Monday, 8 April 2019

Chapter 3


Tittle: Exitium

Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy

Author: r lullaby

Status: Ongoing


Chapter 3
Kelompok Sementara

              Di pusat pedagangan Kota Rimanisa, lelaki berambut hitam dengan raut wajah letih terlihat. Itu adalah Hanafi.


            Garis hitam benar-benar menempel di bawah matanya. Dengan pakaian layaknya seorang petualangan kelas pemula dan kantong pinggang yang ia kenakan, dia terlihat duduk di pinggir kolam sambil menatap keramaian orang-orang yang beraktivitas, dan berkata.


            “Penduduk di sini terlihat sedikit lebih banyak daripada Kota Cordel.”


           “Tapi ini aneh loh, Kak. Seharusnya Kota Rimanisa lebih padat dari ini.” Tiba-tiba Asvia berkata sambil berjalan mendekati Hanafi. Wajahnya seolah memperlihatkan kecemasan melirik kerumunan orang-orang.


            “Eh, benarkah!? Ma-maksudmu ini sudah termasuk sepi di kota ini?!” tanya Hanafi kaget.


            “Iya, tapi apa kau yakin tak ingin beristirahat, Kak Hanafi? Sebenarnya tadi malam apa yang kau lakukan? Kau juga membuat adikmu cemas,” khawatir Asvia sambil duduk di pinggiran kolam seperti Hanafi.


            Mereka duduk bersebelahan, tak heran jika orang-orang sekitar menganggap mereka sepasang kekasih.


            “Aku tak bisa bilang kejadian tadi malam.” Batin Hanafi sambil terus memberikan lirikan pada Asvia.


            “Kak?” Asvia bertanya kebingungan akan lirikan aneh dari Hanafi.


            “Yah bukan hal yang penting sih, selain itu dimana Rina?”


            “Dia langsung kembali ke penginapan. Dia masih marah padamu yang tak mengatakan alasan kau bergadang kemarin,” senyum kecil Asvia mulai beranjak berdiri.


            “Ehh, seperti anak kecil saja ...,” keluh Hanafi dengan mata terpejam beberapa saat.


            “Tapi dia memang masih anak kecil, Kak,” celetuk Asvia menyunggingkan senyuman menatap Hanafi.


            “Kau benar hahaha,” Hanafi pun beranjak dari kursi dan tertawa kecil di ucapan terakhirnya. Asvia pun tersenyum kecil melihat Hanafi seperti itu sebelum akhirnya berbalik dan berniat pergi menuju ke penginapan seperti Rina.


            “Ah, Asvia. Tak apa kau ke penginapan sendirian?”


            “Eh? Tak apa sih, tapi Kakak mau kemana memangnya?”


            “Aku mau ke serikat terdekat dulu, mencari pekerjaan.” Jawab Hanafi sambil menunjuk arah bangunan serikat yang berada di ujung jalan.


            “Ehh dengan kondisi seperti itu Kakak mau bekerja?” cemas Asvia menatap Hanafi.


            “Tenang saja, hari ini aku hanya ingin mengambil permintaan.”


            “Benar hanya mengambil saja ‘kan? Jangan terlalu memaksakan diri, Kak.” Asvia berucap dengan nada suara khawatir.


            “Iya,” senyum Hanafi lalu mulai melangkahkan kakinya menuju bangunan serikat petualang yang ia tuju, berada di ujung jalan yang berlawanan dengan jalan yang dituju Asvia.


            Tak lama setelah itu, bertepatan dia memasuki banguna  serikat. Orang-orang di seklilingnya sontak memberikan tatapan padanya, meski itu tak terlalu lama dan mereka kembali berwajah tak acuh dan bercengkrama.


            Hanafi berjalan menuju papan pengumuman, berniat mengambil permintaan yang sesuai dengan tingkatannya.


            Tapi sayang, karena hari sudah siang semua permintaan tingkat sepuluh benar-benar sudah tak ada, dan yang tersisa hanya permintaan untuk petualang tingkat sembilan. Dan itu pun hanya tersisa satu lembar.


            Sambil menghela nafas kecil dan menyunggingkan senyuman di wajah, Hanafi pun berniat mengambil lembar permintaan tingkat sembilan itu, tapi tak di sangka.


            Tangannya bersentuhan dengan tangan orang lain yang juga ingin mengambil permintaan tingkat sembilan itu.


            Sontak Hanafi menolehkan kepalanya ke samping kanan, menatap lelaki berambut kuning, bermata biru yang juga berniat mengambil permintaan itu.


            Garis hitam terlihat di matanya dengan mata yang sedikit memerah terlihat. “Ah, dia juga kurang tidur?” batin Hanafi menatap wajah lelaki yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya itu.


            Tatapan lelaki berambut kuning itu juga tertuju pada garis di bawah mata Hanafi yang terlihat sangat jelas. “Ah, dia juga habis menangis?” batin lelaki itu dengan senyuman kecil, seolah senang melihat seseorang yang bernasib sama dengannya.


            “....” Keheningan datang merangkul mereka yang tetap mengangkat tangannnya sambil terus mengadukan tatapan. Meski itu tak lama sampai lelaki berambut kuning menurunkan tangannya dan berucap.


            “Silahkan, kau bisa mengambilnya.”


            “Ah tidak-tidak, kau yang bisa mengambilnya. Lagipula aku hanya melihat-lihat di sini,” senyum Hanafi yang juga menurunkan tangan kirinya, dia sedikit bahagia setelah mendapatkan ucapan ramah dari lelaki berambut kuning itu.


            “....” Keduanya terdiam sambil melontarkan senyuman masing-masing ke lawan bicaranya. Meski tak terlalu lama sampai keduanya tertawa kecil karena rasa canggung yang juga mulai muncul. ““Hahahaha ....””


            “Entah kenapa jadi aneh suasananya yah.”


“Iya hahaha,” Hanafi menjawab dengan tawaan kecil kembali.


“Baiklah, pertama-tama perkenalkan namaku adalah Enrik. Petualang tingkat delapan,” senyum ramah lelaki berambut kuning, bernama Enrik itu.


“Ah namaku Hanafi Anugerah. Saya masih baru menjadi petualang, jadi masih tingkat sepuluh,” senyum Hanafi sambil memegang dadanya, terlihat memperkenalkan diri dengan santun.


“Wah mungkinkah kau seorang bangsawan?” senyuman Enrik melebar setelah mendengar perkataan Hanafi.


“Eh, bukan. Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” tanya Hanafi dengan raut wajah bingung dan khawatir.


“Eh kukira tebakanku benar. Soalnya jarang sekali ada rakyat seperti kami yang memiliki nama belakang.”


Eh be-benar juga, jika dipikir-pikir Ellie dan Eleona pun tak memiliki nama belakang!” batin Hanafi cukup terkejut dengan mata terbelalak.


“Bukan-bukan, saya juga hanya rakyat biasa,” senyum Hanafi dengan mata terpejam beberapa saat.


“Begitu ... lalu soal ini ...,” senyum Enrik melirik lembar permintaan tingkat delapan beberapa saat sebelum melanjutkan pertanyaan.


“Ingin membuat kelompok sementara?”


“Eh?” Hanafi terkejut dengan senyuman yang masih terpampang.


“Ya kalau kau tak mau juga tak keberatan. Tapi kau masih bisa mengambil misi ini–“


“Tidak, bukan begitu. Saya masih kurang mengerti maksud kelompok sementara ini. Apa itu seperti kita bekerja sama untuk menyelesaikan permintaan tertentu?”


“Ya memang seperti itu ‘kan? Hanya untuk misi ini saja,” senyum Enrik dengan anggukan kepala.


“Wah boleh, tentu saja! Beruntung bisa berkelompok dengan petulangan yang sudah memiliki pengalaman sepertimu! Aku pasti belajar sesuatu darimu.”


“Eh aku tak yakin kau bisa belajar sesuatu dariku. Lihat, maksudku, emm ... meski sudah beberapa tahun aku menjadi petualang tapi tetap di tingkat ini, benar-benar tak berguna yah aku ini ....” Enrik tertawa kecil dan menutup mata. Dia pun terlihat menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan tangan kanannya.


“Sama sekali tidak! Mendengarmu yang sudah beberapa tahun menjadi petualang semakin membuatku yakin jika aku pasti bisa belajar sesuatu darimu!” Hanafi terlihat semakin melebarkan senyuman. Berpikir jika dia benar-benar bisa akrab dengan lelaki bernama Enrik itu.


“Eh begitu, kah? Yah ... tapi jika ada yang bisa kubantu, pasti kubantu,” senyum Enrik sambil mengambil permintaan, lalu berjalan ke meja resepsionis. Hanafi pun ikut berjalan mengikuti Enrik dengan senyuman yang masih terpampang.


Enrik pun bertanya mengenai detail misi yang akan mereka ambil, dengan amat sangat rinci. Hanafi pun terkejut bahkan sampai melebarkan mata. Tak menduga jika petualang yang sudah lama seperti Enrik pun melakukan konsultasi.


Setelah menyelesaikan konsultasi, keduanya pun keluar sambil sepakat untuk menerima permintaan tersebut.


“Ku-kupikir petualang yang sudah lama tak  perlu berkonsultasi seperti itu? Temanku yang bekerja di serikat juga mengatakan jika mereka hanya berteriak sambil mengambil lembar pekerjaan,” senyum khawatir Hanafi sambil terus menatap punggung Enrik yang sedikit terlihat lebih besar darinya. Tak heran umurnya sudah hampir menginjak 20 tahunan.


“Eh yah memang kebanyakan seperti itu. Tapi menurutku alangkah baiknya kau berkonsultasi, Hanafi. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan sesederhana yang orang-orang pikirkan. Seringkali kita mempertaruhkan nyawa dalam pekerjaan ini, dan jika nyawa kita menghilang, maka semua apa yang kita punya akan berakhir dalam sekejap.” Enrik menjelaskan sambil memperlambat langkahnya hingga sejajar dengan Hanafi.


“Selain itu kita juga bekerja di sini. Memberikan hasil terbaik pada pemberi permintaan adalah hal yang patut kita lakukan, dan untuk memberikan hasil terbaik itu kita membutuhkan informasi. Dengan informasti itu kita akan mengerti dengan apa yang sebenarnya kita lakukan ....” ucapan Enrik diakhir semakin terdengar pelan setelah melihat Hanafi yang memberikan tatapan lebar dan terkejut padanya.


Melihat wajah Hanafi yang seperti itu, Enrik pun berucap dengan nada cemas.


“Maaf-maaf, penjelasankan terlalu membosankan yah, haha. Tapi intinya ya itu ... informasi itu amat sangat penting,” senyum Enrik melanjutkan ucapan dengan mata terpejam beberapa saat.


Kedua bola mata Hanafi semakin terbelalak lebar, senyuman benar-benar tersungging di wajahnya yang memberikan tatapan penuh kekaguman pada Enrik.


“Ak-akan kuingat perkataanmu itu, Kak Enrik!”


“Eehh!? Kak? Panggil Enrik saja, tak usah pakai imbuhan ‘kak’ segala,” cemas Enrik dengan tawaan kecil karena kerepotan akan tatapan berbinar dari Hanafi.


“Tapi kau lebih tua dariku, selain itu kau juga seniorku! Sudah sewajarnya aku memanggilmu Kakak, kan?”


“Eh aku kerepotan juga sih, tapi terserah padamu saja,” senyum Enrik dengan tawaan kecil yang masih terdengar.


“Ngomong-ngomong kita akan memulai misi ini besok, kan? Sebaiknya hari ini kita beristirahat dulu,” ucap Enrik sambil melirik Hanafi.


“Iya, benar Kak. Tapi penginapan Kakak dimana?”


“Ah aku di penginapan pinggiran kota, Bubbleworm.”


“Eh, sa-sama aku juga ...,” senyum Hanafi dengan mata terbelalak lebar karena terkejut. Dia bahkan sampai menghentikan langkahnya


“Lantai berapa? Ak-aku lantai dua,” Enrik pun ikut menghentikan langkah, bertanya juga dengan senyuman yang dihiasi keterkejutan.


“Sa-sama ..., lantai dua juga, di kamar tiga.” Hanafi menyungginkan senyuman yang melebar.


“Aku di kamar dua ...,”senyum Enrik memejamkan mata beberapa saat.


Selanjutnya mereka pun tertawa kecil sambil menutup mata, hingga membuat perhatian sekitar beberapa saat tertuju pada mereka.


Mereka tergelitik karena kebetulan yang benar-benar menakjubkan. Tak menyangka jika mereka menginap di tempat yang sama, bahkan lebih dari itu kamar mereka pun bersebelahan.


***


Malam telah datang, suasana di lantai pertama penginapan Bubbleworm terasa seperti penginapan lainnya. Ramai oleh para petualang, penjaga, dan masyarakat yang melepas letih karena pekerjaan.


Tapi suasana ramai itu tak berlaku bagi kelompok Hanafi.


Berniat memperkenalkan anggota sementara di kelompoknya, Hanafi malah kebingungan melihat Asvia dan Enrik yang saling memberikan tatapan lebar seolah terkejut hebat. Tidak hanya Hanafi, Rina pun juga terlihat cemas melihat wajah Asvia yang memperlihatkan ekspresi langka seperti itu.


“Em an-anu ...?” Hanafi berucap cemas berniat memecah keheningan di antara Asvia dan Enrik yang masih mengadu pandangan lebar.


“Sya-Syaki?–BUFF!!” Enrik mengeluarkan suara tapi langsung dibekam mulutnya oleh tangan kanan Asvia. Cukup keras dan bertenaga hingga membuat Enrik berwajah kesakitan.


“Ahh astaga, maaf tadi ada serangga di mulutnya.” Asvia lekas menarik tangan kanannya sambil menyunginggkan senyuman kecil dan memejamkan mata.


“Eh se-serangga? Be-benarkah ...?” tanya Hanafi pada Rina. Rina hanya menggeleng cepat dengan wajah yang membiru ketakutan, seoalah tak berani menjawab.


“Ya, ada serangga.” Asvia yang menjawab dengan senyuman dan masih dengan mata tertutup.


“Tap-tapi –“


“Ada serangga Kak ..., “ senyum Asvia membuka mata memberikan tatapan lebar dan terlihat ganjil hingga membuat bulu kuduk Hanafi berdiri.


“Y-ya ada serangga! Ya-ya ‘kan Rina!?” khawatir Hanafi mengalihkan pandangan pada adiknya.


“Iy-iya ada serangga ya-yang terlihat sangat berbahawya,” senyum Rina gugup dengan ucapan yang kacau. Senyumannya itu terlihat seperti menguatkan diri dengan wajah yang benar-benar terlihat membiru ketakutan karena gadis di sampingnya yang mengeluarkan aura aneh.


“.....”


Setelah agak tenang karena suasana aneh sebelumnya, Hanafi pun menjelaskan akan dirinya yang memutuskan membuat kelompok sementara bersama dengan Enrik.


Rina dan Asvia pun terlihat memahami penjelasan, mereka pun terlihat setuju, meski dari raut wajah Asvia masih memiliki beberapa ucapan yang ingin dilontarkan karena sedikit menentang. Tapi dia memilih untuk tetap diam.


“Senang bertemu denganmu, nama saya Enrik.” Enrik terlihat memberikan senyuman hangat pada gadis kecil di samping Asvia, yakni Rina.


“Senang bertemu denganmu juga, Kak Enrik. Aku adik orang bodoh itu, namaku Rina Analilia,” Rina memperkenalkan diri dengan sopan, sambil mendelik sinis pada Hanafi. Tanda dari dirinya yang masih marah.


“La-lalu yang ini namanya Asvia ....” khawatir Hanafi sambil menatap Asvia.


Enrik pun sedikit menundukkan kepala dengan senyuman kecil yang seolah dipaksakan. “Se-senang bertemu denganmu, Asvia. Namaku Enrik.” Bola mata Enrik terlihat teralihkan ke samping kanan.


“Y-ya senang bertemu dengamu, namaku As-Asvia ...,” Asvia pun sama menyungginkan senyuman kecil seolah dipaksakan. Dia mengalihkan pandangan juga dari lawan bicaranya.


Nada suara mereka berdua terdengar datar seolah sangat terlihat jelas jika keduanya sedang berpura-pura saling berkenalan.


Hanafi dan Rina menyadari itu, jika mereka sudah saling kenal. Mereka hanya berwajah khawatir mengalihkan pandangan dari mereka, memilih untuk tetap diam daripada bertanya hingga menimbulkan suasana aneh seperti sebelumnya.


“Tap-tapi Hanafi, maaf aku bertanya hal seperti ini. Tapi adikmu ... Rina, apa dia seorang Duplicare?” senyum Enrik bertanya pelan seolah sangat berhati-hati agar orang-orang sekitar tak mendengar suaranya.


“....!!” Sontak keterkejutan nampak di wajah Hanafi dan Rina.


Rina lekas menatap kakaknya penuh kecemasan dan ketakutan, masalah dia yang masih marah pun lenyap seketika. Sang kakak hanya tersenyum kecil seolah ingin menenangkan dia yang berwajah cemas.


“Maaf, bukan berarti aku membenci mereka. Lagipula adikku juga seorang Duplicare, dan sebenarnya aku sangat senang melihat kau memperlakukan adikmu seperti ini,” khawatir Enrik dengan senyuman yang menenangkan kakak beradik di dekatnya itu.


“Be-benarkah itu?” senyum Hanafi melebar dan memberikan tatapan kekaguman pada Enrik. Dia sudah menduga jika Enrik adalah lelaki yang baik dan tak akan membenci Rina hanya karena soerang Duplicare, tapi tak disangka dugaanya itu benar. Lebih dari itu, lelaki yang dikagumi Hanafi itu juga memiliki adik yang sama sepertinya, yakni seorang duplicare.


“La-lalu adik Kakak itu? Dimana sekarang?” senyum Rina bertanya.


“Ah dia yah ... dia sudah meninggal karena serangan Sleazer di masa lalu,” Enrik menurunkan pandangannya ke bawah, memunculkan aura kesedihan hingga merangkul orang-orang sekitarnya, tak terkecuali bagi Asvia yang mengalihkan pandangan darinya. Seolah sudah mengtahui apa yang diucapakan Enrik sebelumnya.


“.... Eh!? Tunggu, apa dia mati– maksudku meninggal tepat di hadapanmu, Kak?” khawatir Hanafi bertanya, sedikit memperbaiki ucapannya agar terdengar lebih sopan.


“Eh tidak, terakhir kali aku melihatnya dia di bawa pergi oleh naga merah dengan sayap lebar. Kemungkinan itu Sleazer kelas A yang datang dari Benua Perona. Aku tak sanggup memikirkan apa yang selanjutnya mahluk itu lakukan pada adikku,” senyum sedih Enrik menjawab.


“Jika begitu!! –“ senyum Hanafi dengan mata terbelalak lebar.


“Dia masih hidup!” senyum lebar Rina dengan anggukan kepala memotong ucapan kakaknya.


“EH ma-maksud kalian!?” Enrik memberikan tatapan lebar dan keterkejutan hebat mendengar pernyataan kakak beradik di dekatnya.


“Benar juga, setelah mendengar pernyataan mahluk itu, bisa saja. Mungkin saja Elirina masih hidup, “ senyum Asvia dengan anggukan kepal, dia juga benar-benar terlihat bahagia.


“Benarkah itu!?” Enrik bertanya dengan nada suara yang dibumbui penuh harapan pada Asvia.


“Ya, kemungkinan besar. Tapi tak apakah menceritakan kebenaran ini padanya, Rina, Hanafi?” tanya Asvia melirik Rina dan Hanafi yang berwajah penasaran.


“Eh?” Asvia hanya berwajah kebingungan.


