Friday, 13 July 2018

Chapter 7

Tittle: Exitium

Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy

Author: r lullaby

Status: Ongoing


Chapter 7
Serikat Petualang
            
               Rina telah menjadi adik Hanafi seutuhnya, maka tak heran jika perlakuan penduduk padanya menjadi berubah dan berbeda hingga 180 derajat.


            Dia yang dulu dianggap rendah oleh mereka kini menjadi permata berkilauan yang amat sangat berharga.


            Dengan posisi Hanafi yang dianggap pangeran oleh para penduduk, maka tak heran jika membuat Rina yang secara otomatis mendapat gelar ‘Putri’.


            Banyak orang yang bersujud meminta ampunan atas perlakuan padanya di masa lalu. Tapi, karena rendah hati dan sifat pemaafnya. Rina memaafkan mereka yang dulu pernah memperlakukannya buruk.


            Dua hari setelah terbelahnya gunung yang menggentarkan dunia. Hanafi dan Rina berniat memulai perjalanan kembali untuk menuju tempat selanjutnya. Dua hari itu mereka gunakan untuk perawatan luka Rina di seluruh tubuh, itu semua karena permintaan Hanafi sendiri.


            Di hari yang sama ketika Hanafi beserta adiknya ingin memulai perjalanan. Thomas dan istrinya terlihat menghampiri keduanya yang sedang duduk di teras halaman sambil menyiapkan perbekalan untuk perjalanan.


            “Tuan Pangeran!”


            Hanafi terdiam dan tak menjawab panggilan. Dia hanya memasang wajah datar sambil berdiri dan membalikkan tubuh menghadap lelaki tua berperut buncit.


            “Saya selaku perwakilan desa ini banyak mengucapkan terima kasih karena jasa anda yang telah menyelamatkan kami dari para Amygons.” Thomas menundukkan sedikit kepala memberi hormat, lalu diikuti oleh sang istri yang berdiri di belakangnya.


            “Ah, tidak tidak. Saya hanya membantu sedikit kok, Pak. Tolong jangan seperti ini! Aku merasa tak enak melihat orang tua menundukkan kepala padaku,” senyum Hanafi dengan ekspresi kecemasan yang terhias di wajah.


            “Tidak. Kami harus melakukan ini, Pangeran! Kami juga berniat memberi anda kereta beserta kudanya, tapi karena keterbatasan kami dalam transportasi untuk distribusi perdagangan, kami tidak bisa melakukannya.”


            “Sungguh, anda tidak usah melakukan ini, Pak!” khawatir Hanafi mulai menutup matanya beberapa sesaat.


            “Tapi, Pangeran! Sebagai ganti dari itu, tolong terimalah 10 koin perak ini. Kami seluruh desa mengumpulkan ini untuk pangeran sebagai hadiah.” Jelas Thomas sambil mengangkat kepala, dan lekas mengambil kantong serut dari tangan istrinya.


            “Mungkin bagi anda jika ini tak seberapa, tapi tolong terimalah!” senyum Thomas sambil memberikan kantong serut berisi 10 koin perak itu.


            Tak sopan jika tak menerima hadiah mereka, itu yang dipikirkan Hanafi. Dengan senyuman bahagia, Hanafi pun mulai menerima hadiah dari Desa Karot.


            “Ah, aku ingin bertanya satu hal lagi. Seberapa berharganya satu koin perak ini? Maaf. Di wilayah saya, saya tak menggunakan uang seperti ini,” Hanafi bertanya dengan senyuman terpampang di wajah.


            “Pada dasarnya koin perak jarang digunakan oleh rakyat biasa seperti kami karena begitu berharganya koin tersebut.”


            “Ma-maksud anda?” Hanafi bertanya sedikit kebingungan.


            “Koin ini biasa digunakan oleh kaum bangsawan sekelas Baron, Viscount, dan Earl. Dan koin perak biasanya lumrah dipakai oleh orang-orang yang tinggal di kota tembok kedua.” Istri Thomas menjelaskan.


            “Kota tembok kedua?” Hanafi semakin kebingungan memiringkan kepala menatap istri Thomas.


            “Biasanya yah Kak jika di kota besar itu ada semacam dua tembok besar. Tembok pertama yang berfungsi sebagai benteng untuk melindungi kota dari luar. Sedangkan tembok kedua yang berada di dalam itu sebagai pembatas antara rakyat biasa dengan para bangsawan.” Rina menjelaskan sambil menatap kakaknya.


            “Ehh, be-begitu. Lalu jenis uang seperti apa yang biasa kalian gunakan?” Hanafi bertanya kembali menatap Thomas beserta istrinya.


            “Kami biasanya sering menggunakan koin kuningan dan tembaga dalam transaksi jual beli, Pangeran. Terkadang kami juga menggunakan koin perunggu dan perak. Tapi, koin itu digunakan dalam pembayaran besar. Seperti membeli lahan, rumah, dan binatang ternak.” Thomas menjelaskan dengan senyuman pada Hanafi.


            Hanafi mulai memegang kepala dengan tangan kanan, seolah terlihat sedang berpikir. Lekas mengembalikan pandangan pada Thomas sambil kembali bertanya.


            “Baik-baik, begini saja. Bagaimana konversi koin dari yang termurah.”


