Tittle: Exitium
Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy
Author: r lullaby
Status: Ongoing
Chapter 9
Permintaan Pertama
Waktu bergerak maju dan hari pun berganti.
Matahari kembali datang menyinari dunia yang kini ditinggali Hanafi.
Setelah membersihkan badan di kamar
mandi, Hanafi dan Rina mulai meninggalkan penginapan untuk pergi ke suatu
tempat. Tujuannya bukan yang lain selain Serikat Petualang.
Hanafi berniat mengabil kartu
identitas miliknya pagi hari ini di serikat petualang bersama dengan adiknya.
“Rina, kupikir kita harus membeli
tas dan beberapa pakaian lagi untukmu,” Hanafi membuka pembicaraan ketika masih
melangkahkan kaki. Rina yang berjalan di sampingnya juga mulai membuka mulut, dan
berucap menambahkan pernyataan sang kakak.
“Buat Kakak juga yah.”
“Iya, kita tak bisa seterusnya
memakai pakaian ini. Kau harus membeli pakaian khusus tidurmu sendiri juga.”
“Kakak juga yah!”
“Aku tak perlu. Aku sudah biasa
memakai pakaian sehari-hari untuk tidur.”
“Ya kalau gitu Rina juga gak perlu,”
senyum Rina melirik Hanafi.
“Tapi Rina, kau seorang gadis. Harus
lebih –“
“Gak mau, gak bisa gitu! Kalau Rina
beli, Kakak juga harus!”
“Ehhh ...!?” Hanafi menutup mata
dengan ekspresi kecemasan tersungging di wajah.
“Baiklah! Nanti setelah mengambil
kartu, kita akan membeli beberapa baju.”
“Nah, seperti itu dong! Ah, sekalian
juga kita beli beberapa kebutuhan, Kak!” ucap Rina dengan kepala menengok ke
Hanafi. Senyuman lebarnya pun terlihat di wajah hingga membuatnya semakin
menggemaskan.
“Kau benar,” Hanafi membalas
senyuman sang adik, lalu menganggukkan kepala tanda menyetujui pernyataan.
Berakhirnya percakapan, tak terasa mereka
berdua sampai di tempat tujuan– Serikat Petualang. Hanafi berjalan memasuki
bangungan tersebut diikuti adiknya yang berjalan mengikuti sang kakak. Jarak
keduanya sangat tipis mengingat Rina yang terlihat terus menempel di punggung
sang kakak.
Pusat perhatian di dalam bangunan
itu menjadi milik mereka, khususnya kepada gadis rupawan yang memakai pakaian
layaknya bangsawan.
Hal itu sedikit membuat wajah Rina
cemas, dan sedikit tak menyukai tatapan orang-orang bertubuh kekar dan
menyeramkan yang tertuju padanya.
“Wah Hanafi kau datang juga. Kali
ini bersama adikmu yah,” senyum Ellie dengan wajah sedikit pucat, tapi gadis
berambut hitam itu terlihat menyembunyikan rasa letihnya dengan senyuman lebar.
“Ellie, kau tidur jam berapa
kemarin?” Hanafi bertanya dengan senyuman cemas.
“Eh ap-apa masih terlihat jelas
yah?” tanya Ellie cukup gugup dan di akhiri tawaan kecil.
“Kantung mata hitamnya terlihat
dengan jelas, Kak Ellie!” Rina menengok dari tubuh Hanafi, dan menyunggingkan
senyuman di wajah.
“Ehh begitu, kah?! Argh, ini semua
gara-gara Letia! Aku harusnya tau kalau dia libur hari ini, pasti saat ini
gadis jeruk itu sedang tidur lelap di kasurnya!” Ellie menggerutu sambil
menggigit bibir bawah. Terlihat kesal menatap langit-langit bangunan. Hal itu
membuat Hanafi dan Rina memberikan ekspresi datar padanya.
“Yah baiklah lagipula bagianku hari
ini cuman sampai siang,” lanjut Ellie sambil mengambil sebuah kotak penyimpanan
kecil dari bawah meja, lekas mencari sesuatu dari kotak penyimpanan tersebut.
“Ah, ketemu!” lanjut Ellie sambil
mengeluarkan kartu identitas berwarna hitam pekat. Dia lekas memberikan pada
Hanafi dan kembali berucap dengan nada kecemasan.
