Tittle: Exitium
Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy
Author: r lullaby
Status: Ongoing
Chapter 7
Serikat Petualang
Rina telah
menjadi adik Hanafi seutuhnya, maka tak heran jika perlakuan penduduk padanya
menjadi berubah dan berbeda hingga 180 derajat.
Dia yang dulu dianggap rendah oleh
mereka kini menjadi permata berkilauan yang amat sangat berharga.
Dengan posisi Hanafi yang dianggap
pangeran oleh para penduduk, maka tak heran jika membuat Rina yang secara
otomatis mendapat gelar ‘Putri’.
Banyak orang yang bersujud meminta
ampunan atas perlakuan padanya di masa lalu. Tapi, karena rendah hati dan sifat
pemaafnya. Rina memaafkan mereka yang dulu pernah memperlakukannya buruk.
Dua hari setelah terbelahnya gunung yang
menggentarkan dunia. Hanafi dan Rina berniat memulai perjalanan kembali untuk
menuju tempat selanjutnya. Dua hari itu mereka gunakan untuk perawatan luka
Rina di seluruh tubuh, itu semua karena permintaan Hanafi sendiri.
Di hari yang sama ketika Hanafi
beserta adiknya ingin memulai perjalanan. Thomas dan istrinya terlihat
menghampiri keduanya yang sedang duduk di teras halaman sambil menyiapkan
perbekalan untuk perjalanan.
“Tuan Pangeran!”
Hanafi terdiam dan tak menjawab
panggilan. Dia hanya memasang wajah datar sambil berdiri dan membalikkan tubuh menghadap
lelaki tua berperut buncit.
“Saya selaku perwakilan desa ini
banyak mengucapkan terima kasih karena jasa anda yang telah menyelamatkan kami
dari para Amygons.” Thomas menundukkan sedikit kepala memberi hormat, lalu
diikuti oleh sang istri yang berdiri di belakangnya.
“Ah, tidak tidak. Saya hanya
membantu sedikit kok, Pak. Tolong jangan seperti ini! Aku merasa tak enak
melihat orang tua menundukkan kepala padaku,” senyum Hanafi dengan ekspresi
kecemasan yang terhias di wajah.
“Tidak. Kami harus melakukan ini, Pangeran!
Kami juga berniat memberi anda kereta beserta kudanya, tapi karena keterbatasan
kami dalam transportasi untuk distribusi perdagangan, kami tidak bisa
melakukannya.”
“Sungguh, anda tidak usah melakukan
ini, Pak!” khawatir Hanafi mulai menutup matanya beberapa sesaat.
“Tapi, Pangeran! Sebagai ganti dari itu,
tolong terimalah 10 koin perak ini. Kami seluruh desa mengumpulkan ini untuk
pangeran sebagai hadiah.” Jelas Thomas sambil mengangkat kepala, dan lekas
mengambil kantong serut dari tangan istrinya.
“Mungkin bagi anda jika ini tak
seberapa, tapi tolong terimalah!” senyum Thomas sambil memberikan kantong serut
berisi 10 koin perak itu.
Tak sopan jika tak menerima hadiah
mereka, itu yang dipikirkan Hanafi. Dengan senyuman bahagia, Hanafi pun mulai
menerima hadiah dari Desa Karot.
“Ah, aku ingin bertanya satu hal lagi.
Seberapa berharganya satu koin perak ini? Maaf. Di wilayah saya, saya tak
menggunakan uang seperti ini,” Hanafi bertanya dengan senyuman terpampang di
wajah.
“Pada dasarnya koin perak jarang
digunakan oleh rakyat biasa seperti kami karena begitu berharganya koin
tersebut.”
“Ma-maksud anda?” Hanafi bertanya sedikit
kebingungan.
“Koin ini biasa digunakan oleh kaum
bangsawan sekelas Baron, Viscount, dan Earl. Dan koin perak biasanya lumrah dipakai
oleh orang-orang yang tinggal di kota tembok kedua.” Istri Thomas menjelaskan.
“Kota tembok kedua?” Hanafi semakin
kebingungan memiringkan kepala menatap istri Thomas.
“Biasanya yah Kak jika di kota besar
itu ada semacam dua tembok besar. Tembok pertama yang berfungsi sebagai benteng
untuk melindungi kota dari luar. Sedangkan tembok kedua yang berada di dalam
itu sebagai pembatas antara rakyat biasa dengan para bangsawan.” Rina
menjelaskan sambil menatap kakaknya.
“Ehh, be-begitu. Lalu jenis uang
seperti apa yang biasa kalian gunakan?” Hanafi bertanya kembali menatap Thomas
beserta istrinya.
“Kami biasanya sering menggunakan
koin kuningan dan tembaga dalam transaksi jual beli, Pangeran. Terkadang kami
juga menggunakan koin perunggu dan perak. Tapi, koin itu digunakan dalam pembayaran
besar. Seperti membeli lahan, rumah, dan binatang ternak.” Thomas menjelaskan dengan
senyuman pada Hanafi.
Hanafi mulai memegang kepala dengan
tangan kanan, seolah terlihat sedang berpikir. Lekas mengembalikan pandangan
pada Thomas sambil kembali bertanya.
“Baik-baik, begini saja. Bagaimana
konversi koin dari yang termurah.”
“Konversi?”
“Perbandingan koin dari yang
termurah maksud saya, Pak.”
“Ah perbandingan. Jadi ini koin
kuningan. Untuk 500 koin kuningan sama dengan 1 koin tembaga. Lalu 1000 koin
tembaga sama dengan 1 koin perunggu.” Thomas menjelaskan sambil memperlihatkan
koin kuning pucat berbentuk persegi empat.
“Untuk 500 koin perunggu sama dengan
1 koin perak, dan untuk 100 koin perak sama dengan 1 koin emas,” lanjut istri
Thomas menjelaskan.
“Bagitu, lalu berapa biaya menginap
di penginapan kota?” Hanafi kembali bertanya sambil membuka matanya.
“Kalau di tembok luar sekitar 2 koin
tembaga per malam. Tapi, jika menginap di penginapan tembok dalam bisa lebih
mahal. Ada yang 12 bahkan sampai 15 koin tembaga per malamnya.”
“Itu termasuk makan dan kebutuhan
lain?”
“Ya, tentu saja,” senyum Thomas
menganggukkan kepala.
Hanafi hanya terdiam memahami
penjelasan. Sedikit cemas hingga tak mampu mengeluarkan kembali ucapan. Tak
menyangka jika dirinya sudah mendapatkan uang yang amat sangat banyak dari
Putri Lapis dan Bella.
Waktu pun bergerak cepat. Beberapa
jam setelah itu, Hanafi bersama dengan Rina memulai perjalanan menuju kota
selanjutnya. Mereka pergi melewati jembatan besar yang sebelumnya dilalui oleh
kereta kuda Putri Lapis. Hingga memasuki jalan cukup lebar yang dikelilingi
hutan.
Keduanya hanya berjalan kaki sambil
memulai percakapan kecil. Rina terlihat sudah membuka diri sejak dia menjadi
adik Hanafi. Bercerita banyak tentang dunia yang masih asing bagi Hanafi.
Hanafi dengan senang hati
mendengarkan cerita adiknya itu. Sesekali mengusap kepala Rina dengan lembut
hingga membuatnya menutup mata, dan merasakan perasaan nyaman dicintai oleh
seseorang.
Langit yang berwarna jingga mulai
datang. Merangkul seluruh mahluk yang ada di dunia itu. Hanafi melirik adiknya
yang menundukkan kepala karena kelelahan. Dia pun lekas menghentikan langkah
dan berucap mengajukan pertanyaan.
“Kita istirahat dulu yah, Rina?
Lagipula malam sebentar lagi datang.”
“Tapi sebentar lagi kita melewati
hutan ini, dan setelah itu kita sampai di Kota Cordel.” Rina menjawab dengan
nafas yang terengah-engah karena kelelahan.
“Tidak, kita akan melanjutkan
perjalanan besok. Terlalu berbahaya melewati hutan saat malam hari.”
“....” Rina tak menjawab dan hanya
memberikan tatapan datar seolah tak mempercayai ucapan kakaknya. Wajar dari dia
yang berpikir seperti itu mengingat perbuatan sang kakak yang sudah
menghancurkan gunung raksasa dengan satu ayunan pedang.
“Apa-apaan tatapan penuh keraguanmu
itu?” Hanafi menutup mata dan bertanya cemas.
“Rina ingin tahu ..., memangnya
bahaya seperti apa yang mengancam untuk kita– maksud Rina untuk Kakak?” senyum
Rina ringan mulai menutup mata. Mengangkat kedua pundaknya sedikit ke atas
hingga terlihat menggemaskan.
“Gu-gunung itu terbelah hanya
kecelakaan! Aku juga mana tau kalau akan jadi seperti itu!”
“Hahaha, Rina hanya bercanda, Kak.
Jangan berwajah menakutkan seperti itu,” senyum manis Rina lekas duduk di atas
batu besar di pinggir jalan.
“Tapi yah kenyataan Kakak yang
membelah gunung itu tak berubah. Akan lebih bijak jika Kakak tak mengatakan
masalah ini pada siapapun,” senyum Rina melirik kakaknya.
Hanafi mulai berjalan mendekati Rina, dan
berucap mengajukan pertanyaan.
“Maksudmu, Rina?”
“Gunung Skyvia adalah gunung
terbesar dan terletak di tengah-tengah benua ini. Gunung purbakala yang sudah
dianggap sebagai pusat dari Benua Luna. Maka tak heran mucul berbagai
kepercayaan tentang gunung ini, bahkan salah satu negara besar menganggap
gunung ini sebagai gunung suci.”
“....” Hanafi sontak terdiam
mematung dan menelan ludah dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Masih mendengar
penjelasan Rina, dia pun menyimpan tas dan barang bawaannya di atas tanah
dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Entah apa yang akan terjadi jika
dunia mengetahui perbuatan Kakak ini. Mungkin Kakak akan dimusuhi oleh seluruh
negeri, atau bahkan dianggap Raja Iblis,”senyum Rina yang diakhiri dengan
tertawaan kecil yang menggemaskan.
“Ja-jangan tertawa, Rina. Bukankah
akan sangat gawat jika dunia mengetahui perbuatanku!?” cemas Hanafi sambil menutup
mata beberapa saat.