“Emm, siapa itu Elirina?” tanya Hanafi penasaran dengan mata terpejam sesaat.


“...!!” Sontak keterkejutan nampak di wajah Asvia, dan Enrik hanya memasang wajah datar melihat gadis yang sudah ia kenal lama itu.


“An-anu ....!” cemas Asvia kebingunan menjawab pertanyaan.


“Maaf, Hanafi. Sebenarnya aku sudah kenal dengan Asvia, kami satu desa. Semacam teman masa kecil begitu,” senyum Enrik yang membantu Asvia untuk menjelaskan.


“Ah begitu rupanya, aku sudah menduganya sih jika sebenarnya kalian sudah saling kenal.”


“Ma-maaf sudah membohongi kalian berdua, kupikir akan merepotkan jika kalian tahu kami sudah saling kenal,” khawatir Asvia meminta maaf dengan kepala tertunduk.


“Eh, padahal tak apa. Jika begitu, bukankah kita akan menjadi lebih akrab?” senyum Rina.


“Ka-kau benar, tapi sejak kecil kami selalu saja bertengkar,” senyum Enrik memejamkan matanya beberapa saat.


“.... Ah, begitu rupanya,” cemas Rina dengan tawaan kecil di akhir ucapan.


“....” Keheningan lagi-lagi merangkul Hanafi dan kelompoknya. Hanya tawaan dari lelaki tua yang terdengar di sekitar mereka.


“La-lalu maksud ucapanmu barusan ..., tentang adikku?” Enrik bertanya dengan tatapan cemas pada Asvia.


Mendengarnya, Asvia lekas menolehkan kepala ke arah Hanafi beserta adiknya. Seolah meminta izin untuk menceritakan tentang apa yang diucapkan Sleazer kelas B yang mereka temui sebelumnya.


Menyadari hal itu, Hanafi dan Rina pun menganggukkan kepala seakan tak keberatan, tak lupa dengan senyuman kecil yang begitu menenangkan. Sontak, senyuman lebar tersungging di wajah Asvia.


Sambil memperbaiki posisi duduknya, Asvia pun mulai menceritakan segalanya. Pada teman masa kecil yang kini duduk berhadapan dengannya.


Menceritakan tentang pertemuannya dengan naga bumi, tentang Rina yang bisa berkomunikasi dengannya, tentang apa yang naga bumi ucapkan mengenai alasan para Sleazer memusuhi umat manusia, dan tentang alasan Sleazer menculik golongan Duplicare.


Kedua bola mata Enrik terbuka lebar dengan genangan air mata benar-benar terlihat di bawah mata. Tak kuasa menahan tangis, dia kembali menutup kedua mata berairnya dengan telapak tangan kanannya, lekas berucap dengan nada suara penuh haru. “Eli-Elirina ma-masih hidup .... Oh Tuhan, syukurlah, ter-terima kasih ....”


            Hanafi dan Rina hanya menyunggingkan senyuman dengan mata berkaca-kaca, terharu melihat lelaki baik hati itu yang terlihat menitiskan air mata kebahagiaan.


            Asvia hanya menutup mata dengan tetesan kecil air mata sebelum akhirnya ia lekas menghapusnya agar orang-orang sekitar tak menyadarinya. Dia juga bahagia, bukan hanya melihat lelaki itu yang menitiskan air mata kebahagiaan. Akan tetapi.


            “Syukurlah ..., kau juga masih hidup.”


            Selanjutnya setelah sekian lama menunggu Enrik menyelesaikan rasa bahagia mengetahui berita sang adik tercinta yang masih hidup. Mereka pun mulai diskusi akan misi besok. Tentu saja, yang memimpin rencana itu sendiri adalah lelaki paling tua di sana, Enrik.


Hanafi tak keberatan akan hal itu, malah dia sendiri yang menunjuk lelaki yang ia kaguminya itu untuk memimpin kelompok sementara itu.


***

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. bagus, semoga lebih cepat dan lebih sering update, masih ditunggu kelanjutan Iris Dragon.

    ReplyDelete