“Maaf
yah kartu ini agak aneh. Soalnya kami tak bisa mendeteksi spesialis dan tingkatanmu.
Bahkan untuk jenis ras juga, malah keluar tulisan aneh.”
“Spesialis dan tingkatan? Maksudnya?”
Hanafi bertanya bingung sambil menerima kartu identitas miliknya.
Tulisannya berwarna putih dan tertera nama,
umur, jenis kelamin, spesialis, dan tingkat.
“Ah aku belum menjelaskan soal kertu
identitas yah? Maaf maaf, biar aku jelaskan sekarang.” Ellie berucap sambil
menyimpan kembali kotak penyimpanan ke bawah meja.
“Jadi biasanya kartu identitas kami
itu akan menampilkan informasi dasar berserta kemampuanmu. Nama, umur, beserta
jenis kelamin memang muncul dalam kartumu, tapi coba lihat bagian ras, spesialis
beserta tingkatannya.” Ellie menjelaskan dengan wajah sedikit khawatir.
“Ini tak jelas terlihat seperti
banyak simbol.” Hanafi kebingungan sambil mengamati kartu identitasnya. Rina
juga sedikit mengintip ingin melihat kartu identitas milik kakaknya.
“Mungkin itu artinya jika bola
kristal kami tak bisa membaca kemampuanmu. Biasanya spesialis itu hanya ada
tiga, yakni Eluser, Phyuser, dan Ordinary. Untuk kasusmu seharusnya masuk ke
dalam golongan ketiga mengingat kamu yang hanya manusia biasa.”
“Begitu ....” Hanafi pun mulai
menunjukkan wajah kekhawatiran. Tidak seperti Rina yang masih berwajah
penasaran sambil menekan lengan Hanafi yang membawa kartu ke bawah. Ingin
melihatnya dengan lebih jelas.
“Untuk tingkat spesialisnya juga
sama, yakni sesuai dengan tingkatan yang kita ketahui secara umum. Jika golongan
Ordinary, maka kolom tingkat ini seharusnya kosong. Tapi dalam kasusmu di sana
tidak kosong, malah ada tulisan aneh yang tak dapat kami mengerti.”
Hanafi menyipitkan mata, mendekatkan
kartu yang ia bawa pada wajahnya. Rina yang belum selesai melihat itu lekas
memasang cemberut tak senang.
“Ah,
aku pernah melihat bahasa ini di duniaku. Mungkin ini alfabet koptik yang beberapa
huruf seperti alpha dan beta digunakan dalam beberapa pelajaran. Tapi
kebanyakan aku tidak tahu dan mengerti karena tak pernah memperlajarinya.”
“Lalu satu hal lagi ....” cemas
Ellie. Mulai sedikit memajukan tubuhnya mendekati Hanafi sambil menggunakan
telapak tangan kirinya sebagai tumpuan pada meja. Dia mulai menunjuk kartu
Hanafi dengan tangan kanan sambil melanjutkan pernyataan.
“Warnanya hitam. Sedikit
menakutkan.”
“Eh, apa warna ini aneh? Kupikir
semua kartu identitas memiliki warna yang sama!?”
“Ini pertama kalinya aku lihat warna
seperti ini. Biasanya warna merah untuk Phyuser, biru untuk Eluser, dan hijau
untuk Ordinary.”
“Be-begitu, lalu bagaimana sekarang
dengan nasibku di serikat ini?”
“Untuk sekarang jika ada yang
menanyakan tentang kartumu, jawab saja jika ada kesalahan dalam pembuatan
kartumu.
Saat ini kami juga sedang melakukan pemeriksaan
pada bola kristalnya,” senyum khawatir Ellie sambil menatap meja di hadapannya
yang tanpa bola kristal.
“Baiklah, maaf yah sudah merepotkanmu sampai harus
memeriksa bola kristal it–“
“Ini bukan salahmu, Hanafi. Abaikan saja
masalah kartu bodoh ini. Tapi kau sudah terdaftar dalam serikat ini, jadi
jangan sungkan untuk melakukan pengambilan permintaan di sini. Selain itu, yang
terpenting dari kartu itu adalah informasi dasar tentangmu.”
