Tuesday, 12 July 2016

Chapter I

Title: Iris Dragon
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Chapter I
Lelaki Pemimpi

            Langit sangat cerah, berwarna biru muda seolah menjadi pantulan laut samudera. Matahari bersinar terang, terasa hangat, membuat hati orang-orang merasakan perasaan damai.
            Dia berlari, terus berlari kencang di atas atap bangunan. Tersenyum bersemangat, melompat melewati rintangan di hadapannya.
            Tas kecil berwarna merah muda, terlihat dia bawa. Hasil jarahan hari ini yang membuat dia dikejar oleh polisi keamanan setempat.
            “Berhenti di sana, Bocah!!”
            Lelaki berambut hitam itu semakin melebarkan senyumannya. Menaikkan kecepatan, memasuki keramaian di bawahnya.
            Dia melewati kerumunan terlihat elegan. Sudah terbiasa dengan daerah yang dilewatinya.
            Petugas keamanan benar-benar kerepotan mengejarnya. Tak sanggup untuk menangkapnya yang gesit.
            Lelaki dewasa berjumlah tiga orang itu hanya mengambil nafas kelelahan. Melirik ke kanan dan kiri, memperhatikan sekitar mencari keberadaan sang pencuri yang hilang seolah ditelan permukaan.
            “Percuma, hanya para Kineser yang bisa menangkap bocah itu.”
            “Kau ingin kita meminta tolong pada orang-orang berkekuatan super itu? Jangan bercanda! Aku tak mau harga diriku diinjak-injak lagi!”
            “Aku juga tak mau!”
            “Tapi kita bisa apa?!  Kepolisian di kerajaan ini hanya berjumlah 15 orang termasuk kita. Kita tidak bisa meminta bantuan yang lainnya.”
            “.....” Dua orang yang tak setuju hanya menutup mulut. Mengalihkan pandangan, tak tau harus menjawab apa.
            “Hei, sudah lama aku berpikir seperti ini .... Apa kita benar-benar dibutuhkan di era para Kineser ini?” senyum khawatir salah satu polisi bertanya.
            “Entahlah .... Tapi sepertinya tidak.”
            Kembali ke tempat si lelaki berambut hitam, sang pencuri tas wanita. Dia terlihat duduk sila di atas atap. Tersenyum memeriksa isi tas jarahan.
            “Waah, benar-benar menakutkan. Tak kusangka pemilik tas ini seorang esper. Untung saja tingkatan wanita itu tidak terlalu tinggi.” Lelaki itu terus mencari barang berharga di dalam tas. Tersenyum khawatir menutup matanya sebentar.
            Sesaat, dia menghentikan pencarian. Terkejut karena ledakan besar di dekatnya. Dia tersenyum khawatir menatap ledakan yang berasal dari sekolah terdekat itu.
            “Anak-anak sekolahan sepertinya lebih berbahaya dari wanita yang kucopet tadi.”
            Lelaki itu mulai melirik sekitar. Menatap keramaian yang tak terganggu oleh ledakan. Dia menghela nafas dan mulai menutup mata.
            “Mereka benar-benar tidak terganggu yah ....” Dia tertawa kecil sambil memeriksa tas jarahannya kembali.
            “Oi, bocah!! Cepat turun ke bawah! Sekarang shift kerjamu!” teriakkan lelaki tua dari bawah terdengar keras. Menghancurkan konsentrasi si lelaki pencuri.
            “Hei, Pak Tua! Aku bukan bocah lagi! Apa matamu itu sudah buta, hah?”
            “Kau hanya lelaki berumur 16 tahun. Bagiku kau tetaplah bocah! Cepat turun dari sana atau kubawa turun secara paksa!”
            “Tak menyenangkan, Pak Tua. Tolong jangan menggunakan ilmu kinesismu.” Lelaki itu mulai melompat, tidak langsung menghantam tanah. Dia mendapatkan tumpuan di sekitar, seperti papan nama dan tiang lampu. Membuatnya menjadi pusat perhatian sekelilingnya.
            “Hei, Bocah. Bisa kau berhenti menarik perhatian banyak orang? Lagipula kau benar-benar melakukannya lagi yah,” datar lelaki tua itu. Mulai menatap tas jarahan.
            “Apa boleh buat. Aku harus bertahan hidup di dunia ini. Gaji yang kau berikan masih belum cukup untukku.”
