Tittle: Exitium
Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy
Author: r lullaby
Status: Ongoing
Chapter 8
Rumor
Hanafi
telah menjemput Rina dari Toko Pakaian. Rina kini berpakaian layaknya bangsawan
yang terpandang. Baju terusan dengan rok berenda, sarung tangan panjang sampai
lengan, dan sepatu dengan kaos kaki sampai bawah lutut ia kenakan.
Perpaduan warna violet dengan kuning dari
pakaian yang dikenakan Rina terlihat nyaman dilihat. Maka tak heran jika
masyarakat di sekitar memberikan tatapan kagum padanya.
Rina juga memakai kain violet yang dia ikat
memutari dahi hingga menutupi mata kiri. Menyembunyikan salah satu matanya yang
berbeda warna, tanda dari dia yang seorang Duplicare.
Jika bukan karena masalah itu, maka Rina pasti
akan mendapatkan nasib baik. Karena pada dasarnya dia gadis yang sangat rupawan
dan begitu anggun.
“Wah cantiknya adikku,” Hanafi berucap pelan
seolah menyindir adiknya. Rina memberikan lirikan kecil pada sang Kakak dan
berucap dengan nada sinis.
“Seharusnya Kakak membeli pakaian lebih baik!
Kau membelikan pakaian paling mahal pada adikmu ini, tapi kenapa kau sangat
pelit untuk dirimu sendiri?”
“Pakaian laki-laki tak perlu sebagus pakaian
wanita. Karena keindahan milik kaum kalian,” Hanafi menjawab dengan senyuman
dan membalas lirikan sang adik.
“Bodohnya, seharusnya Kakak mengatakan hal ini
pada wanita yang Kakak sukai,” Rina sontak mengalihkan pandangan dari Kakaknya
dengan ekspresi wajah kekesalan.
“Ah Kak!” Rina seketika menghentikan langkah
sambil menarik lengan baju Kakaknya.
“Eh kenapa?” Hanafi menolehkan kepalanya ke
arah Rina.
Rina mulai menunjuk bangunan kecil yang
terlihat sudah tua dengan telunjuk tangan kanannya. Di sana jelas tertulis toko
alat sihir.
“Aku tertarik, siapa tahu kita menemukan barang
yang bagus. Ayo ke sana, lagipula Kakak banyak uang, kan?”
“Eh, tapi aku ingin istirahat sekarang. Kau
tidak lihat Kakakmu ini membawa barang yang berat,” keluh Hanafi berucap sambil
sedikit mengangkat pundaknya yang membawa tas. Tanda darinya yang menekankan jika
barang bawaan yang ia bawa sudah berlebih.
“Justru itu, Kak! Di toko seperti ini mungkin
saja ada barang langka, seperti Tas Dimensi. Itu berguna buat menyimpan
barang-barang kita.”
“....” Hanafi terdiam berpikir beberapa saat
dengan menyentuh dagunya. Dia mengolah dalam-dalam ucapan sang adik dalam
otaknya.
“Ayolah, Kak! Sebentar saja! Jika tak ada
barang yang menarik, kita langsung ke penginapan yang Kakak maksud!” ajak Rina
dengan wajah memelasnya yang terlihat begitu menggemaskan.
“.....” Hanafi terkena damage dari kegemasan wajah Rina. Dia bahkan sampai menggigit bibir
bawahnya untuk lebih menahan diri dari ajakan adiknya.
“Lagipula apa tidak berat membawa puluhan koin
emas dan perak di tas itu,” pelan Rina menghasut, berbisik menyembunyikan mulut
dengan tangan kanan sambil melihat tas Hanafi.
“Haaa ....” Hanafi akhirnya menghela nafas,
terkalahkan.
“Baiklah, kita akan melihat-lihat sebentar!”
Hanafi menyetujui pendapat sang adik. Keduanya pun mulai memasuki bangunan
kecil yang terlihat sudah benar-benar dimakan usia itu.
Melewati pintu bangunan, keduanya dikejutkan
dengan keadaan toko yang serba gelap. Selain itu, banyak debu dan sarang
laba-laba di seluruh penjuru ruangan membuat Hanafi dan adiknya berpikir jika
toko ini jarang dibersihkan.
Terus memasuki toko yang lebih dalam, lelaki
lanjut usia pun mulai terlihat di ujung ruangan sambil duduk di atas kursi
goyang yang bergoyang pelan.
Rina berjalan mengamati sekitarnya dengan
senyuman terpampang, meski keadaan toko itu yang benar-benar kotor dan berantakan.
Banyak barang aneh juga yang membuat tingkat cemasan
Hanafi bertambah. Seperti tulang monster, pedang berbentuk aneh, dan buku tua
yang berdebu.
“Apa kalian mencari tas dimensi?” celetukan lelaki
tua terdengar, mengajukan pertanyaan dengan nada pelan sambil terus
menggoyang-goyangkan kursinya.
