Title: Sang Bajingan
Genre: Romance, Drama, Comedy, Slice of Life.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Rina 3
Ujian Tengah Semester (UTS) telah selesai. Tidak ada
waktu libur UTS di sekolah kami. Kegiatan belajar mengajar langsung berjalan
sebagaimana mestinya. Selain itu, ada satu hal yang membedakan lagi antara
sekolah kami dengan sekolah yang lainnya. Sudah menjadi tradisi bagi sekolah
ini untuk memasang pengumuman 10 besar siswa terbaik saat UTS dan Ujian Akhir
Semester (UAS). Tentunya dengan tingkatan yang sama.
Aku sungguh benci mengakuinya. Ini sudah keempat
kalinya jika total nilaiku di bawah gadis yang tidak kusukai sifatnya.
Annisa ... sejak memasuki sekolah ini dia selalu
menjadi siswa nomor satu. Maka secara otomatis dia pun mendapatkan beasiswa
pendidikan gratis.
Tidak heran, jika gadis yang satu-satunya memasuki
jalan Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) itu amat sangat pintar. Selama di
sekolah, dia jarang atau mungkin tak pernah bersosialisasi.
Belajar belajar belajar, dan hanya terus belajar.
Annisa benar-benar gadis yang suram. Itu yang dikatakan teman sekelasnya.
Memang benar sekolah itu tempat untuk belajar. Tempat
untuk menuntut ilmu bagi kita yang akan menghadapi masa depan.
Tapi tidak seperti itu juga. Kehidupan sekolah akan
terasa hambar jika seperti dirinya. Setidaknya buatlah kenangan dengan
teman-teman dan sekitar kita yang berada di lingkungan sekolah.
Kita mungkin hanya masuk SMA satu kali dalam kehidupan
ini. Suatu saat nanti, keadaan saat ini akan menjadi kenangan yang berharga
bagi kita di masa depan.
Apa dia tidak memikirkan hal itu? Apa sifat arogannya
itu yang membuat dia enggan untuk berbaur dengan kami?
Sombong sekali!
Argh ... memikirkan hal itu semua membuatku tak terasa
sampai di sekolah.
Bel masuk berdering cukup keras bersamaan aku turun
dari mobil. Tatapan para siswa kembali mengarah padaku. Aku tersenyum kecil
pada mereka, pada orang-orang yang sudah memperhatikanku. Beryukur karena masih
banyak yang mengakuiku.
"Pagi, Sang Putri!" teriak sahabatku yang
muncul dari kerumunan siswa. Dia mengangkat tangan kanannya ke atas dengan
senyuman hangat menyambut kedatanganku.
"Astaga, Geisha. Sudah aku bilang untuk tidak
memanggilku seperti itu." Aku merasa kesal.
"Syut syut, Sang Putri katanya, Yah," senyum
ibuku yang berada di dalam mobil. Dia melirik lelaki berambut hitam yang mulai
beruban. Ayahku.
"Berisik, Bu!" kesalku.
Ayah hanya tersenyum menutup matanya sesaat. Lalu
mulai berbicara dan melirikku.
"Di jemput seperti biasa yah, Sayang?"
"Iya, Yah," jawabku lalu berbalik dan
berjalan meninggalkan mereka.
Kami berdua mulai berjalan memasuki gedung sekolah.
Sorotan para siswa terus kami dapatkan. Bisikan para siswa di sekitar pun masih
terdengar jelas.
"Rina, pengumumannya sudah keluar," khawatir
Geisha memulai pembicaraan.
"Lalu?"
"Ka-kau tak ingin melihatnya?"
"Aku masih di nomor dua, kan?"
"Y-ya." Geisha menganggukan kepala. Memasang
wajah sedih menutup mata.
"Sudah tak apa, Geisha. Tidak usah memasang wajah
sedih seperti itu. Lain kali aku akan berusaha lebih keras mengalahkan gadis
itu," senyumku mencoba menghibur sang sahabat sambil terus melangkahkan
kaki menuju kelas.