“Tapi tenang saja, Kak. Bukankah
Kakak sudah mengambil langkah untuk hal ini? Sekarang yang harus kita pikirkan
adalah kekuatan Kakak yang tak masuk akal itu.” Rina menatap tubuh kakaknya
dengan cermat.
“Maksudmu aku benar-benar punya
kekuatan gila itu?!” khawatir Hanafi sambil memungut ranting-ranting di
sekitarnya.
“Tentu saja, lalu darimana datangnya kekuatan
yang mampu menciptakan jurang dan membelah Gunung Skyvia? Itu jelas-jelas
kekuatan Kakak. Hanya saja, Kakak mungkin masih belum menyadarinya.” Rina
menjelaskan cemas sambil terus duduk dan mengamati sang kakak.
“Benarkah? Padahal selama ini aku manusia biasa,”
senyum kecil Hanafi sambil mulai mengumpulkan ranting pohon dalam satu tempat dan
berniat membuatnya menjadi api unggun.
“Aku tak tau masalah itu, tapi kekuatan Kakak
saat itu adalah nyata .... Ah benar juga, Rina belum mendengar cerita Kakak.
Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi tak ada kebohongan lagi. Rina juga
akan menceritakan semua masa lalu Rina jika waktunya tiba, meski semua masa
lalu Rina banyak yang tidak menyenangkannya.”
“Baguslah kalau kau ingin membuka diri pada
kakakmu ini, tapi jangan terlalu dipaksakaan. Pelan-pelan saja. Aku tak mau kau
terluka lagi,” senyum Hanafi sambil saling memukul kedua batu kering dengan
masing-masing tangan. Berniat memunculkan percikan api untuk menyulut api unggun.
“Terima kasih,” senyum Rina memberikan tatapan
dalam pada sang kakak.
“Lalu Kakak sedang apa?” lanjut Rina bertanya
dengan mata tertutup. Tetap mempertahankan senyuman manisnya. Dia sedikit
memiringkan kepala hingga membuatnya terlihat manis.
“Eh? Tentu saja membuat api unggun,” senyum
Hanafi mendongakkan kepala, dan menatap adiknya penuh keheranan.
“Kenapa Kakak tidak bilang padaku? Jika hanya butuh
api untuk api unggun, aku juga bisa membuatnya!” senyum Rina mengangakat tangan
kanan ke arah tumpukan kayu.
“Tolong mundur sedikit, Kak!” pinta Rina
berkonsentrasi sambil memberikan tatapan dalam pada tumpukan kayu.
Hanafi mulai berdiri, dan berjalan mundur
mengikuti permintaan sang adik. Perlahan, percikapan api kecil mulai muncul di
telapak tangan kanan Rina. Berwarna merah kejinggaan dan terlihat berkilauan.
Bukan api sembarangan dan terlihat begitu berbeda dengan api biasanya.
Selanjutnya, api itu berubah menjadi bola api
kecil. Lalu lekas terbang pelan menuju tumpukan kayu.
Saat masih terbang menuju tumpukan kayu, bola
api itu terlihat mengecil dan hampir padam. Tapi untungnya tetap bisa mencapai
tumpukan kayu hingga menimbulkan pecikan api kecil.
“Kakak sekarang lindungi api itu! Jangan biarkan
dia padam, tiup hingga me-membesar!” Rina berteriak dengan keringat kelelahan
terlihat di sekitar wajah.
“Ehh!?” Hanafi lekas menuruti kemauan adiknya meski
dengan sedikit raut wajah kebingungan. Dia menutupi api kecil itu dengan
beberapa kayu kering. Meniup pelan api itu agar bisa membesar.
Meski dalam waktu cukup lama, api itu bisa membesar,
dan membakar setiap ranting pohon kering di sekitarnya. Lalu api unggun yang
diinginkan keduanya pun akhirnya selesai.
Rina yang melihat itu lekas tersenyum lebar.
Memperlihatkan rasa bangga akan kemampuannya yang bisa membuat api unggun.
Sedangkan Hanafi hanya menatap datar adiknya
sambil mengangkat kedua tangan ke arah api unggun. Berniat menghangatkan subuh
tubuh.
“Ap-apa? Jangan terlalu –hah hah ..., mengharapkan
kekuatan dari Duplicare sepertiku! Itu semua adalah kekuatan penuhku hah hah
...,” Rina terlihat kesal sambil sesekali mengambil nafas kelelahan.
“Ya ya ya, adikku sangat hebat,” senyum kecil
Hanafi mengalihkan pandangan. Senyumannya terlihat mengolok-ngolok hingga
membuat wajah adiknya cemberut.
“Tapi ini lebih baik dari Kakak yang tak bisa
menggunakan sihir apapun!”
“De-dengar yah, aku bukannya tidak bisa, tapi
belum bisa! Lihat saja nanti, aku akan mempelajari sihir dan lebih baik darimu,
Rina!” senyum kesal Hanafi mengembalikkan pandangan kepada adiknya.
“Jangan terlalu memaksakan diri, Kak. Tanpa
sihir pun Kakak sudah berguna dengan kekuatan gila Kakak itu,” Rina menjelaskan
sambil melirik kecil sang kakak.
“Tidak tidak, adikku sayang. Aku akan belajar
sihir dan membuatmu terkejut hingga terpingkal-pingkal,” senyum kesal Hanafi
memberikan tatapan pada adiknya.
“Ohh coba saja belajar dan lampaui aku. Itu
juga jika Kakak tercintaku mampu,” Rina membalas senyuman sang Kakak dengan
kekesalan.
“....” Tatapan mereka bertemu beberapa saat
hingga memunculkan keheningan. Tapi setelah itu keduanya lekas menutup mata,
dan tertawa kecil secara bersamaan hingga menghancurkan suasana tegang yang
sebelumnya mereka ciptakan.
Hanafi lekas berdiri dengan senyuman lebar
terpampang, lalu mengambil selimut coklat dari tas besar yang terletak jauh di
belakang tubuhnya. Lalu, dia pun berjalan kembali mendekati Rina.
“Malam akan semakin dingin. Kau pakai ini,
Rina!” senyum Hanafi sambil menyelimuti tubuh adiknya.
Kepala Rina mendongak ke atas, lalu menatap
sang kakak dan bertanya.
“Lalu bagaimana denganmu, Kak?”
“Aku bisa memakai jaket. Selain itu, kamu
tidurlah. Aku akan berjaga,” senyum Hanafi menjawab.
“Bergantian yah, Kak! Nanti bangunkan Rina!”
Rina mulai berdiri dan duduk di atas tanah, lekas bersandar pada batu besar.
“Oke siap!” senyum Hanafi menganggukkan kepala dan
duduk di atas batu besar yang menjadi sandaran Rina. Setelah itu dia menatap
api unggun sambil melemparkan beberapa kayu kering. Menjaga api itu tetap
menyala, dan berharap bisa memberikan terus kehangatan untuk adiknya.
***
Hari yang baru telah tiba, Hanafi
bersama adiknya terlihat berjalan di jalan setapak yang cukup besar. Mereka
telah melewati hutan sebelumnya. Hanya beberapa meter lagi sampai keduanya
sampai di gerbang pemeriksaan Kota Cardel.
“Sudahlah berhenti merajuk, Rina.
Aku tak keberatan akan hal in–“
“Tapi Rina yang keberatan!” sanggah
Rina dengan nada tinggi dan terlihat tidak senang.
Wajah Hanafi terlihat kacau karena
kelelahan. Ada garis hitam tebal di bawah mata. Tanda dari dia yang tidak tidur
semalaman.
Sedangkan wajah Rina terlihat
memerah seolah menahan kemarahan. Wajar dari dia yang kesal karena tidak
dibangunkan semalaman untuk bergantian berjaga.
“Aku tak enak membangunkanmu yang
terlihat tidur sangat lelap. Aku tak keberatan, dan lagipula nanti di kota itu
aku masih bisa istirahat,” senyum kecil Hanafi sambil memberikan tatapan lelah
pada gerbang kota di depannya.
Dia terlihat memakai kembali jaket
kusamnya. Berniat menyembunyikan seragam berkelas dari sekolah dunia asalnya.
“Tapi pikirkan perasaan Rina, Kak!
Rina benar-benar merasa bersalah dengan tindakan Kakak yang seperti ini!” pelan
Rina mengalihkan pandangan dari Hanafi.
“Tolong jangan lakukan ini lagi! Aku
tak mau Kakak yang berjuang sendirian. Kita ini keluarga sekarang, kan? Suka
duka kita lalui bersama,” lanjut Rina melirik kecil Hanafi. Seolah
memperlihatkan tatapan kekecewaan yang sangat dalam.
“Maaf maaf, aku takkan mengulanginya
lagi.”
“Janji yah?”
“Iya, aku janji ...,” ucap Hanafi
menganggukkan kepala sebelum menguap di ucapan terakhirnya.
Beberapa menit setelahnya, Hanafi
dan Rina sampai di gerbang pemeriksaan. Para penjaga terlihat mengamati Hanafi
dan adiknya dalam-dalam.
Perhatian para penjaga itu mulai
tertuju pada Rina yang memiliki warna mata berbeda. Mereka pun saling berbisik
dan memberikan tatapan sinis padanya. Hanafi berjalan selangkah ke depan seolah
melindungi adiknya dari tatapan para penjaga.
“Bukankah dia salah satu pembawa
malapetaka. Kau Kakaknya, kan?” seorang penjaga tua bertanya pada Hanafi dengan
tatapan merendahkan.
“Ya aku Kakaknya. Apa dia tak boleh
masuk karena–“
“Tidak, bukan begitu. Hanya jarang
saja kau masih memelihara mahluk sepertinya. Biasanya, meski keluarga sekalipun
akan langsung menjual bahkan membuang mereka.” Penjaga itu menjelaskan dengan
nada merendahkan.
“Aku takan melakukan hal hina
seperti itu pada keluargaku,” senyum Hanafi menutup mata sesaat. Memperlihatkan
aura ganjil hingga para penjaga sekitarnya menggigil kedingingan untuk beberapa
saat.
“Y-ya, terserahlah! Kau bisa masuk
pencundang. Tapi jika kau atau mahluk itu membuat masalah, kami tak segan akan
bertindak,” senyum sinis sang penjaga tersebut, meski dengan nada gugup sedikit
ketakutan.
Hanafi dan adiknya pun berjalan
melewati gerbang perbatasan kota. Beberapa olokan dari para penjaga muda di
sekitarnya masih didapatkan keduanya. Sedikit membuat Hanafi kesal, tapi bisa
ia tahan karena Rina yang memegang tangan kanannya amat erat. Isyarat darinya
untuk tak meladeni mereka.