“....” Keheningan datang merangkul Hanafi
beserta adiknya beberapa saat sebelum akhirnya Rina mengeluarkan suara,
membalas pertanyaan lelaki tua itu.
“Eh, di-di sini beneran ada, Kek!?” Rina
bertanya dengan nada antusias sambil berjalan mendekati lelaki tua itu. Hal itu
sedikit membuat Hanafi khawatir hingga ingin memanggil nama adiknya, tapi ia
urungkan.
“Ya, apa kau tertarik dan ingin membelinya, Duplicare
Muda?” senyum lelaki tua itu dengan nada ramah pada Rina.
“....!!” Hanafi sontak memberikan tatapan
penasaran sebelum akhirnya berjalan cepat menyusul adiknya, membuat sang adik
berlindung di balik tubuhnya. Dia tak menyangka jika lelaki tua itu bisa
menyadari rahasia Rina dengan amat sangat cepat.
Begitupula dengan Rina. Dia terdiam sesaat
dengan ekspresi terkejut sebelum berucap dengan nada pelan.
“Meski aku sudah menutup sebelah mataku, tapi
Kakek masih bisa tetap menyadarinya yah? Apa karena aura malapetaka yang kubawa
....?”
Kakek itu tertawa kecil sesaat, lalu tersenyum
dan berucap.
“Aura apa itu? Selama aku hidup di dunia ini,
aku tak pernah mendengar aura seperti itu. Kehangatan api dalam hatimu terasa nyata
hingga membangunkanku dari tidurku.”
“Eh ma-maksudnya!?” cemas Rina yang terlihat sedikit
kebingungan.
“Di mataku kau memancarkan cahaya menyilaukan,
Gadis Muda. Aku bisa melihat dengan jelas sayap putih di belakang punggungmu. Melihat
lingkaran cahaya di atas kepalamu itu.”
“Tu-tunggu apa maksud perkataanmu tadi, Kek?”
Hanafi bertanya dengan ekspresi kebingungan. Sesekali melirik adiknya juga yang
berwajah cemas.
“Tolong abaikan saja ucapan Kakek ini, jadi
bagaimana jika kita langsung masuk saja ke dalam bisnis?” senyum Kakek tersebut
sambil mendongakkan kepala, dan memberikan senyuman kecil pada Hanafi.
“Aku berikan 20 koin emas untuk tas ini, jika
kau mau, kau bisa mengambilnya.” Kakek tersebut memperlihatkan tas kecil lengkap
dengan sabuk untuk pinggang. Terdapat relik indah yang menempel pada tas
tersebut. Tanda jika tas itu terlihat amat sangat berharga.
“Du-dua puluh!? Koin emas!? Tung-tunggu apa
memang semahal it–“ Hanafi terkejut cemas mendengar pernyataan sang kakek, tapi
ucapannya itu tersanggahkan oleh Rina yang berteriak terlihat marah.
“Ter-terlalu murah!! Ap-apa Kakek serius ingin
menjual benda yang melebihi harta negara ini!!”
“E-eh terlalu murah!?” kedua bola mata Hanafi
terbelalak lebar menatap cemas adiknya.
“Tentu saja, Kak! Tas dimensi hanya berjumlah tiga saja di dunia ini. Salah satunya ada di Kerajaan Angelwish yang digunakan sebagai warisan untuk raja mereka. Dua lagi menghilang, tapi aku tak menyangka jika salah satunya be-berada di sini!” jelas Rina dengan ekspresi wajah yang masih dihiasi kekhawatiran.
“Eh seberharga itu, kah!?” terkejut Hanafi
bertanya menatap adiknya.
“Ya, ini amat sangat berharga Kak! Padahal aku
hanya bercanda soal membujuk Kakak dengan tas dimensi tadi di luar.”
“Rina ....” Datar Hanafi menatap adiknya. Tapi
dia lekas menutup mata, menghela nafas, dan kembali menatap Si Kakek.
“Tapi apa ini tak apa untukmu, Kek! Setelah
mengetahui seberapa berharganya barang itu, aku jadi tak yakin jika seluruh
uangku mampu membelinya.”
“Tak apa, lagipula aku memang berniat
memberikan tas ini pada generasi muda. Awalnya aku berniat memberikan cuma-cuma
pada kalian. Tapi, karena tokoku yang sudah bobrok ini, aku perlu uang untuk
memperbaikinya,” senyum sang kakek menutup mata sesaat.
“Tapi kenapa kami!? Banyak generasi muda di
luar sana yang jauh lebih baik dari kami?” Rina bertanya sambil memberikan
tatapan kecil pada si lelaki lanjut usia.
“Karena kalian lah yang berkunjung ke toko ini.
Selain itu, aku juga hanya ingin mewariskan tas ini pada generasi muda yang
berhati mulia.”
“Kenapa Kakek bisa yakin jika kami memenuhi
kriteria itu–“ khawatir Rina.
