Title: Iris Dragon
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing
Chapter I
Lelaki Pemimpi
Chapter I
Lelaki Pemimpi
Langit sangat cerah, berwarna biru muda
seolah menjadi pantulan laut samudera. Matahari bersinar terang, terasa hangat,
membuat hati orang-orang merasakan perasaan damai.
Dia berlari, terus berlari kencang di
atas atap bangunan. Tersenyum bersemangat, melompat melewati rintangan di
hadapannya.
Tas kecil berwarna merah muda,
terlihat dia bawa. Hasil jarahan hari ini yang membuat dia dikejar oleh polisi
keamanan setempat.
“Berhenti di sana, Bocah!!”
Lelaki berambut hitam itu semakin
melebarkan senyumannya. Menaikkan kecepatan, memasuki keramaian di bawahnya.
Dia melewati kerumunan terlihat
elegan. Sudah terbiasa dengan daerah yang dilewatinya.
Petugas keamanan benar-benar
kerepotan mengejarnya. Tak sanggup untuk menangkapnya yang gesit.
Lelaki dewasa berjumlah tiga orang
itu hanya mengambil nafas kelelahan. Melirik ke kanan dan kiri, memperhatikan
sekitar mencari keberadaan sang pencuri yang hilang seolah ditelan permukaan.
“Percuma, hanya para Kineser yang
bisa menangkap bocah itu.”
“Kau ingin kita meminta tolong pada
orang-orang berkekuatan super itu? Jangan bercanda! Aku tak mau harga diriku diinjak-injak
lagi!”
“Aku juga tak mau!”
“Tapi kita bisa apa?! Kepolisian di kerajaan ini hanya berjumlah 15
orang termasuk kita. Kita tidak bisa meminta bantuan yang lainnya.”
“.....” Dua orang yang tak setuju
hanya menutup mulut. Mengalihkan pandangan, tak tau harus menjawab apa.
“Hei, sudah lama aku berpikir seperti
ini .... Apa kita benar-benar dibutuhkan di era para Kineser ini?” senyum
khawatir salah satu polisi bertanya.
“Entahlah .... Tapi sepertinya
tidak.”
Kembali ke tempat si lelaki berambut
hitam, sang pencuri tas wanita. Dia terlihat duduk sila di atas atap. Tersenyum
memeriksa isi tas jarahan.
“Waah, benar-benar menakutkan. Tak
kusangka pemilik tas ini seorang esper. Untung saja tingkatan wanita itu tidak
terlalu tinggi.” Lelaki itu terus mencari barang berharga di dalam tas.
Tersenyum khawatir menutup matanya sebentar.
Sesaat, dia menghentikan pencarian.
Terkejut karena ledakan besar di dekatnya. Dia tersenyum khawatir menatap
ledakan yang berasal dari sekolah terdekat itu.
“Anak-anak sekolahan sepertinya
lebih berbahaya dari wanita yang kucopet tadi.”
Lelaki itu mulai melirik sekitar.
Menatap keramaian yang tak terganggu oleh ledakan. Dia menghela nafas dan mulai
menutup mata.
“Mereka benar-benar tidak terganggu
yah ....” Dia tertawa kecil sambil memeriksa tas jarahannya kembali.
“Oi, bocah!! Cepat turun ke bawah!
Sekarang shift kerjamu!” teriakkan lelaki tua dari bawah terdengar keras.
Menghancurkan konsentrasi si lelaki pencuri.
“Hei, Pak Tua! Aku bukan bocah lagi!
Apa matamu itu sudah buta, hah?”
“Kau hanya lelaki berumur 16 tahun.
Bagiku kau tetaplah bocah! Cepat turun dari sana atau kubawa turun secara
paksa!”
“Tak menyenangkan, Pak Tua. Tolong jangan
menggunakan ilmu kinesismu.” Lelaki itu mulai melompat, tidak langsung
menghantam tanah. Dia mendapatkan tumpuan di sekitar, seperti papan nama dan
tiang lampu. Membuatnya menjadi pusat perhatian sekelilingnya.
“Hei, Bocah. Bisa kau berhenti
menarik perhatian banyak orang? Lagipula kau benar-benar melakukannya lagi
yah,” datar lelaki tua itu. Mulai menatap tas jarahan.
“Apa boleh buat. Aku harus bertahan
hidup di dunia ini. Gaji yang kau berikan masih belum cukup untukku.”
“Aku hanya bisa memberimu segitu.