            “Aku hanya bisa memberimu segitu. Lagipula kerjaanmu hanya memakai kostum dan berdiri di pusat perbelanjaan. Itu tidak sulit.” Pak tua membalikkan badan. Mulai berjalan meninggalkan si lelaki muda.
            “Tapi panasnya itu benar-benar mengerikan! Kau tau? Seluruh tubuhku selalu memerah, mengeluarkan keringat yang banyak setelah menyelesaikan pekerjaan itu. Setidaknya beri aku uang untuk kebutuhan mandi.” Lelaki muda itu berjalan mengikutinya.
            “....” Pak tua itu tak menjawab. Terus berjalan, menghiraukan permintaannya.
            “Ledakan yang tadi cukup besar yah, Aeldra?” lanjutnya bertanya.
            “Kau mengabaikan permintaanku ....” Aeldra memasang wajah datar. Terlihat tak senang.
            Dia mulai membuang nafas. Melirik sekolah terkenal, tempat ledakan sebelumnya berasal.
            “Aku berani bertaruh kalau itu ulah putri dari kerajaan ini.”
            “Putri Alyshial, kah?” Pak tua tersenyum kecil, melirik Aeldra.
            “Kau tak ingin memasuki sekolah itu?” lanjutnya.
            “Hei, Pak Tua. Menghina itu ada batasnya. Aku benar-benar akan marah jika kau bertanya seperti itu lagi,” Aeldra tersenyum menutup mata. Urat kekesalan mulai muncul di keningnya.
            “Hee, kenapa? Padahal sekolah khusus itu sangat bagus. Mereka memberikan tunjangan uang, tempat tinggal, dan makanan secara gratis pada siswanya dengan tanpa terkecuali.”
            “....” Aeldra tetap diam, menatap datar pak tua yang berjalan di depannya. Masih terlihat kesal.
“Dengar yah Aeldra, sekolah itu juga merupakan sekolah pencetak para Kineser yang ingin menjadi Front–Liner. Petarung garis depan yang langsung melawan para ibli –“
“Dengar yah, Johanes! Memang benar aku juga tertarik– sangat menginginkan fasilitas yang diberikan sekolah khusus itu. Tapi aku ini hanya manusia biasa, bi–a–sa! Ketika tes pertama diberikan, aku pasti langsung ditendang dari dalam ruangan.”
Johanes, lelaki tua itu tersenyum kecil. Mulai berbicara kembali.
“Ya kalau begitu teruslah bekerja padaku sampai mati. Aku mengandalkanmu, bocah.”
“Jangan bercanda! Suatu hari nanti, entah kapan. Aku akan mendapatkan pekerjaan yang hebat! Mendapatkan uang banyak, hidupku dikelilingi kemewahan dengan para gadis cantik. Aku akan berada di posisi puncak, menertawakan mereka yang selalu merendahkanku.” Aeldra tersenyum lebar, membusungkan dada. Terlihat bangga saat mengutarakan impiannya.
“Kau ..., impianmu benar-benar sesuatu yah.” Johanes menghentikan langkah. Menatap Aeldra datar, tersirat juga kekhawatiran di wajahnya.
“Kau menghinaku lagi, kan?” senyum kecil Aeldra, membalas tatapan Johanes.
“Impianmu terlalu berlebihan, Aeldra. Lagipula apa kau benar-benar bisa mewujudkan impian itu? Meski kau seperti ini? Tak mempunyai apapun, bahkan ilmu kinesis sekalipun?”
“Tak ada salahnya jika memiliki mimpi sebesar itu, kan? Lagipula impianku itu benar-benar yang kuinginginkan selama ini. Tak mempunyai ilmu kinesis bukan halangan bagiku, aku tak akan menyerah untuk menggapainya.” Aeldra mulai berjalan kembali, melewati Johanes yang masih memasang wajah khawatir padanya.
“Kalau begitu berjuanglah. Semoga kau bisa mewujudkan impianmu.”
“Ya. Aku pasti akan mewujudkannya. Lihat saja nanti, Pak Tua!” Aeldra menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Johanes. Dia tersenyum lebar hingga membuat Johanes juga ikut tersenyum melihat semangatnya.
            Di tempat lainnya, tidak jauh dari sana. Lebih tepatnya di sekolah khusus yang sebelumnya dibicarakan oleh mereka.