“Karena kau seorang Duplicare .... Aku sudah
mendengarnya juga, perlakuan dunia pada golongan kalian, dan aku minta maaf
sebagai perwakilan masyarakat secara individu. Sungguh kesalahpahaman
masyarakat tentang kalian benar-benar memburuk di jaman ini.”
“....” Rina tak menjawab. Hatinya terasa sakit
bahkan sampai menjalar ke kedua matanya. Bukan sedih, melainkan bahagia
mendengar pertanyaan si kakek.
Hanafi pun hanya menyunggingkan senyuman
bahagia melirik adiknya yang seperti itu.
“Kau Kakaknya, kan? Kau juga pasti
merasakannya, akan kebaikan hati gadis ini yang bagai jelmaan malaikat,” senyum
kakek tua itu ke arah Hanafi. Hanafi menolehkan kepala kembali ke arah sang
kakek, lalu menganggukkan kepala, membalas senyuman sang kakek, dan berucap.
“Ya, dia memiliki hati yang hangat dan baik
pada sesama. Aku sanggat bangga padanya.”
“....” Wajah Rina memerah setelah mendengar
pernyataan Kakaknya, dihiasi juga senyuman kecil yang begitu menenangkan hati
siapapun.
“....” Suasana langsung terasa hening setelah
ucapan Hanafi. Sang Kakek dan Hanafi saling mengadu pandangan bersahabat,
sedangkan Rina hanya terus diam menundukkan kepala dengan wajah memerah.
“Baiklah kau pasti lelah karena ingin beristirahat,
Anak Muda! Kita selesaikan dengan cepat transaksi jual beli ini,” senyum sang
Kakek sambil memberikan tas dimensi yang ia genggam dengan tangan kanannya.
“Ya tentu saja, tunggu sebentar!” Hanafi
menurunkan tasnya, lekas mengeluarkan kantong serut bertali putih pemberian
Bella. Mengeluarkan 20 koin emas untuk melakukan pembayaran.
***
Setelah menyelesaikan urusan di toko
sebelumnya, Hanafi dan Rina pun memasuki penginapan yang direkomendasikan oleh
petugas serikat bernama Ellie.
Seluruh barang bawaan Hanafi
terlihat menghilang, sudah dipindahkan ke dalam tas kecil yang berada di
pinggangnya. Seperti tas pinggang di dunia yang ia kenal.
Relik indah di tas tersebut terlihat
menghilang. Seolah menyamarkan diri agar tak merepotkan pemiliknya.
Lalu satu hal yang Hanafi sadari jika tas
dimensi itu ternyata memiliki kesadarannya sendiri. Entah kenapa Hanafi
mengetahui hal itu setelah si kakek menyuruh Hanafi untuk melakukan kontrak
dengan tas dimensi.
Biasanya tas dimensi itu berkomunikasi dengan
pemiliknya lewat telepati. Tapi kini, meski sudah beberapa kali Hanafi
memanggilnya dalam hati, tak ada jawaban lagi dari tas dimensi itu. Hanafi pun
hanya bisa menyerah sampai tas dimensi itu kembali mengeluarkan suaranya.
Dan kini, Hanafi hanya terlihat membawa
kantong serut bertali coklat di tangan kanannya yang berisi puluhan koin
tembaga.
Tidak seperti di dalam serikat
petualang yang ramai oleh orang-orang. Penginapan di siang hari terlihat lebih tenang,
membuat Hanafi dan Rina beberapa kali mengamati seluruh penjuru ruangan.
Di lantai bawah penginapan tersebut
terlihat banyak kursi dan meja. Berpikir jika lantai bawah di penginapan itu biasa
digunakan sebagai bar untuk tempat minum-minum.
“Apa kau seorang petualang? Pasti butuh
tempat untuk beristirahat. Terlihat sangat jelas di wajahmu itu.” Wanita paruh baya dengan wajah sedikit mirip
Ellie terlihat. Rambutnya bergelombang diikat ponytail.
“Ah iya, Ellie yang merekomendasikan
penginapan ini. Apa masih ada kamar yang kosong dan berapa harga permalamnya?”
“Tentu saja ada, tapi hanya tersisa
satu kamar dan harganya 5 koin tembaga permalam, tapi karena Ellie yang
merekomendasikanmu akan kukasih potongan harga menjadi 3 koin tembaga
permalam.”
“Bagaiman Rina?” Hanafi bertanya
cemas melirik adiknya.
“Bagaimana apanya? Bukankah sudah
jelas bagus? Lihat dong Kak tempat ini yang nyaman untuk ditinggali,” Rina
menjawab pertanyaan sang kakak.
“Bukan itu maksudku. Penginapan ini
hanya tersisa satu kamar. Apa kau tak keberatan tidur sekamar denganku?”
“Hah tentu saja, lagipula kasurnya
ada dua kan emm .... ?”
“Lebih tepatnya ada 3 kasur. Dan
kalian bisa memanggilku Eleona.”
