Chapter 11
Pernyataan Mengejutkan
Matahari masih belum melewati
puncaknya hari, tapi Hanafi beserta kelompoknya sudah kembali ke kota.
Mereka
terlihat berjalan memasuki bangunan serikat sambil membawa barang permintaan.
Untuk sesaat tatapan sekitar kembali tertuju pada mereka yang memasuki ruangan,
khususnya ke arah Hanafi yang didampingi dua gadis berpakaian elegan layaknya
orang terpandang.
“Wah
jadi apa yang dikatakan Letia benar,” senyum Ellie sambil menatap Asvia.
“Memangnya
apa yang dia katakan?” tanya Hanafi dengan kepala meneleng.
“Katanya
kau sudah mempunyai kekasih. Selamat yah,” senyum Ellie.
“Ha-haah!?
Kau salah paham Kak, Asvia hanya temanku! Jangan membuat kesalahapahaman yang
membuatnya kerepotan ....” Hanafi berucap cemas sambil melirik ke arah Asvia
dengan ekspresi penyesalan. Tapi ucapannya semakin mengecil, terkejut
kebingungan melihat gadis rupawan itu yang memalingkan wajah dengan pipi merah merona.
“....”
Keheningan merangkul mereka sesaat. Rina hanya memasang ekspresi datar di wajah
setelah mendengar percapakan mereka.
“Ma-maaf
aku terlalu berlebihan, aku hanya bercanda, Jangan terlalu dimasukan ke dalam
hati yah, Asvia.”
“Ah,
ti-tidak apa Kak,” jawab Asvia cukup gugup. Wajahnya kembali menghadap ke depan,
tapi entah kenapa tatapannya seolah menghindari Hanafi. Hal itu membuat detak
jantung Hanafi kembali berdegup kencang dan berucap dalam hati.
“Kumohon hentikan itu, Asvia. Jangan
membuatku mengharapkan yang aneh-aneh ....”
Duk!
“Eh!?”
Hanafi kesakitan menoleh ke belakang. Itu ulah Rina yang tiba-tiba menendang
kaki kanan Hanafi. Raut wajah cemberut
dan tak senang ia perlihatkan sambil membuang wajah dari kakaknya.
“Kenapa lagi ini ...!?” batin Hanafi
menghela nafas melihat adiknya yang bersikap seperti itu. Sedangkan Rina dan
Asvia terlihat masih mempertahankan ekspresinya masing-masing.
“Ja-jadi
bagaimana ...?” Ellie bertanya gugup menghancurkan suasana aneh di sekitar
Hanafi.
“Ah kami
sudah menyelesaikan permintaan ini,” senyum Hanafi sambil mengeluarkan barang
permintaan dan meletakkanya di atas meja.
“Wah
benarkah? Cepatnya, padahal dua hari saja belum,” Ellie sedikit terkejut sambil
memeriksa kantong berisi barang permintaan.
“Eh, kukira
aku termasuk terlambat di sini?” Hanafi juga cukup terkejut mendengar
pernyataan Ellie sebelumnya.
“Ya biasanya
para petualang pemula apalagi baru sepertimu jarang yang bisa menyelesaikan
permintaan ini. Biasanya mereka mengumpulkan paling banyak 8 jamur,” senyum
Ellie yang telah selesai memeriksa, lalu menyimpannya di bawah meja, dan
mengambil koin di laci meja.
“Ini untuk
bayarannya, 3 koin tembaga.” lanjut Ellie menyimpan koin di atas meja sambil
memberikan senyuman ramah.
“Baik,
terima kasih.” Hanafi menerima bayaran dan membalas senyuman ramah Ellie.
“Tapi apa
yang terjadi jika aku gagal dalam permintaan ini?” lanjut Hanafi mengajukan
pertanyaan.
“Gagal? Tak
ada kata gagal untuk permintaan mengumpulkan barang, kecuali kamu memang tak
bisa mengumpulkan satupun.