Lagipula kerjaanmu hanya memakai kostum dan berdiri di pusat perbelanjaan. Itu
tidak sulit.” Pak tua membalikkan badan. Mulai berjalan meninggalkan si lelaki
muda.
“Tapi panasnya itu benar-benar
mengerikan! Kau tau? Seluruh tubuhku selalu memerah, mengeluarkan keringat yang
banyak setelah menyelesaikan pekerjaan itu. Setidaknya beri aku uang untuk
kebutuhan mandi.” Lelaki muda itu berjalan mengikutinya.
“....” Pak tua itu tak menjawab.
Terus berjalan, menghiraukan permintaannya.
“Ledakan yang tadi cukup besar yah,
Aeldra?” lanjutnya bertanya.
“Kau mengabaikan permintaanku ....”
Aeldra memasang wajah datar. Terlihat tak senang.
Dia mulai membuang nafas. Melirik
sekolah terkenal, tempat ledakan sebelumnya berasal.
“Aku berani bertaruh kalau itu ulah
putri dari kerajaan ini.”
“Putri Alyshial, kah?” Pak tua
tersenyum kecil, melirik Aeldra.
“Kau tak ingin memasuki sekolah
itu?” lanjutnya.
“Hei, Pak Tua. Menghina itu ada
batasnya. Aku benar-benar akan marah jika kau bertanya seperti itu lagi,”
Aeldra tersenyum menutup mata. Urat kekesalan mulai muncul di keningnya.
“Hee, kenapa? Padahal sekolah khusus
itu sangat bagus. Mereka memberikan tunjangan uang, tempat tinggal, dan makanan
secara gratis pada siswanya dengan tanpa terkecuali.”
“....” Aeldra tetap diam, menatap
datar pak tua yang berjalan di depannya. Masih terlihat kesal.
“Dengar
yah Aeldra, sekolah itu juga merupakan sekolah pencetak para Kineser yang ingin
menjadi Front–Liner. Petarung garis
depan yang langsung melawan para ibli –“
“Dengar
yah, Johanes! Memang benar aku juga tertarik– sangat menginginkan fasilitas yang
diberikan sekolah khusus itu. Tapi aku ini hanya manusia biasa, bi–a–sa! Ketika
tes pertama diberikan, aku pasti langsung ditendang dari dalam ruangan.”
Johanes,
lelaki tua itu tersenyum kecil. Mulai berbicara kembali.
“Ya
kalau begitu teruslah bekerja padaku sampai mati. Aku mengandalkanmu, bocah.”
“Jangan
bercanda! Suatu hari nanti, entah kapan. Aku akan mendapatkan pekerjaan yang hebat!
Mendapatkan uang banyak, hidupku dikelilingi kemewahan dengan para gadis cantik.
Aku akan berada di posisi puncak, menertawakan mereka yang selalu merendahkanku.”
Aeldra tersenyum lebar, membusungkan dada. Terlihat bangga saat mengutarakan impiannya.
“Kau
..., impianmu benar-benar sesuatu yah.” Johanes menghentikan langkah. Menatap
Aeldra datar, tersirat juga kekhawatiran di wajahnya.
“Kau
menghinaku lagi, kan?” senyum kecil Aeldra, membalas tatapan Johanes.
“Impianmu
terlalu berlebihan, Aeldra. Lagipula apa kau benar-benar bisa mewujudkan impian
itu? Meski kau seperti ini? Tak mempunyai apapun, bahkan ilmu kinesis
sekalipun?”
“Tak
ada salahnya jika memiliki mimpi sebesar itu, kan? Lagipula impianku itu benar-benar
yang kuinginginkan selama ini. Tak mempunyai ilmu kinesis bukan halangan
bagiku, aku tak akan menyerah untuk menggapainya.” Aeldra mulai berjalan
kembali, melewati Johanes yang masih memasang wajah khawatir padanya.
“Kalau
begitu berjuanglah. Semoga kau bisa mewujudkan impianmu.”
“Ya.
Aku pasti akan mewujudkannya. Lihat saja nanti, Pak Tua!” Aeldra menolehkan
kepalanya ke belakang, menatap Johanes. Dia tersenyum lebar hingga membuat
Johanes juga ikut tersenyum melihat semangatnya.
Di tempat lainnya, tidak jauh dari
sana. Lebih tepatnya di sekolah khusus yang sebelumnya dibicarakan oleh mereka.
Sekolah khusus kineser, Acies
Highschool. Di lapangan luas, tengah-tengah sekolah, tempat latihan bertanding.
