Thursday, 26 July 2018

Chapter 8

Tittle: Exitium

Genre: Action, Romance, Drama, Superpower, Comedy, Fantasy

Author: r lullaby

Status: Ongoing


Chapter 8
Rumor

          Hanafi telah menjemput Rina dari Toko Pakaian. Rina kini berpakaian layaknya bangsawan yang terpandang. Baju terusan dengan rok berenda, sarung tangan panjang sampai lengan, dan sepatu dengan kaos kaki sampai bawah lutut ia kenakan.


Perpaduan warna violet dengan kuning dari pakaian yang dikenakan Rina terlihat nyaman dilihat. Maka tak heran jika masyarakat di sekitar memberikan tatapan kagum padanya.


Rina juga memakai kain violet yang dia ikat memutari dahi hingga menutupi mata kiri. Menyembunyikan salah satu matanya yang berbeda warna, tanda dari dia yang seorang Duplicare.


Jika bukan karena masalah itu, maka Rina pasti akan mendapatkan nasib baik. Karena pada dasarnya dia gadis yang sangat rupawan dan begitu anggun.


“Wah cantiknya adikku,” Hanafi berucap pelan seolah menyindir adiknya. Rina memberikan lirikan kecil pada sang Kakak dan berucap dengan nada sinis.


“Seharusnya Kakak membeli pakaian lebih baik! Kau membelikan pakaian paling mahal pada adikmu ini, tapi kenapa kau sangat pelit untuk dirimu sendiri?”


“Pakaian laki-laki tak perlu sebagus pakaian wanita. Karena keindahan milik kaum kalian,” Hanafi menjawab dengan senyuman dan membalas lirikan sang adik.


“Bodohnya, seharusnya Kakak mengatakan hal ini pada wanita yang Kakak sukai,” Rina sontak mengalihkan pandangan dari Kakaknya dengan ekspresi wajah kekesalan.


“Ah Kak!” Rina seketika menghentikan langkah sambil menarik lengan baju Kakaknya.


“Eh kenapa?” Hanafi menolehkan kepalanya ke arah Rina.


Rina mulai menunjuk bangunan kecil yang terlihat sudah tua dengan telunjuk tangan kanannya. Di sana jelas tertulis toko alat sihir.


“Aku tertarik, siapa tahu kita menemukan barang yang bagus. Ayo ke sana, lagipula Kakak banyak uang, kan?”


“Eh, tapi aku ingin istirahat sekarang. Kau tidak lihat Kakakmu ini membawa barang yang berat,” keluh Hanafi berucap sambil sedikit mengangkat pundaknya yang membawa tas. Tanda darinya yang menekankan jika barang bawaan yang ia bawa sudah berlebih.


“Justru itu, Kak! Di toko seperti ini mungkin saja ada barang langka, seperti Tas Dimensi. Itu berguna buat menyimpan barang-barang kita.”


“....” Hanafi terdiam berpikir beberapa saat dengan menyentuh dagunya. Dia mengolah dalam-dalam ucapan sang adik dalam otaknya.


“Ayolah, Kak! Sebentar saja! Jika tak ada barang yang menarik, kita langsung ke penginapan yang Kakak maksud!” ajak Rina dengan wajah memelasnya yang terlihat begitu menggemaskan.


“.....” Hanafi terkena damage dari kegemasan wajah Rina. Dia bahkan sampai menggigit bibir bawahnya untuk lebih menahan diri dari ajakan adiknya.


“Lagipula apa tidak berat membawa puluhan koin emas dan perak di tas itu,” pelan Rina menghasut, berbisik menyembunyikan mulut dengan tangan kanan sambil melihat tas Hanafi.


“Haaa ....” Hanafi akhirnya menghela nafas, terkalahkan.


“Baiklah, kita akan melihat-lihat sebentar!” Hanafi menyetujui pendapat sang adik. Keduanya pun mulai memasuki bangunan kecil yang terlihat sudah benar-benar dimakan usia itu.


Melewati pintu bangunan, keduanya dikejutkan dengan keadaan toko yang serba gelap. Selain itu, banyak debu dan sarang laba-laba di seluruh penjuru ruangan membuat Hanafi dan adiknya berpikir jika toko ini jarang dibersihkan.


Terus memasuki toko yang lebih dalam, lelaki lanjut usia pun mulai terlihat di ujung ruangan sambil duduk di atas kursi goyang yang bergoyang pelan.