Tak sampai di sana, tatapan risih
dari penduduk sekitar juga mulai didapatkan Rina. Memang tak seburuk seperti di
desa, tapi tetap saja membuat perasaan kesal kembali menggebu dalam hati
Hanafi.
“Ma-maaf Kak, karena Rina Kakak juga
mendapatkan tatapan seperti in–“ pelan Rina berucap dan terlihat ingin
menangis. Tapi ucapannya lekas tersanggahkan oleh Hanafi.
“Rina kita akan toko pakaian dulu
sebelum mencari penginapan. Aku tak tahan melihatmu diperlakukan seperti ini.”
“Eh tapi Kakak butuh istirahat! Rina
baik-baik saja –“
“Tidak, aku tak bisa istirahat jika
melihatmu diperlakukan seperti ini!” geram Hanafi menunjukkan keseriusan. Rina
hanya terdiam dan tak berani membantah ketika melihat kakaknya yang benar-benar
memperlihatkan kemarahan.
Mereka mencari toko pakaian di dalam
kota selama beberapa menit sebelum akhirnya menemukan di dekat serikat
petualang.
Keduanya pun memasuki toko pakaian
itu. Rina terlihat berdiri di depan pintu dengan ekspresi wajah kebingungan,
tidak seperti Hanafi yang berjalan cepat mendekati kasir dan langsung berkata.
“Aku ingin pakaian yang pantas untuk
wanita itu. Jika bisa, aku juga menginginkan penutup sebelah mata untuknya!”
Penjaga kasir itu terlihat memasang
wajah datar dan mengamati jaket kusam Hanafi. Dia lekas menutup mata dan
menghela nafas lalu berucap.
“Hei Anak Muda, mungkin kau merasa
kaya karena pertama kali mendapatkan bayaran dari kerjaanmu. Tapi ini bukan
tempat sembarangan yang bisa didatangi oleh kau dan adikmu itu. Jika kau
mencari pakaian murah, cari saja dipasar bagian timur kota ini. Kau tau,
pakaian termurah di toko ini seharga 3 koin tembaga. Jika kau punya uang segitu
maka kau boleh menginjakkan kaki di toko–“
“Hei Pak Tua, suasana hatiku
benar-benar tak enak hari ini. Bisa kau lakukan tugasmu dengan benar atau aku
akan cari toko pakaian yang lain,”kesal Hanafi sambil mengeluarkan 1 koin perak
di atas meja kasir.
“Ka-ka-kau darimana dapat uang
sebanyak itu!? Apa kau mencuri uang bangsawan setempat!?” penjaga kasir bertanya dengan nada gagap
ketakutan ke arah Hanafi.
“Kakak bukanlah pencuri!! Dia
mendapatkan uang itu dari –” Rina berteriak marah dan berjalan cepat menuju
meja kasir, tapi lagi-lagi ucapannya terpotong oleh sang kakak.
“Tak hanya memberikan pelayanan
buruk, kau juga menunduh pelangganmu yang bukan-bukan ....” geram Hanafi sambil
menurunkan resleting jaket kusamnya. Penjaga toko pun mulai terkejut dengan
jaket Hanafi yang seperti itu.
Tak mengherankan mengingat pertama kali bagi
dia yang melihat teknologi menyambung dua kain secara praktis seperti itu.
Tapi keterkejutannya tidak sampai di
sana ketika Hanafi memperlihatkan seragam sekolahnya yang elegan, khususnya
lambang OSIS miliknya.
“Apa ini tanda jika kau memiliki
masalah dengan Kerajaanku, atau kau ingin memiliki masalah dari seorang
Pangeran sepertiku.”
“Kakak yakin tentang hal ini ...?” Rina bertanya cemas menatap sang kakak.
“Kau diam dulu, Rina.” Hanafi
berucap sambil terus memberikan tatapan lebar dan tajam pada penjaga toko yang
terdiam mematung.
Perlahan tubuhnya mulai bergemetar.
Wajahnya membiru ketakutan ketika melihat lambang di saku dada milik Hanafi.
Dia pun lekas keluar dari meja
kasir, bersujud, dan berteriak memohon ampunan karena ketidaksopanannya. Dia
bahkan sampai menangis sambil mengeluarkan berbagai macam alasan agar
mendapatkan ampunan dari lelaki berambut coklat.
“Aku
tak menyangka akan seefektif ini. Tapi bukankah ini berlebihan,” datar
Hanafi dalam hatinya.
“Baik, aku mengampunimu. Sekarang,
berikan pakaian terbaik untuk adikku. Adikku memang seorang Duplicare yang
sering dianggap rendah. Tapi di kerajaanku dia adalah seorang Putri yang
dijunjung tinggi keberadaanya. Jadi, jika kau membuatnya tersinggung, kepalamu
adalah bayarannya,” Hanafi memberikan tatapan rendah pada penjaga toko
tersebut, seolah memberikan intimidasi amat kuat hingga dia yang bersujud
berteriak takkan berani melakukan hal semacam itu.
Rina hanya menatap datar kakaknya
yang bertindak seperti itu. Tapi setelah itu dia hanya menghela nafas dan
tersenyum, lekas berucap pada penjaga toko yang masih bersujud itu.
“Mohon bantuannya yah Pak, dan
tolong jangan dipikirkan ucapan Kakakku yang bodoh ini.”
“Ta-tapi Rina!”
“Berisik, Kakak tunggu di luar saja!
Kalau enggak, sambil menungguku kenapa tidak daftar di serikat petualang saja?
Lumayan buat nambah pemasukan uang,” keluh Rina menutup matanya sesaat.
“Iya, aku juga berniat daftar
nanti,” ucap Hanafi sambil kembali menutup kemeja sekolahnya dengan jaket
kusam.
“Lalu untuk bayaran sesuai
permintaanku sebelumnya ..., apa segini cukup?” Hanafi bertanya ke arah penjaga
toko sambil menunjuk 1 koin perak yang tergeletak di atas meja kasir.
“It-itu terlalu banyak, Tuan Muda. Izinkan
saya menyiapkan kembalian untuk anda!!” penjaga toko itu lekas berdiri,
berjalan cepat memasuki pintu di belakang, berniat meyiapkan uang kembalian
untuk Hanafi.
Tak lama setelah itu dia muncul
dengan dua kantong berwana coklat. Terlihat tergesa-gesa dengan keringat di
sekitar wajah.
“Ini berisi 499 koin perunggu, dan
yang ini berisi koin 80 koin tembaga, Tuan Muda!” penjaga Toko menjelaskan,
menunjuk kantung serut bertali merah lalu bertali coklat.
“Baiklah, terima kasih. Kuharap kau
tidak sedang membohongiku,” senyum ringan Hanafi berisi candaan, tapi ucapannya
itu direspon oleh sang penjaga toko yang ketakutan dan kembali bersujud.
“Saya bersumpah itu adalah harga
yang sebenarnya, Yang Mulia! Saya mana berani melakukan hal seperti itu pada
anda!”
“Kakak ....” Rina menatap datar
kakaknya memberikan peringatan.
“Baik-baik aku mengerti, aku hanya
bercanda!” khawatir Hanafi sambil berjalan mendekati pintu keluar. Sedangkan
adiknya hanya terus memasang wajah datar pada kakaknya.
“Aku titip adikku yah, nanti aku
jemput dia.” Hanafi berucap sebelum meninggalkan toko pakaian.
“Dimengerti, Tuan Muda!”
***
Bangunan Serikat Petualang terlihat
lebih besar dari sekitarnya. Memiliki dua lantai dengan tekstur tembok lama
yang sudah dimakan usia.
Hanafi mulai berjalan melewati pintu
masuk bangunan tersebut yang terbuka begitu saja. Wajahnya terlihat menunjukkan
kelelahan. Garis hitam benar-benar terlihat di bawah mata, wajar dari dia yang membutuhkan
istirahat.
Kedatangan Hanafi di serikat tersebut
membuat para petualang setempat di dalam bangunan memberikan perhatian padanya.
Lelaki bertubuh besar dan kekar
berdiri dari kursi. Berjalan sambil membawa gelas bir di tangan kanan. Lalu mulai
menghalangi jalan Hanafi sambil berucap.
“Apa kau tersesat di sini, Bocah!?
Ini bukan tempat yang bisa didatangi anak kecil sepertimu.”
“....” Hanafi menutup mata, tak
terlihat sedikit pun ketakutan karena rasa lelahnya. Dia hanya bisa berucap
dalam hati.
“Perlakuan
mereka di sini benar-benar berbeda di Desa. Apa semua orang di kota seperti
ini!?”
“Hey, Ishal! Jangan ganggu anak itu!
Dia mungkin ada keperluan di tempat ini!” teriakan seorang wanita terdengar di
belakang tubuh lelaki besar bernama Ishal.
Itu perempuan berambut hitam sampai
pundak yang berdiri dibalik meja resepsionis. Wajahnya terlihat seperti wanita
asia yang enak dipandang.
“Geh!” Ishal terlihat kesal ketika
mendapatkan terguran perempuan resepsionis. Dia pun kembali duduk sambil
memberikan lirikan sinis pada Hanafi.
Hanafi kembali berjalan mendekati
meja resepsionis. Membuka mulut dan berniat berucap.
“Aku–“
“Namaku Ellie, apa ada yang bisa
kubantu, Anak Muda?” Tapi perempuan resepsionis bernama Ellie bertanya lebih
cepat. Membuat Hanafi memperbaiki ucapan kalimatnya.
“Namaku Hanafi, aku ingin mendaftar
sebagai petualang?”
Sontak tertawaan keras seluruh
penghuni ruangan terdengar. Hal itu sedikit membuat Hanafi terkejut dan
berbalik ke belakang karena kebingungan.
“Diam!” Ellie menggeram memberikan
tatapan tajam ke seluruh penghuni ruangan yang tertawa.
Keheningan langsung datang,
intimidasi dari wanita resepsionis itu benar-benar efektif. Membuat Hanafi
berpikir jika gadis bernama Ellie ini punya pengaruh besar di serikat.
“Biar kutanyakan beberapa hal dulu
mengingat risiko amat tinggi jika bekerja menjadi seorang petualang. Apa kau
seorang Eluser?”
“Bukan, aku tak bisa menggunakan
sihir. Tapi ingin bisa.” Hanafi menjawab dengan senyuman kecil terpampang.