Geisha pun kembali memasang wajah cerianya. Tak lupa
menganggukkan kepala menyetujui perkataanku.
Mood kami pun naik kembali karena permbicaraan
sebelumnya. Aku beruntung memiliki sahabat yang memperhatikanku.
Hal itu pun terus berlanjut hingga akhirnya kami
sampai di kelas. Lekas masuk dengan obrolan ringan dari kami berdua.
Namun setelah masuk, apa yang kami rasakan di dalam
kelas adalah suasana tak mengenakkan. Wajah teman-temanku terlihat ketakutan.
Beberapa ada yang berwajah khawatir terlihat merasa bersalah padaku.
Aku bertanya pada mereka, tapi mereka hanya terdiam
dan menggeleng pelan. Mereka terlihat ketakutan. Bahkan ada yang sampai
memalingkan wajah merasa bersalah. Ada juga meminta maaf padaku yang tak tau
apa-apa ini.
Ada apa ini? Aku benar-benar kebingunggan hingga.
"Rina, lihat ini!" Geisha berteriak kesal
memanggilku. Tatapan tajam menuh kemarahan ia lontarkan pada meja tempatku
menuntut ilmu.
Tubuhku bergemetar. Aku terdiam dan ketakutan. Hatiku
terasa sangat sakit melihat coretan berwarna merah darah di atas meja tempatku
belajar.
Munafik ... Itu tulisannya.
Mu-munafik? Siapa? Ini mejaku ... jadi maksudnya
adalah aku? Be-benarkah?
Ap-apa kau memang seperti itu? Siapa yang berpikir
seperti itu?
Aku menatap ketakutan sekitar. Seseorang di sini sudah
membenciku. Atau apa-apa aku sudah menjadi target penindasa–
"Rina, bertahanlah!" Geisha terlihat
khawatir menyadarkanku. Bukan sebuah kebohongan jika rasa sakit hati ini sudah
menjalar ke atas kepala– kedua mataku.
Aku sungguh ingin mengeluarkan beban di kedua mata
ini. Tapi perkataan sahabatku membuat hati ini menjadi lebih tegar.
"Siapa? Siapa yang berani melakukan ini?!"
teriak kembali Geisha. Suaranya menggema di seisi ruangan.
Semuanya terdiam dan berwajah cemas enggan menatapnya.
"Geisha, sudah tak apa." Aku tersenyum mulai
mengeluarkan sapu tangan di sakut. Mulai mengusap meja kotor dengan tetesan air
kecil yang menabrak coretan itu.
Ahh ... percuma. Aku memang gadis yang cengeng.
Sebelumnya aku sudah mengatakan jika aku juga memiliki
kelemahan. Maka inilah salah satu kelemahanku.
Mudah menangis hanya untuk hal kecil seperti ini.
Geisha menyipitkan matanya. Sungguh menatap sedih dan
prihatin padaku yang terluka. Aku merasa bersalah dan tak enak padanya.
"Jawab aku! Apa mulut itu hanya hiasan saja!? Apa
kalian segerombolan pengecut yang tak berani menjawab!!" teriaknya kembali
hingga membuat suasana tegang semakin bertambah. Seluruh penghuni ruangan hanya
memasang wajah khawatir. Beberapa ada yang saling mengadu pandangan dan
menganggukkan kepala.
"Benar yang dikatakan Geisha! Siapa yang berani
melakukan ini pada Rina!!" kesal Dimas yang berada di dekat kami.
"Ak-aku yang pertama kali datang! Tapi coretan
itu sudah ada. Aku bersumpah!" kata seorang siswi mengangkat tangan dengan
nada suara pelan dan ketakutan. Memberikan pengakuannya.