Telah terjadi pertarungan hebat yang baru saja selesai.
[[Winner, Alyshial S. Ramony]]
“Kyaaa!!” para siswi langsung
berteriak histeris setelah pengumuman pemenang dari sistem. Mereka benar-benar
menaruh kagum pada sang pemenang yang tetap berdiri elegan.
Dia mengibaskan rambut panjangnya
yang berwarna kuning lemon. Membuka matanya yang berwarna biru langit. Wajahnya
terlihat sangat indah, apalagi ketika dia tersenyum menatap lawannya yang sedang
terdiam duduk, ketakutan.
“Kau hebat.” Gadis rupawan itu mulai
berjalan mendekati lawan. Menawarkan bantuan padanya untuk berdiri.
“Tidak, ma-maafkan saya karena tidak
sebanding dengan anda, Putri.” Gadis itu mulai menggapai tangan kanan Alyshial.
“Jika kamu terus berlatih, kamu juga
pasti akan menjadi kuat. Kamu memiliki bakat,” senyum gadis bernama Alyshial,
menarik tangan kanannya. Membantu lawannya itu untuk berdiri.
Gadis itu tersenyum kagum menatap
Alyshial. Wajahnya memerah, tak menyangka jika sang putri akan memuji
kemampuannya.
Para penggemar Alyshial mulai
bersuara. Menyoraki dia yang mendapat bantuan. Mereka terbakar cemburu, ingin
juga disentuh sang putri yang dikagumi kerajaannya.
Alyshial mengangkat tangan kirinya
ke atas. Para penonton langsung terdiam. Menghormati tindakannya yang mungkin
berniat menenangkan kericuhan.
Tapi maksud Alyshial bukan begitu.
Setelah dia mengangkat tangan kirinya, dia mulai melambaikan tangan. Kembali
memberikan senyuman manis pada sekitar.
Sontak teriakkan penonton semakin
menggila. Histeris melihat wajah Alyshial yang sangat rupawan. Putri kerajaan
itu benar-benar dicintai rakyatnya.
Gadis berambut kuning lemon itu
berbalik, berjalan pergi meninggalkan lapangan. Wanita tak kalah rupawan
darinya juga, terlihat berdiri di sisi lapangan. Tersenyum pada Alyshial yang
berjalan mendekatinya.
“Sophia, apa kau melihat Nia?” tanya
Alyshial bertanya pada gadis itu. Rambutnya panjang berwarna hitam, poni besar menutupi
keningnya. Dia layaknya boneka dengan mata berwarna merah delima.
“Entahlah. Kenapa kau begitu
tertarik dengannya, Alys? Dia memang seorang putri sepertimu, tapi dia sangat
lemah. Tak cocok untuk bergabung dengan kelompok kita. Ilmu Kinesisnya bukan
tipe untuk bertarung.”
“Dia sahabatku sejak kecil. Aku tak
bisa meninggalkannya hanya karena dia lemah.”
“Dia hanya akan menghambatmu. Selain
itu, dia sudah menolak ajakanmu lebih
dari 5x. Sudah lupakan saja dia, kau hanya menghancurkan harga dirimu sendiri.”
Alyshial terdiam berpikir. Memang
benar yang dikatakan rekannya itu. Dia tak bisa memaksakan kehendak, tak bisa
memaksa seseorang untuk bergabung dengan kelompoknya.
“Akan kuajak dia sekali lagi. Jika
memang tidak mau, kita ajak lelaki itu.” Alyshial berjalan melewati Sophia.
Sophia hanya tersenyum kecil
menganggukkan kepala. Berjalan mengikuti gadis yang dikaguminya.
***
Langit sudah berwarna orange.
Pertanda malam akan segera datang. Suhu udara juga mulai menurun.
Di pinggiran ibu kota Kerajaan
Skyline. Aeldra terlihat berjalan, tersenyum khawatir menghitung penghasilannya
hari ini.
Keringat masih terlihat jelas di
sekitar wajahnya. Rambut hitamnya terlihat cukup berantakan.
“Pak tua itu ..., dia benar-benar
tidak menaikkan upahku.” Aeldra menutup mata, cukup rapat. Memasukkan kembali
uang ke dalam sakunya. Dia berjalan sambil memperhatikan sekitar.
Saat berjalan ingin melewati
jembatan tua, langkah lelaki berambut hitam itu terhenti. Dia menatap penasaran
seorang gadis yang bersikap aneh.