“Oh jadi kau seorang Phyuser?”
“Tidak, bukan juga.” Hanafi
menggelengkan kepala sambil menutup mata sesaat.
“Ehh!? Jadi kau hanya manusia
biasa,” cemas Ellie mengamati Hanafi cukup dalam.
“Ya aku hanya manusia biasa.”
“Aku sarankan kau tak mengambil
pekerjaan ini. Memang benar ada permintaan yang mudah seperti mengumpulkan
tanaman herbal, tapi itu jarang bertambah sedangkan petualang tingkat awal
sepertimu sudah amat sangat banyak. Aku takut kau tak bisa mendapatkan uang
cukup untuk hidupmu,” Ellie menjelaskan cemas. Bukan berarti merendahkan
Hanafi, tapi wajar saja dari dia yang hanya melihat sekilas kondisi Hanafi yang
memakai jaket kusam. Selain itu bentuk tubuh Hanafi yang kurus benar-benar
terlihat mengkhawatirkan.
“Ah tak apa, tolong daftarkan aku.
Adikku memaksa jika aku harus daftar di serikat petualang untuk menambah
penghasilan.”
“Itu yang ingin kusampaikan, Hanafi.
Karena banyaknya jumlah petualang seperti kamu, permintaan mudah seperti
mengumpulkan herbal selalu saja habis di papan pengumuman. Aku tak menyarankan
kamu untuk mengambil pekerjaan in ....” Ellie menghentikan ucapan, lekas
memberikan tatapan lebar pada Hanafi dan berucap memperbaiki kalimatnya.
“Tunggu! Kau bilang menambah
penghasilan!? Apa kau sudah punya pekerjaan!?”
“Ahhh ak-aku seorang pedagang muda,”
Hanafi langsung menjawab dengan nada gugup.
“Terus kenapa kau masih ingin
menjadi seorang petualang!? Di sini tempat yang sangat keras, jika kau tak
memiliki teman yang memiliki pengaruh di serikat, kau hanya akan menderita,”
Ellie berucap, sedikit memelankan suara di ucapan terakhir sambil mengamati
sekitar.
“Tak apa, tolong biarkan aku
mendaftar di serikat ini. Mungkin aku akan jarang berkunjung untuk mengambil
permintaan, tapi adikku pasti menginginkan aku mendaftar di sini.” Hanafi
menjelaskan.
“Baiklah jika kau bersikeras. Untuk
biaya registrasinya 1 koin tembaga dengan harga masa aktif satu bulan 100 koin
kuningan.”
Hanafi mulai mengeluarkan kantong
serut bertali coklat. Itu kantong serut yang berisi koin tembaga. Uang kembalian
dari penjaga toko pakaian sebelumnya.
Hanafi mengeluarkan dua koin tembaga
dan meletakkan di atas meja kasir sambil berucap.
“Apa segini, Kak Ellie?”
“Panggil Ellie saja, tapi melihatmu
yang memiliki kantong tembaga penuh itu .... Apa kau pedagang yang kaya
Hanafi?”
“Eh tidak, ini hanya pemberian
adikku.” senyum cemas Hanafi menolak kontak mata dengan lawan bicaranya. Ellie
hanya memasang wajah datar pada Hanafi sambil mengambil 1 koin tembaga yang
diletakkan Hanafi.
“Kenapa kau mengeluarkan 1 koin
tembaga yang satunya?” tanya Ellie sambil menatap 1 koin tembaga yang masih
tergeletak di atas meja resepsionis.
“Eh, tentu saja untuk membayar masa berlaku
satu bulannya?”
“Kenapa kau tidak bayar langsung 100 koin
kuningan saja?”
“Maaf, aku hanya punya koin
tembaga.”
“Ini sebabnya kutanyakan apa kau
orang kaya, Hanafi. Orang macam apa yang tak mempunyai uang kuningan. Bahkan
bangsawan saja tak seperti ini,” Ellie masih berwajah datar dan kembali
mengambil koin tembaga Hanafi.
“Ak-aku hanya kehabisan koin itu,”
gugup Hanafi kembali mengalihkan pandangan dari Ellie.
“Baik baik, aku paham. Ini
kembaliannya.” Ellie mengeluarkan kantong serut lainnya. Talinya berwarna
kuning.
“Isinya 400 koin kuningan. Jangan
kehabisan koin ini, Hanafi. Koin ini selalu berguna untuk membayar kebutuhan kecil
seperti membeli makan atau yang lainnya.”
“Baik, terima kasih, Ellie.” Hanafi
menerima kembalian, dan lekas memasukkan koin tersebut ke dalam tas ranselnya.
“Sekarang letakkan kedua tanganmu di
atas bola kristal ini!” Ellie menunjuk bola kristal yang sejak awal terletak di
meja resepsionis. Hanafi pun mengikuti perintah dari Ellie.
Lalu, beberapa saat kemudian.
“Baiklah, sudah selesai!”
“Eh hanya itu saja?!”
“Iya memangnya mau apa lagi? Item
sihir ini akan langsung menerima informasi dasar tentangmu, seperti nama, umur,
dan jenis kelamin. Kami tidak mengadakan tes masuk apapun, jadi tenang saja.
Lalu untuk kartu petualangnya bisa diambil besok pagi.”
“Ohh besok, baiklah kalau begitu.
Aku akan datang lagi ke sini besok.”
“Lalu Hanafi, apa ada lagi yang
ingin kau tanyakan?” senyum Ellie sambil menompang dagu dengan kedua tangan.
“Aku ingin bertanya tentang sistem
di serikat ini. Apa ada semacam peringkat atau kelayakan mengambil permintaan?”
“Ya tentu saja ada yang seperti itu.
Saat ini kau memulai dari tingkat 10, sebagai petualang pemula. Jika kau terus
menjalankan misi, maka kau bisa dipromosikan ke tingkat berikutnya oleh kami
dan dapat mengambil permintaan lebih tinggi.”
“Contohnya seperti ini,” Ellie
kembali berdiri lalu jonkok mengambil selembaran yang berada di bawah meja.
“Lihat di dalam selembaran
permintaan ujung kanan atas, ada kotak kategori tingkat seperti ini. Di sini
tertulis 9~8, berarti permintaan ini dianjurkan untuk tingkat 9 atau 8. Jadi,
Tingkat 10 sepertimu tak bisa mengambil permintaan ini.”
“Lalu bagaimana tingkat lebih tinggi
dari itu, seperti Tingkat 5? Apa mereka bisa mengambil permintaan ini juga?”
“Hahaha tentu saja bisa. Tapi jika
tingkatanmu terlalu tinggi, kami selaku serikat akan mewajibkanmu untuk bekerja
dalam kelompok yang sesuai dengan permintaan itu.”
“Ah aku mengerti, agar para
petualang di tingkat permintaan itu tidak kehilangan pekerjaan,” senyum Hanafi
menganggukkan kepala.
“Tepat sekali! Kamu pintar, Hanafi.”
“Lalu apa ada cara lain menaikkan
tingkat dengan cepat selain menyelesaikan permintaan? Bukan berarti aku ingin
naik tingkat secepatnya, hanya ingin tahu saja.”
“Jika tidak dengan misi kau bisa
menaikkan tingkatmu dengan kontribusi besar pada serikat. Bukan berarti dalam
materi, melainkan jasa dari permintaan khusus dari serikat.”
“Permintaan khusus?”
“Iya permintaan khusus. Biasanya
permintaan ini memiliki tanda di kotak kategori berupa lambang serikat. Tapi
ini jarang terjadi. Selain permintaan khusus juga ada juga permintaan resmi
dari berbagai macam Kerajaan dengan lambang Kerajaan tersebut di kotak
kategorinya.”
“Tapi jika begitu bagaimana
petualang tahu tingkat bahayanya jika hanya mengandalkan lambang seperti itu?”
“Bukankah itu tugasnya kami? Jangan
sungkan bertanya pada kami selaku resepsionis tentang permintaan yang akan kamu
ambil, Berkonsultasi sebelum mengambil permintaan adalah pilihan yang bijak.”
Ellie menjelaskan dengan senyuman manis yang tersungging di wajah.
“Akan kubiasakan hal itu. Lalu
Ellie, apa kau punya rekomendasi untuk penginapan di kota ini?”
“Ah kalau soal penginapan lebih baik
di Penginapan Catstairs saja, mereka kerabatku. Hanya tiga bangunan ke arah
kanan dari serikat ini. Memang cukup merogoh kocek permalamnya, tapi aku jamin
pelayanan dan makanannya adalah terbaik di Kota ini!” Ellie menjelaskan dengan
eskpresi antusias.
“Baiklah aku akan langsung ke sana
setelah menjemput adik perempuanku.”
“Memangnya dimana adik perempuanmu?”
“Dia sedang membeli baju di toko
pakaian dekat serikat ini.”
“Ehh maksudmu toko pakaian itu!?
Bukankah harga pakaian dalam toko itu sangat fantastis, bahkan ada yang sampai
seharga 1 perunggu. Itu seharga dua puluh binatang ternak inka.”
“In-inka? Ahh iya memang ada yang
seharga seperti itu,” khawatir Hanafi kembali mengalihkan pandangan dari Ellie.
Sedikit penasaran dengan binatang ternak yang disinggung Ellie.
“Dan
aku membeli baju seharga 1 koin perunggu itu ...,” lanjutnya dalam hati.
“Hanafi kau ..., siapa sebenarnya?
Anak semuda kau memiliki uang sebanyak ini bukan hal yang wajar,” cemas Ellie
dengan nada pelan dan menyipitkan mata penuh curiga. Hanafi tetap mengalihkan
pandangan dan kembali bergumam dalam batinnya.
“Aku
tak bisa bilang ini pemberian kedua Putri Kerajaan besar. Aku juga tak bisa
mengatakan ini imbalan dari desa karena membasmi para Amygons.”
“....”
“Yah tak apa jika kau tak mau
mengatakan apapun. Tapi nanti ketika kau sampai di Catstairs, katakan saja jika
aku yang merekomendasikanmu. Mereka akan memberikanmu potongan harga,” senyum Ellie
berucap pelan sambil menyembunyikan gerakan bibir dengan telapak tangan kanan.
“Baiklah, terima kasih atas
bantuannya, Ellie.”
“Aku juga, dan selamat datang di
serikat petualang. Mohon kerja samanya mulai dari sekarang yah, Hanafi.”
“Ya!” Hanafi menganggukkan kepala lalu
berjalan menuju pintu keluar. Meninggalkan serikat petualang.