“Begitu, baiklah, Ellie!” senyum Hanafi
menganggukkan kepala, lekas memberikan kartu identitas pada Rina yang terus
memasang cemberut. Sontak senyuman Rina langsung datang sambil mengambil cepat
kartu identitas Hanafi.
Di saat Rina mengamati kartu identitas sang
kakak, Hanafi kembali mengeluarkan suaranya mengajukan pertanyaan pada gadis di
hadapannya.
“Ngomong-ngomong ada permintaan yang cocok
dengan kondisiku sekarang, Ellie?”
“Karena kau datang pagi, permintaan untuk
petualang tingkat 10 masih banyak dan belum kupasang di papan pengumuman.
Pertama cari kucing bangsawan yang hilang, lalu
kedua membantu memperbaiki rumah, dan yang terakhir mengumpulkan 15 tanaman
jamur ungu di Hutan Asvia. Kamu pilih yang mana?” Ellie menjelaskan sambil
melihat secara satu persatu lembar permintaan, dan di akhiri dengan tatapan langsung
pada Hanafi.
“Mencari kucing merepotkan sepertinya. Lalu
membantu membetulkan rumah sepertinya banyak pekerjaan berat, dan tak cocok
untuk Rina. Aku pilih yang terakhir saja.”
“Mengumpulkan tanaman saja? Baiklah, tapi aku
tak menyangka jika kau akan mengikutsertakan adikmu sendiri,” senyum Ellie
sambil memisahkan lembaran permintaan yang diambil Hanafi dengan lembar
permintaan lainnya, setelah itu lekas menulis di buku pengambilan permintaan
petualang.
“Justru sebaliknya, Ellie. Dia pasti akan
memaksa untuk ikut membantu,” cemas Hanafi berbisik sambil menyembunyikan gerakan
bibir dari Rina yang masih mengamati kartu identitas Hanafi.
“Hahaha, sepertinya repot juga yah memiliki
adik yang terlalu baik,” Ellie lekas tertawa sambil memejamkan mata sesaat.
“Begitulah ....” Hanafi membalas tertawaan
Ellie dengan mata yang juga tertutup.
“Baiklah sudah selesai proses pengambilannya.
Biasanya sih petualang langsung mengambil lembar permintaan, berteriak padaku,
dan pergi begitu saja. Tapi karena kau masih pemula lebih baik seperti ini saja.
Ah dan juga jika kau tak bisa menyelesaikan permintaan ini dalam tiga hari, kau
harus segera melapor sambil membawa barang permintaan semampumu,” senyum Ellie.
“Baik aku mengerti,” senyum Hanafi
menganggukkan kepala sambil menerima kartu identitas miliknya yang diberikan
oleh sang adik.
“Langsung dapat permintaan, Kak? Jadi apa
permintaanya?”
“Mengumpulkan tanaman seperti jamur ungu?”
Hanafi menjawab sambil berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.
“Waaah ..., benar-benar permintaan untuk
petualang pemula,” celetuk Rina dengan tawaan kecil di akhir perkataan sambil berjalan
mengikuti kakaknya menuju pintu keluar.
“Aku kan memang petualang pemula.”
“Benar-benar aneh kalau petualang pemula inilah
yang sudah membelah Gunung Suci Skyvia,” pelan Rina dengan senyuman yang
menggoda kakaknya.
“Be-berisik, jangan membahas itu di sini,”
senyum cemas Hanafi menutup mata.
“Hahahaha, maaf-maaf Kak.”
“Karena ucapanmu itu aku jadi ingat sesuatu.
Aku akan membicarakannya nanti ketika kita sudah sampai di Hutan Asvia.” Hanafi
terlihat berwajah cemas dan membuka matanya kembali. Tatapannya lurus ke arah
depan, dan sedikit membuat adiknya cemas.
“Eh ....?”
***
“Melihat perlakuan mereka padamu
yang berubah bukankah membuatmu lebih tenang?” Hanafi tersenyum sambil melirik
Rina yang berjalan di samping kanan.
“Tidak sama sekali! Yang ada hanya
membuatku geli!” ketus Rina sambil memejamkan mata beberapa saat.
Keduanya terlihat sudah berjalan di
luar kota, dan menuju ke arah hutan yang menjadi tujuan mereka.