Gadis itu mondar-mandir di pintu
masuk jembatan. Wajahnya terlihat khawatir menatap sekitar. Terlihat ingin
menangis, menggigit ibu jarinya.
Di sekitar jembatan itu terlihat
sepi, apalagi setelah jembatannya. Itu memang wajar. Tak banyak orang yang
berjalan lalu lalang di tempat paling terpinggir itu.
Tak ada yang menarik di sana kecuali
tumpukan sampah di pantai yang ditinggalkan. Aeldra berjalan mendekat, berniat
bertanya pada dia yang sedang dalam masalah.
Tapi gadis yang menyadari kedatangannya
itu langsung berwajah khawatir dan ketakutan. Tubuhnya bergemetar, semakin
terlihat ingin menangis.
Aeldra memiringkan kepala. Kebingungan
dengan tingkahnya yang semakin mengkhawatirkan.
“Kumohon lepaskan aku!! Aku tak
membawa apapun!” Gadis itu beteriak ketakutan. Memeluk tubuhnya sendiri seolah
sedang mempertahankan diri.
“Haahh!?” Aeldra menghentikan
langkah. Memasang wajah terkejut dan kebingungan menatap gadis tak dikenalnya
itu.
Gadis itu berambut pendek sampai
pundak, berwarna hitam legam. Matanya berwarna biru tua. Kulitnya putih dan
mulus. Dia memakai pakaian sederhana yang berkelas. Sungguh cocok dengan
wajahnya yang rupawan.
“Kau salah paham Nona, aku tak
bermaksud ....” Aeldra semakin mengecilkan suara. Melebarkan mata, cukup
terkejut ketika melihat wajahnya yang terasa familiar.
“Apa kita pernah bertemu
sebelumnya?” tanya kembali Aeldra.
Gadis itu menggelengkan kepala,
terlihat ketakutan. Tapi wajahnya itu cukup manis dan menggemaskan. Membuat
hati Aeldra mulai bergetar.
Aeldra semakin memperhatikan gadis
itu lebih dalam. Sangat dalam hingga membuat wajah sang gadis semakin khawatir.
Sebuah kalung permata hitam menghiasi
lehernya. Sangat indah, berkilauan memantulkan cahaya yang datang padanya.
Kalung itu lebih dari cukup untuk mengetahui akan siapa identitas si gadis.
Aeldra membuang nafas, mengalihkan
pandangan sesaat. Dia tersenyum kecil menatap penasaran dirinya sambil berkata.
“ Kenapa seorang putri dari kerajaan sebrang bisa sampai di sini?”
“....” Gadis itu melebarkan mata,
terkejut mendengar pernyataan Aeldra.
“Putri Selinia D. Azzahra,” lanjut
Aeldra, menutup matanya kembali untuk sesaat.
“Ka-Kau mengenalku?”
“Bagaimana bisa aku tidak
mengenalmu. Selain itu bisa kau hentikan untuk waspada padaku. Aku bukanlah
penjahat– penculik. Aku bukan lelaki bajingan seperti yang ada di dalam
pikiranmu.”
“Be-benarkah?” Selenia bertanya,
menatap khawatir sebagian wajah Aeldra yang berbeda.
“Ah, apa karena luka bakar ini?
Memang selalu seperti ini. Orang yang pertama kali melihatku pasti akan
ketakutan.” Aeldra tersenyum menyentuh sebagian pipi kanannya yang memiliki
luka bakar.
“....” Selenia merasa bersalah. Mengalihkan
pandangan darinya.
“Anda pasti tersesat, kan? Biar
kuantar anda ke pusat kota. Tak heran anda tak mengetahui tempat pinggiran
seperti ini, Putri.”
“Ah, panggil aku Nia saja. Maaf
sebelumnya, karena sudah berpikir aneh tentangmu. Seharusnya aku tak menilai
seseorang dari penampilannya.”
“Tak apa. Aku tidak merasa marah.”
“Apa kau tinggal di sini, emm ....”
“Aeldra.”
“Ya, Aeldra. Apa kau tinggal di
sekitar sini?”
“Ya, aku tinggal di sekitar sini.
Lebih tepatnya, setelah jembatan di depan sana.”
“Apa ada pemukiman juga di depan
sana?”
“Sebaiknya anda tak datang ke sana.
Itu tempat yang tak pantas untuk anda datangi.” Aeldra tertawa kecil menutup
mata.
“Be-begitu. Emm ..., apa kau tinggal
bersama orang tuamu juga di sana?”
