Wednesday, 11 January 2017

Chapter 6

Title: Iris Dragon 2
Genre: Action, Fantasy, Romance, Drama, Superpower, Comedy.
Author: R Lullaby
Status: Ongoing

Chapter VI
Pertengkaran


            Lima hari setelah pertemuan Lapis dengan Zaxia. Langit sudah berubah gelap, Lisienata terlihat duduk di atas gentong bekas. Di depan rumahnya.


Dia menatap langit gelap yang dihiasi bintang, sangat berkilauan menerangi dunia tempat ia tinggal. Setengah rembulan bercahaya juga menatap dirinya, seolah tersenyum pada dia yang mulai menutup mata, merasakan angin lembut yang menerpa tubuhnya.


Tak lama, mulut lelaki muda itu terangkat ke atas, mulai tersenyum dalam keadaan mata tertutup. Bukan tanpa alasan yang jelas, dia sedang mengingat kembali dirinya. Gadis lainnya yang mau menerima keberadaan dia yang tak diinginkan dunia. Jauh dalam lubuk hatinya, dia sungguh bersyukur masih bisa hidup di dunia.


“Lisienata.” Wanita yang tinggal satu atap dengannya berucap, memanggil namanya. Lisienata lekas berbalik, membalikkan wajah dan tubuhnya pada wanita itu.


“Ya, Nyonya?” dia bertanya penasaran. Zaxia terlihat berdiri di depan pintu, berwajah datar dan berucap.


“Tidurlah.”


“Ya ....”Lisienata beranjak dari tempat duduknya, memberikan senyuman kecil pada wanita yang dia kagumi itu. Tapi tak sedikit pun Zaxia membalas senyumannya. Dia mengalihkan pandangan, berbalik dan berjalan memasuki rumah.


Senyuman sedih langsung terlihat di raut wajah Lisienata. Dia berjalan mengikuti Zaxia, berjalan memasuki  rumah– gubuk kecilnya. Beristirahat untuk hari esok yang panjang.


Besok adalah hari dimana Lisienata pergi ke vila megah milik saudari kembarnya berada. Bukan untuk ikut bermain bersama, tapi sebagai pelayan di bagian dapur.


Salah satu pekerjaan Lisienata menghilang, yakni menjaga toko sayuran. Itu semua karena beberapa hari yang lalu. Dagangannya langsung habis dalam sehari setelah mendapat bantuan dari Lapis, alhasil dia harus menunggu 5 hari lagi untuk restok sayuran dari desa sang pemilik toko.


Perasaan dalam hati Lisienata bercampur aduk, berdebar-debar sulit diungkapkan kata-kata. Cemas ada, takut identitasnya diketahui, takut mendapatkan tatapan merendahkan dari keluarga yang membuangnya. Bahagia juga ada, tak sabar ingin bertemu dengan gadis yang menjadi pujaan hatinya.


Hal itu membuat dia meringkuk di atas sofa yang menjadi tempat tidurnya. Terus menutup mata rapat, tak bisa tidur. Merasa malam yang dilewatinya terasa panjang.


Zaxia menyadari kecemasan putranya. Dia mulai membenarkan posisi tidur, menghadap ke samping kiri, tempat Lisienata tertidur. Lekas memberikan senyuman kecil yang terlihat menawan.


Lisienata tak menyadari itu, tetap menutup mata cukup rapat, berharap dapat memasuki alam mimpinya. Dia benar-benar layaknya anak-anak pada umumnya, anak yang tak sabar akan hari esok.


Hari esok pun datang, pagi terlihat cerah untuk Lisienata yang ingin menjalani hari. Zaxia tak lupa membuat makanan untuknya. Roti tawar dengan segelas air mineral. Memang sederhana, tapi itu lebih dari cukup untuk mengisi perut mungilnya.


Sesekali Lisienata bertanya beberapa hal pada wanita di depannya. Seperti bagaimana keadaanya, bagaimana tidurnya, bagaimana perasaannya.


Zaxia selalu menjawab pertanyaan putranya itu dengan singkat dan jelas. Membuat Lisienata sedikit mengendurkan senyuman.