“Bukankah ini hutan yang kita lalui
dari Desa Karot ke kota ini?” Hanafi bertanya dengan mata yang mulai menyipit
seolah sedang memastikan tempat.
“Hah? Kakak baru menyadarinya?” Rina
sedikit terkejut dan menoleh ke arah sang kakak dengan tatapan keheranan.
“Iya, Kakak tak menyangka Hutan
Asvia itu hutan yang kita lalui sebelumnya. Tapi karena kita sudah pernah
melewati hutan ini, bukankah hal ini menjadi lebih mudah?”
“Tidak ada yang berubah, Kak! Jalan
setapak yang kita lalui kemarin hanyalah pinggiran hutan. Sepertinya, kita
harus memasuki lebih dalam jika ingin mencari jamur ungu.”
“Eh, beneran?”
“Tentu saja! Di dalam hutan biasanya
ada binatang buas, monster, dan mungkin Sleazer. Jika mencari jamur ungu
semudah seperti yang Kakak pikirkan, lalu untuk apa orang-orang memasang
permintaan pekerjaan ini?”
“Eh jadi ini tugas yang lumayan
sulit?” tanya cemas Hanafi.
“Beberapa petualang pemula pastinya
harus berhati-hati dan menghindari pertarungan. Tapi untuk kasus kakak .... mau
binatang buas, monster, dan Sleazer itu bukanlah masalah,” senyum kecil Rina
seolah meledek kakaknya. Sedangkan Hanafi memasang wajah datar melihat tingkah
adiknya yang seperti itu.
Lalu setelahnya, mereka berdua pun
sampai dan memasuki jalan setapak di area pinggiran hutan. Mulai berbelok
menjauhi jalan setapak sambil melakukan pencarian barang permintaan.
“Kakak tau tanaman jamur ungu, kan?”
“Tentu saja, jamur yang berwarna
ungu kan?”
“Ya tidak salah sih, tapi entah
kenapa aku merasa kecewa dengan jawaban Kakak,” pelan Rina dengan nada datar.
Sedikit menghela nafas di akhir perkataan.
“....” Hanafi hanya tertawa kecil
melihat adiknya yang seperti itu.
Sudah berada di hutan yang lebih
dalam, Hanafi dan adiknya memutuskan untuk mencari barang permintaan bersama. Mengingat
peringatan sebelumnya dari sang adik. Hanafi yang memaksa itu, dan tak ingin
meninggalkan adiknya sendirian di dalam hutan.
Sambil mencari tanaman yang menjadi
barang permintaan, Hanafi mulai membuka mulutnya dan bertanya.
“Tapi tadi kau mengatakan Monster
dan Sleazer dalam kategori yang berbeda. Apa mereka berbeda?”
“Hah? Tentu saja berbeda, Kak! Ya
meski kebanyakan penduduk masih menganggap mereka sama. Tapi mereka benar-benar
berbeda.”
“Eh benarkah? Kukira mereka mahluk
yang sama,” senyum cemas Hanafi berjalan sedikit menjauhi Rina, lalu mulai
jonkok, dan memetik beberapa jamur berwarna ungu dekat dasar batang pohon
besar.
“Berbeda, Kak! Monster itu mahluk
hidup yang sudah terkontaminasi sihir hitam atau tak bisa mengontrol sihir
miliknya sendiri yang berlebih. Binatang, Sleazer, bahkan manusia sendiri bisa
menjadi monster,” Rina menjelaskan sambil menerima jamur ungu yang diberikan
Hanafi, memasukkan ke dalam kantung besar berwarna putih.
“Eh begitu yah. Tak kusangka manusia
juga bisa menjadi monster.”
“Tapi itu sangat jarang terjadi, dan
kebanyakan binatang lah yang berubah menjadi monster karena mereka tak
mempunyai akal setinggi manusia.” Rina melanjutkan penjelasan sambil menunjuk
jamur ungu lainnya yang terlihat olehnya.
“Lalu bagaimana dengan Sleazer?”
Hanafi kembali bertanya sambil berjalan cepat memetik jamur ungu yang ditunjuk
oleh adiknya.
“Sleazer juga jarang, tapi tak
sejarang pada manusia. Ada beberapa Sleazer kelas H bahkan sampai E yang bisa berubah
menjadi montser. Tapi itu tergantung jenis Sleazernya juga,” jelas Rina sambil
kembali memasukkan jamur ungu yang dia terima dari kakaknya.