“....” Suasana terasa hening untuk
sesaat.
“Emm, Aeldr –“
“Langit sudah semakin gelap.
Sebaiknya kita bergegas, Putri Nia.” Aeldra tersenyum menutup mata. Terlihat
sangat ramah. Membalikkan badan, mulai berjalan.
“Ah, ba-baiklah ....” Nia
menganggukkan kepala. Berjalan mengikuti Aeldra dengan suasana canggung mulai
terasa.
Tapi
saat beberapa langkah mereka berjalan. Tiba-tiba terdengar auman keras dari
arah jembatan.
Keduanya
berbalik. Menatap khawatir jembatan itu. Keduanya berwajah khawatir,
memperhatikan jembatan itu yang gelap dan menakutkan.
“Putri
Nia –“
“GROAARR!!”
Seketika, bayangan monster berwarna hitam muncul di dekat jembatan. Melesat
cepat dari tepi sungai yang hanya beberapa meter dari Nia. Monster itu berniat
menyerang putri kerajaan sebrang itu.
Refleks,
Aeldra berlari, melompat mendorong Nia. Kepala Nia membentur tanah, terdengar
keras hingga dia tak sadarkan diri.
Sedangkan
Aeldra mendapatkan luka di dada karena serangan monster tak di kenal itu. Cakar
berbentuk silang, tidak terlalu dalam.
Aeldra
menyipitkan mata, menatap tajam monster itu. Memperhatikan seksama akan rupanya.
“Goblin
....” Aeldra tersenyum khawatir, berjalan mundur mulai melirik khawatir
Selenia.
“GROARR!!”
“Entah
sial atau buruknya hari ini. Tapi yang jelas aku ingin segera keluar dari masalah
–“
Perkataan
Aeldra terpotong oleh ledakan dari monster berkulit hijau kehitaman itu.
Meledak hebat, seperti ada bom dari dalam tubuhnya.
Darah
dan dagingnya berceceran di sekitar. Terlihat menjijikan membuat Aeldra menatap
datar monster itu.
“Aku
semakin ingin pergi dari sini,” Aeldra menutup mulut, terlihat mual karena bau
busuk di sekitar.
Tak
lama setelah itu, muncul sosok misterius lainnya.
Lelaki
yang sedikit lebih tinggi dari Aeldra. Memakai jubah besar berwarna coklat,
topeng berwarna hitam keunguan.
Lelaki
itu tiba-tiba muncul di dekat goblin yang baru saja meledak. Menatap daging
goblin yang berceceran terlihat menjijikan.
“Ini
kesalahanku karena membiarkan monster ini kabur. Maaf jika membuat kalian
ketakutan ....” Lelaki itu tiba-tiba terdiam. Menundukkan kepala, menatap tajam
Aeldra. Terluka di bagian tangan kanannya.
“Siapa
kau ...!?” lanjutnya. Nadanya terdengar dalam.
“Itu
seharusnya pertanyaanku.” Aeldra tersenyum khawatir menatap si lelaki
misterius.
Lelaki
misterius itu tetap memperhatikan Aeldra secara seksama. Cukup lama, hingga
dirinya terlihat mengingat tentangnya.
“Kau
terlihat berbeda, yah ....”
“Siapa
kau ...,” Aeldra menutup mata. Terlihat marah padanya.
“Seharusnya
kau juga tau siapa aku. Tapi mari kita lupakan masa lalu kita. Tak kusangka kau
bisa mengalahkan iblisku.“ Lelaki itu tersenyum berjalan mundur. Menjauhi
Aeldra.
“Hah?
Apa maksudnya itu?“
“Sungguh,
kau pasti Kineser yang sangat kuat sampai bisa mengalahkan goblinku dengan
mudah.”
“Sudah
kubilang, apa maksudnya itu? Kineser? Aku bukan –“ Aeldra terlihat kesal karena
omongan anehnya.
“He-hebat
...!” Tapi perkataanya terpotong oleh Selenia. Dia sudah siuman, menatap Aeldra
dengan mata berbinar.
“Hah
...?” Aeldra terkejut, melirik sang putri.
“Sebutkan
dari sekolah mana kau berasal –“
“Apa
yang sedang kau bicarakan bodoh! Jelas-jelas monster itu hancur olehmu. Aku di
sini –“
“Kita
akan bertemu lagi, anak muda. Sampai saat itu tiba, bertambah kuatlah.” Lelaki
itu memegang tangan kanannya yang terluka, mulai menghilang tak berbekas.