***
Rina telah
menjadi adik Hanafi seutuhnya, maka tak heran jika perlakuan penduduk padanya
menjadi berubah dan berbeda hingga 180 derajat.
Dia yang dulu dianggap rendah oleh
mereka kini menjadi permata berkilauan yang amat sangat berharga.
Dengan posisi Hanafi yang dianggap
pangeran oleh para penduduk, maka tak heran jika membuat Rina yang secara
otomatis mendapat gelar ‘Putri’.
Banyak orang yang bersujud meminta
ampunan atas perlakuan padanya di masa lalu. Tapi, karena rendah hati dan sifat
pemaafnya. Rina memaafkan mereka yang dulu pernah memperlakukannya buruk.
Dua hari setelah terbelahnya gunung yang
menggentarkan dunia. Hanafi dan Rina berniat memulai perjalanan kembali untuk
menuju tempat selanjutnya. Dua hari itu mereka gunakan untuk perawatan luka
Rina di seluruh tubuh, itu semua karena permintaan Hanafi sendiri.
Di hari yang sama ketika Hanafi
beserta adiknya ingin memulai perjalanan. Thomas dan istrinya terlihat
menghampiri keduanya yang sedang duduk di teras halaman sambil menyiapkan
perbekalan untuk perjalanan.
“Tuan Pangeran!”
Hanafi terdiam dan tak menjawab
panggilan. Dia hanya memasang wajah datar sambil berdiri dan membalikkan tubuh menghadap
lelaki tua berperut buncit.
“Saya selaku perwakilan desa ini
banyak mengucapkan terima kasih karena jasa anda yang telah menyelamatkan kami
dari para Amygons.” Thomas menundukkan sedikit kepala memberi hormat, lalu
diikuti oleh sang istri yang berdiri di belakangnya.
“Ah, tidak tidak. Saya hanya
membantu sedikit kok, Pak. Tolong jangan seperti ini! Aku merasa tak enak
melihat orang tua menundukkan kepala padaku,” senyum Hanafi dengan ekspresi
kecemasan yang terhias di wajah.
“Tidak. Kami harus melakukan ini, Pangeran!
Kami juga berniat memberi anda kereta beserta kudanya, tapi karena keterbatasan
kami dalam transportasi untuk distribusi perdagangan, kami tidak bisa
melakukannya.”
“Sungguh, anda tidak usah melakukan
ini, Pak!” khawatir Hanafi mulai menutup matanya beberapa sesaat.
“Tapi, Pangeran! Sebagai ganti dari itu,
tolong terimalah 10 koin perak ini. Kami seluruh desa mengumpulkan ini untuk
pangeran sebagai hadiah.” Jelas Thomas sambil mengangkat kepala, dan lekas
mengambil kantong serut dari tangan istrinya.
“Mungkin bagi anda jika ini tak
seberapa, tapi tolong terimalah!” senyum Thomas sambil memberikan kantong serut
berisi 10 koin perak itu.
Tak sopan jika tak menerima hadiah
mereka, itu yang dipikirkan Hanafi. Dengan senyuman bahagia, Hanafi pun mulai
menerima hadiah dari Desa Karot.
“Ah, aku ingin bertanya satu hal lagi.
Seberapa berharganya satu koin perak ini? Maaf. Di wilayah saya, saya tak
menggunakan uang seperti ini,” Hanafi bertanya dengan senyuman terpampang di
wajah.
“Pada dasarnya koin perak jarang
digunakan oleh rakyat biasa seperti kami karena begitu berharganya koin
tersebut.”
“Ma-maksud anda?” Hanafi bertanya sedikit
kebingungan.
“Koin ini biasa digunakan oleh kaum
bangsawan sekelas Baron, Viscount, dan Earl. Dan koin perak biasanya lumrah dipakai
oleh orang-orang yang tinggal di kota tembok kedua.” Istri Thomas menjelaskan.
“Kota tembok kedua?” Hanafi semakin
kebingungan memiringkan kepala menatap istri Thomas.
“Biasanya yah Kak jika di kota besar
itu ada semacam dua tembok besar. Tembok pertama yang berfungsi sebagai benteng
untuk melindungi kota dari luar. Sedangkan tembok kedua yang berada di dalam
itu sebagai pembatas antara rakyat biasa dengan para bangsawan.” Rina
menjelaskan sambil menatap kakaknya.
“Ehh, be-begitu. Lalu jenis uang
seperti apa yang biasa kalian gunakan?” Hanafi bertanya kembali menatap Thomas
beserta istrinya.
“Kami biasanya sering menggunakan
koin kuningan dan tembaga dalam transaksi jual beli, Pangeran. Terkadang kami
juga menggunakan koin perunggu dan perak. Tapi, koin itu digunakan dalam pembayaran
besar. Seperti membeli lahan, rumah, dan binatang ternak.” Thomas menjelaskan dengan
senyuman pada Hanafi.
Hanafi mulai memegang kepala dengan
tangan kanan, seolah terlihat sedang berpikir. Lekas mengembalikan pandangan
pada Thomas sambil kembali bertanya.
“Baik-baik, begini saja. Bagaimana
konversi koin dari yang termurah.”
“Konversi?”
“Perbandingan koin dari yang
termurah maksud saya, Pak.”
“Ah perbandingan. Jadi ini koin
kuningan. Untuk 500 koin kuningan sama dengan 1 koin tembaga. Lalu 1000 koin
tembaga sama dengan 1 koin perunggu.” Thomas menjelaskan sambil memperlihatkan
koin kuning pucat berbentuk persegi empat.
“Untuk 500 koin perunggu sama dengan
1 koin perak, dan untuk 100 koin perak sama dengan 1 koin emas,” lanjut istri
Thomas menjelaskan.
“Bagitu, lalu berapa biaya menginap
di penginapan kota?” Hanafi kembali bertanya sambil membuka matanya.
“Kalau di tembok luar sekitar 2 koin
tembaga per malam. Tapi, jika menginap di penginapan tembok dalam bisa lebih
mahal. Ada yang 12 bahkan sampai 15 koin tembaga per malamnya.”
“Itu termasuk makan dan kebutuhan
lain?”
“Ya, tentu saja,” senyum Thomas
menganggukkan kepala.
Hanafi hanya terdiam memahami
penjelasan. Sedikit cemas hingga tak mampu mengeluarkan kembali ucapan. Tak
menyangka jika dirinya sudah mendapatkan uang yang amat sangat banyak dari
Putri Lapis dan Bella.
Waktu pun bergerak cepat. Beberapa
jam setelah itu, Hanafi bersama dengan Rina memulai perjalanan menuju kota
selanjutnya. Mereka pergi melewati jembatan besar yang sebelumnya dilalui oleh
kereta kuda Putri Lapis. Hingga memasuki jalan cukup lebar yang dikelilingi
hutan.
Keduanya hanya berjalan kaki sambil
memulai percakapan kecil. Rina terlihat sudah membuka diri sejak dia menjadi
adik Hanafi. Bercerita banyak tentang dunia yang masih asing bagi Hanafi.
Hanafi dengan senang hati
mendengarkan cerita adiknya itu. Sesekali mengusap kepala Rina dengan lembut
hingga membuatnya menutup mata, dan merasakan perasaan nyaman dicintai oleh
seseorang.
Langit yang berwarna jingga mulai
datang. Merangkul seluruh mahluk yang ada di dunia itu. Hanafi melirik adiknya
yang menundukkan kepala karena kelelahan. Dia pun lekas menghentikan langkah
dan berucap mengajukan pertanyaan.
“Kita istirahat dulu yah, Rina?
Lagipula malam sebentar lagi datang.”
“Tapi sebentar lagi kita melewati
hutan ini, dan setelah itu kita sampai di Kota Cordel.” Rina menjawab dengan
nafas yang terengah-engah karena kelelahan.
“Tidak, kita akan melanjutkan
perjalanan besok. Terlalu berbahaya melewati hutan saat malam hari.”
“....” Rina tak menjawab dan hanya
memberikan tatapan datar seolah tak mempercayai ucapan kakaknya. Wajar dari dia
yang berpikir seperti itu mengingat perbuatan sang kakak yang sudah
menghancurkan gunung raksasa dengan satu ayunan pedang.
“Apa-apaan tatapan penuh keraguanmu
itu?” Hanafi menutup mata dan bertanya cemas.
“Rina ingin tahu ..., memangnya
bahaya seperti apa yang mengancam untuk kita– maksud Rina untuk Kakak?” senyum
Rina ringan mulai menutup mata. Mengangkat kedua pundaknya sedikit ke atas
hingga terlihat menggemaskan.
“Gu-gunung itu terbelah hanya
kecelakaan! Aku juga mana tau kalau akan jadi seperti itu!”
“Hahaha, Rina hanya bercanda, Kak.
Jangan berwajah menakutkan seperti itu,” senyum manis Rina lekas duduk di atas
batu besar di pinggir jalan.
“Tapi yah kenyataan Kakak yang
membelah gunung itu tak berubah. Akan lebih bijak jika Kakak tak mengatakan
masalah ini pada siapapun,” senyum Rina melirik kakaknya.
Hanafi mulai berjalan mendekati Rina, dan
berucap mengajukan pertanyaan.
“Maksudmu, Rina?”
“Gunung Skyvia adalah gunung
terbesar dan terletak di tengah-tengah benua ini. Gunung purbakala yang sudah
dianggap sebagai pusat dari Benua Luna. Maka tak heran mucul berbagai
kepercayaan tentang gunung ini, bahkan salah satu negara besar menganggap
gunung ini sebagai gunung suci.”
“....” Hanafi sontak terdiam
mematung dan menelan ludah dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Masih mendengar
penjelasan Rina, dia pun menyimpan tas dan barang bawaannya di atas tanah
dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Entah apa yang akan terjadi jika
dunia mengetahui perbuatan Kakak ini. Mungkin Kakak akan dimusuhi oleh seluruh
negeri, atau bahkan dianggap Raja Iblis,”senyum Rina yang diakhiri dengan
tertawaan kecil yang menggemaskan.
“Ja-jangan tertawa, Rina. Bukankah
akan sangat gawat jika dunia mengetahui perbuatanku!?” cemas Hanafi sambil menutup
mata beberapa saat.
“Tapi tenang saja, Kak. Bukankah
Kakak sudah mengambil langkah untuk hal ini? Sekarang yang harus kita pikirkan
adalah kekuatan Kakak yang tak masuk akal itu.” Rina menatap tubuh kakaknya
dengan cermat.