“Tuh kan Kak, kita bermalam di sini
saja! Kakak juga terlalu lelah kan untuk berkeliling kota?” Rina bertanya
cemas.
“Baiklah, jadi berapa jika dihitung
anak ini permalamnya?” tanya Hanafi
sambil memegang kepala Rina dengan tangan kanannya.
“Karena kalian satu kamar, emm aku
kasih harga 4 koin tembaga saja permalamnya.”
“Baiklah kami setuju,” senyum Hanafi
lalu memberikan 8 koin tembaga pada Eleona.
“Jadi kalian ingin menginap dua
malam yah, baiklah nanti akan kusiapkan kamar kalian.”
“Sambil menunggumu menyiapkan kamar,
apa kami bisa memakan makanannya sekarang? Sejujurnya kami belum makan sejak bangun
tidur?’ Hanafi kembali bertanya sambil duduk di salah satu kursi dan bermeja
lingkaran.
“Baik, akan kusiapkan!” ucap Eleona
sambil sedikit menganggukkan kepala, lalu berjalan ke arah dapur untuk memenuhi
keinginan adik kakak tersebut.
“Eh, kenapa tidak sekalian nanti
siang saja?” Rina bertanya sambil duduk berhadapan dengan kakaknya.
“Jangan biasakan seperti itu, Rina.
Usahakan tiap pagi kamu harus makan,” senyum Hanafi sambil menompang dagu
dengan tangan kanannya. Menyunggingkan senyuman di wajah untuk sang adik.
“Karena kakak yang bilang, akan
kubiasakan itu. Lalu, bagaimana dengan serikat petualang? Kakak sudah daftar
kan?” Rina memalingkan wajah ke samping. Melirik Hanafi dengan tatapan kecil.
“Sudah, tapi coba dengar ini Rina.
Aku diperlakukan seperti orang tak berdaya di sana, bahkan petugas serikat di
represionis juga sampai menanyakan beberapa kali soal keputusanku yang ingin
mendaftar!”
“Ahahahaha!” Rina sontak tertawa lepas
sampai memegang perutnya. Tingkahnya itu sedikit menarik perhatian beberapa pengunjung
sekitar.
“Hei kenapa kau malah menertawakan
Kakakmu!”
“Habisnya, Kak! Ahahahaha!” Rina masih
tertawa dan menutup mata karena kewalahan menahan tawaan.
“....” Hanafi hanya menghela nafas
karena adiknya yang menertawakan dirinya, tapi setelah itu lekas tersenyum
menatap Rina. Bahagia melihat adiknya yang bisa seceria itu.
“Wah wah, kalian kakak beradik yang
sangat akrab yah!” Eleona kembali dari dapur sambil membawa beberapa makanan
untuk Hanafi dan Rina.
“Ah tidak terlalu juga kok, Kak!
Tadi aku hanya menertawakan Kakakku,” senyum Rina sambil berusaha memperbaiki
nafasnya.
“Itu yang kumaksud akrab, Rina. Dan
juga lihat, Kakakmu malah tersenyum melihatmu seperti itu. Bukti dia bahagia
melihatmu tertawa,” senyum Eleona sambil menyimpan beberapa piring di tas meja
Hanafi dan Rina.
“Aku tersenyum karena melihat wajah
anehnya yang tertawa, Kak Eleona.” Hanafi berucap dengan wajah menghadap ke
arah Eleona. Dia sedikit melirik adiknya yang memasang wajah cemberut tak
senang. Akan tetapi wajah Rina yang seperti itu malah terlihat menggemaskan
bagi Hanafi dan Eleona.
“Hahaha ..., kamu Kakak yang usil,
Hanafi. Tapi maaf jika aku berkata seperti ini. Karena melihat pakaian Rina
yang terlihat berbeda dengan pakaian di sekitar sini. Membuatku berpikir jika
kalian seperti orang-orang bangsawan.”
“Ya, Rina memang seorang bangsawan.
Sedangkan aku hanya rakyat biasa. Karena suatu hal kami bersumpah untuk menjadi
saudara.”
“Eh be-be-benarkah!?” sontak Eleona bertanya
dengan nada sangat terkejut ketika mendengar pernyataan Hanafi. Gugup wajahnya ketika
mengetahui seorang bangsawan datang ke penginapannya, akan tetapi.
“Sudah hentikan leluconmu, Kak!”
kesal Rina memberikan tatapan sinis pada Kakaknya. Lalu lekas menatap Eleona
yang masih berdiri memegang nampannya dengan tatapan berbeda.
“Jangan dengarkan dia, Kak Eleona.
Aku juga rakyat biasa. Hanya karena aku dianggap rendah oleh sekitar, dia malah
membelikkan pakaian termahal di toko pakaian untukku.” Rina menjelaskan sambil
menutup matanya perlahan.
“Be-begitu, tapi bukankah itu bagus?