Kami tidak
sejahat itu hingga tak memberikan penghargaan pada petualang yang sudah bekerja
keras hanya karena mereka tak memenuhi jumlah permintaan,” senyum Ellie dengan
tawaan kecil.
“Jadi
maksudnya?” Hanafi bertanya kembali dengan ekspresi wajah kebingungan.
“Misalnya
yah, sampai batas waktu besok kamu tak berhasil memenuhi jumlah permintaan dan
hanya bisa mengumpulkan 8, maka kami akan tetap menerima barang permintaan yang
kamu kumpulkan, menyimpannya, dan memperbaharui lembar permintaan dengan jumlah
tersisa sampai petualang lain mengambilnya.
Jika
permintaan ini sudah terselesaikan, maka bayaran ini akan diberikan pada
orang-orang yang sebelumnya terlibat, dan tentunya dengan hasil bagi yang
sesuai dengan kontribusi masing-masing.”
“Ah, aku mengerti
sekarang!” Hanafi terlihat paham sambil menganggukkan kepala.
“Tapi, maaf
sistem ini tak berlaku dalam permintaan jasa. Contohnya seperti mencari kucing
hilang atau mengawal pedagang. Jika kau gagal, maka kau tak akan mendapatkan
apapun.”
“Begitu ....”
Hanafi sedikit melebarkan mata, lalu tersenyum memahami penjelasan Ellie.
“Jadi
sekarang bagaimana? Apa kau mencari permintaan pekerjaan lagi? Atau ingin libur
dulu,” senyum Ellie dengan kedua siku tangannya di atas meja, dan menompang
dagu dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya sedikit maju ke depan mendekati
Hanafi.
“Eh yah
mungkin kami akan libur dulu, selain itu kami berniat pergi meninggalkan kota,”
senyum Hanafi.
“Eehh!? Kau
mau pergi!?” Ellie terkejut dengan raut wajah kesedihan.
“Ya, tujuan utama
kami ke Kota Aldosta. Aku dan Rina ada perlu di sana,” senyum Hanafi.
“Yaah,
kukira kau akan menetap di sini. Tapi memang tak aneh sih bagi petualang untuk
terus berpindah-pindah kota, kuharap kita bisa bertemu lagi,” muram Ellie
beberapa saat sebelum dia memberikan senyuman pada Hanafi.
“Ya semoga
saja,“ senyum Hanafi menutup mata.
Setelah itu,
mereka pun pergi meninggalkan bangunan.
Di depan
bangunan serikat Hanafi menghentikan langkah, membuat langkah Asvia dan Rina
juga ikut terhenti.
“Sekarang kita
kemana?” Hanafi berbalik dan bertanya menatap dua gadis rupawan di belakang.
“Beli
kebutuhan, atau ... Kak Asvia apa kau memiliki tempat yang ingin kau kunjungi
sebelum pergi?” Rina menjawab lalu menatap Asvia.
“Emm, tidak.
Aku siap mengikuti ketua kelompok kemanapun,” Asvia menggelengkan kepala sebelum
tersenyum manis pada Hanafi.
“Kalau
begitu kita mencari kebutuhan dulu. Untuk barang-barang apa saja yang harus
dibeli, aku serahkan pada adikku yang manis,” senyum Hanafi melirik Rina sambil
kembali melangkahkan kakinya.
“Baiklah,
sekarang mari kita pergi ke toko pakaian,” senyum Rina menganggukkan kepala
lalu ikut berjalan mengikuti kakaknya. Asvia juga berjalan di sampingnya
mengikuti Hanafi
“Siap, Tuan
Putri!” senyum kecil Hanafi melirik adiknya.
“Berhenti,
itu menjijikan!” ketus Rina.
“Ehh padahal
orang-orang desa juga memanggilmu seperti itu,” Hanafi sedikit tertawa di
ucapan terakhirnya.