“Maksudmu aku benar-benar punya
kekuatan gila itu?!” khawatir Hanafi sambil memungut ranting-ranting di
sekitarnya.
“Tentu saja, lalu darimana datangnya kekuatan
yang mampu menciptakan jurang dan membelah Gunung Skyvia? Itu jelas-jelas
kekuatan Kakak. Hanya saja, Kakak mungkin masih belum menyadarinya.” Rina
menjelaskan cemas sambil terus duduk dan mengamati sang kakak.
“Benarkah? Padahal selama ini aku manusia biasa,”
senyum kecil Hanafi sambil mulai mengumpulkan ranting pohon dalam satu tempat dan
berniat membuatnya menjadi api unggun.
“Aku tak tau masalah itu, tapi kekuatan Kakak
saat itu adalah nyata .... Ah benar juga, Rina belum mendengar cerita Kakak.
Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi tak ada kebohongan lagi. Rina juga
akan menceritakan semua masa lalu Rina jika waktunya tiba, meski semua masa
lalu Rina banyak yang tidak menyenangkannya.”
“Baguslah kalau kau ingin membuka diri pada
kakakmu ini, tapi jangan terlalu dipaksakaan. Pelan-pelan saja. Aku tak mau kau
terluka lagi,” senyum Hanafi sambil saling memukul kedua batu kering dengan
masing-masing tangan. Berniat memunculkan percikan api untuk menyulut api unggun.
“Terima kasih,” senyum Rina memberikan tatapan
dalam pada sang kakak.
“Lalu Kakak sedang apa?” lanjut Rina bertanya
dengan mata tertutup. Tetap mempertahankan senyuman manisnya. Dia sedikit
memiringkan kepala hingga membuatnya terlihat manis.
“Eh? Tentu saja membuat api unggun,” senyum
Hanafi mendongakkan kepala, dan menatap adiknya penuh keheranan.
“Kenapa Kakak tidak bilang padaku? Jika hanya butuh
api untuk api unggun, aku juga bisa membuatnya!” senyum Rina mengangakat tangan
kanan ke arah tumpukan kayu.
“Tolong mundur sedikit, Kak!” pinta Rina
berkonsentrasi sambil memberikan tatapan dalam pada tumpukan kayu.
Hanafi mulai berdiri, dan berjalan mundur
mengikuti permintaan sang adik. Perlahan, percikapan api kecil mulai muncul di
telapak tangan kanan Rina. Berwarna merah kejinggaan dan terlihat berkilauan.
Bukan api sembarangan dan terlihat begitu berbeda dengan api biasanya.
Selanjutnya, api itu berubah menjadi bola api
kecil. Lalu lekas terbang pelan menuju tumpukan kayu.
Saat masih terbang menuju tumpukan kayu, bola
api itu terlihat mengecil dan hampir padam. Tapi untungnya tetap bisa mencapai
tumpukan kayu hingga menimbulkan pecikan api kecil.
“Kakak sekarang lindungi api itu! Jangan biarkan
dia padam, tiup hingga me-membesar!” Rina berteriak dengan keringat kelelahan
terlihat di sekitar wajah.
“Ehh!?” Hanafi lekas menuruti kemauan adiknya meski
dengan sedikit raut wajah kebingungan. Dia menutupi api kecil itu dengan
beberapa kayu kering. Meniup pelan api itu agar bisa membesar.
Meski dalam waktu cukup lama, api itu bisa membesar,
dan membakar setiap ranting pohon kering di sekitarnya. Lalu api unggun yang
diinginkan keduanya pun akhirnya selesai.
Rina yang melihat itu lekas tersenyum lebar.
Memperlihatkan rasa bangga akan kemampuannya yang bisa membuat api unggun.
Sedangkan Hanafi hanya menatap datar adiknya
sambil mengangkat kedua tangan ke arah api unggun. Berniat menghangatkan subuh
tubuh.
“Ap-apa? Jangan terlalu –hah hah ..., mengharapkan
kekuatan dari Duplicare sepertiku! Itu semua adalah kekuatan penuhku hah hah
...,” Rina terlihat kesal sambil sesekali mengambil nafas kelelahan.
“Ya ya ya, adikku sangat hebat,” senyum kecil
Hanafi mengalihkan pandangan. Senyumannya terlihat mengolok-ngolok hingga
membuat wajah adiknya cemberut.
“Tapi ini lebih baik dari Kakak yang tak bisa
menggunakan sihir apapun!”
“De-dengar yah, aku bukannya tidak bisa, tapi
belum bisa! Lihat saja nanti, aku akan mempelajari sihir dan lebih baik darimu,
Rina!” senyum kesal Hanafi mengembalikkan pandangan kepada adiknya.
“Jangan terlalu memaksakan diri, Kak. Tanpa
sihir pun Kakak sudah berguna dengan kekuatan gila Kakak itu,” Rina menjelaskan
sambil melirik kecil sang kakak.
“Tidak tidak, adikku sayang. Aku akan belajar
sihir dan membuatmu terkejut hingga terpingkal-pingkal,” senyum kesal Hanafi
memberikan tatapan pada adiknya.
“Ohh coba saja belajar dan lampaui aku. Itu
juga jika Kakak tercintaku mampu,” Rina membalas senyuman sang Kakak dengan
kekesalan.
“....” Tatapan mereka bertemu beberapa saat
hingga memunculkan keheningan. Tapi setelah itu keduanya lekas menutup mata,
dan tertawa kecil secara bersamaan hingga menghancurkan suasana tegang yang
sebelumnya mereka ciptakan.
Hanafi lekas berdiri dengan senyuman lebar
terpampang, lalu mengambil selimut coklat dari tas besar yang terletak jauh di
belakang tubuhnya. Lalu, dia pun berjalan kembali mendekati Rina.
“Malam akan semakin dingin. Kau pakai ini,
Rina!” senyum Hanafi sambil menyelimuti tubuh adiknya.
Kepala Rina mendongak ke atas, lalu menatap
sang kakak dan bertanya.
“Lalu bagaimana denganmu, Kak?”
“Aku bisa memakai jaket. Selain itu, kamu
tidurlah. Aku akan berjaga,” senyum Hanafi menjawab.
“Bergantian yah, Kak! Nanti bangunkan Rina!”
Rina mulai berdiri dan duduk di atas tanah, lekas bersandar pada batu besar.
“Oke siap!” senyum Hanafi menganggukkan kepala dan
duduk di atas batu besar yang menjadi sandaran Rina. Setelah itu dia menatap
api unggun sambil melemparkan beberapa kayu kering. Menjaga api itu tetap
menyala, dan berharap bisa memberikan terus kehangatan untuk adiknya.
***
Hari yang baru telah tiba, Hanafi
bersama adiknya terlihat berjalan di jalan setapak yang cukup besar. Mereka
telah melewati hutan sebelumnya. Hanya beberapa meter lagi sampai keduanya
sampai di gerbang pemeriksaan Kota Cardel.
“Sudahlah berhenti merajuk, Rina.
Aku tak keberatan akan hal in–“
“Tapi Rina yang keberatan!” sanggah
Rina dengan nada tinggi dan terlihat tidak senang.
Wajah Hanafi terlihat kacau karena
kelelahan. Ada garis hitam tebal di bawah mata. Tanda dari dia yang tidak tidur
semalaman.
Sedangkan wajah Rina terlihat
memerah seolah menahan kemarahan. Wajar dari dia yang kesal karena tidak
dibangunkan semalaman untuk bergantian berjaga.
“Aku tak enak membangunkanmu yang
terlihat tidur sangat lelap. Aku tak keberatan, dan lagipula nanti di kota itu
aku masih bisa istirahat,” senyum kecil Hanafi sambil memberikan tatapan lelah
pada gerbang kota di depannya.
Dia terlihat memakai kembali jaket
kusamnya. Berniat menyembunyikan seragam berkelas dari sekolah dunia asalnya.
“Tapi pikirkan perasaan Rina, Kak!
Rina benar-benar merasa bersalah dengan tindakan Kakak yang seperti ini!” pelan
Rina mengalihkan pandangan dari Hanafi.
“Tolong jangan lakukan ini lagi! Aku
tak mau Kakak yang berjuang sendirian. Kita ini keluarga sekarang, kan? Suka
duka kita lalui bersama,” lanjut Rina melirik kecil Hanafi. Seolah
memperlihatkan tatapan kekecewaan yang sangat dalam.
“Maaf maaf, aku takkan mengulanginya
lagi.”
“Janji yah?”
“Iya, aku janji ...,” ucap Hanafi
menganggukkan kepala sebelum menguap di ucapan terakhirnya.
Beberapa menit setelahnya, Hanafi
dan Rina sampai di gerbang pemeriksaan. Para penjaga terlihat mengamati Hanafi
dan adiknya dalam-dalam.
Perhatian para penjaga itu mulai
tertuju pada Rina yang memiliki warna mata berbeda. Mereka pun saling berbisik
dan memberikan tatapan sinis padanya. Hanafi berjalan selangkah ke depan seolah
melindungi adiknya dari tatapan para penjaga.
“Bukankah dia salah satu pembawa
malapetaka. Kau Kakaknya, kan?” seorang penjaga tua bertanya pada Hanafi dengan
tatapan merendahkan.
“Ya aku Kakaknya. Apa dia tak boleh
masuk karena–“
“Tidak, bukan begitu. Hanya jarang
saja kau masih memelihara mahluk sepertinya. Biasanya, meski keluarga sekalipun
akan langsung menjual bahkan membuang mereka.” Penjaga itu menjelaskan dengan
nada merendahkan.
“Aku takan melakukan hal hina
seperti itu pada keluargaku,” senyum Hanafi menutup mata sesaat. Memperlihatkan
aura ganjil hingga para penjaga sekitarnya menggigil kedingingan untuk beberapa
saat.
“Y-ya, terserahlah! Kau bisa masuk
pencundang. Tapi jika kau atau mahluk itu membuat masalah, kami tak segan akan
bertindak,” senyum sinis sang penjaga tersebut, meski dengan nada gugup sedikit
ketakutan.
Hanafi dan adiknya pun berjalan
melewati gerbang perbatasan kota. Beberapa olokan dari para penjaga muda di
sekitarnya masih didapatkan keduanya. Sedikit membuat Hanafi kesal, tapi bisa
ia tahan karena Rina yang memegang tangan kanannya amat erat. Isyarat darinya
untuk tak meladeni mereka.