Berarti dia sangat memperhatikanm–“
“Bagus apanya! Dia terlalu
berlebihan! Lalu coba dengar juga, Kak Eleona. Dia memang membelikkanku pakaian
mahal tapi dia hanya membeli pakaian murah untuk dirinya sendiri!” Rina mulai
membuka mata ketika memotong ucapan Eleona. Melanjutkan perkataannya dengan
nada kesal melirik Hanafi.
Hanafi hanya mengalihkan pandangan.
Cukup ketakutan melihat adiknya yang terlihat kesal seperti itu.
“Sudah sudah, bukankah hal baik jika
kau disayangi oleh Kakakmu? Kamu harus menghargai itu, Rina.” Eleona
menyungginkan senyuman lebar dengan kedua mata tertutup. Sedikit terhibur
melihat percapakan Hanafi dan adiknya.
“Tapi tetap saja kan ....,” cemas
Rina kebingungan melanjutkan ucapan. Dia menatap Kakaknya yang mulai memakan
makanan yang disediakan oleh Eleona.
“Sudah kamu makan saja dulu seperti
Kakakmu. Keburu makanannya dingin,” senyum Eleona sambil berjalan kembali
menuju dapur.
Rina sesaat menatap kakaknya yang
makan dengan tatapan cemas. Tapi setelah itu dia mulai memperlihatkan senyuman
menatap Kakaknya, lekas menyantap makanan yang ada di mejanya.
Selesai menyantap makanan, keduanya pun
memasuki kamar. Hanafi lekas duduk di atas kasur sambil mengambil pakaian
sederhana yang dia beli di toko pakaian. Melihat hal itu, Rina lekas keluar
kamar. Mengetahui jika sang kakak ingin mengganti pakaian.
Hanafi pun mengganti pakaian di
dalam kamarnya, lalu memasukkan seragam bersama jaket kusamnya ke dalam tas
ransel yang ia bawa dari dunia asalnya.
Dia pun mulai memeriksa seluruh
barang bawaannya.
|
Dalam Tas
Dimensi
|
Luar Tas
Dimensi
|
|
|
Dalam
Tas Ransel
|
Luar Tas
Ransel
|
|
|
1.Seragam Sekolah
2.Jaket Kusam
3.Powerbank
4.Handphone
|
1.Kantong Serut Besar bertali putih berisi
1019 koin perak.
2.Kantong Serut Sedang bertali merah berisi
499 koin perunggu.
3.Kantong Serut Sedang bertali kuning berisi
400 koin kuningan.
|
1.Kantong Serut Kecil bertali coklat berisi 70
koin tembaga.
|
“Sudah belum, Kak!” teriakkan Rina
dari luar kamar terdengar.
“Ah, maaf Rina! Kau bisa masuk
sekarang!” cemas Hanafi membalas teriakkan sang adik sambil kembali memasukkan
barang-barang ke dalam tas dimensi.
Rina pun memasuki kamar dengan wajah
cemas dan berucap kembali dengan nada penasaran.
“Kenapa ganti bajunya lama sekali?”
“Maaf, tadi Kakak memeriksa kembali
isi tas dimensi.”
“Dan melupakan Rina yang berada di
luar?” senyum Rina sambil duduk di atas kasur ujung dekat jendela, sedangkan
Hanafi yang masih duduk di kasur posisi tengah hanya tertawa kecil menutup
mata.
“Yasudah Kakak lekas istirahat. Rina
ingin tiduran sambil membaca buku ini,” senyum Rina sambil memperlihatkan buku
yang baru saja dibeli di toko alat sihir sebelumnya.
Hanafi pun lekas membaringkan
tubuhnya di atas kasur, menutup mata, dan beristirahat untuk melepas rasa kantuknya.
***
BRAAK!!
Benturan di lantai bawah terdengar
keras hingga membangunkan Hanafi dari tidurnya. Dia lekas duduk di atas kasur sambil
melirik ke samping kiri.
Ada Rina yang sedang beristirahat
dengan kain tebal coklat menyelimuti tubuh. Perlahan, tatapan Hanafi mulai
tertuju ke arah luar melewati jendela dekat kasur adiknya.
Langit terlihat sudah menggelap. Tanda
malam sudah datang. Dia menatap tubuhnya, dan kain tebal seperti milik adiknya terlihat
menutupi sebagian tubuh. Dia hanya tersenyum sambil berpikir jika itu adalah ulah
adiknya.
Hanafi lekas beranjak dari kursi. Menyunggingkan
senyuman di wajah ke arah adiknya sambil mengelus pelan rambut dia yang berharga
tertidur pulas.
Percakapan di lantai bawah terdengar
samar oleh Hanafi. Jam malam sudah datang, maka para petualang sudah berkumpul
di lantai bawah yang berubah menjadi bar.
Hanafi mulai berjalan menuju pintu
keluar dan berniat turun ke lantai bawah. Mencari informasi beserta mengisi
perutnya yang keroncongan.