“Begitu yah, jadi sebenarnya Sleazer
itu apa? Sejenis ras lain selain manusia?” Hanafi menatap tempat berpijak sambil
menyentuh dagu, dan memperlihatkan ekspresi kecemasan.
“Bisa dibilang seperti itu juga. Ada
yang mengatakan jika mereka leluhur Ras Manusia, Elf dan Beastman. Ada juga
yang menganggap mereka itu keturunan Bangsa Iblis yang sudah punah di masa
lalu. Tapi yang pasti tujuan mereka hanya satu, yakni menghancurkan umat
manusia.”
“Maksudmu, Rina?” Hanafi bertanya
menengok adiknya.
“Seperti yang kubilang sebelumnya,
Kak. Para Sleazer benar-benar memusuhi ras kita. Aku pernah tak sengaja
mendengar pembicaraan dulu di bar kota lain ketika aku masih diperlakukan rendah.
Aku dengar cerita jika ada Sleazer kelas D yang menyerang perkemahan petualang.
Hampir seluruh kelompok itu dibinasakan, dan yang terisa dari kelompok
petualang itu hanya satu.”
“Jangan katakan ...?” pelan Hanafi
bertanya sambil memberikan tatapan melebar.
“Benar, korban selamat itu bukanlah
manusia, melainkan Ras Beastman. Lebih dari itu korban yang selamat itu tak
terluka sedikitpun.”
“Benarkah seperti itu? Jika mereka
bisa memilih lawan, berarti mereka masih memiliki akal?”
“Aku tak tau, banyak orang yang
berasumsi akan kejadian itu. Tapi tentang kebaikan Sleazer pada ras lain selain
manusia sudah sering terdengar. Seperti rumor anak Elf yang tersesat dan
diselamatkan sekelompok Amygons. Lalu ada juga sekelompok sleazer kelas E bernama
Ratmounta yang membantu Kerajaan Beastman dalam melawan monster beruang
raksasa.”
“Apa kau yakin semua itu terjadi?”
“Aku tidak tau, lagipula itu hanya
rumor. Tapi semua orang mengetahui apa yang akan terjadi jika ras Sleazer
bertemu dengan ras kita. Mereka berubah layaknya seperti monster yang kehilangan
akal, membabi buta seakan ingin segera mengakhiri dan membinasakan ras kita.”
“Begitu ....” Hanafi terlihat paham
menganggukkan kepala.
“Tapi jika begitu bukankah ancaman
utama ras kita adalah Para Sleazer?
“Benar, dan kita harus menemukan
Sleazer kelas A ke atas untuk masalah ini. Bertanya pada Sleazer yang bisa berkomunikasi
dengan kita tentang alasan mereka memusuhi ras manusia. Setelah itu menemukan
titik temu agar hidup berdampingan.”
“Tapi masih ada kemungkinan juga
jika Sleazer kelas A itu tak mau bicara dengan kita dan memilih untuk langsung
menyerang.”
“Itu akan menjadi malapetaka untuk kaum
kita. Dalam sejarah yang kuketahui, kelas B saja sudah membuat beberapa
kerajaan di dataran ini keteteran, bahkan sampai membentuk aliansi untuk mengalahkannya.”
“....” Hanafi hanya berwajah cemas mendengar
penjelasan adiknya yang seperti itu.
“Baiklah, sudah membahas masalah ini. Lalu
bagaimana dengan ucapan Kakak waktu di dalam kota? Bukankah Kakak ingin
mengatakan sesuatu?” Rina bertanya sambil duduk di atas akar pohon yang keluar
dari tanah. Tatapan kecilnya tertuju pada lelaki yang ia hormati, dan tak lupa
menyunggingkan senyuman indah di wajah.
“Tentang itu Rina,” senyum kecil Hanafi
sambil berjalan mendekati sang adik, dan mulai menjelaskan tentang apa yang dia
dengar dari pembicaraan Ellie dan Letia.
Rina sontak tertawa lepas bahkan hampir
terjatuh ke belakang, tapi dengan sigap Hanafi menahan tubuhnya dengan ekspresi
cemas sekaligus kesal.
Rina hanya memegang perut karena tersiksa oleh
tertawaan yang berlebihan.
Hanafi lekas berwajah datar melihat
reaksi adiknya yang seperti itu. Kesal ada dalam hati, tapi kekesalannya itu
tak berlangsung lama karena melihat ekspresi kebahagiaan adiknya.
“Tertawaanmu belerbihan, Rina....”
“Ha-habisnya... hahaha, habisnya aku
tak menyangka akan jadi seperti ini! Alih-alih tak mau menarik perhatian, tapi
ini malah jadi lebih parah hahahaa...!”
“Di-diamlah, sudah berhenti tertawa!
Kau benar-benar terlihat berantakan,” senyum cemas Hanafi melihat adiknya yang
mengeluarkan air mata kebahagiaan.
“Hahaha... tapi dengan begini
bukankah Kerajaan OSIS milik Kakak semakin terkenal? Kenapa tidak menunjukkan
diri saja pada dunia, kuyakin Kakak akan hidup enak!”
“Tak akan pernah, tujuanku saat ini
mungkin belajar sihir dan mencari cara untuk jalan pulang ke duniaku.”
“Wah jadi kakak berasal dari dunia
yang lain?” Rina sontak menghentikan tertawaan. Lekas memberikan tatapan lebar
seolah terlihat terkejut.
“Iya, ma-maaf terlambat
memberitahumu.”
“Begitu. Tak apa-apa, Kak,” senyum Rina
sedikit menundukkan kepala.
“Baiklah, sekarang kita pulang. Bukankah
malam sebentar lagi datang?” senyum Hanafi bertanya sambil melihat langit yang
berubah kejinggaan.
“Eh tapi barang permintaan kita masih
kurang 6 lagi?” Rina bertanya cemas sambil melihat isi kantung berwarna putih.
“Tak apa, kita bisa melanjutkannya
besok.” Hanafi mengambil kantung putih itu dan memasukkan ke dalam tas dimensi
yang melingkar di pinggang. Ketika dia membuka kantung dimensi, seketika muncul
gerbang hitam yang menjadi pintu untuk memasuki tas dimensi.
“Rina, apakah tas ini bisa menyimpan
mahluk hidup?”
“Eehh, mana Rina tahu! Melihat
gerbang hitam itu juga masih terasa asing bagi Rina,” jawab Rina sambil
beranjak dari tempat duduknya.
“Mungkin aku akan melakukan
eksperimen pada tas ini nanti. Sekarang, kita kembali ke jalan setapak untuk
pulang,” senyum Hanafi sambil berjalan melewati pepohonan dan semak-semak di
sekitar.
“Iya, Kak ....” Rina berjalan
mengikuti sang kakak di belakang. Medan dilaluinya tidak sesulit sang kakak,
karena kakaknya itu sudah membuka jalan untuknya.
Beberapa saat kemudian, Hanafi mulai
melewati semak-semak, berhasil menemukan jalan setapak yang menghubungkan Desa
Karot dengan Kota Cordel.
Dia pun mulai membuka mulut dan
memberitahukan keadaan itu pada adiknya.
“Rina, aku menemukan jalan
setapaknya ....” Tapi ucapan Hanafi semakin mengecil di akhir, bahkan sampai
tak terdengar. Dia terdiam dengan tubuh gemetar hingga membuat adiknya berwajah
penasaran.
Tepat di hadapan Hanafi itu terlihat
seekor harimau putih raksasa yang membelakangi tubuh Hanafi. Di sekitar harimau
raksasa itu terlihat dua gerobak kereta kuda yang hancur terlihat mengerikan.
Darah merah berceceran di atas jalan setapak itu. Tubuh lelaki paruh baya yang
terkoyak dan tak bernyawa terlihat di bawah kaki harimau.
“Almbumy
Tigris, salah satu dari 28 Sleazer yang diwaspadai di dataran ini. Sleazer
kelas C, sang Raja dari Hutan Asvia.” Rina langsung berucap setelah melihat apa
yang membuat tubuh kakaknya gemetar. Tatapan gadis itu kosong bagai sudah
melihat kematian, dan mungkin sudah berpikir jika ajal sudah datang untuknya.
