncul dari kerumunan siswa. Dia mengangkat tangan kanannya ke atas dengan senyuman hangat menyambut kedatanganku.
"Astaga, Geisha. Sudah aku bilang untuk tidak memanggilku seperti itu." Aku merasa kesal.
"Syut syut, Sang Putri katanya, Yah," senyum ibuku yang berada di dalam mobil. Dia melirik lelaki berambut hitam yang mulai beruban. Ayahku.
"Berisik, Bu!" kesalku.
Ayah hanya tersenyum menutup matanya sesaat. Lalu mulai berbicara dan melirikku.
"Di jemput seperti biasa yah, Sayang?"
"Iya, Yah," jawabku lalu berbalik dan berjalan meninggalkan mereka.
Kami berdua mulai berjalan memasuki gedung sekolah. Sorotan para siswa terus kami dapatkan. Bisikan para siswa di sekitar pun masih terdengar jelas.
"Rina, pengumumannya sudah keluar," khawatir Geisha memulai pembicaraan.
"Lalu?"
"Ka-kau tak ingin melihatnya?"
"Aku masih di nomor dua, kan?"
"Y-ya." Geisha menganggukan kepala. Memasang wajah sedih menutup mata.
"Sudah tak apa, Geisha. Tidak usah memasang wajah sedih seperti itu. Lain kali aku akan berusaha lebih keras mengalahkan gadis itu," senyumku mencoba menghibur sang sahabat sambil terus melangkahkan kaki menuju kelas.
Geisha pun kembali memasang wajah cerianya. Tak lupa menganggukkan kepala menyetujui perkataanku.
Mood kami pun naik kembali karena permbicaraan sebelumnya. Aku beruntung memiliki sahabat yang memperhatikanku.
Hal itu pun terus berlanjut hingga akhirnya kami sampai di kelas. Lekas masuk dengan obrolan ringan dari kami berdua.
Namun setelah masuk, apa yang kami rasakan di dalam kelas adalah suasana tak mengenakkan. Wajah teman-temanku terlihat ketakutan. Beberapa ada yang berwajah khawatir terlihat merasa bersalah padaku.
Aku bertanya pada mereka, tapi mereka hanya terdiam dan menggeleng pelan. Mereka terlihat ketakutan. Bahkan ada yang sampai memalingkan wajah merasa bersalah. Ada juga meminta maaf padaku yang tak tau apa-apa ini.
Ada apa ini? Aku benar-benar kebingunggan hingga.
"Rina, lihat ini!" Geisha berteriak kesal memanggilku. Tatapan tajam menuh kemarahan ia lontarkan pada meja tempatku menuntut ilmu.
Tubuhku bergemetar. Aku terdiam dan ketakutan. Hatiku terasa sangat sakit melihat coretan berwarna merah darah di atas meja tempatku belajar.
Munafik ... Itu tulisannya.
Mu-munafik? Siapa? Ini mejaku ... jadi maksudnya adalah aku? Be-benarkah?
Ap-apa kau memang seperti itu? Siapa yang berpikir seperti itu?
Aku menatap ketakutan sekitar. Seseorang di sini sudah membenciku. Atau apa-apa aku sudah menjadi target penindasa–
"Rina, bertahanlah!" Geisha terlihat khawatir menyadarkanku. Bukan sebuah kebohongan jika rasa sakit hati ini sudah menjalar ke atas kepala– kedua mataku.
Aku sungguh ingin mengeluarkan beban di kedua mata ini. Tapi perkataan sahabatku membuat hati ini menjadi lebih tegar.
"Siapa? Siapa yang berani melakukan ini?!" teriak kembali Geisha. Suaranya menggema di seisi ruangan.
Semuanya terdiam dan berwajah cemas enggan menatapnya.
"Geisha, sudah tak apa." Aku tersenyum mulai mengeluarkan sapu tangan di sakut. Mulai mengusap meja kotor dengan tetesan air kecil yang menabrak coretan itu.
Ahh ... percuma. Aku memang gadis yang cengeng.
Sebelumnya aku sudah mengatakan jika aku juga memiliki kelemahan. Maka inilah salah satu kelemahanku.
Mudah menangis hanya untuk hal kecil seperti ini.
Geisha menyipitkan matanya. Sungguh menatap sedih dan prihatin padaku yang terluka. Aku merasa bersalah dan tak enak padanya.