            Sekolah khusus kineser, Acies Highschool. Di lapangan luas, tengah-tengah sekolah, tempat latihan bertanding. Telah terjadi pertarungan hebat yang baru saja selesai.
            [[Winner, Alyshial S. Ramony]]
            “Kyaaa!!” para siswi langsung berteriak histeris setelah pengumuman pemenang dari sistem. Mereka benar-benar menaruh kagum pada sang pemenang yang tetap berdiri elegan.
            Dia mengibaskan rambut panjangnya yang berwarna kuning lemon. Membuka matanya yang berwarna biru langit. Wajahnya terlihat sangat indah, apalagi ketika dia tersenyum menatap lawannya yang sedang terdiam duduk, ketakutan.
            “Kau hebat.” Gadis rupawan itu mulai berjalan mendekati lawan. Menawarkan bantuan padanya untuk berdiri.
            “Tidak, ma-maafkan saya karena tidak sebanding dengan anda, Putri.” Gadis itu mulai menggapai tangan kanan Alyshial.
            “Jika kamu terus berlatih, kamu juga pasti akan menjadi kuat. Kamu memiliki bakat,” senyum gadis bernama Alyshial, menarik tangan kanannya. Membantu lawannya itu untuk berdiri.
            Gadis itu tersenyum kagum menatap Alyshial. Wajahnya memerah, tak menyangka jika sang putri akan memuji kemampuannya.
            Para penggemar Alyshial mulai bersuara. Menyoraki dia yang mendapat bantuan. Mereka terbakar cemburu, ingin juga disentuh sang putri yang dikagumi kerajaannya.
            Alyshial mengangkat tangan kirinya ke atas. Para penonton langsung terdiam. Menghormati tindakannya yang mungkin berniat menenangkan kericuhan.
            Tapi maksud Alyshial bukan begitu. Setelah dia mengangkat tangan kirinya, dia mulai melambaikan tangan. Kembali memberikan senyuman manis pada sekitar.
            Sontak teriakkan penonton semakin menggila. Histeris melihat wajah Alyshial yang sangat rupawan. Putri kerajaan itu benar-benar dicintai rakyatnya.
            Gadis berambut kuning lemon itu berbalik, berjalan pergi meninggalkan lapangan. Wanita tak kalah rupawan darinya juga, terlihat berdiri di sisi lapangan. Tersenyum pada Alyshial yang berjalan mendekatinya.
            “Sophia, apa kau melihat Nia?” tanya Alyshial bertanya pada gadis itu. Rambutnya panjang berwarna hitam, poni besar menutupi keningnya. Dia layaknya boneka dengan mata berwarna merah delima.
            “Entahlah. Kenapa kau begitu tertarik dengannya, Alys? Dia memang seorang putri sepertimu, tapi dia sangat lemah. Tak cocok untuk bergabung dengan kelompok kita. Ilmu Kinesisnya bukan tipe untuk bertarung.”
            “Dia sahabatku sejak kecil. Aku tak bisa meninggalkannya hanya karena dia lemah.”
            “Dia hanya akan menghambatmu. Selain itu, dia  sudah menolak ajakanmu lebih dari 5x. Sudah lupakan saja dia, kau hanya menghancurkan harga dirimu sendiri.”
            Alyshial terdiam berpikir. Memang benar yang dikatakan rekannya itu. Dia tak bisa memaksakan kehendak, tak bisa memaksa seseorang untuk bergabung dengan kelompoknya.
            “Akan kuajak dia sekali lagi. Jika memang tidak mau, kita ajak lelaki itu.” Alyshial berjalan melewati Sophia.
            Sophia hanya tersenyum kecil menganggukkan kepala. Berjalan mengikuti gadis yang dikaguminya.

***

            Langit sudah berwarna orange. Pertanda malam akan segera datang. Suhu udara juga mulai menurun.
            Di pinggiran ibu kota Kerajaan Skyline. Aeldra terlihat berjalan, tersenyum khawatir menghitung penghasilannya hari ini.
            Keringat masih terlihat jelas di sekitar wajahnya. Rambut hitamnya terlihat cukup berantakan.
            “Pak tua itu ..., dia benar-benar tidak menaikkan upahku.” Aeldra menutup mata, cukup rapat. Memasukkan kembali uang ke dalam sakunya. Dia berjalan sambil memperhatikan sekitar.