            “Konversi?”


            “Perbandingan koin dari yang termurah maksud saya, Pak.”


            “Ah perbandingan. Jadi ini koin kuningan. Untuk 500 koin kuningan sama dengan 1 koin tembaga. Lalu 1000 koin tembaga sama dengan 1 koin perunggu.” Thomas menjelaskan sambil memperlihatkan koin kuning pucat berbentuk persegi empat.


            “Untuk 500 koin perunggu sama dengan 1 koin perak, dan untuk 100 koin perak sama dengan 1 koin emas,” lanjut istri Thomas menjelaskan.


            “Bagitu, lalu berapa biaya menginap di penginapan kota?” Hanafi kembali bertanya sambil membuka matanya.


            “Kalau di tembok luar sekitar 2 koin tembaga per malam. Tapi, jika menginap di penginapan tembok dalam bisa lebih mahal. Ada yang 12 bahkan sampai 15 koin tembaga per malamnya.”


            “Itu termasuk makan dan kebutuhan lain?”


            “Ya, tentu saja,” senyum Thomas menganggukkan kepala.


            Hanafi hanya terdiam memahami penjelasan. Sedikit cemas hingga tak mampu mengeluarkan kembali ucapan. Tak menyangka jika dirinya sudah mendapatkan uang yang amat sangat banyak dari Putri Lapis dan Bella.


            Waktu pun bergerak cepat. Beberapa jam setelah itu, Hanafi bersama dengan Rina memulai perjalanan menuju kota selanjutnya. Mereka pergi melewati jembatan besar yang sebelumnya dilalui oleh kereta kuda Putri Lapis. Hingga memasuki jalan cukup lebar yang dikelilingi hutan.


            Keduanya hanya berjalan kaki sambil memulai percakapan kecil. Rina terlihat sudah membuka diri sejak dia menjadi adik Hanafi. Bercerita banyak tentang dunia yang masih asing bagi Hanafi.


            Hanafi dengan senang hati mendengarkan cerita adiknya itu. Sesekali mengusap kepala Rina dengan lembut hingga membuatnya menutup mata, dan merasakan perasaan nyaman dicintai oleh seseorang.


            Langit yang berwarna jingga mulai datang. Merangkul seluruh mahluk yang ada di dunia itu. Hanafi melirik adiknya yang menundukkan kepala karena kelelahan. Dia pun lekas menghentikan langkah dan berucap mengajukan pertanyaan.


            “Kita istirahat dulu yah, Rina? Lagipula malam sebentar lagi datang.”


            “Tapi sebentar lagi kita melewati hutan ini, dan setelah itu kita sampai di Kota Cordel.” Rina menjawab dengan nafas yang terengah-engah karena kelelahan.


            “Tidak, kita akan melanjutkan perjalanan besok. Terlalu berbahaya melewati hutan saat malam hari.”


            “....” Rina tak menjawab dan hanya memberikan tatapan datar seolah tak mempercayai ucapan kakaknya. Wajar dari dia yang berpikir seperti itu mengingat perbuatan sang kakak yang sudah menghancurkan gunung raksasa dengan satu ayunan pedang.


            “Apa-apaan tatapan penuh keraguanmu itu?” Hanafi menutup mata dan bertanya cemas.


            “Rina ingin tahu ..., memangnya bahaya seperti apa yang mengancam untuk kita– maksud Rina untuk Kakak?” senyum Rina ringan mulai menutup mata. Mengangkat kedua pundaknya sedikit ke atas hingga terlihat menggemaskan.


            “Gu-gunung itu terbelah hanya kecelakaan! Aku juga mana tau kalau akan jadi seperti itu!”


            “Hahaha, Rina hanya bercanda, Kak. Jangan berwajah menakutkan seperti itu,” senyum manis Rina lekas duduk di atas batu besar di pinggir jalan.


            “Tapi yah kenyataan Kakak yang membelah gunung itu tak berubah. Akan lebih bijak jika Kakak tak mengatakan masalah ini pada siapapun,” senyum Rina melirik kakaknya.


Hanafi mulai berjalan mendekati Rina, dan berucap mengajukan pertanyaan.


            “Maksudmu, Rina?”


            “Gunung Skyvia adalah gunung terbesar dan terletak di tengah-tengah benua ini. Gunung purbakala yang sudah dianggap sebagai pusat dari Benua Luna. Maka tak heran mucul berbagai kepercayaan tentang gunung ini, bahkan salah satu negara besar menganggap gunung ini sebagai gunung suci.”


            “....” Hanafi sontak terdiam mematung dan menelan ludah dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Masih mendengar penjelasan Rina, dia pun menyimpan tas dan barang bawaannya di atas tanah dengan tangan yang sedikit gemetar.


            “Entah apa yang akan terjadi jika dunia mengetahui perbuatan Kakak ini. Mungkin Kakak akan dimusuhi oleh seluruh negeri, atau bahkan dianggap Raja Iblis,”senyum Rina yang diakhiri dengan tertawaan kecil yang menggemaskan.


            “Ja-jangan tertawa, Rina. Bukankah akan sangat gawat jika dunia mengetahui perbuatanku!?” cemas Hanafi sambil menutup mata beberapa saat.