Tak sampai di sana, tatapan risih
dari penduduk sekitar juga mulai didapatkan Rina. Memang tak seburuk seperti di
desa, tapi tetap saja membuat perasaan kesal kembali menggebu dalam hati
Hanafi.
“Ma-maaf Kak, karena Rina Kakak juga
mendapatkan tatapan seperti in–“ pelan Rina berucap dan terlihat ingin
menangis. Tapi ucapannya lekas tersanggahkan oleh Hanafi.
“Rina kita akan toko pakaian dulu
sebelum mencari penginapan. Aku tak tahan melihatmu diperlakukan seperti ini.”
“Eh tapi Kakak butuh istirahat! Rina
baik-baik saja –“
“Tidak, aku tak bisa istirahat jika
melihatmu diperlakukan seperti ini!” geram Hanafi menunjukkan keseriusan. Rina
hanya terdiam dan tak berani membantah ketika melihat kakaknya yang benar-benar
memperlihatkan kemarahan.
Mereka mencari toko pakaian di dalam
kota selama beberapa menit sebelum akhirnya menemukan di dekat serikat
petualang.
Keduanya pun memasuki toko pakaian
itu. Rina terlihat berdiri di depan pintu dengan ekspresi wajah kebingungan,
tidak seperti Hanafi yang berjalan cepat mendekati kasir dan langsung berkata.
“Aku ingin pakaian yang pantas untuk
wanita itu. Jika bisa, aku juga menginginkan penutup sebelah mata untuknya!”
Penjaga kasir itu terlihat memasang
wajah datar dan mengamati jaket kusam Hanafi. Dia lekas menutup mata dan
menghela nafas lalu berucap.
“Hei Anak Muda, mungkin kau merasa
kaya karena pertama kali mendapatkan bayaran dari kerjaanmu. Tapi ini bukan
tempat sembarangan yang bisa didatangi oleh kau dan adikmu itu. Jika kau
mencari pakaian murah, cari saja dipasar bagian timur kota ini. Kau tau,
pakaian termurah di toko ini seharga 3 koin tembaga. Jika kau punya uang segitu
maka kau boleh menginjakkan kaki di toko–“
“Hei Pak Tua, suasana hatiku
benar-benar tak enak hari ini. Bisa kau lakukan tugasmu dengan benar atau aku
akan cari toko pakaian yang lain,”kesal Hanafi sambil mengeluarkan 1 koin perak
di atas meja kasir.
“Ka-ka-kau darimana dapat uang
sebanyak itu!? Apa kau mencuri uang bangsawan setempat!?” penjaga kasir bertanya dengan nada gagap
ketakutan ke arah Hanafi.
“Kakak bukanlah pencuri!! Dia
mendapatkan uang itu dari –” Rina berteriak marah dan berjalan cepat menuju
meja kasir, tapi lagi-lagi ucapannya terpotong oleh sang kakak.
“Tak hanya memberikan pelayanan
buruk, kau juga menunduh pelangganmu yang bukan-bukan ....” geram Hanafi sambil
menurunkan resleting jaket kusamnya. Penjaga toko pun mulai terkejut dengan
jaket Hanafi yang seperti itu.
Tak mengherankan mengingat pertama kali bagi
dia yang melihat teknologi menyambung dua kain secara praktis seperti itu.
Tapi keterkejutannya tidak sampai di
sana ketika Hanafi memperlihatkan seragam sekolahnya yang elegan, khususnya
lambang OSIS miliknya.
“Apa ini tanda jika kau memiliki
masalah dengan Kerajaanku, atau kau ingin memiliki masalah dari seorang
Pangeran sepertiku.”
“Kakak yakin tentang hal ini ...?” Rina bertanya cemas menatap sang kakak.
“Kau diam dulu, Rina.” Hanafi
berucap sambil terus memberikan tatapan lebar dan tajam pada penjaga toko yang
terdiam mematung.
Perlahan tubuhnya mulai bergemetar.
Wajahnya membiru ketakutan ketika melihat lambang di saku dada milik Hanafi.
Dia pun lekas keluar dari meja
kasir, bersujud, dan berteriak memohon ampunan karena ketidaksopanannya. Dia
bahkan sampai menangis sambil mengeluarkan berbagai macam alasan agar
mendapatkan ampunan dari lelaki berambut coklat.
“Aku
tak menyangka akan seefektif ini. Tapi bukankah ini berlebihan,” datar
Hanafi dalam hatinya.
“Baik, aku mengampunimu. Sekarang,
berikan pakaian terbaik untuk adikku. Adikku memang seorang Duplicare yang
sering dianggap rendah. Tapi di kerajaanku dia adalah seorang Putri yang
dijunjung tinggi keberadaanya. Jadi, jika kau membuatnya tersinggung, kepalamu
adalah bayarannya,” Hanafi memberikan tatapan rendah pada penjaga toko
tersebut, seolah memberikan intimidasi amat kuat hingga dia yang bersujud
berteriak takkan berani melakukan hal semacam itu.
Rina hanya menatap datar kakaknya
yang bertindak seperti itu. Tapi setelah itu dia hanya menghela nafas dan
tersenyum, lekas berucap pada penjaga toko yang masih bersujud itu.
“Mohon bantuannya yah Pak, dan
tolong jangan dipikirkan ucapan Kakakku yang bodoh ini.”
“Ta-tapi Rina!”
“Berisik, Kakak tunggu di luar saja!
Kalau enggak, sambil menungguku kenapa tidak daftar di serikat petualang saja?
Lumayan buat nambah pemasukan uang,” keluh Rina menutup matanya sesaat.
“Iya, aku juga berniat daftar
nanti,” ucap Hanafi sambil kembali menutup kemeja sekolahnya dengan jaket
kusam.
“Lalu untuk bayaran sesuai
permintaanku sebelumnya ..., apa segini cukup?” Hanafi bertanya ke arah penjaga
toko sambil menunjuk 1 koin perak yang tergeletak di atas meja kasir.
“It-itu terlalu banyak, Tuan Muda. Izinkan
saya menyiapkan kembalian untuk anda!!” penjaga toko itu lekas berdiri,
berjalan cepat memasuki pintu di belakang, berniat meyiapkan uang kembalian
untuk Hanafi.
Tak lama setelah itu dia muncul
dengan dua kantong berwana coklat. Terlihat tergesa-gesa dengan keringat di
sekitar wajah.
“Ini berisi 499 koin perunggu, dan
yang ini berisi koin 80 koin tembaga, Tuan Muda!” penjaga Toko menjelaskan,
menunjuk kantung serut bertali merah lalu bertali coklat.
“Baiklah, terima kasih. Kuharap kau
tidak sedang membohongiku,” senyum ringan Hanafi berisi candaan, tapi ucapannya
itu direspon oleh sang penjaga toko yang ketakutan dan kembali bersujud.
“Saya bersumpah itu adalah harga
yang sebenarnya, Yang Mulia! Saya mana berani melakukan hal seperti itu pada
anda!”
“Kakak ....” Rina menatap datar
kakaknya memberikan peringatan.
“Baik-baik aku mengerti, aku hanya
bercanda!” khawatir Hanafi sambil berjalan mendekati pintu keluar. Sedangkan
adiknya hanya terus memasang wajah datar pada kakaknya.
“Aku titip adikku yah, nanti aku
jemput dia.” Hanafi berucap sebelum meninggalkan toko pakaian.
“Dimengerti, Tuan Muda!”
***
Bangunan Serikat Petualang terlihat
lebih besar dari sekitarnya. Memiliki dua lantai dengan tekstur tembok lama
yang sudah dimakan usia.
Hanafi mulai berjalan melewati pintu
masuk bangunan tersebut yang terbuka begitu saja. Wajahnya terlihat menunjukkan
kelelahan. Garis hitam benar-benar terlihat di bawah mata, wajar dari dia yang membutuhkan
istirahat.
Kedatangan Hanafi di serikat tersebut
membuat para petualang setempat di dalam bangunan memberikan perhatian padanya.
Lelaki bertubuh besar dan kekar
berdiri dari kursi. Berjalan sambil membawa gelas bir di tangan kanan. Lalu mulai
menghalangi jalan Hanafi sambil berucap.
“Apa kau tersesat di sini, Bocah!?
Ini bukan tempat yang bisa didatangi anak kecil sepertimu.”
“....” Hanafi menutup mata, tak
terlihat sedikit pun ketakutan karena rasa lelahnya. Dia hanya bisa berucap
dalam hati.
“Perlakuan
mereka di sini benar-benar berbeda di Desa. Apa semua orang di kota seperti
ini!?”
“Hey, Ishal! Jangan ganggu anak itu!
Dia mungkin ada keperluan di tempat ini!” teriakan seorang wanita terdengar di
belakang tubuh lelaki besar bernama Ishal.
Itu perempuan berambut hitam sampai
pundak yang berdiri dibalik meja resepsionis. Wajahnya terlihat seperti wanita
asia yang enak dipandang.
“Geh!” Ishal terlihat kesal ketika
mendapatkan terguran perempuan resepsionis. Dia pun kembali duduk sambil
memberikan lirikan sinis pada Hanafi.
Hanafi kembali berjalan mendekati
meja resepsionis. Membuka mulut dan berniat berucap.
“Aku–“
“Namaku Ellie, apa ada yang bisa
kubantu, Anak Muda?” Tapi perempuan resepsionis bernama Ellie bertanya lebih
cepat. Membuat Hanafi memperbaiki ucapan kalimatnya.
“Namaku Hanafi, aku ingin mendaftar
sebagai petualang?”
Sontak tertawaan keras seluruh
penghuni ruangan terdengar. Hal itu sedikit membuat Hanafi terkejut dan
berbalik ke belakang karena kebingungan.
“Diam!” Ellie menggeram memberikan
tatapan tajam ke seluruh penghuni ruangan yang tertawa.
Keheningan langsung datang,
intimidasi dari wanita resepsionis itu benar-benar efektif. Membuat Hanafi
berpikir jika gadis bernama Ellie ini punya pengaruh besar di serikat.
“Biar kutanyakan beberapa hal dulu
mengingat risiko amat tinggi jika bekerja menjadi seorang petualang. Apa kau
seorang Eluser?”
“Bukan, aku tak bisa menggunakan
sihir. Tapi ingin bisa.” Hanafi menjawab dengan senyuman kecil terpampang.
“Oh jadi kau seorang Phyuser?”