Harimau itu mulai menoleh ke
belakang, dan memberikan tatapan mengancam pada sang kakak beradik. Lalu, membuka
mulut dan mengaum keras hingga bergema ke arah mereka. Syarat dari dia yang
memperlihatkan kemarahan.
Dengan perasaan takut dan terancam,
Hanafi berjalan mundur, berbalik, menggendong sang adik, dan lekas berlari
kembali memasuki hutan.
Melihat reaksi mangsanya, Harimau itu pun
berbalik ke arah mereka, mengabaikan sekitar sambil mengejar menghancukan
pepohonan yang menghalang.
Raut
wajah Hanafi semakin cemas saja ketika sadar kalau Harimau itu telah berlari
mengikuti mereka.
“Ka-Kakak!” Rina mulai berteriak cemas, dan terdengar sedikit
bergetar nada suaranya. Wajar dari dia yang sedang
ketakutan. Hal itu terbukti dari tubuhnya yang bergemetar.
Melihat adiknya yang seperti
itu, Hanafi lekas semakin memeluk erak tubuh sang adik. Berucap dengan senyuman yang
seolah sedang menguatkan diri.
“Rina, tenanglah ...! Kakakmu ini sedang
berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa kita!”
Rina
tersenyum setelah mendengar pernyataan kakaknya. Tubuhnya mulai terlihat
sedikit lebih tenang. Dia pun membuka mulut dan berucap.
“Tapi– ah ....”
Ucapannya
tak terselesaikan karena ada pasir yang memasuki salah satu matanya yang
terbuka. Rina sedikit menggosok mata tersebut hingga matanya memerah dan
mengeluarkan air mata.
Hanafi
yang melihat Rina seperti itu mulai salah sangka. Dia
lekas berbalik dan menurunkan Rina, lekas menyuruh sang adik untuk
berlindung di belakang tubuhnya.
Sesaat
wajah Rina terlihat kebingungan karena tindakan Hanafi. Tapi itu tak lama dan
berubah menjadi wajah yang membiru ketakutan ketika melihat kakaknya yang mengambil
sebuah batu di atas tanah.
Tak dalam waktu yang lama,
Hanafi mulai berkonsentrasi ingin memberikan serangan. Lekas
besiaga melemparkan batu yang ia genggam ke arah targetnya.
Tetesan
keringat mulai terlihat dan mengalir pelan melewati pelipis kirinya. Wajahnya
yang terlihat cukup khawatir mulai bergumam pelan dalam hatinya.
“Semoga aku tak
berlebihan ....”
Rina yang semakin yakin akan tindakan Kakaknya lekas berteriak ketakutan
sambil memegang erat baju
sang kakak.
“Tunggu,
Kakak!!”
Tapi sayang, Hanafi telah
melemparkan batunya ke arah harimau yang sudah menerkam mereka dengan
nafsu
membunuh yang kuat.
Pelepasan batu dari tangan kanan Hanafi terlihat amat menakutkan hingga memberikan
dampak besar pada sekitar.
Lalu
dalam sekejap, batu
yang dilayangkan Hanafi
itu menembus tubuh targetnya dengan amat sangat cepat.
Darah merah langsung keluar dari harimau yang terlihat perkasa itu.
Bahkan
setelah menembus harimau itu. Batu yang dilemparkan Hanafi terus
melesat jauh ke belakang. Memberikan jejak yang membekas di belakangnya.
Pepohonan
terlihat tumbang. Burung-burung berterbangan seakan ketakutan. Tanah terlihat
membekas karena angin yang terbelah oleh kecepatan batu itu yang di luar nalar.
Bagaikan
tembakan meriam
petir yang menghancurkan apapun dilewatinya.
Harimau
itu seketika melayang jatuh ke arah mereka dengan tatapan kosong tak bernyawa. Hanafi dan
Rina hanya memiringkan tubuh berniat menghindari mayat monster yang masih
melayang itu. Mereka berdua hanya melirik mayat harimau itu yang membentur
tanah dengan sangat
keras.
Setelah itu, Rina
lekas berlari cepat menghampiri mahluk itu yang
mati secara menggenaskan. Bagian kepalanya berlubang besar hingga menuju bagian
belakang.
Rina
sungguh menatap sedih mayat harimau yang beberapa saat lalu ingin menerkamnya.
“Kakak
...!!” teriak kesalnya menatap tajam sang kakak.