            “Tapi tenang saja, Kak. Bukankah Kakak sudah mengambil langkah untuk hal ini? Sekarang yang harus kita pikirkan adalah kekuatan Kakak yang tak masuk akal itu.” Rina menatap tubuh kakaknya dengan cermat.


            “Maksudmu aku benar-benar punya kekuatan gila itu?!” khawatir Hanafi sambil memungut ranting-ranting di sekitarnya.


“Tentu saja, lalu darimana datangnya kekuatan yang mampu menciptakan jurang dan membelah Gunung Skyvia? Itu jelas-jelas kekuatan Kakak. Hanya saja, Kakak mungkin masih belum menyadarinya.” Rina menjelaskan cemas sambil terus duduk dan mengamati sang kakak.


“Benarkah? Padahal selama ini aku manusia biasa,” senyum kecil Hanafi sambil mulai mengumpulkan ranting pohon dalam satu tempat dan berniat membuatnya menjadi api unggun.


“Aku tak tau masalah itu, tapi kekuatan Kakak saat itu adalah nyata .... Ah benar juga, Rina belum mendengar cerita Kakak. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi tak ada kebohongan lagi. Rina juga akan menceritakan semua masa lalu Rina jika waktunya tiba, meski semua masa lalu Rina banyak yang tidak menyenangkannya.”


“Baguslah kalau kau ingin membuka diri pada kakakmu ini, tapi jangan terlalu dipaksakaan. Pelan-pelan saja. Aku tak mau kau terluka lagi,” senyum Hanafi sambil saling memukul kedua batu kering dengan masing-masing tangan. Berniat memunculkan percikan api untuk menyulut api unggun.


“Terima kasih,” senyum Rina memberikan tatapan dalam pada sang kakak.


“Lalu Kakak sedang apa?” lanjut Rina bertanya dengan mata tertutup. Tetap mempertahankan senyuman manisnya. Dia sedikit memiringkan kepala hingga membuatnya terlihat manis.


“Eh? Tentu saja membuat api unggun,” senyum Hanafi mendongakkan kepala, dan menatap adiknya penuh keheranan.


“Kenapa Kakak tidak bilang padaku? Jika hanya butuh api untuk api unggun, aku juga bisa membuatnya!” senyum Rina mengangakat tangan kanan ke arah tumpukan kayu.


“Tolong mundur sedikit, Kak!” pinta Rina berkonsentrasi sambil memberikan tatapan dalam pada tumpukan kayu.


Hanafi mulai berdiri, dan berjalan mundur mengikuti permintaan sang adik. Perlahan, percikapan api kecil mulai muncul di telapak tangan kanan Rina. Berwarna merah kejinggaan dan terlihat berkilauan. Bukan api sembarangan dan terlihat begitu berbeda dengan api biasanya.


Selanjutnya, api itu berubah menjadi bola api kecil. Lalu lekas terbang pelan menuju tumpukan kayu.


Saat masih terbang menuju tumpukan kayu, bola api itu terlihat mengecil dan hampir padam. Tapi untungnya tetap bisa mencapai tumpukan kayu hingga menimbulkan pecikan api kecil.


“Kakak sekarang lindungi api itu! Jangan biarkan dia padam, tiup hingga me-membesar!” Rina berteriak dengan keringat kelelahan terlihat di sekitar wajah.


“Ehh!?” Hanafi lekas menuruti kemauan adiknya meski dengan sedikit raut wajah kebingungan. Dia menutupi api kecil itu dengan beberapa kayu kering. Meniup pelan api itu agar bisa membesar.


Meski dalam waktu cukup lama, api itu bisa membesar, dan membakar setiap ranting pohon kering di sekitarnya. Lalu api unggun yang diinginkan keduanya pun akhirnya selesai.


Rina yang melihat itu lekas tersenyum lebar. Memperlihatkan rasa bangga akan kemampuannya yang bisa membuat api unggun.


Sedangkan Hanafi hanya menatap datar adiknya sambil mengangkat kedua tangan ke arah api unggun. Berniat menghangatkan subuh tubuh.


“Ap-apa? Jangan terlalu –hah hah ..., mengharapkan kekuatan dari Duplicare sepertiku! Itu semua adalah kekuatan penuhku hah hah ...,” Rina terlihat kesal sambil sesekali mengambil nafas kelelahan.


“Ya ya ya, adikku sangat hebat,” senyum kecil Hanafi mengalihkan pandangan. Senyumannya terlihat mengolok-ngolok hingga membuat wajah adiknya cemberut.


“Tapi ini lebih baik dari Kakak yang tak bisa menggunakan sihir apapun!”


“De-dengar yah, aku bukannya tidak bisa, tapi belum bisa! Lihat saja nanti, aku akan mempelajari sihir dan lebih baik darimu, Rina!” senyum kesal Hanafi mengembalikkan pandangan kepada adiknya.


“Jangan terlalu memaksakan diri, Kak. Tanpa sihir pun Kakak sudah berguna dengan kekuatan gila Kakak itu,” Rina menjelaskan sambil melirik kecil sang kakak.


“Tidak tidak, adikku sayang. Aku akan belajar sihir dan membuatmu terkejut hingga terpingkal-pingkal,” senyum kesal Hanafi memberikan tatapan pada adiknya.