Dia Siti, gadis paling rajin yang selalu datang paling
cepat hanya untuk membersihkan kelas kami. Aku sungguh mengagumi sifatnya yang
sangat mencintai kebersihan.
"Aku pikir jika yang melakukan ini bukan dari
kelas kita, Geisha." Ketua Kelas kami Gaida, angkat bicara. Gadis berkaca
mata yang cukup populer di kalangan para guru. Gadis yang paling bisa
diandalkan di kelas.
"Iya, benar. Sungguh tak masuk akal kami
melakukan hal itu. Kami tak memiliki kebencian apalagi dendam pada Rina. Dia
gadis yang baik dan selalu membantu kami mengerjakan tugas. Selalu membantu
kami belajar jika ada pelajaran yang tak kami pahami." Diana, gadis yang
terlihat nakal dan jutek. Tapi pada dasarnya dia gadis baik yang sangat peduli
pada teman dan keluarganya.
"Ya, tapi dia sangat pelit ketika ujian atau
ulangan berlangsung," senyum seorang siswa yang memakai jaket berkupluk.
Nadanya terdengar seperti sebuah candaan. Andi memang seperti itu. Dia lelaki
yang suka ceplos-ceplos di kelas, maka tak heran jika dia sering mendapat
teguran dari guru. Moodbooster di kelas kami.
"Tapi dia melakukan itu untuk kebaikan kita juga!
Dia yang paling memperhatikan kita di kelas ini!!" sengit Diana pada
Dimas.
"Ak-aku tau itu. Aku hanya bercanda, oke?"
"Aku tidak terima juga jika Putri kelas kita
diperlakukan seperti ini!" lanjut Diana terlihat sangat marah.
"Aku juga! Aku juga!" teriak semua siswa dan
siswi mengeluarkan amarah.
"Ak-aku juga. Rina amat sangat baik dan tidak
menolak keberadaanku yang seperti ini," pelan gadis berkacamata, Dewi.
Tubuhnya agak besar. Mungkin jauh dari kata tipe idaman para lelaki. Tapi
hatinya yang paling bersih di kelas kami. Hatinya amat cantik, melebihi semua
orang di kelas ini.
Aku sungguh menangis bahagia mendengarkan perkataan
mereka. Hatiku sungguh amat sangat senang karena sikap mereka yang membelaku.
"Jadi ini perbuatan kelas lain, yah?! Ini sudah
perang namanya!" teriak Dimas menghancurkan pikiranku.
"Eh?" Aku terkejut mendengar perkataanya.
"Itu benar! Siapa saja yang berani melukai Putri
kita adalah musuh!" Diana terlihat kesal.
"Aku setuju! Kita cari pelakunya dan paksa
bersujud!" kesal Geisha yang juga ikut marah.
"Tu-tunggu dulu kalian! Geisha juga apa-apaan
sih," aku berniat meredakan amarah dari mereka. Sungguh ketakutan jika
masalahku bisa membuat mereka menjadi bersifat anarkis.
"Ayo kita serang siapa saja yang melukai Putri
kelas kita!" Tapi suaraku mereka hiraukan. Mereka sudah terbutakan oleh
amarah.
Pada akhirnya.
"Sudah diam!!" teriak kesalku pada mereka.
Teriakan yang memecah kericuhan kelas.
Ini pertama kalinya aku berteriak sekeras ini di dalam
kelas. Semua teman-teman dan sahabatku memasang wajah terkejut padaku.
Ini yang terbaik. Aku tak ingin mereka mendapat
masalah karena masalahku.
"Untuk saat ini kita duduk. Jika kita seperti
tadi terus, kita hanya akan menganggu kelas lain. Memang benar Ibu Lina akan
datang terlambat karena suatu urusan. Tapi, setidaknya bacalah pembelajaran
yang nanti akan diajarkannya. Jika tidak, lakukan kegiatan yang memberi manfaat
bagi diri kalian."
***
No comments:
Post a Comment