Sesampainya di bar, kelenggangan
ruangan di siang hari seolah berubah menjadi keramaian orang-orang yang bersuka
ria meminum minuman mereka. Banyak orang yang terlihat seperti penjaga,
petualang, penduduk, dan yang lainnya berbaur bersama.
Sambil mengamati sekitar, Hanafi pun mencari
tempat duduk yang kosong. Tapi sayangnya seluruh bangku sudah penuh.
“Wah Hanafi, kau sudah bangun!?”
panggilan gadis muda terdengar. Itu dari Ellie yang duduk bersama gadis asing.
“Lebih tepatnya terbangun, hahaha.”
Hanafi menjawab, dan tertawa kecil di akhir ucapan sambil berjalan mendekati
Ellie.
“Duduklah, kursi ini kosong! Kita
ngobrol-ngobrol. Ada permbicaraan yang menarik,” senyum Ellie sambil menunjuk
kursi di sebelahnya yang kosong.
“Baiklah sekalian aku ingin makan
juga. Apa kau melihat Eleona?” tanya Hanafi mulai duduk sambil memegang
perutnya.
“Eleona? Dia tepat di belakangmu!”
senyum Ellie lebar menutup mata dan memperlihatkan gigi rapihnya.
“Eh!?” Hanafi lekas menengok ke
belakang, dan benar saja ada Eleona yang membawa nampan berisi makanan
untuknya.
“Akhirnya kamu bangun juga, Hanafi!”
ucap Eleona sambil meletakkan makanan di atas meja.
“Bagaimana dengan Rina? Apa dia
sudah makan?”
“Dia sudah makan. Kursi yang kau
duduki itu bekasnya, dan beberapa menit yang lalu dia sudah kembali ke kamarnya.
Apa kau tak bertemu dengannya?” senyum Eleona sambil menatap tangga menuju lantai
dua.
“Hahaha begitu. Aku bertemu, tapi saat
aku bangun dia sudah tertidur,” senyum Hanafi menutup mata perlahan.
“Eh kukira adikmu lah yang
membangunkanmu?” Ellie bertanya dengan tatapan sedikit terkejut.
“Mungkin dia merasa tidak enak
membangunkan Kakaknya yang tertidur pulas,” senyum gadis yang satu lagi duduk
bersama Hanafi. Dia terlihat menompang dagunya sambil memberikan tatapan kecil
pada Hanafi.
“Emm ....” Hanafi membalas senyuman
seolah menunggu sesuatu.
“Panggil saja aku Letia, dan senang
bertemu denganmu Hanafi. Kau kakaknya Rina, kan?” gadis bernama Letia
memperkenalkan diri dengan mempertahankan senyuman manisnya. Rambutnya panjang
berwarna jingga seperti kulit jeruk masak. Dia juga memakai pakaian yang
seragam seperti Ellie. Tanda dari dia yang juga petugas dari serikat petualang.
“Aku Hanafi, dan iya aku kakaknya
Rina.” Hanafi membalas senyuman Letia.
“Tapi Hanafi. Tak kusangka jika kau
memiliki adik yang begitu rupawan seperti itu.” Ellie melebarkan mata dan
senyuman ke arah Hanafi yang mulai menyantap makanannya.
“Benar yang dikatakan Ellie! Aku
sedikit terkejut, kukira dia seorang bangsawan karena melihat dari pakaian
mewahnya. Bahkan seluruh aktivitas bar ini langsung terhenti ketika dia datang
ke sini.” Letia mengemukakan pendapat.
“Benar-benar! Bahkan setelah itu,
orang-orang sekitar terus memperhatikan Rina dengan wajah cemas dan kebingungan.”
“Eh, benarkah? Apa gadis itu
benar-benar menarik perhatian!?” tanya Hanafi sedikit memiringkan kepala dan
memperlihatkan ekspresi cukup terkejut.
“Iya dia benar-benar perhatian.
Selain itu wajah ketika dia makan benar-benar menggemaskan. Aku bahkan ingin
membawa dia pulang,” senyum Ellie menutup mata. Kepalanya mendongak ke atas
dengan ekspresi wajah yang terlihat sedang mengkhayal sesuatu.
“Dia adwikku!” ucap Hanafi sambil
mengunyah roti coklat.
“Iya aku tau. Aku hanya bercanda!”
ucap Ellie membuka mata dan memasang senyuman kecil di wajah.
“Jadi Letia, bagaimana cerita yang
kau maksud barusan. Mengingat kota kita dekat dengan gunung suci, kita pasti sudah
mendapatkan informasi lebih cepat, kan?” Ellie melepas ekspresi riangnya dan
berubah menjadi keseriusan menatap gadis di samping.
“Benar juga. Tentang masalah itu
kita sudah mendapatkan informasi jika Kelompok Eluser dari berbagai kerajaan
akan mendatangi kaki Gunung Skyvia untuk melakukan penyelidikan.” Letia menjelaskan sambil membalas tatapan
serius rekannya.