“..., memangnya salah siapa itu,” Rina menghela nafas sesaat sebelum berucap.
Sedangkan
Asvia hanya tertawa kecil menutupi mulutnya yang terbuka karena percakapan lucu
kakak beradik di dekatnya. Setelah itu, dia pun mulai memperlihatkan
senyuman lebar dengan pipi merah merona. Bahagia karena menjadi bagian kelompok
mereka.
***
Waktu
sudah menunjukkan siang, Hanafi telah menyelesaikan belanja di toko pakaian dan
peralatan. Mereka membeli beberapa setel bajunya masing-masing, dan semua
pembayaran itu dilakukan oleh Hanafi. Maka tak heran membuat Asvia cemas dan
merasa tak enak dengan apa yang dilakukan Hanafi.
Meski
Hanafi sudah mengatakan padanya untuk tak terlalu memikirkan hal itu, tapi
Asvia tetap keras kepala bahwa dia akan membalas kebaikan Hanafi. Lama-lama,
Hanafi pun menyerah dan mengatakan jika dia menantikan balasan Asvia.
Kini
mereka berjalan di wilayah timur yang merupakan pusat berkumpulnya para
pedagang rakyat kecil. Sepanjang sisi jalan terlihat deretan kios yang menjual
berbagai macam barang maupun makanan.
Rina
benar-benar terlihat antusias sambil melihat satu persatu kios yang ia lewati.
Berjalan berdampingan dengan
Asvia, Rina terlihat mengobrol sesekali dengannya sangat akrab. Sedangkan
Hanafi hanya berjalan di belakang mereka sambil mengawasi mereka dengan
senyuman kecil.
Meski
sangat ramai dipenuhi pelanggan yang berjalan lalu lalang, jalan mereka terbuka
dengan mudah. Ada yang sadar memberi jalan pada mereka, ada juga orang yang tak
sadar dan ditarik oleh orang di dekatnya untuk memberikan jalan pada Asvia dan
Rina.
Hanya
satu pikiran yang ada di setiap orang ketika melihat Rina dan Asvia yang
terlihat anggun dan menawan.
“Kenapa ada bangsawan di sini?”
Dan hal itu tak belaku bagi Hanafi yang memakai pakaian sederhana seperti
sekitarnya. Tapi lelaki berambut coklat itu menyadari akan seluruh tatapan yang
tertuju pada Asvia dan adiknya.
“Mu-mungkin mereka benar-benar harus
mengganti pakaian sekarang juga ...,” batinnya sedikit menghela nafas di akhir.
“Kakak
Kakak! Belikan aku dan Kak Asvia inka panggang!” Rina seketika berteriak,
berbalik, dan berjalan cepat mendekati kakaknya. Menunjuk kios cukup besar yang
menyebarkan keharuman aroma masakan yang menggoda.
“Inka-panggang?”
Hanafi bertanya dan mengeja ucapan. Sedikit memiringkan kepala pertanda sedikit
kebingungan.
“Ya
ya!!” senyum lebar Rina dengan air liur terlihat di sisi bibir.
“....”
Hanafi hanya tertawa kecil karena melihat adiknya yang menggemaskan. Lalu melirik Asvia di samping Rina.
“Ehh
aku tidak perlu! Aku tak mau merepotkanmu lag –“ Asvia berucap sambil berjalan
mendekati keduanya.
“Baiklah,
ayo kita ke sana,” senyum Hanafi menyanggah ucapan Asvia. Gadis berambut biru
muda itu hanya memasang wajah khawatir karena hatinya yang merasa tak enak
lagi.
“Ehh....”
Tetap
menarik perhatian sekitar, Hanafi bersama yang lainnya pun mulai membeli daging
inka yang terlihat seperti daging ayam, namun 2x lebih besar.
Rina
mengambil bagian pahanya yang terlihat utuh dan menggiurkan untuk dimakan.