“Tidak, bukan juga.” Hanafi
menggelengkan kepala sambil menutup mata sesaat.
“Ehh!? Jadi kau hanya manusia
biasa,” cemas Ellie mengamati Hanafi cukup dalam.
“Ya aku hanya manusia biasa.”
“Aku sarankan kau tak mengambil
pekerjaan ini. Memang benar ada permintaan yang mudah seperti mengumpulkan
tanaman herbal, tapi itu jarang bertambah sedangkan petualang tingkat awal
sepertimu sudah amat sangat banyak. Aku takut kau tak bisa mendapatkan uang
cukup untuk hidupmu,” Ellie menjelaskan cemas. Bukan berarti merendahkan
Hanafi, tapi wajar saja dari dia yang hanya melihat sekilas kondisi Hanafi yang
memakai jaket kusam. Selain itu bentuk tubuh Hanafi yang kurus benar-benar
terlihat mengkhawatirkan.
“Ah tak apa, tolong daftarkan aku.
Adikku memaksa jika aku harus daftar di serikat petualang untuk menambah
penghasilan.”
“Itu yang ingin kusampaikan, Hanafi.
Karena banyaknya jumlah petualang seperti kamu, permintaan mudah seperti
mengumpulkan herbal selalu saja habis di papan pengumuman. Aku tak menyarankan
kamu untuk mengambil pekerjaan in ....” Ellie menghentikan ucapan, lekas
memberikan tatapan lebar pada Hanafi dan berucap memperbaiki kalimatnya.
“Tunggu! Kau bilang menambah
penghasilan!? Apa kau sudah punya pekerjaan!?”
“Ahhh ak-aku seorang pedagang muda,”
Hanafi langsung menjawab dengan nada gugup.
“Terus kenapa kau masih ingin
menjadi seorang petualang!? Di sini tempat yang sangat keras, jika kau tak
memiliki teman yang memiliki pengaruh di serikat, kau hanya akan menderita,”
Ellie berucap, sedikit memelankan suara di ucapan terakhir sambil mengamati
sekitar.
“Tak apa, tolong biarkan aku
mendaftar di serikat ini. Mungkin aku akan jarang berkunjung untuk mengambil
permintaan, tapi adikku pasti menginginkan aku mendaftar di sini.” Hanafi
menjelaskan.
“Baiklah jika kau bersikeras. Untuk
biaya registrasinya 1 koin tembaga dengan harga masa aktif satu bulan 100 koin
kuningan.”
Hanafi mulai mengeluarkan kantong
serut bertali coklat. Itu kantong serut yang berisi koin tembaga. Uang kembalian
dari penjaga toko pakaian sebelumnya.
Hanafi mengeluarkan dua koin tembaga
dan meletakkan di atas meja kasir sambil berucap.
“Apa segini, Kak Ellie?”
“Panggil Ellie saja, tapi melihatmu
yang memiliki kantong tembaga penuh itu .... Apa kau pedagang yang kaya
Hanafi?”
“Eh tidak, ini hanya pemberian
adikku.” senyum cemas Hanafi menolak kontak mata dengan lawan bicaranya. Ellie
hanya memasang wajah datar pada Hanafi sambil mengambil 1 koin tembaga yang
diletakkan Hanafi.
“Kenapa kau mengeluarkan 1 koin
tembaga yang satunya?” tanya Ellie sambil menatap 1 koin tembaga yang masih
tergeletak di atas meja resepsionis.
“Eh, tentu saja untuk membayar masa berlaku
satu bulannya?”
“Kenapa kau tidak bayar langsung 100 koin
kuningan saja?”
“Maaf, aku hanya punya koin
tembaga.”
“Ini sebabnya kutanyakan apa kau
orang kaya, Hanafi. Orang macam apa yang tak mempunyai uang kuningan. Bahkan
bangsawan saja tak seperti ini,” Ellie masih berwajah datar dan kembali
mengambil koin tembaga Hanafi.
“Ak-aku hanya kehabisan koin itu,”
gugup Hanafi kembali mengalihkan pandangan dari Ellie.
“Baik baik, aku paham. Ini
kembaliannya.” Ellie mengeluarkan kantong serut lainnya. Talinya berwarna
kuning.
“Isinya 400 koin kuningan. Jangan
kehabisan koin ini, Hanafi. Koin ini selalu berguna untuk membayar kebutuhan kecil
seperti membeli makan atau yang lainnya.”
“Baik, terima kasih, Ellie.” Hanafi
menerima kembalian, dan lekas memasukkan koin tersebut ke dalam tas ranselnya.
“Sekarang letakkan kedua tanganmu di
atas bola kristal ini!” Ellie menunjuk bola kristal yang sejak awal terletak di
meja resepsionis. Hanafi pun mengikuti perintah dari Ellie.
Lalu, beberapa saat kemudian.
“Baiklah, sudah selesai!”
“Eh hanya itu saja?!”
“Iya memangnya mau apa lagi? Item
sihir ini akan langsung menerima informasi dasar tentangmu, seperti nama, umur,
dan jenis kelamin. Kami tidak mengadakan tes masuk apapun, jadi tenang saja.
Lalu untuk kartu petualangnya bisa diambil besok pagi.”
“Ohh besok, baiklah kalau begitu.
Aku akan datang lagi ke sini besok.”
“Lalu Hanafi, apa ada lagi yang
ingin kau tanyakan?” senyum Ellie sambil menompang dagu dengan kedua tangan.
“Aku ingin bertanya tentang sistem
di serikat ini. Apa ada semacam peringkat atau kelayakan mengambil permintaan?”
“Ya tentu saja ada yang seperti itu.
Saat ini kau memulai dari tingkat 10, sebagai petualang pemula. Jika kau terus
menjalankan misi, maka kau bisa dipromosikan ke tingkat berikutnya oleh kami
dan dapat mengambil permintaan lebih tinggi.”
“Contohnya seperti ini,” Ellie
kembali berdiri lalu jonkok mengambil selembaran yang berada di bawah meja.
“Lihat di dalam selembaran
permintaan ujung kanan atas, ada kotak kategori tingkat seperti ini. Di sini
tertulis 9~8, berarti permintaan ini dianjurkan untuk tingkat 9 atau 8. Jadi,
Tingkat 10 sepertimu tak bisa mengambil permintaan ini.”
“Lalu bagaimana tingkat lebih tinggi
dari itu, seperti Tingkat 5? Apa mereka bisa mengambil permintaan ini juga?”
“Hahaha tentu saja bisa. Tapi jika
tingkatanmu terlalu tinggi, kami selaku serikat akan mewajibkanmu untuk bekerja
dalam kelompok yang sesuai dengan permintaan itu.”
“Ah aku mengerti, agar para
petualang di tingkat permintaan itu tidak kehilangan pekerjaan,” senyum Hanafi
menganggukkan kepala.
“Tepat sekali! Kamu pintar, Hanafi.”
“Lalu apa ada cara lain menaikkan
tingkat dengan cepat selain menyelesaikan permintaan? Bukan berarti aku ingin
naik tingkat secepatnya, hanya ingin tahu saja.”
“Jika tidak dengan misi kau bisa
menaikkan tingkatmu dengan kontribusi besar pada serikat. Bukan berarti dalam
materi, melainkan jasa dari permintaan khusus dari serikat.”
“Permintaan khusus?”
“Iya permintaan khusus. Biasanya
permintaan ini memiliki tanda di kotak kategori berupa lambang serikat. Tapi
ini jarang terjadi. Selain permintaan khusus juga ada juga permintaan resmi
dari berbagai macam Kerajaan dengan lambang Kerajaan tersebut di kotak
kategorinya.”
“Tapi jika begitu bagaimana
petualang tahu tingkat bahayanya jika hanya mengandalkan lambang seperti itu?”
“Bukankah itu tugasnya kami? Jangan
sungkan bertanya pada kami selaku resepsionis tentang permintaan yang akan kamu
ambil, Berkonsultasi sebelum mengambil permintaan adalah pilihan yang bijak.”
Ellie menjelaskan dengan senyuman manis yang tersungging di wajah.
“Akan kubiasakan hal itu. Lalu
Ellie, apa kau punya rekomendasi untuk penginapan di kota ini?”
“Ah kalau soal penginapan lebih baik
di Penginapan Catstairs saja, mereka kerabatku. Hanya tiga bangunan ke arah
kanan dari serikat ini. Memang cukup merogoh kocek permalamnya, tapi aku jamin
pelayanan dan makanannya adalah terbaik di Kota ini!” Ellie menjelaskan dengan
eskpresi antusias.
“Baiklah aku akan langsung ke sana
setelah menjemput adik perempuanku.”
“Memangnya dimana adik perempuanmu?”
“Dia sedang membeli baju di toko
pakaian dekat serikat ini.”
“Ehh maksudmu toko pakaian itu!?
Bukankah harga pakaian dalam toko itu sangat fantastis, bahkan ada yang sampai
seharga 1 perunggu. Itu seharga dua puluh binatang ternak inka.”
“In-inka? Ahh iya memang ada yang
seharga seperti itu,” khawatir Hanafi kembali mengalihkan pandangan dari Ellie.
Sedikit penasaran dengan binatang ternak yang disinggung Ellie.
“Dan
aku membeli baju seharga 1 koin perunggu itu ...,” lanjutnya dalam hati.
“Hanafi kau ..., siapa sebenarnya?
Anak semuda kau memiliki uang sebanyak ini bukan hal yang wajar,” cemas Ellie
dengan nada pelan dan menyipitkan mata penuh curiga. Hanafi tetap mengalihkan
pandangan dan kembali bergumam dalam batinnya.
“Aku
tak bisa bilang ini pemberian kedua Putri Kerajaan besar. Aku juga tak bisa
mengatakan ini imbalan dari desa karena membasmi para Amygons.”
“....”
“Yah tak apa jika kau tak mau
mengatakan apapun. Tapi nanti ketika kau sampai di Catstairs, katakan saja jika
aku yang merekomendasikanmu. Mereka akan memberikanmu potongan harga,” senyum Ellie
berucap pelan sambil menyembunyikan gerakan bibir dengan telapak tangan kanan.
“Baiklah, terima kasih atas
bantuannya, Ellie.”
“Aku juga, dan selamat datang di
serikat petualang. Mohon kerja samanya mulai dari sekarang yah, Hanafi.”
“Ya!” Hanafi menganggukkan kepala lalu
berjalan menuju pintu keluar. Meninggalkan serikat petualang.
***
No comments:
Post a Comment