            Saat berjalan ingin melewati jembatan tua, langkah lelaki berambut hitam itu terhenti. Dia menatap penasaran seorang gadis yang bersikap aneh.
            Gadis itu mondar-mandir di pintu masuk jembatan. Wajahnya terlihat khawatir menatap sekitar. Terlihat ingin menangis, menggigit ibu jarinya.
            Di sekitar jembatan itu terlihat sepi, apalagi setelah jembatannya. Itu memang wajar. Tak banyak orang yang berjalan lalu lalang di tempat paling terpinggir itu.
            Tak ada yang menarik di sana kecuali tumpukan sampah di pantai yang ditinggalkan. Aeldra berjalan mendekat, berniat bertanya pada dia yang sedang dalam masalah.
            Tapi gadis yang menyadari kedatangannya itu langsung berwajah khawatir dan ketakutan. Tubuhnya bergemetar, semakin terlihat ingin menangis.
            Aeldra memiringkan kepala. Kebingungan dengan tingkahnya yang semakin mengkhawatirkan.
            “Kumohon lepaskan aku!! Aku tak membawa apapun!” Gadis itu beteriak ketakutan. Memeluk tubuhnya sendiri seolah sedang mempertahankan diri.
            “Haahh!?” Aeldra menghentikan langkah. Memasang wajah terkejut dan kebingungan menatap gadis tak dikenalnya itu.
            Gadis itu berambut pendek sampai pundak, berwarna hitam legam. Matanya berwarna biru tua. Kulitnya putih dan mulus. Dia memakai pakaian sederhana yang berkelas. Sungguh cocok dengan wajahnya yang rupawan.
            “Kau salah paham Nona, aku tak bermaksud ....” Aeldra semakin mengecilkan suara. Melebarkan mata, cukup terkejut ketika melihat wajahnya yang terasa familiar.
            “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya kembali Aeldra.
            Gadis itu menggelengkan kepala, terlihat ketakutan. Tapi wajahnya itu cukup manis dan menggemaskan. Membuat hati Aeldra mulai bergetar.
            Aeldra semakin memperhatikan gadis itu lebih dalam. Sangat dalam hingga membuat wajah sang gadis semakin khawatir.
            Sebuah kalung permata hitam menghiasi lehernya. Sangat indah, berkilauan memantulkan cahaya yang datang padanya. Kalung itu lebih dari cukup untuk mengetahui akan siapa identitas si gadis.
            Aeldra membuang nafas, mengalihkan pandangan sesaat. Dia tersenyum kecil menatap penasaran dirinya sambil berkata. “ Kenapa seorang putri dari kerajaan sebrang bisa sampai di sini?”
            “....” Gadis itu melebarkan mata, terkejut mendengar pernyataan Aeldra.
            “Putri Selinia D. Azzahra,” lanjut Aeldra, menutup matanya kembali untuk sesaat.
            “Ka-Kau mengenalku?”
            “Bagaimana bisa aku tidak mengenalmu. Selain itu bisa kau hentikan untuk waspada padaku. Aku bukanlah penjahat– penculik. Aku bukan lelaki bajingan seperti yang ada di dalam pikiranmu.”
            “Be-benarkah?” Selenia bertanya, menatap khawatir sebagian wajah Aeldra yang berbeda.
            “Ah, apa karena luka bakar ini? Memang selalu seperti ini. Orang yang pertama kali melihatku pasti akan ketakutan.” Aeldra tersenyum menyentuh sebagian pipi kanannya yang memiliki luka bakar.
            “....” Selenia merasa bersalah. Mengalihkan pandangan darinya.
            “Anda pasti tersesat, kan? Biar kuantar anda ke pusat kota. Tak heran anda tak mengetahui tempat pinggiran seperti ini, Putri.”
            “Ah, panggil aku Nia saja. Maaf sebelumnya, karena sudah berpikir aneh tentangmu. Seharusnya aku tak menilai seseorang dari penampilannya.”
            “Tak apa. Aku tidak merasa marah.”
            “Apa kau tinggal di sini, emm ....”
            “Aeldra.”
            “Ya, Aeldra. Apa kau tinggal di sekitar sini?”
            “Ya, aku tinggal di sekitar sini. Lebih tepatnya, setelah jembatan di depan sana.”
            “Apa ada pemukiman juga di depan sana?”
            “Sebaiknya anda tak datang ke sana. Itu tempat yang tak pantas untuk anda datangi.” Aeldra tertawa kecil menutup mata.