“Ohh coba saja belajar dan lampaui aku. Itu juga jika Kakak tercintaku mampu,” Rina membalas senyuman sang Kakak dengan kekesalan.


“....” Tatapan mereka bertemu beberapa saat hingga memunculkan keheningan. Tapi setelah itu keduanya lekas menutup mata, dan tertawa kecil secara bersamaan hingga menghancurkan suasana tegang yang sebelumnya mereka ciptakan.


Hanafi lekas berdiri dengan senyuman lebar terpampang, lalu mengambil selimut coklat dari tas besar yang terletak jauh di belakang tubuhnya. Lalu, dia pun berjalan kembali mendekati Rina.


“Malam akan semakin dingin. Kau pakai ini, Rina!” senyum Hanafi sambil menyelimuti tubuh adiknya.


Kepala Rina mendongak ke atas, lalu menatap sang kakak dan bertanya.


“Lalu bagaimana denganmu, Kak?”


“Aku bisa memakai jaket. Selain itu, kamu tidurlah. Aku akan berjaga,” senyum Hanafi menjawab.


“Bergantian yah, Kak! Nanti bangunkan Rina!” Rina mulai berdiri dan duduk di atas tanah, lekas bersandar pada batu besar.


“Oke siap!” senyum Hanafi menganggukkan kepala dan duduk di atas batu besar yang menjadi sandaran Rina. Setelah itu dia menatap api unggun sambil melemparkan beberapa kayu kering. Menjaga api itu tetap menyala, dan berharap bisa memberikan terus kehangatan untuk adiknya.



***


            Hari yang baru telah tiba, Hanafi bersama adiknya terlihat berjalan di jalan setapak yang cukup besar. Mereka telah melewati hutan sebelumnya. Hanya beberapa meter lagi sampai keduanya sampai di gerbang pemeriksaan Kota Cardel.


            “Sudahlah berhenti merajuk, Rina. Aku tak keberatan akan hal in–“


            “Tapi Rina yang keberatan!” sanggah Rina dengan nada tinggi dan terlihat tidak senang.


            Wajah Hanafi terlihat kacau karena kelelahan. Ada garis hitam tebal di bawah mata. Tanda dari dia yang tidak tidur semalaman.


            Sedangkan wajah Rina terlihat memerah seolah menahan kemarahan. Wajar dari dia yang kesal karena tidak dibangunkan semalaman untuk bergantian berjaga.


            “Aku tak enak membangunkanmu yang terlihat tidur sangat lelap. Aku tak keberatan, dan lagipula nanti di kota itu aku masih bisa istirahat,” senyum kecil Hanafi sambil memberikan tatapan lelah pada gerbang kota di depannya.


            Dia terlihat memakai kembali jaket kusamnya. Berniat menyembunyikan seragam berkelas dari sekolah dunia asalnya.


            “Tapi pikirkan perasaan Rina, Kak! Rina benar-benar merasa bersalah dengan tindakan Kakak yang seperti ini!” pelan Rina mengalihkan pandangan dari Hanafi.


            “Tolong jangan lakukan ini lagi! Aku tak mau Kakak yang berjuang sendirian. Kita ini keluarga sekarang, kan? Suka duka kita lalui bersama,” lanjut Rina melirik kecil Hanafi. Seolah memperlihatkan tatapan kekecewaan yang sangat dalam.


            “Maaf maaf, aku takkan mengulanginya lagi.”


            “Janji yah?”


            “Iya, aku janji ...,” ucap Hanafi menganggukkan kepala sebelum menguap di ucapan terakhirnya.


            Beberapa menit setelahnya, Hanafi dan Rina sampai di gerbang pemeriksaan. Para penjaga terlihat mengamati Hanafi dan adiknya dalam-dalam.


            Perhatian para penjaga itu mulai tertuju pada Rina yang memiliki warna mata berbeda. Mereka pun saling berbisik dan memberikan tatapan sinis padanya. Hanafi berjalan selangkah ke depan seolah melindungi adiknya dari tatapan para penjaga.


            “Bukankah dia salah satu pembawa malapetaka. Kau Kakaknya, kan?” seorang penjaga tua bertanya pada Hanafi dengan tatapan merendahkan.


            “Ya aku Kakaknya. Apa dia tak boleh masuk karena–“


            “Tidak, bukan begitu. Hanya jarang saja kau masih memelihara mahluk sepertinya. Biasanya, meski keluarga sekalipun akan langsung menjual bahkan membuang mereka.” Penjaga itu menjelaskan dengan nada merendahkan.


            “Aku takan melakukan hal hina seperti itu pada keluargaku,” senyum Hanafi menutup mata sesaat. Memperlihatkan aura ganjil hingga para penjaga sekitarnya menggigil kedingingan untuk beberapa saat.


            “Y-ya, terserahlah! Kau bisa masuk pencundang. Tapi jika kau atau mahluk itu membuat masalah, kami tak segan akan bertindak,” senyum sinis sang penjaga tersebut, meski dengan nada gugup sedikit ketakutan.


            Hanafi dan adiknya pun berjalan melewati gerbang perbatasan kota. Beberapa olokan dari para penjaga muda di sekitarnya masih didapatkan keduanya. Sedikit membuat Hanafi kesal, tapi bisa ia tahan karena Rina yang memegang tangan kanannya amat erat. Isyarat darinya untuk tak meladeni mereka.