“Ta-tapi kau terlihat menangis
tadi –“
“Aku hanya kelilipan oleh pasir!
Bukan menangis!
“Be-begitu yah
...,” Hanafi
mulai memasang wajah bersalah di hadapan
adiknya.
“Jika
memang ingin melawan, Kakak
bisa kan jika hanya membuat Almbumy Tigris ini lumpuh. Kenapa harus sampai membunuhnya?”
Rina bertanya
cemas.
“Ak-aku memang berniat seperti itu tadinya,” batin
Hanafi
sambil membuang pandangan dari sang adik.
“Mungkin
dia ini seorang ibu yang mencari makanan untuk anak-anaknya. Kenapa Kakak
membunuhnya? Bagaimana dengan anak-anaknya nanti jika ibunya mati? Kakak sudah
membunuh keluarga harimau ini yang bahagia!!”
“Ka-kau terlalu berlebihan,
Rina ...,” batin Hanafi menghela nafas dan menutup mata.
“....”
“Sekarang bagaimana ini?“ Rina bertanya melirik Hanafi.
“Untuk
sekarang, kita kuburkan saja mayatnya. Akan merepotkan jika ada orang lain
melihat kita yang mengalahkan Sleazer
kelas
C seperti ini,” keluh Hanafi memejamkan mata
sesaat.
“Ehh,
kenapa tidak
kita ambil ekor atau kepalanya? Kakak akan mendapatkan bayaran dari serikat
untuk ini. Selain itu kejadian ini mungkin bisa
jadi berita yang bagus untuk menyebarkan cerita Sang Pangeran dari
Kerajaan OSIS,”
Rina berucap
dengan nada suara yang terdengar menggoda.
“Berisik,”
Hanafi menutup mata cukup erat, seolah sedang memperlihatkan wajah yang sedang
menahan kesal.
Rina
hanya tertawa kecil melihat ekspresi wajah yang diperlihatkan kakaknya. Sang kakak hanya menyunggingkan
senyuman melihat adiknya yang tertawa bahagia.
Perlahan Hanafi
mulai
menggali tanah dengan batu besar yang ia angkat dengan mudah. Berniat
membuat lubang besar untuk peristirahatan terakhir sang harimau putih.
Sambil
terus membuat lubang, Rina sang adik mulai duduk jongkok dan bertanya pada
kakaknya.
“Phyuser tipe fisik seringkali dianggap
rendah oleh dunia ini. Mereka terkenal tak berguna dan tak bisa mengalahkan Eluser yang tipe magis. Jadi dengan kata lain, Eluser lebih diagung-agungkan
dibandingkan Phyuser. Apa karena itu
‘kah Kakak ingin menjadi Eluser?”
“Bukan
Rina, aku ingin menjadi Eluser bukan
untuk hal itu. Aku hanya ingin mempelajari sihir untuk sihir
perpindahan dimensi. Aku hanya ingin kembali ke dunia asalku,” senyum Hanafi
sambil mengangkat
harimau, lalu melemparkannya ke dalam lubang yang ia
buat sebelumnya.
“Eh, begitu yah ....”
Rina berwajah
muram.
Melihat hal itu, Hanafi
hanya tersenyum menatap adiknya yang menggemaskan. Dia mulai mengusap pelan
kepala adiknya yang lembut.
“Di
dunia asalku ..., aku cukup
kesulitan bertahan hidup. Tapi jika kau tak
keberatan, maukah
kau ikut denganku?”
“Rina pasti
ikut!” senyum Rina dengan teriakkan yang antusias.
Setelah
menyelesaikan urusan di sana, Hanafi bersama adiknya kembali ke jalan setapak.
Memeriksa kelompok sebelumnya yang dihancurkan oleh Albumy Tigris. Berharap
akan kemungkinan jika masih ada nyawa yang terselamatkan.
Tak
disangka harapan keduanya terpenuhi. Seorang gadis berpakaian berkelas terlihat
masih bernafas. Dia hanya mendapatkan luka di pelipis kanannya sedikit. Tidak
seperti lainnya yang tubuhnya sudah berantakan hingga tak karuan.
Hanafi
dan Rina pun memutuskan untuk membawa gadis asing itu kembali ke penginapan.
***
No comments:
Post a Comment