Zaxia yang sadar akan hal itu lekas mengalihkan pandangan, tak ingin melihat dia yang berwajah seperti itu. Entah kenapa, karena suatu hal dia terlihat semakin dingin padanya.


Setelah menyelesaikan sarapan singkat, Lisienata lekas beranjak dari kursi, berjalan menuju pintu keluar. Berucap dengan senyuman yang tertuju pada Zaxia.


“Aku berangkat, Nyonya!”


“Ya, “ Zaxia membalas senyuman putranya, meski hanya sedikit. Berniat menghibur putranya yang tadi sempat muram.


Lisienata yang melihat senyuman wanita itu semakin melebarkan senyuman, berdetak cepat jantungnya. Suasana hatinya melesat naik secara signifikan. Hanya dengan senyuman kecil dari Zaxia membuat perasaan gembira memenuhi jiwanya.


Setelah kepergian Lisienata, Zaxia langsung terduduk di atas tempat tidur. Mulai menutup mata, menghembuskan nafas yang berat.


Setelah nafas beratnya itu, hembusan nafasnya semakin cepat dan tak karuan. Dia memegang dada, menutup mata serapat-rapatnya. Wajah wanita itu berubah teramat pucat, kedua tangan bahkan tubuhnya tak pernah berhenti gemetar.


Wanita itu sudah mencapai batasnya. Hanya di hadapan Lisienata dia bersikap kuat. Dia tak ingin membuat putranya khawatir. Tak ingin menghancurkan hatinya yang sedang berbunga-bunga.


Sambil terus bertahan karena tubuhnya yang mencapai batas kehidupan, Zaxia mulai memberikan senyuman, menitiskan sedikit air mata. Berucap dengan keteguhan hati yang kuat. “Masih belum, aku masih kuat .... Sampai dia datang, aku harus bertahan.”


Kembali ke tempat Lisienata. Dengan berbekal pakaian, tas, dan dua sendal jepit, Lisienata sudah sampai di depan vila megah miliki keluarga kerajaan. Villa itu tidak jauh dari tempat tinggalnya, hanya beberapa meter.


Di belakang Villa itu disuguhkan pantai yang terawat bersih, tertata rapih, lautan bening  tanpa ada limbah. Berbanding terbalik dengan pantai tempat Lisienata tinggal, yang dipenuhi oleh tumpukan ronsokan sampah.


Kedua pantai itu memang sangat dekat, sejalur dan berdampingan. Akan tetapi terpisah oleh batu karang yang besar, membuat pihak keluarga Kerajaan tak bisa melihat tempat Lisienata yang tak huni layak.


Si anak lelaki berambut hitam mulai membenarkan tas, menggigit bibir bawah, menganggukkan kepala dengan mantap. Dia berjalan melewati gerbang villa, memenuhi panggilan pujaan hatinya.


Seketika, terlihat lelaki tua yang berjalan mendekatiny– menyambutnya. Berambut hitam dengan beberapa uban di ujungnya. Terlihat elegan dengan pakaian pelayan yang  serba hitam. Dia berdiri, menatap Lisienata yang mendongakkan kepala ke arahnya.


“Ciri-cirinya sama, jadi anda Tuan muda Hendra?”


“He-Hendra saja, Pak!” wajah Lisienata memerah, khawatir. Panggilan itu benar-benar pertama kali terdengar di telinganya yang mungil.


“Tapi anda tamu Putri Lapis. Sudah sewajarnya jika saya memanggil anda seperti itu?” sang pelayan kebingungan, sedikit memiringkan kepala menatap Lisienata. Jauh dalam hatinya, dia juga penasaran akan penampilan Lisienata yang seperti gelandangan.


“Ehh tamu!? Ta-tapi aku datang ke sini karena dimintai tolong olehnya untuk menjadi membantu dapur selama sehari!”


“Membantu dapur? Aku pertama kali mendengarnya. Putri Lapis hanya memintaku untuk menyambut anak lelaki berambut hitam dengan tas ransel di punggung.”


Lisienata hanya berwajah khawatir menatap sang pelayan yang kebingungan. Sesekali dia mengamati taman villa itu yang sangat luas.