Tidak seperti Asvia yang meminta seperempat potongan daging bagian sayap.
“Ka-kau
yakin bisa menghabiskan itu sendirian?” Hanafi bertanya sambil mengeluarkan
beberapa koin kuningan dan tembaga di kantongnya. Tatapannya tertuju pada sang
adik yang memegang daging yang hampir lebih besar dari tangannya itu, bahkan kedua
tangannya pun terlihat gemetar karena terlihat berat.
“Ten-tentu
saja! Tapi, apa Kakak tidak beli juga? Padahal enak,” Rina menjawab tegas
sebelum bertanya heran melihat sang kakak yang sedikit pun tak tertarik.
“Ya,
Kakak sedang tak ingin makan daging,” Hanafi menjawab sambil memberikan 2 koin
tembaga dan 100 kuningan pada penjual.
Sambil
menerima pembayaran, penjual daging inka yang seorang wanita muda itu bertanya
ingin melepas rasa penasarannya.
“Maaf,
apa kau Famula mereka?”
“Eh?”
Hanafi berwajah bingung, tak mengerti kata asing yang dilontarkan sang penjual.
“Ke-kenapa
bangsawan bisa ada di sini?” belum mendapatkan jawaban, wanita penjual itu malah
melontarkan lagi pertanyaan pada Hanafi.
“Ah maaf, tapi mereka–“ Hanafi menjawab sambil membalas kecemasan wanita itu
dengan senyuman ramah.
“Kami
hanya ingin melihat bagaimana suasana di luar tembok kedua,” Rina memotong perkataan
Hanafi sambil berjalan mendekati mereka. Sempat kehilangan keseimbangan karena
berat yang ia bawa, membuat Hanafi dengan sigap membantu dia mengangkat daging
besar itu.
“Tunggu,
apa yang kau katakan, Rina?” pelan Hanafi cemas sambil melirik adiknya. Dia mengambil
alih dan membawa sepenuhnya daging Inka
milik Rina.
“Wah,
pa-padahal anda lebih baik memberitahu pengawas tempat ini dulu agar
mendapatkan sambutan yang lebih baik lagi.” Wanita itu berucap was-was, dan terdengar sedikit gugup nada suaranya.
“Kalau
begitu kami tak bisa melihat suasana wilayah ini seperti biasanya hahaha,” Rina
tertawa kecil menutup mata, menyembunyikan mulut dengan belakang telapak
tangan. Dia terlihat sangat menawan dan begitu elegan hingga membuat wanita di
hadapannya terkesima karena keindahannya.
“Tapi
apa Kakakku membuat kesalahan dalam pembayaran? Soalnya aku lihat tadi jika
kalian terlihat berbincang-bincang lebih lama,” senyum Rina kembali membuka mata dan
menatap wanita penjual di hadapannya.
“Eh
Ka-kakakmu? Dia juga seorang bangsawan!?” raut wajah wanita itu membiru melirik
ketakutan Hanafi. Merasa ketakutan karena sikap tak sopan dia pada Hanafi
sebelumnya.
“Iya,
tapi dia memiliki sikap aneh dan senang membaur dengan rakyat biasa. Jadi kami
tak menyalahkanmu kok,” Asvia memasuki pembicaraan mereka. Tertawa kecil di
akhir perkataan.
“Iya
itu salah Kakak sendiri yang menyembunyikan statusnya,” ucap Rina menganggukan
kepala beberapa kali seolah menyetujui pernyataan Asvia.
“Eh,
be-begitu ....”
“Rina,
Asvia ada apa dengan kalian? Kenapa malah bersandiwara seperti in–“ cemas Hanafi
sambil berjalan mendekati adiknya. Tapi ucapan Hanafi langsung menghilang
karena rasa sakit di kaki kiri. Sang adik menginjak kaki kakaknya dengan
senyuman manis namun terlihat juga menakutkan.
“Nanti
Rina jelaskan. Kakak diam saja yah ....”
“E-em
....” Kepala Hanafi mengangguk pelan dengan keringat dingin karena senyuman
sang adik yang bagai ancaman.
“Lalu
apa anda juga adik tuan ini?” wanita penjual bertanya menatap Asvia, sambil sesekali melirik
cemas Hanafi beberapa saat. Asvia cukup terkejut mendengar pertanyaanya, tapi
itu tak lama hingga dia langsung tersenyum dan berniat menjawab pertanyaan.
“Ah
tidak, Kak Asvia ini tunangannya. Meski belum menikah, tapi aku sudah
menganggap dia sebagai kakakku.” Rina yang menjawab langsung dengan mata
terbuka lebar ke arah lawan bicaranya. Nada suaranya cukup datar seolah berisi
kecemburuan yang kuat.
“Ahh
.... Se-selamat,” wanita penjual tersenyum kecil dengan pipi memerah.
“....!!”
Wajah Asvia lagi-lagi memerah. Membuang pandangan dari sekitar sambil tetap
mempertahakan senyuman yang mulai terlihat cemas.
Chop!
Pukulan
vertikal dari Hanafi mendarat di kepala adiknya. Rina lekas memegang kepalanya
sambil berteriak tak senang.
“Aww!
Apaan sih, Kak!”
Hanafi tak menjawab dan hanya menarik kerah baju adiknya itu. Kedua pipinya sedikit memerah karena
ucapan tak tertuga dari Rina.
“Ba-baiklah
kami pergi dulu. Lupakan saja semua perkataan bodoh adikku ini,” senyum Hanafi
dengan tertawaan kecil pada wanita penjual daging panggang. Wanita itu hanya
tersenyum menundukkan kepala terlihat memberi hormat, mengucapkan rasa terima
kasih karena berbelanja di kiosnya.
Asvia
lekas berjalan mengikuti mereka. Sempat ada pertemuan tatapannya dengan Hanafi.
Sesaat, mereka saling memberikan
tatapan cemas sebelum keduanya tersenyum ramah dengan pipi memerah. Tapi itu
juga sangat singkat sampai mereka saling membuang wajah dengan pipi yg lebih
merah, khususnya Asvia.
“....” Rina yang berjalan di
antara mereka berwajah datar dan memperlihatkan ketidaksenangannya. Tapi
setelah itu dia hanya menghela nafas, tersenyum memegang masing-masing tangan
Asvia dan Hanafi, lalu berucap mencairkan suasana canggung ia ciptakan
sebelumnya.
“Ayo kita cari tempat untuk
memakan daging itu!”
“Ya!” senyum Asvia terlihat lebih
tenang.
“Ya, dan kenapa jadi aku yang membawa
makananmu ini?” datar Hanafi melirik adiknya. Rina hanya tertawa kecil dan tak
menjawab pertanyaan sang kakak sambil terus berjalan menarik mereka berdua.
***
Hari
kembali terlewat. Hanafi, Rina, dan Asvia menghabiskan malam terakhirnya di
penginapan Catstairs sebelum pergi berangkat meninggalkan kota di pagi hari.
Setelah
berpamitan pada orang-orang yang mereka kenal seperti Ellie, Eleona, dan Letia.
Mereka pun berangkat pergi untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya.
Berbekal
peta sederhana yang ia beli sebelumnya, Hanafi bergerak ke utara, ke tempat
dimana Kota Aldosta berada.
Beberapa
jam setelah berjalan melewati dataran rumput. Mereka sampai di pintu masuk hutan
lebat, dan ada jalan setapak kecil di sana. Tapi jalan kereta yang terus
digunakan Hanafi berbelok ke kiri, ke arah barat.
“Apa
kita lurus saja melewati hutan?” Hanafi bertanya sambil menengok ke belakang.
Keringat lelah pun terlihat menghiasi wajah.
“Iya,
biar lebih cepat. Lagian monster atau Sleazer mana yang bisa mengalahkan
Kakak.” Rina terlihat duduk di atas batu besar sambil mengambil nafas lelah.
“....”
Tidak seperti Rina, Asvia malah menyentuh dagu terlihat berpikir. Membuat
Hanafi kembali mengeluarkan suara memanggil namanya.
“Asvia?”
“Ah
iy-iya!?” Asvia terkejut dan memberikan tatapan cemas pada Hanafi.
“Apa
ada yang mengganjal di dalam pikiranmu?”
“Tidak,
hanya saja ... aku mulai berpikir jika hutan di depan adalah Hutan Corbenelis
yang diapit oleh dua gunung besar di barat dan timur.”
“Eh
Corbenelis!? Maksud Kakak adalah Hutan Corbelenis yang itu!?” cemas Rina
beranjak dari tempat duduknya dan memberikan tatapan penuh pada Asvia.
“Ya,
kemungkinan besar. Mengingat kita juga sekarang berada di utara Gunung
Skyvia.”
“Memang
benar jika Hutan Corbenelis sedikit di utara ....” Rina membuka peta dan
suaranya semakin mengecil dengan kecemasan di wajah mulai nampak.
“Di-di
depan benar-benar Hutan Corbenelis,” gugup Rina menatap Asvia yang juga mulai
cemas. Hanafi hanya masang wajah kebingungan mendengar perbincangan dua gadis
tersebut.
“Kita
belok kiri, Kak. Kita ambil jalan memutar dan singgah di kota atau desa terdekat.” Asvia
menjelaskan sambil berjalan selangkah mendekati Hanafi.
“Kenapa?
Bukankah lebih cepat jika kita lurus melewati Hutan Corbeanulis ini?”
“Hutan
Cobernelis! Dengar yah Kak, setidaknya kita membutuhkan waktu beberapa jam
untuk melewati hutan ini. Tapi setelah melewati hutan ini hanya ada padang
pasir luas yang terlihat.” Jelas Rina.
“Padang
pasir!?”
“Ya,
dan dengan persediaan kita saat ini mungkin akan sangat sulit untuk melewati
padang pasir itu. Jika kita melewati Hutan Corbenelis sekarang dan tak berani
melewati padang pasir itu, tak ada pilihan lain bagi kita untuk kembali ke
tempat ini karena sisi hutan itu yang diapit dua gunung besar. Maka dari itu
...,” Asvia kembali menjalaskan dengan suara yang mulai terdengar pelan di
akhir ucapan.
“Kau
benar, Asvia. Ini terlalu berisiko, jadi lebih baik kita ambil jalan memutar,”
cemas Hanafi sambil sesaat menatap adiknya yang kembali duduk di atas batu.
“Apa
ingin istirahat dulu –“
“Ti-tidak,
aku masih kuat berjalan, Kak!” Rina kembali berdiri dan berjalan cepat
mendekati kakaknya.
“Ingin
digendong?” senyum Hanafi menutup mata dan seolah sedang mengejek adiknya.
“Tak
perlu!” kesal Rina sambil berjalan cepat melewati kakaknya. Hanafi dan Asvia
hanya tertawa kecil mendengar gerutuan gadis kecil yang terdengar manis itu. Meski
setelahnya, mereka pun mulai berjalan mengikuti langkah kecil Rina yang cepat.
“....”
Tanpa disadari keduanya, Hanafi dan Asvia malah berjalan berdampingan. Keduanya
mengingat beberapa ucapan Rina dan Ellie sebelumnya. Maka tak heran jika
kecanggungan tiba-tiba kembali datang.
“Aku benar-benar yakin jika mereka saling
tertarik. Tapi yang membuatku bingung, kenapa mereka terlihat saling menahan
diri!?” batin Rina terus berjalan dan menutup mata sebelum berhenti dan
memberikan tatapan kesal ke arah belakang, lebih tepatnya Hanafi dan Asvia.
Hanafi
dan Asvia juga mulai menghentikan langkah dan memberikan tatapan keheranan
dengan senyuman kecil pada Rina.
“Ke-kenapa
...?” Asvia bahkan sedikit memiringkan kepala tanda dari dirinya yang
kebingungan akan arti tatapan Rina.
“Hmm?”
Hanafi menaikan sebelah alisnya untuk memperlihatkan rasa herannya.
“Atau mereka masih belum sadar ...?” batin
Rina kembali berbalik dan berjalan. Tapi langkah kakinya terhenti, kedua bola
mata Rina melebar dengan mulut terbuka, dan tubuh bergemetar ketakutan setelah
melihat sosok kadal besar bersayap kecil di hadapannya.
Hanafi
lekas menarik lengan kanan adiknya, dan memberikan tatapan penuh waspada. Asvia
juga terlihat berjalan mundur, bersembunyi di balik punggung Hanafi dengan
wajah membiru ketakutan.
“Pusiliadraco Terra ....” Asvia berucap
tanpa sadar dengan ekspresi keputusasaan pada mahluk bersisik kuning kecoklatan
itu.
“Ke-kenapa
Sleazer kelas B ada di tempat seperti ini,” Rina juga mengeluarkan suara penuh
keputusasaannya.
“Ke-kelas
B?” Hanafi juga ikut membelalakan kedua mata menatap naga kecil yang terlihat
tidur di atas tanah. Warna kulitnya coklat seperti tanah di bawahnya.
“Seharusnya
mereka berada jauh di timur, di Hutan Kematian dekat dengan Kerajaan Rembulan
Merah!” cemas Rina sambil terus memegang baju kakaknya.
“....”
Hanafi, Rina, dan Asvia hanya terus memberikan tatapan khawatir pada naga kecil
yang tertidur itu.
“Untungnya
mahluk itu sedang tertidur. Ki-kita lewati saja di –“
BRAGH!
Tiba-tiba Sleazer berbentuk
naga itu bangkit dan membuka lebar-lebar kedua matanya, menatap Hanafi beserta
kelompoknya dengan ekspresi kemarahan.
Tapi
tatapannya itu semakin mengecil setelah melihat sosok Rina yang bersembunyi di
balik punggung Hanafi.
“GROAARR!!”
sontak naga tanah itu beteriak pada Rina. Hanafi yang melihat itu lekas
menyembunyikan adiknya sambil menggeram cemas.
“Sialan,
kau mengincar adikku yang seorang Duplicare yah–“
“Eh!?”
Tapi ucapan Hanafi terpotong oleh keterkejutan Rina yang menatap keheranan naga
tersebut.
Perlahan
dia berjalan melewati kakaknya dengan tatapan penasaran yang terus ia berikan pada sang naga.
‘Tunggu,
Rina! Itu berbahay –“ Asvia berteriak memperingatkan.
“Graoarr!”
“Para
pengkhianat?” Rina bertanya heran pada sang naga.
“Groar
Graaooar!”
“Tidak,
mereka tidak memperlakukan buruk padaku. Mereka adalah orang baik–“
“GROAARR!!
GROAARR!!”
“GROAAR GROAAAAARR!” naga itu terlihat
marah memberikan tatapan kemarahannya pada Rina. Meski aura kesedihan juga
terasa dari sekitar tubuhnya.
“Ap-apa
katamu ...?” Rina terlihat cemas setelah mendengar auman keras naga itu yang
dipenuhi kemarahan dan kesedihan.
“....”
Hanafi dan Asvia hanya terdiam. Mereka dibuat keheranan oleh Rina yang terlihat
berkomunikasi dengan Sleazer kelas B itu.
“Groarr
Graoarr!”
“Me-mereka
takkan pernah melakukannya! Mereka menyayangiku!!”
“Groarr
groaar ...! Groar!” Naga itu menutup mata beberapa saat sebelum menggigit
lengan kanannya. Sisik tebalnya berjatuhan ke bawah. Rina pun lekas mengambil
sisik kuning coklatnya itu sambil berucap.
“Aku
berterima kasih karena kepedulianmu, tapi aku baik-baik saja di sini.” Rina menjawab dengan ekspresi wajah yang terlihat menghibur sang naga.
“Groaar
....” Naga itu pun berbalik dan berjalan pergi meninggalkan mereka.
Setelah
kepergiannya, Hanafi lekas mengajukan banyak pertanyaan pada adiknya akan
tindakan dia yang benar-benar mengejutkan. Tapi Rina memilih diam sambil
menyentuh kepala, benar-benar terlihat dipenuhi kecemasan.
“Rina,
kau seorang Duplicare?” Asvia bertanya cemas menatap Rina.
“Y-ya
....” Rina menjawab pelan dengan raut wajah ketakutan.
“Tenang,
aku dan golonganku juga membenci sikap orang-orang yang memperlakukan buruk
pada golonganmu. Tapi tak kusangka jika ternyata rumor yang tersebar di para
Alcholar itu benar.” Asvia memberikan senyuman kecemasan.
“Rumor
apa?” Rina bertanya pelan.
“Rumor jika
Duplicare bisa berkomunikasi dengan Sleazer yang memiliki akal.”
“Benarkah!?”
Hanafi bertanya penasaran pada Rina.
“In-ini
juga pertama kalinya bagiku. Ketika teriakan pertama naga itu, aku bisa
langsung memahaminya. Dia berkata ‘Tunggu, wahai engkau keturunan sang Dewi Penjaga!
Aku akan membawamu dan menyelamatkanmu dari mereka!’."
“Maksud
kata ‘mereka’ dari naga itu adalah aku dan Hanafi, kan?” Asvia bertanya cemas.
“Ya,
dan dia juga memanggil kalian, bahkan seluruh umat manusia sebagai Para
Pengkhianat.”
“....”
Hanafi dan Asvia terdiam cemas.
“Ba-bagaimana ini Kak ..., aku
sudah mengetahui fakta mengejutkan tentang alasan para Selazer memusuhi umat
kita ...,” lanjut Rina terlihat menitiskan air mata sambil menatap ketakutan
kakaknya.
“Be-benarkah ...? Apa
itu, Rina?” Hanafi bertanya pelan dan was-was.
“Seluruh
Sleazer di dunia ini mengetahui sikap orang-orang yang memperlakukan buruk pada
golongan kami. Maka dari itulah alasan mereka selalu menculik golongan kami
untuk melakukan penyelamatan.”
"Penyelamatan!?" Hanafi bertanya heran dan juga terkejut.
“Be-benarkah!?
In-ini benar-benar informasi yang mengejutkan!” Asvia juga terkejut sampai
membelalakkan bola matanya.
“Lalu
apa alasannya para Sleazer itu memusuhi umat manusia?“ Hanafi bertanya lagi pada adiknya.
“Aku
tidak tau kebenarannya, tapi dengan aura penuh kesedihan dan kemarahan naga itu
mengatakan, ‘Para manusia menjijikanlah iblis sebenarnya!! Mereka yang haus akan
kekuasaan, malah mengkhianati kepercayaan pahlawan besar kami dan lalu
membunuhnya.’.”
“Lalu
dia juga mengatakan, ‘Tunggulah bangkitnya ratu kami untuk melakukan pembalasan
pada para pengkhianat akan dosa tak termaafkan yang telah mereka lakukan!’.”
“....”
Hanafi dan Asvia hanya memasang wajah tegang menatap Rina. Keringat dingin
mulai terlihat di sekitar wajah mereka yang mengetahui fakta mengejutkan yang diutarakan
sang naga kepada Rina.
***
No comments:
Post a Comment