            “Be-begitu. Emm ..., apa kau tinggal bersama orang tuamu juga di sana?”
            “....” Suasana terasa hening untuk sesaat.
            “Emm, Aeldr –“
            “Langit sudah semakin gelap. Sebaiknya kita bergegas, Putri Nia.” Aeldra tersenyum menutup mata. Terlihat sangat ramah. Membalikkan badan, mulai berjalan.
            “Ah, ba-baiklah ....” Nia menganggukkan kepala. Berjalan mengikuti Aeldra dengan suasana canggung mulai terasa.
Tapi saat beberapa langkah mereka berjalan. Tiba-tiba terdengar auman keras dari arah jembatan.
Keduanya berbalik. Menatap khawatir jembatan itu. Keduanya berwajah khawatir, memperhatikan jembatan itu yang gelap dan menakutkan.
“Putri Nia –“
“GROAARR!!” Seketika, bayangan monster berwarna hitam muncul di dekat jembatan. Melesat cepat dari tepi sungai yang hanya beberapa meter dari Nia. Monster itu berniat menyerang putri kerajaan sebrang itu.
Refleks, Aeldra berlari, melompat mendorong Nia. Kepala Nia membentur tanah, terdengar keras hingga dia tak sadarkan diri.
Sedangkan Aeldra mendapatkan luka di dada karena serangan monster tak di kenal itu. Cakar berbentuk silang, tidak terlalu dalam.
Aeldra menyipitkan mata, menatap tajam monster itu. Memperhatikan seksama akan rupanya.
“Goblin ....” Aeldra tersenyum khawatir, berjalan mundur mulai melirik khawatir Selenia.
“GROARR!!”
“Entah sial atau buruknya hari ini. Tapi yang jelas aku ingin segera keluar dari masalah –“
Perkataan Aeldra terpotong oleh ledakan dari monster berkulit hijau kehitaman itu. Meledak hebat, seperti ada bom dari dalam tubuhnya.
Darah dan dagingnya berceceran di sekitar. Terlihat menjijikan membuat Aeldra menatap datar monster itu.
“Aku semakin ingin pergi dari sini,” Aeldra menutup mulut, terlihat mual karena bau busuk di sekitar.
Tak lama setelah itu, muncul sosok misterius lainnya.
Lelaki yang sedikit lebih tinggi dari Aeldra. Memakai jubah besar berwarna coklat, topeng berwarna hitam keunguan.
Lelaki itu tiba-tiba muncul di dekat goblin yang baru saja meledak. Menatap daging goblin yang berceceran terlihat menjijikan.
“Ini kesalahanku karena membiarkan monster ini kabur. Maaf jika membuat kalian ketakutan ....” Lelaki itu tiba-tiba terdiam. Menundukkan kepala, menatap tajam Aeldra. Terluka di bagian tangan kanannya.
“Siapa kau ...!?” lanjutnya. Nadanya terdengar dalam.
“Itu seharusnya pertanyaanku.” Aeldra tersenyum khawatir menatap si lelaki misterius.
Lelaki misterius itu tetap memperhatikan Aeldra secara seksama. Cukup lama, hingga dirinya terlihat mengingat tentangnya.
“Kau terlihat berbeda, yah ....”
“Siapa kau ...,” Aeldra menutup mata. Terlihat marah padanya.
“Seharusnya kau juga tau siapa aku. Tapi mari kita lupakan masa lalu kita. Tak kusangka kau bisa mengalahkan iblisku.“ Lelaki itu tersenyum berjalan mundur. Menjauhi Aeldra.
“Hah? Apa maksudnya itu?“
“Sungguh, kau pasti Kineser yang sangat kuat sampai bisa mengalahkan goblinku dengan mudah.”
“Sudah kubilang, apa maksudnya itu? Kineser? Aku bukan –“ Aeldra terlihat kesal karena omongan anehnya.
“He-hebat ...!” Tapi perkataanya terpotong oleh Selenia. Dia sudah siuman, menatap Aeldra dengan mata berbinar.
“Hah ...?” Aeldra terkejut, melirik sang putri.
“Sebutkan dari sekolah mana kau berasal –“
“Apa yang sedang kau bicarakan bodoh! Jelas-jelas monster itu hancur olehmu. Aku di sini –“
“Kita akan bertemu lagi, anak muda. Sampai saat itu tiba, bertambah kuatlah.” Lelaki itu memegang tangan kanannya yang terluka, mulai menghilang tak berbekas. Nadanya yang terdengar gembira membuat Aeldra menjadi marah.