Di belakang sang pelayan itu terdapat kolam air mancur yang mewah, dikelilingi oleh jalan setapak yang terbuat dari keramik putih. Halamannya kebanyakan dipenuhi oleh rumput hijau yang terawat dengan baik. Tapi tidak hanya rumput, bunga dengan berbagai warna juga terlihat. Bermekaran di setiap sisi taman, sebagai pembatas jalan setapak dengan taman yang indah.


Hal itu membuat Lisienata terpesona kesekian kalinya oleh bangunan milik dari orang-orang terpandang di dunia.


Patung juga terlihat di beberapa sudut gedung villa, terlihat artistik dan mewah. Bibir dan mata Lisienata melebar. Kembali terpukau oleh pemandangan sekitarnya.


Sang pelayan hanya tersenyum kecil melihat wajahnya yang menggemaskan. Meski Lisienata berpenampilan seperti gelandangan, lelaki tua itu terlihat tak peduli.


“Kau pasti anak yang baik yah, Hendra?” sang pelayan berucap, tersenyum pada Lisienata. Hal itu membuat Lisienata mengembalikan pandangan padanya, memiringkan kepala, bertanya dengan nada penasaran.


“Kenapa Bapak bisi berpikir seperti itu tentangku?”


Sang pelayan itu menutup mata sesaat, memiringkan tubuh dan melirik ke belakang. Arah pandangan Lisienata sebelumnya. Berucap dengan nada gembira.


“Putri pasti sangat menghormatimu, buktinya dia mengundangmu ke acara keluarganya ini. Dia juga bahkan berkata padaku, jika kau adalah tamu istimewanya.”


“Ehhh!? Dia berkata seperti itu,” Lisienata berwajah khawatir, menyentuh keningnya. Terlihat sedikit kesal juga.


“Tunggu, tadi kata Bapak acara keluarganya? Jadi seluruh keluarganya akan datang?” lanjut Lisienata bertanya, memberikan senyuman semakin khawatir.


“Ya, sepertinya datang. Mungkin bagi Putri ini waktu yang tepat untuk memperkenalkanmu pada seluruh keluarganya,” sang pelayan tertawa kecil, menutup matanya.


“Se-serius ...,” senyum khawatir Lisienata.


“Ya, sepertinya dia berniat melakukannya.”


“Di depan Keluarga Kerajaan Skyline juga?” Lisienata membiru ketakutan, menundukkan kepala.


“Ya, tentu saja.” Sang pelayan mulai berwajah khawatir karena melihat ekspresi wajah Lisienata. Sesaat dia mengangkat tangan kanan, berniat menyentuh pundak Lisienata, tapi.


“Ah Hendra, kau akhirnya datang!” Suara gadis manis terdengar di belakang sang pelayan. Lisienata sudah mengetahui suara itu, lekas mengangkat kepala, memberikan senyuman kekesalan sambil berucap.


“Ah, Lapis kebetulan kau datang ke sini!! Apa maksudnya ....” Lisienata berwajah khawatir, tapi langsung menghentikan perkataannya. Mulutnya terasa kaku. Waktu seolah berhenti untuknya.


Tidak hanya Lapis yang datang, tidak hanya pujaan hati yang berjalan menghampirinya. Tapi ada gadis lainnya yang bersama Lapis, lebih dari itu Lisienata juga amat sangat mengenal dirinya.


Gadis berambut panjang kuning lemon, memakai pakaian yang berkelas. Putri dari Kerajaan Skyline, gadis yang menjadi saudari kembarnya, Putri Alyshial S. Ramony.




***



Di kediaman Zaxia, gubuk kecil yang tak enak di pandang. Tepat di atas langit gubuk Zaxia itu, terlihat sosok mahluk berwarna hitam, dipenuhi sisik yang terlihat mengerikan. Terlihat seperti naga, tapi itu bukan naga. Terlihat seperti elang, tapi itu juga bukanlah elang.


Itu adalah Wyvern.


Wyvern itu berputar-putar di atas kediaman Zaxia lebih dari lima kali. Tak lama, di putaran keenam, sosok manusia mulai melompat dari Wyvern itu. Mendarat di tanah dengan sempurna, meski ketinggiannya bukan main-main.


