Monday, 20 August 2018

Chapter 9

Tittle: Exitium

Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy

Author: r lullaby

Status: Ongoing


Chapter 9
Permintaan Pertama


Waktu bergerak maju dan hari pun berganti. Matahari kembali datang menyinari dunia yang kini ditinggali Hanafi.


            Setelah membersihkan badan di kamar mandi, Hanafi dan Rina mulai meninggalkan penginapan untuk pergi ke suatu tempat. Tujuannya bukan yang lain selain Serikat Petualang.


            Hanafi berniat mengabil kartu identitas miliknya pagi hari ini di serikat petualang bersama dengan adiknya.


            “Rina, kupikir kita harus membeli tas dan beberapa pakaian lagi untukmu,” Hanafi membuka pembicaraan ketika masih melangkahkan kaki. Rina yang berjalan di sampingnya juga mulai membuka mulut, dan berucap menambahkan pernyataan sang kakak.


            “Buat Kakak juga yah.”


            “Iya, kita tak bisa seterusnya memakai pakaian ini. Kau harus membeli pakaian khusus tidurmu sendiri juga.”


            “Kakak juga yah!”


            “Aku tak perlu. Aku sudah biasa memakai pakaian sehari-hari untuk tidur.”


            “Ya kalau gitu Rina juga gak perlu,” senyum Rina melirik Hanafi.


            “Tapi Rina, kau seorang gadis. Harus lebih –“


            “Gak mau, gak bisa gitu! Kalau Rina beli, Kakak juga harus!”


            “Ehhh ...!?” Hanafi menutup mata dengan ekspresi kecemasan tersungging di wajah.


            “Baiklah! Nanti setelah mengambil kartu, kita akan membeli beberapa baju.”


            “Nah, seperti itu dong! Ah, sekalian juga kita beli beberapa kebutuhan, Kak!” ucap Rina dengan kepala menengok ke Hanafi. Senyuman lebarnya pun terlihat di wajah hingga membuatnya semakin menggemaskan.


            “Kau benar,” Hanafi membalas senyuman sang adik, lalu menganggukkan kepala tanda menyetujui pernyataan.


            Berakhirnya percakapan, tak terasa mereka berdua sampai di tempat tujuan– Serikat Petualang. Hanafi berjalan memasuki bangungan tersebut diikuti adiknya yang berjalan mengikuti sang kakak. Jarak keduanya sangat tipis mengingat Rina yang terlihat terus menempel di punggung sang kakak.


            Pusat perhatian di dalam bangunan itu menjadi milik mereka, khususnya kepada gadis rupawan yang memakai pakaian layaknya bangsawan.


            Hal itu sedikit membuat wajah Rina cemas, dan sedikit tak menyukai tatapan orang-orang bertubuh kekar dan menyeramkan yang tertuju padanya.


            “Wah Hanafi kau datang juga. Kali ini bersama adikmu yah,” senyum Ellie dengan wajah sedikit pucat, tapi gadis berambut hitam itu terlihat menyembunyikan rasa letihnya dengan senyuman lebar.


            “Ellie, kau tidur jam berapa kemarin?” Hanafi bertanya dengan senyuman cemas.


            “Eh ap-apa masih terlihat jelas yah?” tanya Ellie cukup gugup dan di akhiri tawaan kecil.


            “Kantung mata hitamnya terlihat dengan jelas, Kak Ellie!” Rina menengok dari tubuh Hanafi, dan menyunggingkan senyuman di wajah.


            “Ehh begitu, kah?! Argh, ini semua gara-gara Letia! Aku harusnya tau kalau dia libur hari ini, pasti saat ini gadis jeruk itu sedang tidur lelap di kasurnya!” Ellie menggerutu sambil menggigit bibir bawah. Terlihat kesal menatap langit-langit bangunan. Hal itu membuat Hanafi dan Rina memberikan ekspresi datar padanya.


            “Yah baiklah lagipula bagianku hari ini cuman sampai siang,” lanjut Ellie sambil mengambil sebuah kotak penyimpanan kecil dari bawah meja, lekas mencari sesuatu dari kotak penyimpanan tersebut.


            “Ah, ketemu!” lanjut Ellie sambil mengeluarkan kartu identitas berwarna hitam pekat. Dia lekas memberikan pada Hanafi dan kembali berucap dengan nada kecemasan.




“Maaf yah kartu ini agak aneh. Soalnya kami tak bisa mendeteksi spesialis dan tingkatanmu. Bahkan untuk jenis ras juga, malah keluar tulisan aneh.”


            “Spesialis dan tingkatan? Maksudnya?” Hanafi bertanya bingung sambil menerima kartu identitas miliknya.


Tulisannya berwarna putih dan tertera nama, umur, jenis kelamin, spesialis, dan tingkat.


            “Ah aku belum menjelaskan soal kertu identitas yah? Maaf maaf, biar aku jelaskan sekarang.” Ellie berucap sambil menyimpan kembali kotak penyimpanan ke bawah meja.


            “Jadi biasanya kartu identitas kami itu akan menampilkan informasi dasar berserta kemampuanmu. Nama, umur, beserta jenis kelamin memang muncul dalam kartumu, tapi coba lihat bagian ras, spesialis beserta tingkatannya.” Ellie menjelaskan dengan wajah sedikit khawatir.


            “Ini tak jelas terlihat seperti banyak simbol.” Hanafi kebingungan sambil mengamati kartu identitasnya. Rina juga sedikit mengintip ingin melihat kartu identitas milik kakaknya.


            “Mungkin itu artinya jika bola kristal kami tak bisa membaca kemampuanmu. Biasanya spesialis itu hanya ada tiga, yakni Eluser, Phyuser, dan Ordinary. Untuk kasusmu seharusnya masuk ke dalam golongan ketiga mengingat kamu yang hanya manusia biasa.”


            “Begitu ....” Hanafi pun mulai menunjukkan wajah kekhawatiran. Tidak seperti Rina yang masih berwajah penasaran sambil menekan lengan Hanafi yang membawa kartu ke bawah. Ingin melihatnya dengan lebih jelas.


            “Untuk tingkat spesialisnya juga sama, yakni sesuai dengan tingkatan yang kita ketahui secara umum. Jika golongan Ordinary, maka kolom tingkat ini seharusnya kosong. Tapi dalam kasusmu di sana tidak kosong, malah ada tulisan aneh yang tak dapat kami mengerti.”


            Hanafi menyipitkan mata, mendekatkan kartu yang ia bawa pada wajahnya. Rina yang belum selesai melihat itu lekas memasang cemberut tak senang.


            “Ah, aku pernah melihat bahasa ini di duniaku. Mungkin ini alfabet koptik yang beberapa huruf seperti alpha dan beta digunakan dalam beberapa pelajaran. Tapi kebanyakan aku tidak tahu dan mengerti karena tak pernah memperlajarinya.”


            “Lalu satu hal lagi ....” cemas Ellie. Mulai sedikit memajukan tubuhnya mendekati Hanafi sambil menggunakan telapak tangan kirinya sebagai tumpuan pada meja. Dia mulai menunjuk kartu Hanafi dengan tangan kanan sambil melanjutkan pernyataan.


            “Warnanya hitam. Sedikit menakutkan.”


            “Eh, apa warna ini aneh? Kupikir semua kartu identitas memiliki warna yang sama!?”


            “Ini pertama kalinya aku lihat warna seperti ini. Biasanya warna merah untuk Phyuser, biru untuk Eluser, dan hijau untuk Ordinary.”


            “Be-begitu, lalu bagaimana sekarang dengan nasibku di serikat ini?”


            “Untuk sekarang jika ada yang menanyakan tentang kartumu, jawab saja jika ada kesalahan dalam pembuatan kartumu.


Saat ini kami juga sedang melakukan pemeriksaan pada bola kristalnya,” senyum khawatir Ellie sambil menatap meja di hadapannya yang tanpa bola kristal.


“Baiklah, maaf yah sudah merepotkanmu sampai harus memeriksa bola kristal it–“


“Ini bukan salahmu, Hanafi. Abaikan saja masalah kartu bodoh ini. Tapi kau sudah terdaftar dalam serikat ini, jadi jangan sungkan untuk melakukan pengambilan permintaan di sini. Selain itu, yang terpenting dari kartu itu adalah informasi dasar tentangmu.”


“Begitu, baiklah, Ellie!” senyum Hanafi menganggukkan kepala, lekas memberikan kartu identitas pada Rina yang terus memasang cemberut. Sontak senyuman Rina langsung datang sambil mengambil cepat kartu identitas Hanafi.


Di saat Rina mengamati kartu identitas sang kakak, Hanafi kembali mengeluarkan suaranya mengajukan pertanyaan pada gadis di hadapannya.


“Ngomong-ngomong ada permintaan yang cocok dengan kondisiku sekarang, Ellie?”


“Karena kau datang pagi, permintaan untuk petualang tingkat 10 masih banyak dan belum kupasang di papan pengumuman.


Pertama cari kucing bangsawan yang hilang, lalu kedua membantu memperbaiki rumah, dan yang terakhir mengumpulkan 15 tanaman jamur ungu di Hutan Asvia. Kamu pilih yang mana?” Ellie menjelaskan sambil melihat secara satu persatu lembar permintaan, dan di akhiri dengan tatapan langsung pada Hanafi.


“Mencari kucing merepotkan sepertinya. Lalu membantu membetulkan rumah sepertinya banyak pekerjaan berat, dan tak cocok untuk Rina. Aku pilih yang terakhir saja.”


“Mengumpulkan tanaman saja? Baiklah, tapi aku tak menyangka jika kau akan mengikutsertakan adikmu sendiri,” senyum Ellie sambil memisahkan lembaran permintaan yang diambil Hanafi dengan lembar permintaan lainnya, setelah itu lekas menulis di buku pengambilan permintaan petualang.


“Justru sebaliknya, Ellie. Dia pasti akan memaksa untuk ikut membantu,” cemas Hanafi berbisik sambil menyembunyikan gerakan bibir dari Rina yang masih mengamati kartu identitas Hanafi.


“Hahaha, sepertinya repot juga yah memiliki adik yang terlalu baik,” Ellie lekas tertawa sambil memejamkan mata sesaat.


“Begitulah ....” Hanafi membalas tertawaan Ellie dengan mata yang juga tertutup.


“Baiklah sudah selesai proses pengambilannya. Biasanya sih petualang langsung mengambil lembar permintaan, berteriak padaku, dan pergi begitu saja. Tapi karena kau masih pemula lebih baik seperti ini saja. Ah dan juga jika kau tak bisa menyelesaikan permintaan ini dalam tiga hari, kau harus segera melapor sambil membawa barang permintaan semampumu,” senyum Ellie.


“Baik aku mengerti,” senyum Hanafi menganggukkan kepala sambil menerima kartu identitas miliknya yang diberikan oleh sang adik.


“Langsung dapat permintaan, Kak? Jadi apa permintaanya?”


“Mengumpulkan tanaman seperti jamur ungu?” Hanafi menjawab sambil berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.


“Waaah ..., benar-benar permintaan untuk petualang pemula,” celetuk Rina dengan tawaan kecil di akhir perkataan sambil berjalan mengikuti kakaknya menuju pintu keluar.


“Aku kan memang petualang pemula.”


“Benar-benar aneh kalau petualang pemula inilah yang sudah membelah Gunung Suci Skyvia,” pelan Rina dengan senyuman yang menggoda kakaknya.


“Be-berisik, jangan membahas itu di sini,” senyum cemas Hanafi menutup mata.
“Hahahaha, maaf-maaf Kak.”


“Karena ucapanmu itu aku jadi ingat sesuatu. Aku akan membicarakannya nanti ketika kita sudah sampai di Hutan Asvia.” Hanafi terlihat berwajah cemas dan membuka matanya kembali. Tatapannya lurus ke arah depan, dan sedikit membuat adiknya cemas.


“Eh ....?”



***


            “Melihat perlakuan mereka padamu yang berubah bukankah membuatmu lebih tenang?” Hanafi tersenyum sambil melirik Rina yang berjalan di samping kanan.


            “Tidak sama sekali! Yang ada hanya membuatku geli!” ketus Rina sambil memejamkan mata beberapa saat.


            Keduanya terlihat sudah berjalan di luar kota, dan menuju ke arah hutan yang menjadi tujuan mereka.


            “Bukankah ini hutan yang kita lalui dari Desa Karot ke kota ini?” Hanafi bertanya dengan mata yang mulai menyipit seolah sedang memastikan tempat.


            “Hah? Kakak baru menyadarinya?” Rina sedikit terkejut dan menoleh ke arah sang kakak dengan tatapan keheranan.


            “Iya, Kakak tak menyangka Hutan Asvia itu hutan yang kita lalui sebelumnya. Tapi karena kita sudah pernah melewati hutan ini, bukankah hal ini menjadi lebih mudah?”


            “Tidak ada yang berubah, Kak! Jalan setapak yang kita lalui kemarin hanyalah pinggiran hutan. Sepertinya, kita harus memasuki lebih dalam jika ingin mencari jamur ungu.”


            “Eh, beneran?”


            “Tentu saja! Di dalam hutan biasanya ada binatang buas, monster, dan mungkin Sleazer. Jika mencari jamur ungu semudah seperti yang Kakak pikirkan, lalu untuk apa orang-orang memasang permintaan pekerjaan ini?”


            “Eh jadi ini tugas yang lumayan sulit?” tanya cemas Hanafi.


            “Beberapa petualang pemula pastinya harus berhati-hati dan menghindari pertarungan. Tapi untuk kasus kakak .... mau binatang buas, monster, dan Sleazer itu bukanlah masalah,” senyum kecil Rina seolah meledek kakaknya. Sedangkan Hanafi memasang wajah datar melihat tingkah adiknya yang seperti itu.


            Lalu setelahnya, mereka berdua pun sampai dan memasuki jalan setapak di area pinggiran hutan. Mulai berbelok menjauhi jalan setapak sambil melakukan pencarian barang permintaan.


            “Kakak tau tanaman jamur ungu, kan?”


            “Tentu saja, jamur yang berwarna ungu kan?”


            “Ya tidak salah sih, tapi entah kenapa aku merasa kecewa dengan jawaban Kakak,” pelan Rina dengan nada datar. Sedikit menghela nafas di akhir perkataan.


            “....” Hanafi hanya tertawa kecil melihat adiknya yang seperti itu.


            Sudah berada di hutan yang lebih dalam, Hanafi dan adiknya memutuskan untuk mencari barang permintaan bersama. Mengingat peringatan sebelumnya dari sang adik. Hanafi yang memaksa itu, dan tak ingin meninggalkan adiknya sendirian di dalam hutan.


            Sambil mencari tanaman yang menjadi barang permintaan, Hanafi mulai membuka mulutnya dan bertanya.


            “Tapi tadi kau mengatakan Monster dan Sleazer dalam kategori yang berbeda. Apa mereka berbeda?”


            “Hah? Tentu saja berbeda, Kak! Ya meski kebanyakan penduduk masih menganggap mereka sama. Tapi mereka benar-benar berbeda.”


            “Eh benarkah? Kukira mereka mahluk yang sama,” senyum cemas Hanafi berjalan sedikit menjauhi Rina, lalu mulai jonkok, dan memetik beberapa jamur berwarna ungu dekat dasar batang pohon besar.


            “Berbeda, Kak! Monster itu mahluk hidup yang sudah terkontaminasi sihir hitam atau tak bisa mengontrol sihir miliknya sendiri yang berlebih. Binatang, Sleazer, bahkan manusia sendiri bisa menjadi monster,” Rina menjelaskan sambil menerima jamur ungu yang diberikan Hanafi, memasukkan ke dalam kantung besar berwarna putih.


            “Eh begitu yah. Tak kusangka manusia juga bisa menjadi monster.”


            “Tapi itu sangat jarang terjadi, dan kebanyakan binatang lah yang berubah menjadi monster karena mereka tak mempunyai akal setinggi manusia.” Rina melanjutkan penjelasan sambil menunjuk jamur ungu lainnya yang terlihat olehnya.


            “Lalu bagaimana dengan Sleazer?” Hanafi kembali bertanya sambil berjalan cepat memetik jamur ungu yang ditunjuk oleh adiknya.


            “Sleazer juga jarang, tapi tak sejarang pada manusia. Ada beberapa Sleazer kelas H bahkan sampai E yang bisa berubah menjadi montser. Tapi itu tergantung jenis Sleazernya juga,” jelas Rina sambil kembali memasukkan jamur ungu yang dia terima dari kakaknya.


            “Begitu yah, jadi sebenarnya Sleazer itu apa? Sejenis ras lain selain manusia?” Hanafi menatap tempat berpijak sambil menyentuh dagu, dan memperlihatkan ekspresi kecemasan.


            “Bisa dibilang seperti itu juga. Ada yang mengatakan jika mereka leluhur Ras Manusia, Elf dan Beastman. Ada juga yang menganggap mereka itu keturunan Bangsa Iblis yang sudah punah di masa lalu. Tapi yang pasti tujuan mereka hanya satu, yakni menghancurkan umat manusia.”


            “Maksudmu, Rina?” Hanafi bertanya menengok adiknya.


            “Seperti yang kubilang sebelumnya, Kak. Para Sleazer benar-benar memusuhi ras kita. Aku pernah tak sengaja mendengar pembicaraan dulu di bar kota lain ketika aku masih diperlakukan rendah. Aku dengar cerita jika ada Sleazer kelas D yang menyerang perkemahan petualang. Hampir seluruh kelompok itu dibinasakan, dan yang terisa dari kelompok petualang itu hanya satu.”


            “Jangan katakan ...?” pelan Hanafi bertanya sambil memberikan tatapan melebar.


            “Benar, korban selamat itu bukanlah manusia, melainkan Ras Beastman. Lebih dari itu korban yang selamat itu tak terluka sedikitpun.”


            “Benarkah seperti itu? Jika mereka bisa memilih lawan, berarti mereka masih memiliki akal?”


            “Aku tak tau, banyak orang yang berasumsi akan kejadian itu. Tapi tentang kebaikan Sleazer pada ras lain selain manusia sudah sering terdengar. Seperti rumor anak Elf yang tersesat dan diselamatkan sekelompok Amygons. Lalu ada juga sekelompok sleazer kelas E bernama Ratmounta yang membantu Kerajaan Beastman dalam melawan monster beruang raksasa.”


            “Apa kau yakin semua itu terjadi?”


            “Aku tidak tau, lagipula itu hanya rumor. Tapi semua orang mengetahui apa yang akan terjadi jika ras Sleazer bertemu dengan ras kita. Mereka berubah layaknya seperti monster yang kehilangan akal, membabi buta seakan ingin segera mengakhiri dan membinasakan ras kita.”


            “Begitu ....” Hanafi terlihat paham menganggukkan kepala.


            “Tapi jika begitu bukankah ancaman utama ras kita adalah Para Sleazer?


            “Benar, dan kita harus menemukan Sleazer kelas A ke atas untuk masalah ini. Bertanya pada Sleazer yang bisa berkomunikasi dengan kita tentang alasan mereka memusuhi ras manusia. Setelah itu menemukan titik temu agar hidup berdampingan.”


            “Tapi masih ada kemungkinan juga jika Sleazer kelas A itu tak mau bicara dengan kita dan memilih untuk langsung menyerang.”


            “Itu akan menjadi malapetaka untuk kaum kita. Dalam sejarah yang kuketahui, kelas B saja sudah membuat beberapa kerajaan di dataran ini keteteran, bahkan sampai membentuk aliansi untuk mengalahkannya.”


            “....” Hanafi hanya berwajah cemas mendengar penjelasan adiknya yang seperti itu.


“Baiklah, sudah membahas masalah ini. Lalu bagaimana dengan ucapan Kakak waktu di dalam kota? Bukankah Kakak ingin mengatakan sesuatu?” Rina bertanya sambil duduk di atas akar pohon yang keluar dari tanah. Tatapan kecilnya tertuju pada lelaki yang ia hormati, dan tak lupa menyunggingkan senyuman indah di wajah.


            “Tentang itu Rina,” senyum kecil Hanafi sambil berjalan mendekati sang adik, dan mulai menjelaskan tentang apa yang dia dengar dari pembicaraan Ellie dan Letia.


            Rina sontak tertawa lepas bahkan hampir terjatuh ke belakang, tapi dengan sigap Hanafi menahan tubuhnya dengan ekspresi cemas sekaligus kesal.


Rina hanya memegang perut karena tersiksa oleh tertawaan yang berlebihan.


            Hanafi lekas berwajah datar melihat reaksi adiknya yang seperti itu. Kesal ada dalam hati, tapi kekesalannya itu tak berlangsung lama karena melihat ekspresi kebahagiaan adiknya.


            “Tertawaanmu belerbihan, Rina....”


            “Ha-habisnya... hahaha, habisnya aku tak menyangka akan jadi seperti ini! Alih-alih tak mau menarik perhatian, tapi ini malah jadi lebih parah hahahaa...!”


            “Di-diamlah, sudah berhenti tertawa! Kau benar-benar terlihat berantakan,” senyum cemas Hanafi melihat adiknya yang mengeluarkan air mata kebahagiaan.


            “Hahaha... tapi dengan begini bukankah Kerajaan OSIS milik Kakak semakin terkenal? Kenapa tidak menunjukkan diri saja pada dunia, kuyakin Kakak akan hidup enak!”


            “Tak akan pernah, tujuanku saat ini mungkin belajar sihir dan mencari cara untuk jalan pulang ke duniaku.”


            “Wah jadi kakak berasal dari dunia yang lain?” Rina sontak menghentikan tertawaan. Lekas memberikan tatapan lebar seolah terlihat terkejut.


            “Iya, ma-maaf terlambat memberitahumu.”


            “Begitu. Tak apa-apa, Kak,” senyum Rina sedikit menundukkan kepala.


            “Baiklah, sekarang kita pulang. Bukankah malam sebentar lagi datang?” senyum Hanafi bertanya sambil melihat langit yang berubah kejinggaan.


            “Eh tapi barang permintaan kita masih kurang 6 lagi?” Rina bertanya cemas sambil melihat isi kantung berwarna putih.


            “Tak apa, kita bisa melanjutkannya besok.” Hanafi mengambil kantung putih itu dan memasukkan ke dalam tas dimensi yang melingkar di pinggang. Ketika dia membuka kantung dimensi, seketika muncul gerbang hitam yang menjadi pintu untuk memasuki tas dimensi.


            “Rina, apakah tas ini bisa menyimpan mahluk hidup?”


            “Eehh, mana Rina tahu! Melihat gerbang hitam itu juga masih terasa asing bagi Rina,” jawab Rina sambil beranjak dari tempat duduknya.


            “Mungkin aku akan melakukan eksperimen pada tas ini nanti. Sekarang, kita kembali ke jalan setapak untuk pulang,” senyum Hanafi sambil berjalan melewati pepohonan dan semak-semak di sekitar.


            “Iya, Kak ....” Rina berjalan mengikuti sang kakak di belakang. Medan dilaluinya tidak sesulit sang kakak, karena kakaknya itu sudah membuka jalan untuknya.


            Beberapa saat kemudian, Hanafi mulai melewati semak-semak, berhasil menemukan jalan setapak yang menghubungkan Desa Karot dengan Kota Cordel.


            Dia pun mulai membuka mulut dan memberitahukan keadaan itu pada adiknya.


            “Rina, aku menemukan jalan setapaknya ....” Tapi ucapan Hanafi semakin mengecil di akhir, bahkan sampai tak terdengar. Dia terdiam dengan tubuh gemetar hingga membuat adiknya berwajah penasaran.


            Tepat di hadapan Hanafi itu terlihat seekor harimau putih raksasa yang membelakangi tubuh Hanafi. Di sekitar harimau raksasa itu terlihat dua gerobak kereta kuda yang hancur terlihat mengerikan. Darah merah berceceran di atas jalan setapak itu. Tubuh lelaki paruh baya yang terkoyak dan tak bernyawa terlihat di bawah kaki harimau.


            “Almbumy Tigris, salah satu dari 28 Sleazer yang diwaspadai di dataran ini. Sleazer kelas C, sang Raja dari Hutan Asvia.” Rina langsung berucap setelah melihat apa yang membuat tubuh kakaknya gemetar. Tatapan gadis itu kosong bagai sudah melihat kematian, dan mungkin sudah berpikir jika ajal sudah datang untuknya.


            Harimau itu mulai menoleh ke belakang, dan memberikan tatapan mengancam pada sang kakak beradik. Lalu, membuka mulut dan mengaum keras hingga bergema ke arah mereka. Syarat dari dia yang memperlihatkan kemarahan.


            Dengan perasaan takut dan terancam, Hanafi berjalan mundur, berbalik, menggendong sang adik, dan lekas berlari kembali memasuki hutan.


Melihat reaksi mangsanya, Harimau itu pun berbalik ke arah mereka, mengabaikan sekitar sambil mengejar menghancukan pepohonan yang menghalang.


Raut wajah Hanafi semakin cemas saja ketika sadar kalau Harimau itu telah berlari mengikuti mereka.


            “Ka-Kakak!” Rina mulai berteriak cemas, dan terdengar sedikit bergetar nada suaranya. Wajar dari dia yang sedang ketakutan. Hal itu terbukti dari tubuhnya yang bergemetar.


Melihat adiknya yang seperti itu, Hanafi lekas semakin memeluk erak tubuh sang adik. Berucap dengan senyuman yang seolah sedang menguatkan diri.


            “Rina, tenanglah ...! Kakakmu ini sedang berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa kita!”


            Rina tersenyum setelah mendengar pernyataan kakaknya. Tubuhnya mulai terlihat sedikit lebih tenang. Dia pun membuka mulut dan berucap.


            “Tapi– ah ....” Ucapannya tak terselesaikan karena ada pasir yang memasuki salah satu matanya yang terbuka. Rina sedikit menggosok mata tersebut hingga matanya memerah dan mengeluarkan air mata.


            Hanafi yang melihat Rina seperti itu mulai salah sangka. Dia lekas berbalik dan menurunkan Rina, lekas menyuruh sang adik untuk berlindung di belakang tubuhnya.


            Sesaat wajah Rina terlihat kebingungan karena tindakan Hanafi. Tapi itu tak lama dan berubah menjadi wajah yang membiru ketakutan ketika melihat kakaknya yang mengambil sebuah batu di atas tanah.


Tak dalam waktu yang lama, Hanafi mulai berkonsentrasi ingin memberikan serangan. Lekas besiaga melemparkan batu yang ia genggam ke arah targetnya.


Tetesan keringat mulai terlihat dan mengalir pelan melewati pelipis kirinya. Wajahnya yang terlihat cukup khawatir mulai bergumam pelan dalam hatinya.


            “Semoga aku tak berlebihan ....”


            Rina yang semakin yakin akan tindakan Kakaknya lekas berteriak ketakutan sambil memegang erat baju sang kakak.


             “Tunggu, Kakak!!”


            Tapi sayang, Hanafi telah melemparkan batunya ke arah harimau yang sudah menerkam mereka dengan nafsu membunuh yang kuat.


            Pelepasan batu dari tangan kanan Hanafi terlihat amat menakutkan hingga memberikan dampak besar pada sekitar.


Lalu dalam sekejap, batu yang dilayangkan Hanafi itu menembus tubuh targetnya dengan amat sangat cepat. Darah merah langsung keluar dari harimau yang terlihat perkasa itu.


Bahkan setelah menembus harimau itu. Batu yang dilemparkan Hanafi terus melesat jauh ke belakang. Memberikan jejak yang membekas di belakangnya.


Pepohonan terlihat tumbang. Burung-burung berterbangan seakan ketakutan. Tanah terlihat membekas karena angin yang terbelah oleh kecepatan batu itu yang di luar nalar.


Bagaikan tembakan meriam petir yang menghancurkan apapun dilewatinya.


Harimau itu seketika melayang jatuh ke arah mereka dengan tatapan kosong tak bernyawa. Hanafi dan Rina hanya memiringkan tubuh berniat menghindari mayat monster yang masih melayang itu. Mereka berdua hanya melirik mayat harimau itu yang membentur tanah dengan sangat keras.


Setelah itu, Rina lekas berlari cepat menghampiri mahluk itu yang mati secara menggenaskan. Bagian kepalanya berlubang besar hingga menuju bagian belakang.


Rina sungguh menatap sedih mayat harimau yang beberapa saat lalu ingin menerkamnya.


“Kakak ...!!” teriak kesalnya menatap tajam sang kakak.


Ta-tapi kau terlihat menangis tadi –“


“Aku hanya kelilipan oleh pasir! Bukan menangis!


Be-begitu yah ...,” Hanafi mulai memasang wajah bersalah di hadapan adiknya.


“Jika memang ingin melawan, Kakak bisa kan jika hanya membuat Almbumy Tigris ini lumpuh. Kenapa harus sampai membunuhnya?” Rina bertanya cemas.


Ak-aku memang berniat seperti itu tadinya,” batin Hanafi sambil membuang pandangan dari sang adik.


“Mungkin dia ini seorang ibu yang mencari makanan untuk anak-anaknya. Kenapa Kakak membunuhnya? Bagaimana dengan anak-anaknya nanti jika ibunya mati? Kakak sudah membunuh keluarga harimau ini yang bahagia!!”


Ka-kau terlalu berlebihan, Rina ...,” batin Hanafi menghela nafas dan menutup mata.


“....”


Sekarang bagaimana ini? Rina bertanya melirik Hanafi.


“Untuk sekarang, kita kuburkan saja mayatnya. Akan merepotkan jika ada orang lain melihat kita yang mengalahkan Sleazer kelas C seperti ini,” keluh Hanafi memejamkan mata sesaat.


“Ehh, kenapa tidak kita ambil ekor atau kepalanya? Kakak akan mendapatkan bayaran dari serikat untuk ini. Selain itu kejadian ini mungkin bisa jadi berita yang bagus untuk menyebarkan cerita Sang Pangeran dari Kerajaan OSIS,” Rina berucap dengan nada suara yang terdengar menggoda.


“Berisik,” Hanafi menutup mata cukup erat, seolah sedang memperlihatkan wajah yang sedang menahan kesal.


Rina hanya tertawa kecil melihat ekspresi wajah yang diperlihatkan kakaknya. Sang kakak hanya menyunggingkan senyuman melihat adiknya yang tertawa bahagia.


Perlahan Hanafi mulai menggali tanah dengan batu besar yang ia angkat dengan mudah. Berniat membuat lubang besar untuk peristirahatan terakhir sang harimau putih.


Sambil terus membuat lubang, Rina sang adik mulai duduk jongkok dan bertanya pada kakaknya.


Phyuser tipe fisik seringkali dianggap rendah oleh dunia ini. Mereka terkenal tak berguna dan tak bisa mengalahkan Eluser yang tipe magis. Jadi dengan kata lain, Eluser lebih diagung-agungkan dibandingkan Phyuser. Apa karena itu ‘kah Kakak ingin menjadi Eluser?


“Bukan Rina, aku ingin menjadi Eluser bukan untuk hal itu. Aku hanya ingin mempelajari sihir untuk sihir perpindahan dimensi. Aku hanya ingin kembali ke dunia asalku,” senyum Hanafi sambil mengangkat harimau, lalu melemparkannya ke dalam lubang yang ia buat sebelumnya.


“Eh, begitu yah ....” Rina berwajah muram.


Melihat hal itu, Hanafi hanya tersenyum menatap adiknya yang menggemaskan. Dia mulai mengusap pelan kepala adiknya yang lembut.


“Di dunia asalku ..., aku cukup kesulitan bertahan hidup. Tapi jika kau tak keberatan, maukah kau ikut denganku?”


“Rina pasti ikut!” senyum Rina dengan teriakkan yang antusias.


Setelah menyelesaikan urusan di sana, Hanafi bersama adiknya kembali ke jalan setapak. Memeriksa kelompok sebelumnya yang dihancurkan oleh Albumy Tigris. Berharap akan kemungkinan jika masih ada nyawa yang terselamatkan.


Tak disangka harapan keduanya terpenuhi. Seorang gadis berpakaian berkelas terlihat masih bernafas. Dia hanya mendapatkan luka di pelipis kanannya sedikit. Tidak seperti lainnya yang tubuhnya sudah berantakan hingga tak karuan.


Hanafi dan Rina pun memutuskan untuk membawa gadis asing itu kembali ke penginapan.



***

No comments:

Post a Comment