Nadanya yang terdengar gembira membuat Aeldra menjadi marah.
“....”
Setelah dia menghilang. Suasana terasa hening. Aeldra menatap khawatir Nia yang
terus memberikan tatapan kagum padanya.
“And-anda
bisa berdiri?“ Aeldra menawarkan bantuan.
“Terima
kasih, Aeldra. Karena sudah menyelamatkanku.” Nia tersenyum lebar. Merah
pipinya. Benar-benar terlihat rupawan, membuat Aeldra mengalihkan pandangan
canggungnya.
“Kau
hebat dan sangat kuat. Apa kau juga siswa dari Acies Highschool? Kebetulan aku
juga dari sana.” Selenia berjalan
mengikuti Aeldra yang baru saja berjalan.
“Dengar
yah, Putri. Bukan aku yang mengalahkan monter itu. Selain itu, aku ini bukan
siswa dari sekolah terkenal yang kau sebutkan tadi.”
“Sayangnya,
padahal kau sekuat ini. Tapi tidak bersekolah di sana.” Nia berpikir, menyentuh
dagu.
“Hei,
anda benar-benar mengabaikan pernyataan pertamaku,” Aeldra mengeluh, tersenyum
kecil.
“Masuklah
ke sekolah itu! Biar keluargaku yang merekomendasikanmu.”
“Apa
kau tidak mendengar perkataanku sebelumnya? Bukan aku yang mengalahkan monster
itu. Lagipula aku juga bukan seorang Kineser.”
“Kamu
ini ..., bercanda saja. Jangan terlalu merendah seperti itu.”
“Dengar
yah, Putri. Sebelum kesalahpahaman ini semakin parah, tolong dengarkan –“
“Ah,
aku tau jalan itu! Terima kasih sudah mengantarku sampai sini. Aku sungguh
berhutang banyak padamu.” Selenia berlari melewati Aeldra. Mendekati
persimpangan jalan yang besar.
“Ya,
ba-baiklah. Hati-hati, Putri.” Aeldra tersenyum kecil menatap dirinya yang
pergi.
“Tenang
saja. Aku pasti akan merekomendasikanmu untuk masuk ke Acies Highschool.”
“Sudah
kubilang, bukan aku –“
“Daaah!!”
teriak Selenia. Langsung berlari meninggalkan Aeldra.
Aeldra
memasang wajah datar. Tak senang karena perkataanya yang sering terpotong oleh
Nia.
Tapi
dia tak bisa berbuat apapun. Merasa tak enak jika memarahi wanita yang baru
ditemuinya beberapa jam lalu. Apalagi wanita itu seorang putri dari kerajaan
sebrang.
Beberapa
jam berlalu sejak dia mengantarkan Nia. Kini Aeldra sudah sampai di depan
rumahnya. Gubuk sederhana yang terbuat dari barang rongsokan di sekitar.
Aeldra
memasuki rumah kecilnya. Memang di luar terlihat berantakan, membaur dengan
sampah sekelilingnya.
Tapi
tidak di dalam, di dalam sungguh terlihat rapih. Meski terlihat sempit juga.
Aeldra
menyalakan lilin putih di dekatnya. Sontak cahaya orange muda menyala, menyinari
ruangan. Alat penerangan tradisional abad 19.
Kasur
gantung langsung terlihat ketika Aeldra memaski rumah. Lemari sederhana yang
tidak terlalu besar berada di samping kiri, sudah terlihat tua. Lemari itu
hanya seukuran pinggangnya.
Tepat
di atas lemari, terlihat bingkai foto yang sengaja ditutup. Kalung berwarna hitam
yang indah dan berkilauan. Mirip dengan kalung yang dipakai Putri Selenia.
Aeldra
tersenyum kecil menatap dua benda itu. Lekas berjalan cepat, merebahkan tubuh
di atas kasur gantungnya. Menutup mata, beristirahat karena rasa letihnya.
Aeldra
tak tau, jika itu adalah hari terakhir bagi dia untuk beristirahat di gubuk
kecilnya. Karena keesokkan harinya, dia langsung didatangi dua pengawal
kerajaan.
Mereka
menunggu tepat di gerbang jembatan. Memberi kabar jika minggu depan dia harus
bersekolah di Acies Highschool. Mengantar Aeldra untuk pindah ke asrama sekolah
berkelas itu.
***
Lanjutkan kak :)
ReplyDelete