“....” Setelah dia menghilang. Suasana terasa hening. Aeldra menatap khawatir Nia yang terus memberikan tatapan kagum padanya.
“And-anda bisa berdiri?“ Aeldra menawarkan bantuan.
“Terima kasih, Aeldra. Karena sudah menyelamatkanku.” Nia tersenyum lebar. Merah pipinya. Benar-benar terlihat rupawan, membuat Aeldra mengalihkan pandangan canggungnya.
“Kau hebat dan sangat kuat. Apa kau juga siswa dari Acies Highschool? Kebetulan aku juga dari sana.”  Selenia berjalan mengikuti Aeldra yang baru saja berjalan.
“Dengar yah, Putri. Bukan aku yang mengalahkan monter itu. Selain itu, aku ini bukan siswa dari sekolah terkenal yang kau sebutkan tadi.”
“Sayangnya, padahal kau sekuat ini. Tapi tidak bersekolah di sana.” Nia berpikir, menyentuh dagu.
“Hei, anda benar-benar mengabaikan pernyataan pertamaku,” Aeldra mengeluh, tersenyum kecil.
“Masuklah ke sekolah itu! Biar keluargaku yang merekomendasikanmu.”
“Apa kau tidak mendengar perkataanku sebelumnya? Bukan aku yang mengalahkan monster itu. Lagipula aku juga bukan seorang Kineser.”
“Kamu ini ..., bercanda saja. Jangan terlalu merendah seperti itu.”
“Dengar yah, Putri. Sebelum kesalahpahaman ini semakin parah, tolong dengarkan –“
“Ah, aku tau jalan itu! Terima kasih sudah mengantarku sampai sini. Aku sungguh berhutang banyak padamu.” Selenia berlari melewati Aeldra. Mendekati persimpangan jalan yang besar.
“Ya, ba-baiklah. Hati-hati, Putri.” Aeldra tersenyum kecil menatap dirinya yang pergi.
“Tenang saja. Aku pasti akan merekomendasikanmu untuk masuk ke Acies Highschool.”
“Sudah kubilang, bukan aku –“
“Daaah!!” teriak Selenia. Langsung berlari meninggalkan Aeldra.
Aeldra memasang wajah datar. Tak senang karena perkataanya yang sering terpotong oleh Nia.
Tapi dia tak bisa berbuat apapun. Merasa tak enak jika memarahi wanita yang baru ditemuinya beberapa jam lalu. Apalagi wanita itu seorang putri dari kerajaan sebrang.
Beberapa jam berlalu sejak dia mengantarkan Nia. Kini Aeldra sudah sampai di depan rumahnya. Gubuk sederhana yang terbuat dari barang rongsokan di sekitar.
Aeldra memasuki rumah kecilnya. Memang di luar terlihat berantakan, membaur dengan sampah sekelilingnya.
Tapi tidak di dalam, di dalam sungguh terlihat rapih. Meski terlihat sempit juga.
Aeldra menyalakan lilin putih di dekatnya. Sontak cahaya orange muda menyala, menyinari ruangan. Alat penerangan tradisional abad 19.
Kasur gantung langsung terlihat ketika Aeldra memaski rumah. Lemari sederhana yang tidak terlalu besar berada di samping kiri, sudah terlihat tua. Lemari itu hanya seukuran pinggangnya.
Tepat di atas lemari, terlihat bingkai foto yang sengaja ditutup. Kalung berwarna hitam yang indah dan berkilauan. Mirip dengan kalung yang dipakai Putri Selenia.
Aeldra tersenyum kecil menatap dua benda itu. Lekas berjalan cepat, merebahkan tubuh di atas kasur gantungnya. Menutup mata, beristirahat karena rasa letihnya.
Aeldra tak tau, jika itu adalah hari terakhir bagi dia untuk beristirahat di gubuk kecilnya. Karena keesokkan harinya, dia langsung didatangi dua pengawal kerajaan.
Mereka menunggu tepat di gerbang jembatan. Memberi kabar jika minggu depan dia harus bersekolah di Acies Highschool. Mengantar Aeldra untuk pindah ke asrama sekolah berkelas itu.
 
***

1 comment: