Wednesday, 19 September 2018

Chapter 11

Tittle: Exitium

Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy

Author: r lullaby

Status: Ongoing


Chapter 11
Pernyataan Mengejutkan

         Matahari masih belum melewati puncaknya hari, tapi Hanafi beserta kelompoknya sudah kembali ke kota.


            Mereka terlihat berjalan memasuki bangunan serikat sambil membawa barang permintaan. Untuk sesaat tatapan sekitar kembali tertuju pada mereka yang memasuki ruangan, khususnya ke arah Hanafi yang didampingi dua gadis berpakaian elegan layaknya orang terpandang.


            “Wah jadi apa yang dikatakan Letia benar,” senyum Ellie sambil menatap Asvia.


            “Memangnya apa yang dia katakan?” tanya Hanafi dengan kepala meneleng.


            “Katanya kau sudah mempunyai kekasih. Selamat yah,” senyum Ellie.


            “Ha-haah!? Kau salah paham Kak, Asvia hanya temanku! Jangan membuat kesalahapahaman yang membuatnya kerepotan ....” Hanafi berucap cemas sambil melirik ke arah Asvia dengan ekspresi penyesalan. Tapi ucapannya semakin mengecil, terkejut kebingungan melihat gadis rupawan itu yang memalingkan wajah dengan pipi merah merona.


            “....” Keheningan merangkul mereka sesaat. Rina hanya memasang ekspresi datar di wajah setelah mendengar percapakan mereka.


            “Ma-maaf aku terlalu berlebihan, aku hanya bercanda, Jangan terlalu dimasukan ke dalam hati yah, Asvia.”


            “Ah, ti-tidak apa Kak,” jawab Asvia cukup gugup. Wajahnya kembali menghadap ke depan, tapi entah kenapa tatapannya seolah menghindari Hanafi. Hal itu membuat detak jantung Hanafi kembali berdegup kencang dan berucap dalam hati.


Kumohon hentikan itu, Asvia. Jangan membuatku mengharapkan yang aneh-aneh ....”


Duk!


“Eh!?” Hanafi kesakitan menoleh ke belakang. Itu ulah Rina yang tiba-tiba menendang kaki kanan Hanafi.  Raut wajah cemberut dan tak senang ia perlihatkan sambil membuang wajah dari kakaknya.


Kenapa lagi ini ...!?” batin Hanafi menghela nafas melihat adiknya yang bersikap seperti itu. Sedangkan Rina dan Asvia terlihat masih mempertahankan ekspresinya masing-masing.


“Ja-jadi bagaimana ...?” Ellie bertanya gugup menghancurkan suasana aneh di sekitar Hanafi.


“Ah kami sudah menyelesaikan permintaan ini,” senyum Hanafi sambil mengeluarkan barang permintaan dan meletakkanya di atas meja.


“Wah benarkah? Cepatnya, padahal dua hari saja belum,” Ellie sedikit terkejut sambil memeriksa kantong berisi barang permintaan.


“Eh, kukira aku termasuk terlambat di sini?” Hanafi juga cukup terkejut mendengar pernyataan Ellie sebelumnya.


“Ya biasanya para petualang pemula apalagi baru sepertimu jarang yang bisa menyelesaikan permintaan ini. Biasanya mereka mengumpulkan paling banyak 8 jamur,” senyum Ellie yang telah selesai memeriksa, lalu menyimpannya di bawah meja, dan mengambil koin di laci meja.


“Ini untuk bayarannya, 3 koin tembaga.” lanjut Ellie menyimpan koin di atas meja sambil memberikan senyuman ramah.


“Baik, terima kasih.” Hanafi menerima bayaran dan membalas senyuman ramah Ellie.


“Tapi apa yang terjadi jika aku gagal dalam permintaan ini?” lanjut Hanafi mengajukan pertanyaan.


“Gagal? Tak ada kata gagal untuk permintaan mengumpulkan barang, kecuali kamu memang tak bisa mengumpulkan satupun.
Kami tidak sejahat itu hingga tak memberikan penghargaan pada petualang yang sudah bekerja keras hanya karena mereka tak memenuhi jumlah permintaan,” senyum Ellie dengan tawaan kecil.


“Jadi maksudnya?” Hanafi bertanya kembali dengan ekspresi wajah kebingungan.


“Misalnya yah, sampai batas waktu besok kamu tak berhasil memenuhi jumlah permintaan dan hanya bisa mengumpulkan 8, maka kami akan tetap menerima barang permintaan yang kamu kumpulkan, menyimpannya, dan memperbaharui lembar permintaan dengan jumlah tersisa sampai petualang lain mengambilnya.
Jika permintaan ini sudah terselesaikan, maka bayaran ini akan diberikan pada orang-orang yang sebelumnya terlibat, dan tentunya dengan hasil bagi yang sesuai dengan kontribusi masing-masing.”


“Ah, aku mengerti sekarang!” Hanafi terlihat paham sambil menganggukkan kepala.


“Tapi, maaf sistem ini tak berlaku dalam permintaan jasa. Contohnya seperti mencari kucing hilang atau mengawal pedagang. Jika kau gagal, maka kau tak akan mendapatkan apapun.”


“Begitu ....” Hanafi sedikit melebarkan mata, lalu tersenyum memahami penjelasan Ellie.


“Jadi sekarang bagaimana? Apa kau mencari permintaan pekerjaan lagi? Atau ingin libur dulu,” senyum Ellie dengan kedua siku tangannya di atas meja, dan menompang dagu dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya sedikit maju ke depan mendekati Hanafi.


“Eh yah mungkin kami akan libur dulu, selain itu kami berniat pergi meninggalkan kota,” senyum Hanafi.


“Eehh!? Kau mau pergi!?” Ellie terkejut dengan raut wajah kesedihan.


“Ya, tujuan utama kami ke Kota Aldosta. Aku dan Rina ada perlu di sana,” senyum Hanafi.


“Yaah, kukira kau akan menetap di sini. Tapi memang tak aneh sih bagi petualang untuk terus berpindah-pindah kota, kuharap kita bisa bertemu lagi,” muram Ellie beberapa saat sebelum dia memberikan senyuman pada Hanafi.


“Ya semoga saja,“ senyum Hanafi menutup mata.


Setelah itu, mereka pun pergi meninggalkan bangunan.


Di depan bangunan serikat Hanafi menghentikan langkah, membuat langkah Asvia dan Rina juga ikut terhenti.


“Sekarang kita kemana?” Hanafi berbalik dan bertanya menatap dua gadis rupawan di belakang.


“Beli kebutuhan, atau ... Kak Asvia apa kau memiliki tempat yang ingin kau kunjungi sebelum pergi?” Rina menjawab lalu menatap Asvia.


“Emm, tidak. Aku siap mengikuti ketua kelompok kemanapun,” Asvia menggelengkan kepala sebelum tersenyum manis pada Hanafi.


“Kalau begitu kita mencari kebutuhan dulu. Untuk barang-barang apa saja yang harus dibeli, aku serahkan pada adikku yang manis,” senyum Hanafi melirik Rina sambil kembali melangkahkan kakinya.


“Baiklah, sekarang mari kita pergi ke toko pakaian,” senyum Rina menganggukkan kepala lalu ikut berjalan mengikuti kakaknya. Asvia juga berjalan di sampingnya mengikuti Hanafi


“Siap, Tuan Putri!” senyum kecil Hanafi melirik adiknya.


“Berhenti, itu menjijikan!” ketus Rina.


“Ehh padahal orang-orang desa juga memanggilmu seperti itu,” Hanafi sedikit tertawa di ucapan terakhirnya.


“..., memangnya salah siapa itu,” Rina menghela nafas sesaat sebelum berucap.


Sedangkan Asvia hanya tertawa kecil menutupi mulutnya yang terbuka karena percakapan lucu kakak beradik di dekatnya. Setelah itu, dia pun mulai memperlihatkan senyuman lebar dengan pipi merah merona. Bahagia karena menjadi bagian kelompok mereka.


***


            Waktu sudah menunjukkan siang, Hanafi telah menyelesaikan belanja di toko pakaian dan peralatan. Mereka membeli beberapa setel bajunya masing-masing, dan semua pembayaran itu dilakukan oleh Hanafi. Maka tak heran membuat Asvia cemas dan merasa tak enak dengan apa yang dilakukan Hanafi.


            Meski Hanafi sudah mengatakan padanya untuk tak terlalu memikirkan hal itu, tapi Asvia tetap keras kepala bahwa dia akan membalas kebaikan Hanafi. Lama-lama, Hanafi pun menyerah dan mengatakan jika dia menantikan balasan Asvia.


            Kini mereka berjalan di wilayah timur yang merupakan pusat berkumpulnya para pedagang rakyat kecil. Sepanjang sisi jalan terlihat deretan kios yang menjual berbagai macam barang maupun makanan.


            Rina benar-benar terlihat antusias sambil melihat satu persatu kios yang ia lewati.


Berjalan berdampingan dengan Asvia, Rina terlihat mengobrol sesekali dengannya sangat akrab. Sedangkan Hanafi hanya berjalan di belakang mereka sambil mengawasi mereka dengan senyuman kecil.


            Meski sangat ramai dipenuhi pelanggan yang berjalan lalu lalang, jalan mereka terbuka dengan mudah. Ada yang sadar memberi jalan pada mereka, ada juga orang yang tak sadar dan ditarik oleh orang di dekatnya untuk memberikan jalan pada Asvia dan Rina.


            Hanya satu pikiran yang ada di setiap orang ketika melihat Rina dan Asvia yang terlihat anggun dan menawan.


            “Kenapa ada bangsawan di sini?”


            Dan hal itu tak belaku bagi Hanafi yang memakai pakaian sederhana seperti sekitarnya. Tapi lelaki berambut coklat itu menyadari akan seluruh tatapan yang tertuju pada Asvia dan adiknya.


            “Mu-mungkin mereka benar-benar harus mengganti pakaian sekarang juga ...,” batinnya sedikit menghela nafas di akhir.


            “Kakak Kakak! Belikan aku dan Kak Asvia inka panggang!” Rina seketika berteriak, berbalik, dan berjalan cepat mendekati kakaknya. Menunjuk kios cukup besar yang menyebarkan keharuman aroma masakan yang menggoda.


            “Inka-panggang?” Hanafi bertanya dan mengeja ucapan. Sedikit memiringkan kepala pertanda sedikit kebingungan.


            “Ya ya!!” senyum lebar Rina dengan air liur terlihat di sisi bibir.


            “....” Hanafi hanya tertawa kecil karena melihat adiknya yang menggemaskan. Lalu melirik Asvia di samping Rina.


            “Ehh aku tidak perlu! Aku tak mau merepotkanmu lag –“ Asvia berucap sambil berjalan mendekati keduanya.


            “Baiklah, ayo kita ke sana,” senyum Hanafi menyanggah ucapan Asvia. Gadis berambut biru muda itu hanya memasang wajah khawatir karena hatinya yang merasa tak enak lagi.


            “Ehh....”


            Tetap menarik perhatian sekitar, Hanafi bersama yang lainnya pun mulai membeli daging inka yang terlihat seperti daging ayam, namun 2x lebih besar.


            Rina mengambil bagian pahanya yang terlihat utuh dan menggiurkan untuk dimakan. Tidak seperti Asvia yang meminta seperempat potongan daging bagian sayap.


            “Ka-kau yakin bisa menghabiskan itu sendirian?” Hanafi bertanya sambil mengeluarkan beberapa koin kuningan dan tembaga di kantongnya. Tatapannya tertuju pada sang adik yang memegang daging yang hampir lebih besar dari tangannya itu, bahkan kedua tangannya pun terlihat gemetar karena terlihat berat.


            “Ten-tentu saja! Tapi, apa Kakak tidak beli juga? Padahal enak,” Rina menjawab tegas sebelum bertanya heran melihat sang kakak yang sedikit pun tak tertarik.


            “Ya, Kakak sedang tak ingin makan daging,” Hanafi menjawab sambil memberikan 2 koin tembaga dan 100 kuningan pada penjual.


            Sambil menerima pembayaran, penjual daging inka yang seorang wanita muda itu bertanya ingin melepas rasa penasarannya.


            “Maaf, apa kau Famula mereka?”


            “Eh?” Hanafi berwajah bingung, tak mengerti kata asing yang dilontarkan sang penjual.


            “Ke-kenapa bangsawan bisa ada di sini?” belum mendapatkan jawaban, wanita penjual itu malah melontarkan lagi pertanyaan pada Hanafi.


            “Ah maaf, tapi mereka–“ Hanafi menjawab sambil membalas kecemasan wanita itu dengan senyuman ramah.


            “Kami hanya ingin melihat bagaimana suasana di luar tembok kedua,” Rina memotong perkataan Hanafi sambil berjalan mendekati mereka. Sempat kehilangan keseimbangan karena berat yang ia bawa, membuat Hanafi dengan sigap membantu dia mengangkat daging besar itu.


            “Tunggu, apa yang kau katakan, Rina?” pelan Hanafi cemas sambil melirik adiknya. Dia mengambil alih  dan membawa sepenuhnya daging Inka milik Rina.


            “Wah, pa-padahal anda lebih baik memberitahu pengawas tempat ini dulu agar mendapatkan sambutan yang lebih baik lagi.” Wanita itu berucap was-was, dan terdengar sedikit gugup nada suaranya.


            “Kalau begitu kami tak bisa melihat suasana wilayah ini seperti biasanya hahaha,” Rina tertawa kecil menutup mata, menyembunyikan mulut dengan belakang telapak tangan. Dia terlihat sangat menawan dan begitu elegan hingga membuat wanita di hadapannya terkesima karena keindahannya.


            “Tapi apa Kakakku membuat kesalahan dalam pembayaran? Soalnya aku lihat tadi jika kalian terlihat berbincang-bincang lebih lama,” senyum Rina kembali membuka mata dan menatap wanita penjual di hadapannya.


            “Eh Ka-kakakmu? Dia juga seorang bangsawan!?” raut wajah wanita itu membiru melirik ketakutan Hanafi. Merasa ketakutan karena sikap tak sopan dia pada Hanafi sebelumnya.


            “Iya, tapi dia memiliki sikap aneh dan senang membaur dengan rakyat biasa. Jadi kami tak menyalahkanmu kok,” Asvia memasuki pembicaraan mereka. Tertawa kecil di akhir perkataan.


            “Iya itu salah Kakak sendiri yang menyembunyikan statusnya,” ucap Rina menganggukan kepala beberapa kali seolah menyetujui pernyataan Asvia.


            “Eh, be-begitu ....”


            “Rina, Asvia ada apa dengan kalian? Kenapa malah bersandiwara seperti in–“ cemas Hanafi sambil berjalan mendekati adiknya. Tapi ucapan Hanafi langsung menghilang karena rasa sakit di kaki kiri. Sang adik menginjak kaki kakaknya dengan senyuman manis namun terlihat juga menakutkan.


            “Nanti Rina jelaskan. Kakak diam saja yah ....”


            “E-em ....” Kepala Hanafi mengangguk pelan dengan keringat dingin karena senyuman sang adik yang bagai ancaman.


            “Lalu apa anda juga adik tuan ini?” wanita penjual bertanya menatap Asvia, sambil sesekali melirik cemas Hanafi beberapa saat. Asvia cukup terkejut mendengar pertanyaanya, tapi itu tak lama hingga dia langsung tersenyum dan berniat menjawab pertanyaan.


            “Ah tidak, Kak Asvia ini tunangannya. Meski belum menikah, tapi aku sudah menganggap dia sebagai kakakku.” Rina yang menjawab langsung dengan mata terbuka lebar ke arah lawan bicaranya. Nada suaranya cukup datar seolah berisi kecemburuan yang kuat.


            “Ahh .... Se-selamat,” wanita penjual tersenyum kecil dengan pipi memerah.


            “....!!” Wajah Asvia lagi-lagi memerah. Membuang pandangan dari sekitar sambil tetap mempertahakan senyuman yang mulai terlihat cemas.


            Chop!


            Pukulan vertikal dari Hanafi mendarat di kepala adiknya. Rina lekas memegang kepalanya sambil berteriak tak senang.


            “Aww! Apaan sih, Kak!”


            Hanafi tak menjawab dan hanya menarik kerah baju adiknya itu. Kedua pipinya sedikit memerah karena ucapan tak tertuga dari Rina.


            “Ba-baiklah kami pergi dulu. Lupakan saja semua perkataan bodoh adikku ini,” senyum Hanafi dengan tertawaan kecil pada wanita penjual daging panggang. Wanita itu hanya tersenyum menundukkan kepala terlihat memberi hormat, mengucapkan rasa terima kasih karena berbelanja di kiosnya.


            Asvia lekas berjalan mengikuti mereka. Sempat ada pertemuan tatapannya dengan Hanafi.


Sesaat, mereka saling memberikan tatapan cemas sebelum keduanya tersenyum ramah dengan pipi memerah. Tapi itu juga sangat singkat sampai mereka saling membuang wajah dengan pipi yg lebih merah, khususnya Asvia.


“....” Rina yang berjalan di antara mereka berwajah datar dan memperlihatkan ketidaksenangannya. Tapi setelah itu dia hanya menghela nafas, tersenyum memegang masing-masing tangan Asvia dan Hanafi, lalu berucap mencairkan suasana canggung ia ciptakan sebelumnya.


“Ayo kita cari tempat untuk memakan daging itu!”


“Ya!” senyum Asvia terlihat lebih tenang.


“Ya, dan kenapa jadi aku yang membawa makananmu ini?” datar Hanafi melirik adiknya. Rina hanya tertawa kecil dan tak menjawab pertanyaan sang kakak sambil terus berjalan menarik mereka berdua.


***


          Hari kembali terlewat. Hanafi, Rina, dan Asvia menghabiskan malam terakhirnya di penginapan Catstairs sebelum pergi berangkat meninggalkan kota di pagi hari.


            Setelah berpamitan pada orang-orang yang mereka kenal seperti Ellie, Eleona, dan Letia. Mereka pun berangkat pergi untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya.


            Berbekal peta sederhana yang ia beli sebelumnya, Hanafi bergerak ke utara, ke tempat dimana Kota Aldosta berada.


            Beberapa jam setelah berjalan melewati dataran rumput. Mereka sampai di pintu masuk hutan lebat, dan ada jalan setapak kecil di sana. Tapi jalan kereta yang terus digunakan Hanafi berbelok ke kiri, ke arah barat.


            “Apa kita lurus saja melewati hutan?” Hanafi bertanya sambil menengok ke belakang. Keringat lelah pun terlihat menghiasi wajah.


            “Iya, biar lebih cepat. Lagian monster atau Sleazer mana yang bisa mengalahkan Kakak.” Rina terlihat duduk di atas batu besar sambil mengambil nafas lelah.


           “....” Tidak seperti Rina, Asvia malah menyentuh dagu terlihat berpikir. Membuat Hanafi kembali mengeluarkan suara memanggil namanya.


            “Asvia?”


            “Ah iy-iya!?” Asvia terkejut dan memberikan tatapan cemas pada Hanafi.


            “Apa ada yang mengganjal di dalam pikiranmu?”


            “Tidak, hanya saja ... aku mulai berpikir jika hutan di depan adalah Hutan Corbenelis yang diapit oleh dua gunung besar di barat dan timur.”


            “Eh Corbenelis!? Maksud Kakak adalah Hutan Corbelenis yang itu!?” cemas Rina beranjak dari tempat duduknya dan memberikan tatapan penuh pada Asvia.


            “Ya, kemungkinan besar. Mengingat kita juga sekarang berada di utara Gunung Skyvia.”


            “Memang benar jika Hutan Corbenelis sedikit di utara ....” Rina membuka peta dan suaranya semakin mengecil dengan kecemasan di wajah mulai nampak.


            “Di-di depan benar-benar Hutan Corbenelis,” gugup Rina menatap Asvia yang juga mulai cemas. Hanafi hanya masang wajah kebingungan mendengar perbincangan dua gadis tersebut.


            “Kita belok kiri, Kak. Kita ambil jalan memutar dan singgah di kota atau desa terdekat.” Asvia menjelaskan sambil berjalan selangkah mendekati Hanafi.


            “Kenapa? Bukankah lebih cepat jika kita lurus melewati Hutan Corbeanulis ini?”


      “Hutan Cobernelis! Dengar yah Kak, setidaknya kita membutuhkan waktu beberapa jam untuk melewati hutan ini. Tapi setelah melewati hutan ini hanya ada padang pasir luas yang terlihat.” Jelas Rina.


            “Padang pasir!?”


            “Ya, dan dengan persediaan kita saat ini mungkin akan sangat sulit untuk melewati padang pasir itu. Jika kita melewati Hutan Corbenelis sekarang dan tak berani melewati padang pasir itu, tak ada pilihan lain bagi kita untuk kembali ke tempat ini karena sisi hutan itu yang diapit dua gunung besar. Maka dari itu ...,” Asvia kembali menjalaskan dengan suara yang mulai terdengar pelan di akhir ucapan.


            “Kau benar, Asvia. Ini terlalu berisiko, jadi lebih baik kita ambil jalan memutar,” cemas Hanafi sambil sesaat menatap adiknya yang kembali duduk di atas batu.


            “Apa ingin istirahat dulu –“


            “Ti-tidak, aku masih kuat berjalan, Kak!” Rina kembali berdiri dan berjalan cepat mendekati kakaknya.


            “Ingin digendong?” senyum Hanafi menutup mata dan seolah sedang mengejek adiknya.


            “Tak perlu!” kesal Rina sambil berjalan cepat melewati kakaknya. Hanafi dan Asvia hanya tertawa kecil mendengar gerutuan gadis kecil yang terdengar manis itu. Meski setelahnya, mereka pun mulai berjalan mengikuti langkah kecil Rina yang cepat.


            “....” Tanpa disadari keduanya, Hanafi dan Asvia malah berjalan berdampingan. Keduanya mengingat beberapa ucapan Rina dan Ellie sebelumnya. Maka tak heran jika kecanggungan tiba-tiba kembali datang.


            “Aku benar-benar yakin jika mereka saling tertarik. Tapi yang membuatku bingung, kenapa mereka terlihat saling menahan diri!?” batin Rina terus berjalan dan menutup mata sebelum berhenti dan memberikan tatapan kesal ke arah belakang, lebih tepatnya Hanafi dan Asvia.


            Hanafi dan Asvia juga mulai menghentikan langkah dan memberikan tatapan keheranan dengan senyuman kecil pada Rina.


            “Ke-kenapa ...?” Asvia bahkan sedikit memiringkan kepala tanda dari dirinya yang kebingungan akan arti tatapan Rina.


            “Hmm?” Hanafi menaikan sebelah alisnya untuk memperlihatkan rasa herannya.


            “Atau mereka masih belum sadar ...?” batin Rina kembali berbalik dan berjalan. Tapi langkah kakinya terhenti, kedua bola mata Rina melebar dengan mulut terbuka, dan tubuh bergemetar ketakutan setelah melihat sosok kadal besar bersayap kecil di hadapannya.


            Hanafi lekas menarik lengan kanan adiknya, dan memberikan tatapan penuh waspada. Asvia juga terlihat berjalan mundur, bersembunyi di balik punggung Hanafi dengan wajah membiru ketakutan.


            “Pusiliadraco Terra ....” Asvia berucap tanpa sadar dengan ekspresi keputusasaan pada mahluk bersisik kuning kecoklatan itu.


            “Ke-kenapa Sleazer kelas B ada di tempat seperti ini,” Rina juga mengeluarkan suara penuh keputusasaannya.


            “Ke-kelas B?” Hanafi juga ikut membelalakan kedua mata menatap naga kecil yang terlihat tidur di atas tanah. Warna kulitnya coklat seperti tanah di bawahnya.


            “Seharusnya mereka berada jauh di timur, di Hutan Kematian dekat dengan Kerajaan Rembulan Merah!” cemas Rina sambil terus memegang baju kakaknya.


            “....” Hanafi, Rina, dan Asvia hanya terus memberikan tatapan khawatir pada naga kecil yang tertidur itu.


            “Untungnya mahluk itu sedang tertidur. Ki-kita lewati saja di –“


            BRAGH!


            Tiba-tiba Sleazer berbentuk naga itu bangkit dan membuka lebar-lebar kedua matanya, menatap Hanafi beserta kelompoknya dengan ekspresi kemarahan.



            Tapi tatapannya itu semakin mengecil setelah melihat sosok Rina yang bersembunyi di balik punggung Hanafi.


            “GROAARR!!” sontak naga tanah itu beteriak pada Rina. Hanafi yang melihat itu lekas menyembunyikan adiknya sambil menggeram cemas.


            “Sialan, kau mengincar adikku yang seorang Duplicare yah–“


            “Eh!?” Tapi ucapan Hanafi terpotong oleh keterkejutan Rina yang menatap keheranan naga tersebut.


            Perlahan dia berjalan melewati kakaknya dengan tatapan penasaran yang terus ia berikan pada sang naga.


            ‘Tunggu, Rina! Itu berbahay –“ Asvia berteriak memperingatkan.


            “Graoarr!”


            “Para pengkhianat?” Rina bertanya heran pada sang naga.


            “Groar Graaooar!”


         “Tidak, mereka tidak memperlakukan buruk padaku. Mereka adalah orang baik–“


            “GROAARR!! GROAARR!!”


“GROAAR GROAAAAARR!” naga itu terlihat marah memberikan tatapan kemarahannya pada Rina. Meski aura kesedihan juga terasa dari sekitar tubuhnya.


            “Ap-apa katamu ...?” Rina terlihat cemas setelah mendengar auman keras naga itu yang dipenuhi kemarahan dan kesedihan.


            “....” Hanafi dan Asvia hanya terdiam. Mereka dibuat keheranan oleh Rina yang terlihat berkomunikasi dengan Sleazer kelas B itu.


            “Groarr Graoarr!”


            “Me-mereka takkan pernah melakukannya! Mereka menyayangiku!!”


            “Groarr groaar ...! Groar!” Naga itu menutup mata beberapa saat sebelum menggigit lengan kanannya. Sisik tebalnya berjatuhan ke bawah. Rina pun lekas mengambil sisik kuning coklatnya itu sambil berucap.


            “Aku berterima kasih karena kepedulianmu, tapi aku baik-baik saja di sini.” Rina menjawab dengan ekspresi wajah yang terlihat menghibur sang naga.


            “Groaar ....” Naga itu pun berbalik dan berjalan pergi meninggalkan mereka.


            Setelah kepergiannya, Hanafi lekas mengajukan banyak pertanyaan pada adiknya akan tindakan dia yang benar-benar mengejutkan. Tapi Rina memilih diam sambil menyentuh kepala, benar-benar terlihat dipenuhi kecemasan.


            “Rina, kau seorang Duplicare?” Asvia bertanya cemas menatap Rina.


            “Y-ya ....” Rina menjawab pelan dengan raut wajah ketakutan.


    “Tenang, aku dan golonganku juga membenci sikap orang-orang yang memperlakukan buruk pada golonganmu. Tapi tak kusangka jika ternyata rumor yang tersebar di para Alcholar itu benar.” Asvia memberikan senyuman kecemasan.


            “Rumor apa?” Rina bertanya pelan.


            “Rumor jika Duplicare bisa berkomunikasi dengan Sleazer yang memiliki akal.”


            “Benarkah!?” Hanafi bertanya penasaran pada Rina.


            “In-ini juga pertama kalinya bagiku. Ketika teriakan pertama naga itu, aku bisa langsung memahaminya. Dia berkata ‘Tunggu, wahai engkau keturunan sang Dewi Penjaga! Aku akan membawamu dan menyelamatkanmu dari mereka!’."


            “Maksud kata ‘mereka’ dari naga itu adalah aku dan Hanafi, kan?” Asvia bertanya cemas.


            “Ya, dan dia juga memanggil kalian, bahkan seluruh umat manusia sebagai Para Pengkhianat.”


            “....” Hanafi dan Asvia terdiam cemas.


“Ba-bagaimana ini Kak ..., aku sudah mengetahui fakta mengejutkan tentang alasan para Selazer memusuhi umat kita ...,” lanjut Rina terlihat menitiskan air mata sambil menatap ketakutan kakaknya.


            “Be-benarkah ...? Apa itu, Rina?” Hanafi bertanya pelan dan was-was.


         “Seluruh Sleazer di dunia ini mengetahui sikap orang-orang yang memperlakukan buruk pada golongan kami. Maka dari itulah alasan mereka selalu menculik golongan kami untuk melakukan penyelamatan.”

        "Penyelamatan!?" Hanafi bertanya heran dan juga terkejut.

            “Be-benarkah!? In-ini benar-benar informasi yang mengejutkan!” Asvia juga terkejut sampai membelalakkan bola matanya.


            “Lalu apa alasannya para Sleazer itu memusuhi umat manusia?“ Hanafi bertanya lagi pada adiknya.


            “Aku tidak tau kebenarannya, tapi dengan aura penuh kesedihan dan kemarahan naga itu mengatakan, ‘Para manusia menjijikanlah iblis sebenarnya!! Mereka yang haus akan kekuasaan, malah mengkhianati kepercayaan pahlawan besar kami dan lalu membunuhnya.’.”


            “Lalu dia juga mengatakan, ‘Tunggulah bangkitnya ratu kami untuk melakukan pembalasan pada para pengkhianat akan dosa tak termaafkan yang telah mereka lakukan!’.”


            “....” Hanafi dan Asvia hanya memasang wajah tegang menatap Rina. Keringat dingin mulai terlihat di sekitar wajah mereka yang mengetahui fakta mengejutkan yang diutarakan sang naga kepada Rina.

           
***

No comments:

Post a Comment