            Tak sampai di sana, tatapan risih dari penduduk sekitar juga mulai didapatkan Rina. Memang tak seburuk seperti di desa, tapi tetap saja membuat perasaan kesal kembali menggebu dalam hati Hanafi.


            “Ma-maaf Kak, karena Rina Kakak juga mendapatkan tatapan seperti in–“ pelan Rina berucap dan terlihat ingin menangis. Tapi ucapannya lekas tersanggahkan oleh Hanafi.


            “Rina kita akan toko pakaian dulu sebelum mencari penginapan. Aku tak tahan melihatmu diperlakukan seperti ini.”


            “Eh tapi Kakak butuh istirahat! Rina baik-baik saja –“


            “Tidak, aku tak bisa istirahat jika melihatmu diperlakukan seperti ini!” geram Hanafi menunjukkan keseriusan. Rina hanya terdiam dan tak berani membantah ketika melihat kakaknya yang benar-benar memperlihatkan kemarahan.


            Mereka mencari toko pakaian di dalam kota selama beberapa menit sebelum akhirnya menemukan di dekat serikat petualang.


            Keduanya pun memasuki toko pakaian itu. Rina terlihat berdiri di depan pintu dengan ekspresi wajah kebingungan, tidak seperti Hanafi yang berjalan cepat mendekati kasir dan langsung berkata.


            “Aku ingin pakaian yang pantas untuk wanita itu. Jika bisa, aku juga menginginkan penutup sebelah mata untuknya!”


            Penjaga kasir itu terlihat memasang wajah datar dan mengamati jaket kusam Hanafi. Dia lekas menutup mata dan menghela nafas lalu berucap.


            “Hei Anak Muda, mungkin kau merasa kaya karena pertama kali mendapatkan bayaran dari kerjaanmu. Tapi ini bukan tempat sembarangan yang bisa didatangi oleh kau dan adikmu itu. Jika kau mencari pakaian murah, cari saja dipasar bagian timur kota ini. Kau tau, pakaian termurah di toko ini seharga 3 koin tembaga. Jika kau punya uang segitu maka kau boleh menginjakkan kaki di toko–“


            “Hei Pak Tua, suasana hatiku benar-benar tak enak hari ini. Bisa kau lakukan tugasmu dengan benar atau aku akan cari toko pakaian yang lain,”kesal Hanafi sambil mengeluarkan 1 koin perak di atas meja kasir.


            “Ka-ka-kau darimana dapat uang sebanyak itu!? Apa kau mencuri uang bangsawan setempat!?”  penjaga kasir bertanya dengan nada gagap ketakutan ke arah Hanafi.


            “Kakak bukanlah pencuri!! Dia mendapatkan uang itu dari –” Rina berteriak marah dan berjalan cepat menuju meja kasir, tapi lagi-lagi ucapannya terpotong oleh sang kakak.


            “Tak hanya memberikan pelayanan buruk, kau juga menunduh pelangganmu yang bukan-bukan ....” geram Hanafi sambil menurunkan resleting jaket kusamnya. Penjaga toko pun mulai terkejut dengan jaket Hanafi yang seperti itu.


Tak mengherankan mengingat pertama kali bagi dia yang melihat teknologi menyambung dua kain secara praktis seperti itu.


            Tapi keterkejutannya tidak sampai di sana ketika Hanafi memperlihatkan seragam sekolahnya yang elegan, khususnya lambang OSIS miliknya.


            “Apa ini tanda jika kau memiliki masalah dengan Kerajaanku, atau kau ingin memiliki masalah dari seorang Pangeran sepertiku.”


            “Kakak yakin tentang hal ini ...?”  Rina bertanya cemas menatap sang kakak.


            “Kau diam dulu, Rina.” Hanafi berucap sambil terus memberikan tatapan lebar dan tajam pada penjaga toko yang terdiam mematung.


            Perlahan tubuhnya mulai bergemetar. Wajahnya membiru ketakutan ketika melihat lambang di saku dada milik Hanafi.


            Dia pun lekas keluar dari meja kasir, bersujud, dan berteriak memohon ampunan karena ketidaksopanannya. Dia bahkan sampai menangis sambil mengeluarkan berbagai macam alasan agar mendapatkan ampunan dari lelaki berambut coklat.


            “Aku tak menyangka akan seefektif ini. Tapi bukankah ini berlebihan,” datar Hanafi dalam hatinya.


            “Baik, aku mengampunimu. Sekarang, berikan pakaian terbaik untuk adikku. Adikku memang seorang Duplicare yang sering dianggap rendah. Tapi di kerajaanku dia adalah seorang Putri yang dijunjung tinggi keberadaanya. Jadi, jika kau membuatnya tersinggung, kepalamu adalah bayarannya,” Hanafi memberikan tatapan rendah pada penjaga toko tersebut, seolah memberikan intimidasi amat kuat hingga dia yang bersujud berteriak takkan berani melakukan hal semacam itu.


            Rina hanya menatap datar kakaknya yang bertindak seperti itu. Tapi setelah itu dia hanya menghela nafas dan tersenyum, lekas berucap pada penjaga toko yang masih bersujud itu.