"Jawab aku! Apa mulut itu hanya hiasan saja!? Apa kalian segerombolan pengecut yang tak berani menjawab!!" teriaknya kembali hingga membuat suasana tegang semakin bertambah. Seluruh penghuni ruangan hanya memasang wajah khawatir. Beberapa ada yang saling mengadu pandangan dan menganggukkan kepala.
"Benar yang dikatakan Geisha! Siapa yang berani melakukan ini pada Rina!!" kesal Dimas yang berada di dekat kami.
"Ak-aku yang pertama kali datang! Tapi coretan itu sudah ada. Aku bersumpah!" kata seorang siswi mengangkat tangan dengan nada suara pelan dan ketakutan. Memberikan pengakuannya.
Dia Siti, gadis paling rajin yang selalu datang paling cepat hanya untuk membersihkan kelas kami. Aku sungguh mengagumi sifatnya yang sangat mencintai kebersihan.
"Aku pikir jika yang melakukan ini bukan dari kelas kita, Geisha." Ketua Kelas kami Gaida, angkat bicara. Gadis berkaca mata yang cukup populer di kalangan para guru. Gadis yang paling bisa diandalkan di kelas.
"Iya, benar. Sungguh tak masuk akal kami melakukan hal itu. Kami tak memiliki kebencian apalagi dendam pada Rina. Dia gadis yang baik dan selalu membantu kami mengerjakan tugas. Selalu membantu kami belajar jika ada pelajaran yang tak kami pahami." Diana, gadis yang terlihat nakal dan jutek. Tapi pada dasarnya dia gadis baik yang sangat peduli pada teman dan keluarganya.
"Ya, tapi dia sangat pelit ketika ujian atau ulangan berlangsung," senyum seorang siswa yang memakai jaket berkupluk. Nadanya terdengar seperti sebuah candaan. Andi memang seperti itu. Dia lelaki yang suka ceplos-ceplos di kelas, maka tak heran jika dia sering mendapat teguran dari guru. Moodbooster di kelas kami.
"Tapi dia melakukan itu untuk kebaikan kita juga! Dia yang paling memperhatikan kita di kelas ini!!" sengit Diana pada Dimas.
"Ak-aku tau itu. Aku hanya bercanda, oke?"
"Aku tidak terima juga jika Putri kelas kita diperlakukan seperti ini!" lanjut Diana terlihat sangat marah.
"Aku juga! Aku juga!" teriak semua siswa dan siswi mengeluarkan amarah.
"Ak-aku juga. Rina amat sangat baik dan tidak menolak keberadaanku yang seperti ini," pelan gadis berkacamata, Dewi. Tubuhnya agak besar. Mungkin jauh dari kata tipe idaman para lelaki. Tapi hatinya yang paling bersih di kelas kami. Hatinya amat cantik, melebihi semua orang di kelas ini.
Aku sungguh menangis bahagia mendengarkan perkataan mereka. Hatiku sungguh amat sangat senang karena sikap mereka yang membelaku.
"Jadi ini perbuatan kelas lain, yah?! Ini sudah perang namanya!" teriak Dimas menghancurkan pikiranku.
"Eh?" Aku terkejut mendengar perkataanya.
"Itu benar! Siapa saja yang berani melukai Putri kita adalah musuh!" Diana terlihat kesal.
"Aku setuju! Kita cari pelakunya dan paksa bersujud!" kesal Geisha yang juga ikut marah.
"Tu-tunggu dulu kalian! Geisha juga apa-apaan sih," aku berniat meredakan amarah dari mereka. Sungguh ketakutan jika masalahku bisa membuat mereka menjadi bersifat anarkis.
"Ayo kita serang siapa saja yang melukai Putri kelas kita!" Tapi suaraku mereka hiraukan. Mereka sudah terbutakan oleh amarah.
Pada akhirnya.
"Sudah diam!!" teriak kesalku pada mereka. Teriakan yang memecah kericuhan kelas.
Ini pertama kalinya aku berteriak sekeras ini di dalam kelas. Semua teman-teman dan sahabatku memasang wajah terkejut padaku.
Ini yang terbaik. Aku tak ingin mereka mendapat masalah karena masalahku.
"Untuk saat ini kita duduk. Jika kita seperti tadi terus, kita hanya akan menganggu kelas lain. Memang benar Ibu Lina akan datang terlambat karena suatu urusan. Tapi, setidaknya bacalah pembelajaran yang nanti akan diajarkannya. Jika tidak, lakukan kegiatan yang memberi manfaat bagi diri kalian."


***

No comments:

Post a Comment