Setelah itu, Wyvern hitam langsung mendarat di atas batu karang. Menunggu sang majikan yang melompat tadi menyelesaikan urusan.


Sosok lelaki memakai jubah serba hitam yang terlihat. Dia yang baru saja mendarat di tanah mulai berjalan memasuki kediaman Zaxia. Tiap ujung kain jubahnya terukir polet garis berwarna emas dengan ukiran bahasa kuno yang tak bisa dibaca sembarang orang.


Tidak hanya itu, aura yang terasa gelap dan suram juga benar-benar menyelimuti sosok lelaki itu. Hembusan angin melewatinya, menolak bersentuhan dengannya. Alam seolah enggan akan kehadirannya.


Setelah lelaki itu melewati gubuk, terlihat Zaxia yang sudah duduk di atas kursi sofa. Zaxia memberikan senyuman lebar. Mulai berucap dengan kedua mata yang tertutup rapat.


“Aku sudah menunggumu.”


Lelaki itu membuang sedikit nafas, membalas senyuman Zaxia sambil membuka penutup kepala. “Ya, aku tau itu. Maaf sudah membuatmu menunggu lama, Zaxia.”


“Aku tak punya banyak waktu, kita bahas langsung ke masalah utamanya,” ucap Zaxia, merubah ekspresi wajahnya menjadi serius.


Kembali ke tempat Lisienata. Suasana masih terasa hening, tatapan Lapis masih tertuju ke arah Lisienata. Gadis rupawan itu berwajah penasaran melihatnya yang bergemetar, menundukkan kepala.


“Lapis, temanmu?” Alyshial bertanya khawatir, melirik penasaran sepupunya. Mendengar suara dari Alyshial, Lisienata lekas mengangkat kepala. Memberikan senyuman kecil, bersikap seramah mungkin. Berharap dia yang mendapat senyuman tak mengenali dirinya.


“Ah iya, dia ini –“ Lapis berucap, memberikan senyuman penuh kesombongan. Mulai mengangkat telunjuk di depan wajah sepupunya. Tapi perkataanya itu lekas tersanggahkan oleh perkataan Lisienata.


Lisienata menundukkan kepala, memberikan hormat, berucap dengan nada yang dipenuhi keseganan. “Terima kasih sudah mempekerjakan saya di vila ini, Putri Lapis.”


“Eh ...?” Lapis terkejut, hatinya teramat sakit mendengar perkataan Lisienata. Tubuhnya bergemetar, tak menyukai lelaki yang dicintainya bersikap seperti itu.


Keheningan menyelimuti mereka, berpadu dengan angin lembut yang menggetarkan jiwa. Sang pelayan berwajah khawatir menatap raut wajah Lapis yang berubah drastis.


Pandangan gadis manis itu tak tertuju pada yang lainnya, melainkan hanya pada Lisienata yang tetap menundukkan kepala seolah memberi hormat. Dia menurunkan tangannya, bergemetar. Menunjukan tatapan penasaran.


“Ahh ..., jadi kau mau memperkejakannya? Ya sudah, kebetulan kami memang kekurangan orang.” Alyshial memberikan senyuman lega.


“Tidak, bukan Alys! Dia adalah tem –“ Lapis kembali berucap, khawatir wajahnya menatap Alyshial. Berniat memperbaiki cara pandang sang sepupu. Tapi lagi-lagi Lisienata memotong perkataannya.


Lelaki itu memberikan senyuman penuh arti, berucap menjawab pertanyaan Putri Alyshial.


“Sungguh, benar-benar suatu kehormatan besar bagiku bekerja untuk kalian, Putri.”


Lapis kembali menatap Lisienata dengan mata yang semakin melebar. Tatapannya, reaksi tubuhnya, gemetaran mulutnya menunjukkan jika dirinya sangat kecewa terhadap lelaki yang menjadi cinta pertamanya.


Alyshial hanya memberikan senyuman kecil pada Lisienata, tak menyadari jika dia adalah anak lelaki yang pernah ia temui di penjara Zaxia. Dia berbalik, berjalan menuju villa. Berucap dengan nada suara yang lega.


“Ayo kita kembali, Lapis. Sungguh aku ketakutan, Lapis. Kukira orang kecil ini temanmu, tapi ternyata hanya orang yang ingin mencari kerja.”