            “Mohon bantuannya yah Pak, dan tolong jangan dipikirkan ucapan Kakakku yang bodoh ini.”


            “Ta-tapi Rina!”


            “Berisik, Kakak tunggu di luar saja! Kalau enggak, sambil menungguku kenapa tidak daftar di serikat petualang saja? Lumayan buat nambah pemasukan uang,” keluh Rina menutup matanya sesaat.


            “Iya, aku juga berniat daftar nanti,” ucap Hanafi sambil kembali menutup kemeja sekolahnya dengan jaket kusam.


            “Lalu untuk bayaran sesuai permintaanku sebelumnya ..., apa segini cukup?” Hanafi bertanya ke arah penjaga toko sambil menunjuk 1 koin perak yang tergeletak di atas meja kasir.


            “It-itu terlalu banyak, Tuan Muda. Izinkan saya menyiapkan kembalian untuk anda!!” penjaga toko itu lekas berdiri, berjalan cepat memasuki pintu di belakang, berniat meyiapkan uang kembalian untuk Hanafi.


            Tak lama setelah itu dia muncul dengan dua kantong berwana coklat. Terlihat tergesa-gesa dengan keringat di sekitar wajah.


            “Ini berisi 499 koin perunggu, dan yang ini berisi koin 80 koin tembaga, Tuan Muda!” penjaga Toko menjelaskan, menunjuk kantung serut bertali merah lalu bertali coklat.


            “Baiklah, terima kasih. Kuharap kau tidak sedang membohongiku,” senyum ringan Hanafi berisi candaan, tapi ucapannya itu direspon oleh sang penjaga toko yang ketakutan dan kembali bersujud.


            “Saya bersumpah itu adalah harga yang sebenarnya, Yang Mulia! Saya mana berani melakukan hal seperti itu pada anda!”


            “Kakak ....” Rina menatap datar kakaknya memberikan peringatan.


            “Baik-baik aku mengerti, aku hanya bercanda!” khawatir Hanafi sambil berjalan mendekati pintu keluar. Sedangkan adiknya hanya terus memasang wajah datar pada kakaknya.


            “Aku titip adikku yah, nanti aku jemput dia.” Hanafi berucap sebelum meninggalkan toko pakaian.


            “Dimengerti, Tuan Muda!”



***

            Bangunan Serikat Petualang terlihat lebih besar dari sekitarnya. Memiliki dua lantai dengan tekstur tembok lama yang sudah dimakan usia.


            Hanafi mulai berjalan melewati pintu masuk bangunan tersebut yang terbuka begitu saja. Wajahnya terlihat menunjukkan kelelahan. Garis hitam benar-benar terlihat di bawah mata, wajar dari dia yang membutuhkan istirahat.


            Kedatangan Hanafi di serikat tersebut membuat para petualang setempat di dalam bangunan memberikan perhatian padanya.


            Lelaki bertubuh besar dan kekar berdiri dari kursi. Berjalan sambil membawa gelas bir di tangan kanan. Lalu mulai menghalangi jalan Hanafi sambil berucap.


            “Apa kau tersesat di sini, Bocah!? Ini bukan tempat yang bisa didatangi anak kecil sepertimu.”


            “....” Hanafi menutup mata, tak terlihat sedikit pun ketakutan karena rasa lelahnya. Dia hanya bisa berucap dalam hati.


            “Perlakuan mereka di sini benar-benar berbeda di Desa. Apa semua orang di kota seperti ini!?”


            “Hey, Ishal! Jangan ganggu anak itu! Dia mungkin ada keperluan di tempat ini!” teriakan seorang wanita terdengar di belakang tubuh lelaki besar bernama Ishal.


            Itu perempuan berambut hitam sampai pundak yang berdiri dibalik meja resepsionis. Wajahnya terlihat seperti wanita asia yang enak dipandang.


            “Geh!” Ishal terlihat kesal ketika mendapatkan terguran perempuan resepsionis. Dia pun kembali duduk sambil memberikan lirikan sinis pada Hanafi.


            Hanafi kembali berjalan mendekati meja resepsionis. Membuka mulut dan berniat berucap.


            “Aku–“


            “Namaku Ellie, apa ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” Tapi perempuan resepsionis bernama Ellie bertanya lebih cepat. Membuat Hanafi memperbaiki ucapan kalimatnya.


            “Namaku Hanafi, aku ingin mendaftar sebagai petualang?”


            Sontak tertawaan keras seluruh penghuni ruangan terdengar. Hal itu sedikit membuat Hanafi terkejut dan berbalik ke belakang karena kebingungan.


            “Diam!” Ellie menggeram memberikan tatapan tajam ke seluruh penghuni ruangan yang tertawa.


            Keheningan langsung datang, intimidasi dari wanita resepsionis itu benar-benar efektif. Membuat Hanafi berpikir jika gadis bernama Ellie ini punya pengaruh besar di serikat.


            “Biar kutanyakan beberapa hal dulu mengingat risiko amat tinggi jika bekerja menjadi seorang petualang. Apa kau seorang Eluser?”


            “Bukan, aku tak bisa menggunakan sihir. Tapi ingin bisa.” Hanafi menjawab dengan senyuman kecil terpampang.


            “Oh jadi kau seorang Phyuser?”


            “Tidak, bukan juga.” Hanafi menggelengkan kepala sambil menutup mata sesaat.


            “Ehh!? Jadi kau hanya manusia biasa,” cemas Ellie mengamati Hanafi cukup dalam.


            “Ya aku hanya manusia biasa.”


            “Aku sarankan kau tak mengambil pekerjaan ini. Memang benar ada permintaan yang mudah seperti mengumpulkan tanaman herbal, tapi itu jarang bertambah sedangkan petualang tingkat awal sepertimu sudah amat sangat banyak. Aku takut kau tak bisa mendapatkan uang cukup untuk hidupmu,” Ellie menjelaskan cemas. Bukan berarti merendahkan Hanafi, tapi wajar saja dari dia yang hanya melihat sekilas kondisi Hanafi yang memakai jaket kusam. Selain itu bentuk tubuh Hanafi yang kurus benar-benar terlihat mengkhawatirkan.


            “Ah tak apa, tolong daftarkan aku. Adikku memaksa jika aku harus daftar di serikat petualang untuk menambah penghasilan.”


            “Itu yang ingin kusampaikan, Hanafi. Karena banyaknya jumlah petualang seperti kamu, permintaan mudah seperti mengumpulkan herbal selalu saja habis di papan pengumuman. Aku tak menyarankan kamu untuk mengambil pekerjaan in ....” Ellie menghentikan ucapan, lekas memberikan tatapan lebar pada Hanafi dan berucap memperbaiki kalimatnya.


            “Tunggu! Kau bilang menambah penghasilan!? Apa kau sudah punya pekerjaan!?”


            “Ahhh ak-aku seorang pedagang muda,” Hanafi langsung menjawab dengan nada gugup.


            “Terus kenapa kau masih ingin menjadi seorang petualang!? Di sini tempat yang sangat keras, jika kau tak memiliki teman yang memiliki pengaruh di serikat, kau hanya akan menderita,” Ellie berucap, sedikit memelankan suara di ucapan terakhir sambil mengamati sekitar.


            “Tak apa, tolong biarkan aku mendaftar di serikat ini. Mungkin aku akan jarang berkunjung untuk mengambil permintaan, tapi adikku pasti menginginkan aku mendaftar di sini.” Hanafi menjelaskan.


            “Baiklah jika kau bersikeras. Untuk biaya registrasinya 1 koin tembaga dengan harga masa aktif satu bulan 100 koin kuningan.”


            Hanafi mulai mengeluarkan kantong serut bertali coklat. Itu kantong serut yang berisi koin tembaga. Uang kembalian dari penjaga toko pakaian sebelumnya.


            Hanafi mengeluarkan dua koin tembaga dan meletakkan di atas meja kasir sambil berucap.


            “Apa segini, Kak Ellie?”


            “Panggil Ellie saja, tapi melihatmu yang memiliki kantong tembaga penuh itu .... Apa kau pedagang yang kaya Hanafi?”


            “Eh tidak, ini hanya pemberian adikku.” senyum cemas Hanafi menolak kontak mata dengan lawan bicaranya. Ellie hanya memasang wajah datar pada Hanafi sambil mengambil 1 koin tembaga yang diletakkan Hanafi.


            “Kenapa kau mengeluarkan 1 koin tembaga yang satunya?” tanya Ellie sambil menatap 1 koin tembaga yang masih tergeletak di atas meja resepsionis.


“Eh, tentu saja untuk membayar masa berlaku satu bulannya?”


“Kenapa kau tidak bayar langsung 100 koin kuningan saja?”


            “Maaf, aku hanya punya koin tembaga.”


            “Ini sebabnya kutanyakan apa kau orang kaya, Hanafi. Orang macam apa yang tak mempunyai uang kuningan. Bahkan bangsawan saja tak seperti ini,” Ellie masih berwajah datar dan kembali mengambil koin tembaga Hanafi.


            “Ak-aku hanya kehabisan koin itu,” gugup Hanafi kembali mengalihkan pandangan dari Ellie.


            “Baik baik, aku paham. Ini kembaliannya.” Ellie mengeluarkan kantong serut lainnya. Talinya berwarna kuning.


            “Isinya 400 koin kuningan. Jangan kehabisan koin ini, Hanafi. Koin ini selalu berguna untuk membayar kebutuhan kecil seperti membeli makan atau yang lainnya.”


            “Baik, terima kasih, Ellie.” Hanafi menerima kembalian, dan lekas memasukkan koin tersebut ke dalam tas ranselnya.


            “Sekarang letakkan kedua tanganmu di atas bola kristal ini!” Ellie menunjuk bola kristal yang sejak awal terletak di meja resepsionis. Hanafi pun mengikuti perintah dari Ellie.


            Lalu, beberapa saat kemudian.


            “Baiklah, sudah selesai!”


            “Eh hanya itu saja?!”


            “Iya memangnya mau apa lagi? Item sihir ini akan langsung menerima informasi dasar tentangmu, seperti nama, umur, dan jenis kelamin. Kami tidak mengadakan tes masuk apapun, jadi tenang saja. Lalu untuk kartu petualangnya bisa diambil besok pagi.”


            “Ohh besok, baiklah kalau begitu. Aku akan datang lagi ke sini besok.”