Detak jantung Hanafi mulai berdegup
kencang setelah mendengar pembicaraan mereka. Sadar jika mereka sedang membicarakan
terbelahnya gunung raksasa akibat perbuatannya.
“Bukankah itu sudah pasti!? Yang aku
tanyakan adalah apa sudah ada informasi tentang penyebab gunung itu terbelah?
Kalau tidak salah ada Desa Karot di seberang Hutan Asvia. Itu adalah desa yang
paling dekat dengan gunung suci itu.”
“Ada rumor. Atau mungkin ini memang
kejadian yang sebenarnya mengingat rumor ini dari para pedagang yang berhubungan langsung dengan beberapa
orang desa itu.”
“Ru-rumor apa itu?” Ellie bertanya
cemas memberikan tatapan penuh pada rekannya.
“Dengar, aku berpikir jika informasi
ini lebih baik tidak tersebar terlalu luas. Aku takut kecemasan warga meningkat
karena rumor ini,” pelan Letia dengan wajah penuh was-was.
“Aku mengerti.” Ellie menganggukkan
kepala terlihat paham. Sedangkan Hanafi tetap mendengarkan sambil memakan
makanannya.
“Ada dua rumor yang tersebar
diantara para pedagang. Pertama, Gunung Skyvia terbelah bukan karena gempa atau
alam. Itu ulah seseorang.”
“Seseorang!?” cemas Ellie hingga
melebarkan mata. Hal itu pun berlaku bagi Hanafi yang memberikan lirikan
kecemasan pada Ellie dan Letia.
“Iya tapi bukan manusia, melainkan
sosok Sleazer. Salah satu penduduk desa yang datang ke pasar mengatakan jika
itu Sleazer berwujud seperti manusia, dan berbicara seperti manusia. Akan
tetapi memiliki tanduk hitam dan sayap kelelawar di punggungnya.”
“Tu-tu-tunggu dulu, jika dia seperti
itu maka!!–“ Ellie berteriak semakin ketakutan, tapi mulutnya lekas tertutup oleh
telapak tangan kanan rekannya.
“Ya, di-dia pasti Sleazer kelas atas.
Itu pasti Sleazer Kelas A atau mungkin lebih,” Letia menjelaskan dengan nada
gugup. Wajahnya terlihat sedikit membiru seolah sedang diselimuti ketakutan.
“Bu-bukannya sangat gawat jika apa
yang dikatakan pedagang itu adalah kebenaran!! Ka-kau tau kan jika Kelas B saja
sudah begitu menakutkan hingga membuat tiga kerajaan besar membentuk aliansi
untuk menaklukannya!?” Ellie bertanya pelan. Wajahnya membiru ketakutan dengan
mata memerah yang terlihat ingin menangis.
“Ak-aku juga tau. Maka dari itu aku
mengatakan akan lebih baik jika rumor ini tidak tersebar lebih luas!” cemas Letia
membalas tatapan ketakutan Ellie.
“Si-siapa yang bisa melawan mahluk
berkekuatan gila seperti itu? Kupikir Eluser Lima Eksekutif juga takkan bisa menghadapinya
di saat Draco Flatum menghilang!!
Bahkan Seven Arceluser yang tersisa saat ini hanyalah Sesepuh Arina. Dia sudah
terlalu tua untuk bertempur!” pelan Ellie berucap dengan nada panik. Tubuhnya
terlihat benar-benar bergemetar karena ketakutan.
Hanafi yang masih memakan makannya
hanya menutup mata. Berucap dalam hati dengan perasaan bersalah amat dalam.
“Ma-maaf,
tak perlu khawatir. Karena orang yang membelah gunung itu sedang makan tepat di
hadapan kalian ....”
“Tunggu Ellie, tenanglah! Dengarkan!
Ceritaku masih belum selesai! Bukankah aku mengatakan dua hal sebelumnya!”
“Lalu hal apa lagi!? Jangan katakan
jika mahluk itu tidak hanya satu?” tanya Ellie yang sudah diselimuti pikiran
negatif karena ketakutannya.
“Bukan. Apa dikatakan penduduk itu
adalah adanya seseorang yang berhasil memukul mundur mahluk itu seorang diri!
Dan orang itu juga yang menyelamatkan Desa Karot dari kawanan Amygons!”
“A-ah...
Si-sial, aku punya firasat buruk tentang hal ini ...,” batin Hanafi dengan
wajah yang mulai membiru ketakutan.
“Seorang diri?! Kawanan Amygons ganas
yang terkenal tak terhentikan itu!? Kau serius tentang hal ini, Letia?!” Ellie
mulai memberikan tatapan penuh harapan pada rekannya.
“Ya, katanya dia sangat kuat! Penduduk
itu juga mengatakan dengan nada bangga jika orang tersebut lebih kuat dari
Sleazer yang membelah Gunung Skyvia!”
“....Si-siapa dia?! Apa penduduk itu
mengatakan sesuatu tentangnya?!” Ellie bertanya dengan ekspresi wajah penuh
harapan.
“Dia bukan orang sembarangan katanya.
Orang itu seorang pangeran dari Kerajaan Osis. Ciri-ciri yang jelas darinya
adalah dia memakai pakaian dengan lambang Kerajaan Osis di dada kirinya,” jelas
Letia dengan senyuman lebar seolah memberikan lebih banyak harapan pada Ellie.
Mata Ellie pun semakin melebar berkilauan bagai
dipenuhi oleh harapan. Senyumannya juga terus melebar hingga terlihat gigi rapihnya
yang terlihat indah.
Wajah Hanafi semakin membiru cemas.
Dia hanya bisa mengalihkan pandangan dari dua gadis yang duduk di hadapannya
sambil bergumam kembali dalam hati.
“Be-beruntung
aku sudah mengganti pakaianku. Memang benar aku meminta mereka untuk menutupi masalah
itu, tapi kenapa jadi seperti ini ....”
“....”
“Baiklah,
aku takkan pernah memakai seragam itu lagi. Akan sangat merepotkan jika–“
“Hanafi, bagaimana pendapatmu!? Kau juga
mendengar percakapan kami, kan?” Ellie bertanya ke arah Hanafi dengan senyuman
yang masih terpampang.
“Ah iya, ak-aku tidak tahu harus
bilang ap-apa,” Hanafi masih mengalihkan pandangan dengan ekspresi kecemasan
dan ketakutan di wajah.
“Hanafi kenapa denganmu? Kau
terlihat aneh ketika kita memulai membahas ini, jangan-jangan ...?” Letia mulai
menyipitkan mata menatap Hanafi penuh curiga.
“Aku juga berpikir seperti itu, kau
terlihat aneh! Seperti ....” Ellie juga mulai menaruh perasaan curiga pada
Hanafi yang semakin berwajah cemas.
“Ga-gawat
jika aku terus bersikap seperti ini, tentu saja mereka pasti akan menyadarinya,
kan–“
““Ketakutan!?”” ucap Ellie dan Letia
bersamaan sambil menunjuk Hanafi dengan jari telunjuk masing-masing.
“A-ah iya ..., ak-aku masih
ketakutan karena mendengar Sleazer yang kau ceritakan itu,” senyum was-was Hanafi
menutup mata cukup rapat.
“Tak aneh, Hanafi! Aku juga sangat
ketakutan. Tapi dengan ada sang Pangeran Kerajaan Osis itu, semuanya pasti
baik-baik saja.” Ellie tersenyum lebar seolah memberikan harapan pada Hanafi.
Tapi, itu tak membuat Hanafi lebih baik
sedikitpun.
“Tapi Ellie, pernahkah kau mendengar
kerajaan ini?” Letia bertanya sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Tidak. Aku memang mendengar masih
ada beberapa kerajaan tak diketahui yang tersebar di dataran ini. Mungkin kerajaan
ini termasuk salah satunya?”
“Mungkin benar. Tapi jika semua yang
dikatakan oleh pedagang itu benar, maka tak salah lagi jika pangeran ini akan
menjadi harapan besar untuk kita selaku umat manusia dan dataran ini.” Letia berucap
dengan ekspresi keseriusan.
“....” Suasana langsung terasa
hening diantara mereka setelah ucapan terakhir dari Letia. Ellie terlihat
menganggukkan kepala dengan ekspresi keseriusan, syarat membenarkan pernyataan
rekan kerjanya. Tidak seperti Hanafi yang tetap mempertahankan senyuman
kecemasan dan mengalihkan pandangan dari kedua gadis di hadapannya.
“Ba-baiklah aku telah selesai makan,
kupikir aku akan tidur lagi,” senyum kecil Hanafi mulai beranjak dari kursi,
dan tetap membuang pandangan dari Ellie dan Letia.
“Kenapa terburu-buru sekali? Malam
masih panjang, jadi kenapa tidak minum-minum dulu?” senyum Ellie bertanya
sambil menompang dagu dengan tangan kanan.
“Aku bukan peminum, maaf haha!”
Hanafi menjawab dengan tertawaan kecil di akhir ucapan.
“Wah jarang sekali menemukan
laki-laki yang bukan peminum?” Letia sedikit terkejut memberikan tatapan pada
Hanafi.
“Haha ..., be-benarkah? Apa memang
jarang yah di dunia ini?” Hanafi masih mepertahankan tertawaan kecilnya sambil
berjalan mundur mendekati anak tangga.
“Eh dunia ini?“
“Ma-maksudku kota ini!” teriak Hanafi
sedikit gugup dan membuat Letia dan Ellie tertawa kecil karena tingkah anehnya.
***
Di tunggu updatenya lagi sensei
ReplyDelete