Lapis masih memberikan tatapan penasaran pada Lisienata, tubuhnya masih bergemetar, kedua bola matanya berkaca-kaca. Wajahnya benar-benar terlihat sedih, membuat sang palayan khawatir melihatnya.


Lisienata yang melihat eskpresi wajah Lapis lekas mengalihkan pandangan sesaat. Tak kuasa melihatnya berwajah seperti itu. Dia hanya ingin melindungi kehormatan gadis tercintanya.


Apa pandangan sekitar jika Lapis berteman dengan gelandangan sepertinya. Dia tak ingin kehormatan Lapis ternoda oleh kehadirannya. Tapi bukan itu alasan sebenarnya dari Lisienata bersikap seperti itu.


Dia tak ingin Lapis mengetahui masa lalunya. Terlalu berisiko jika dia bertemu dengan Keluarga besarnya, khususnya keluarga skyline. Berpikir jika mereka pasti akan memisahkan Lapis darinya, sejauh mungkin, hingga tak bisa bertemu kembali.


Lisienata tak menginginkan itu, hal itu juga akan membuat Lapis semakin bersedih.


“Lapis, ayo kembali! Dia hanya rakyat biasa yang ingin melayani kita. Kau terlalu baik, kau tak perlu menyambutnya secara langsung ...,” Alyshial kembali berucap, menghentikan langkah, berbalik menatap punggung Lapis.


            “Tuan Putr –“ khawatir sang pelayan bertanya, tapi pertanyaannya lekas terpotong oleh pertanyaan Lapis yang cukup pelan.


            “Ke-kenapa?” nada suaranya terdengar menyakitkan, seolah tercekik oleh perasaan sedih yang tak mengenakkan. Nafasnya terisak, mulai mengeluarkan butiran air mata berkilauan. Membuat sang pelayan dan Lisienata terkejut ketakutan.


            “Lapis –“ Lisienata berwajah khawatir, terlihat juga ingin menangis melihat dia yang seperti itu. Tapi perkataanya kembali dipotong oleh si gadis rupawan. Dia menundukkan kepala, tetap mengeluarkan air mata. Berucap, mengeluarkan perkataan yang menyakitkan bagi Lisienata.


            “Aku membencimu ....” Suaranya memang terdengar pelan, tak memiliki tekanan dalam dan nada tinggi, tapi itu benar-benar menghancurkan segalanya yang ada dalam diri Lisienata.


            Lapis berbalik, berjalan– berlari meninggalkan Lisienata dengan amat sangat cepat, dengan langkah kaki mungilnya. Air mata terus menabrak tanah, meninggalkan jejak tetesan kesedihan. Membuat sekitarnya berwajah khawatir, termasuk sepupunya sendiri.


Alyshial berwajah khawatir setelah melihat dia menjatuhkan butiran air mata. Tak mengerti, mulai menunjukkan wajah penasaran. Sedikit memberikan lirikan sinis pada Lisienata. Berpikir, jika itu adalah perbuatannya.


            Alyshial lekas berlari menyusul sepupunya itu, memanggil namanya. Bertanya akan alasan dia menangis. Tapi Lapis tak menjawab, tak kuasa berucap. Hatinya, jiwanya ..., masih diselimuti kesedihan. Kepercayaanya, harapannya ..., sudah ditelan oleh rasa kekecewaan yang amat dalam.


            Lisienata yang melihat hal itu hanya menundukkan kepala, hampir menitiskan air mata. Tubuhnya bergemetar, benar-benar terpukul mendengar kalimat terakhir dari dia yang berharga.


            Sang pelayan hanya memberikan senyuman kecil, tak marah padanya. Malah menaruh hormat. Dia mengerti, jika anak lelaki di hadapannya hanya berniat melindungi kehormatan Putri Lapis.




***

2 comments:

  1. makasih updatenya nya sensei di tunggu lanjutannya

    ReplyDelete
  2. Sasuga lullaby sensei. Setiap chapternya susah di tebak, makin sini dramafantasy nya makin fokus... Aku mendukungmu.. Sensei...

    ReplyDelete