            “Lalu Hanafi, apa ada lagi yang ingin kau tanyakan?” senyum Ellie sambil menompang dagu dengan kedua tangan.


            “Aku ingin bertanya tentang sistem di serikat ini. Apa ada semacam peringkat atau kelayakan mengambil permintaan?”


            “Ya tentu saja ada yang seperti itu. Saat ini kau memulai dari tingkat 10, sebagai petualang pemula. Jika kau terus menjalankan misi, maka kau bisa dipromosikan ke tingkat berikutnya oleh kami dan dapat mengambil permintaan lebih tinggi.”


            “Contohnya seperti ini,” Ellie kembali berdiri lalu jonkok mengambil selembaran yang berada di bawah meja.


            “Lihat di dalam selembaran permintaan ujung kanan atas, ada kotak kategori tingkat seperti ini. Di sini tertulis 9~8, berarti permintaan ini dianjurkan untuk tingkat 9 atau 8. Jadi, Tingkat 10 sepertimu tak bisa mengambil permintaan ini.”


            “Lalu bagaimana tingkat lebih tinggi dari itu, seperti Tingkat 5? Apa mereka bisa mengambil permintaan ini juga?”


            “Hahaha tentu saja bisa. Tapi jika tingkatanmu terlalu tinggi, kami selaku serikat akan mewajibkanmu untuk bekerja dalam kelompok yang sesuai dengan permintaan itu.”


            “Ah aku mengerti, agar para petualang di tingkat permintaan itu tidak kehilangan pekerjaan,” senyum Hanafi menganggukkan kepala.


            “Tepat sekali! Kamu pintar, Hanafi.”


            “Lalu apa ada cara lain menaikkan tingkat dengan cepat selain menyelesaikan permintaan? Bukan berarti aku ingin naik tingkat secepatnya, hanya ingin tahu saja.”


            “Jika tidak dengan misi kau bisa menaikkan tingkatmu dengan kontribusi besar pada serikat. Bukan berarti dalam materi, melainkan jasa dari permintaan khusus dari serikat.”


            “Permintaan khusus?”


            “Iya permintaan khusus. Biasanya permintaan ini memiliki tanda di kotak kategori berupa lambang serikat. Tapi ini jarang terjadi. Selain permintaan khusus juga ada juga permintaan resmi dari berbagai macam Kerajaan dengan lambang Kerajaan tersebut di kotak kategorinya.”


            “Tapi jika begitu bagaimana petualang tahu tingkat bahayanya jika hanya mengandalkan lambang seperti itu?”


            “Bukankah itu tugasnya kami? Jangan sungkan bertanya pada kami selaku resepsionis tentang permintaan yang akan kamu ambil, Berkonsultasi sebelum mengambil permintaan adalah pilihan yang bijak.” Ellie menjelaskan dengan senyuman manis yang tersungging di wajah.


            “Akan kubiasakan hal itu. Lalu Ellie, apa kau punya rekomendasi untuk penginapan di kota ini?”


            “Ah kalau soal penginapan lebih baik di Penginapan Catstairs saja, mereka kerabatku. Hanya tiga bangunan ke arah kanan dari serikat ini. Memang cukup merogoh kocek permalamnya, tapi aku jamin pelayanan dan makanannya adalah terbaik di Kota ini!” Ellie menjelaskan dengan eskpresi antusias.


            “Baiklah aku akan langsung ke sana setelah menjemput adik perempuanku.”


            “Memangnya dimana adik perempuanmu?”


            “Dia sedang membeli baju di toko pakaian dekat serikat ini.”


            “Ehh maksudmu toko pakaian itu!? Bukankah harga pakaian dalam toko itu sangat fantastis, bahkan ada yang sampai seharga 1 perunggu. Itu seharga dua puluh binatang ternak inka.”


            “In-inka? Ahh iya memang ada yang seharga seperti itu,” khawatir Hanafi kembali mengalihkan pandangan dari Ellie. Sedikit penasaran dengan binatang ternak yang disinggung Ellie.


            “Dan aku membeli baju seharga 1 koin perunggu itu ...,” lanjutnya dalam hati.


            “Hanafi kau ..., siapa sebenarnya? Anak semuda kau memiliki uang sebanyak ini bukan hal yang wajar,” cemas Ellie dengan nada pelan dan menyipitkan mata penuh curiga. Hanafi tetap mengalihkan pandangan dan kembali bergumam dalam batinnya.


            “Aku tak bisa bilang ini pemberian kedua Putri Kerajaan besar. Aku juga tak bisa mengatakan ini imbalan dari desa karena membasmi para Amygons.”


            “....”


            “Yah tak apa jika kau tak mau mengatakan apapun. Tapi nanti ketika kau sampai di Catstairs, katakan saja jika aku yang merekomendasikanmu. Mereka akan memberikanmu potongan harga,” senyum Ellie berucap pelan sambil menyembunyikan gerakan bibir dengan telapak tangan kanan.


            “Baiklah, terima kasih atas bantuannya, Ellie.”


            “Aku juga, dan selamat datang di serikat petualang. Mohon kerja samanya mulai dari sekarang yah, Hanafi.”


            “Ya!” Hanafi menganggukkan kepala lalu berjalan menuju pintu keluar. Meninggalkan serikat petualang.




***

No comments:

Post a Comment