Rina berjalan mengamati sekitarnya dengan senyuman terpampang, meski keadaan toko itu yang benar-benar kotor dan berantakan.


Banyak barang aneh juga yang membuat tingkat cemasan Hanafi bertambah. Seperti tulang monster, pedang berbentuk aneh, dan buku tua yang berdebu.


“Apa kalian mencari tas dimensi?” celetukan lelaki tua terdengar, mengajukan pertanyaan dengan nada pelan sambil terus menggoyang-goyangkan kursinya.


“....” Keheningan datang merangkul Hanafi beserta adiknya beberapa saat sebelum akhirnya Rina mengeluarkan suara, membalas pertanyaan lelaki tua itu.


“Eh, di-di sini beneran ada, Kek!?” Rina bertanya dengan nada antusias sambil berjalan mendekati lelaki tua itu. Hal itu sedikit membuat Hanafi khawatir hingga ingin memanggil nama adiknya, tapi ia urungkan.


“Ya, apa kau tertarik dan ingin membelinya, Duplicare Muda?” senyum lelaki tua itu dengan nada ramah pada Rina.


“....!!” Hanafi sontak memberikan tatapan penasaran sebelum akhirnya berjalan cepat menyusul adiknya, membuat sang adik berlindung di balik tubuhnya. Dia tak menyangka jika lelaki tua itu bisa menyadari rahasia Rina dengan amat sangat cepat.


Begitupula dengan Rina. Dia terdiam sesaat dengan ekspresi terkejut sebelum berucap dengan nada pelan.


“Meski aku sudah menutup sebelah mataku, tapi Kakek masih bisa tetap menyadarinya yah? Apa karena aura malapetaka yang kubawa ....?”


Kakek itu tertawa kecil sesaat, lalu tersenyum dan berucap.


“Aura apa itu? Selama aku hidup di dunia ini, aku tak pernah mendengar aura seperti itu. Kehangatan api dalam hatimu terasa nyata hingga membangunkanku dari tidurku.”


“Eh ma-maksudnya!?” cemas Rina yang terlihat sedikit kebingungan.


“Di mataku kau memancarkan cahaya menyilaukan, Gadis Muda. Aku bisa melihat dengan jelas sayap putih di belakang punggungmu. Melihat lingkaran cahaya di atas kepalamu itu.”


“Tu-tunggu apa maksud perkataanmu tadi, Kek?” Hanafi bertanya dengan ekspresi kebingungan. Sesekali melirik adiknya juga yang berwajah cemas.


“Tolong abaikan saja ucapan Kakek ini, jadi bagaimana jika kita langsung masuk saja ke dalam bisnis?” senyum Kakek tersebut sambil mendongakkan kepala, dan memberikan senyuman kecil pada Hanafi.


“Aku berikan 20 koin emas untuk tas ini, jika kau mau, kau bisa mengambilnya.” Kakek tersebut memperlihatkan tas kecil lengkap dengan sabuk untuk pinggang. Terdapat relik indah yang menempel pada tas tersebut. Tanda jika tas itu terlihat amat sangat berharga.


“Du-dua puluh!? Koin emas!? Tung-tunggu apa memang semahal it–“ Hanafi terkejut cemas mendengar pernyataan sang kakek, tapi ucapannya itu tersanggahkan oleh Rina yang berteriak terlihat marah.


“Ter-terlalu murah!! Ap-apa Kakek serius ingin menjual benda yang melebihi harta negara ini!!”


“E-eh terlalu murah!?” kedua bola mata Hanafi terbelalak lebar menatap cemas adiknya.


            “Tentu saja, Kak! Tas dimensi hanya berjumlah tiga saja di dunia ini. Salah satunya ada di Kerajaan Angelwish yang digunakan sebagai warisan untuk raja mereka. Dua lagi menghilang, tapi aku tak menyangka jika salah satunya be-berada di sini!” jelas Rina dengan ekspresi wajah yang masih dihiasi kekhawatiran.


“Eh seberharga itu, kah!?” terkejut Hanafi bertanya menatap adiknya.


“Ya, ini amat sangat berharga Kak! Padahal aku hanya bercanda soal membujuk Kakak dengan tas dimensi tadi di luar.”


“Rina ....” Datar Hanafi menatap adiknya. Tapi dia lekas menutup mata, menghela nafas, dan kembali menatap Si Kakek.


“Tapi apa ini tak apa untukmu, Kek! Setelah mengetahui seberapa berharganya barang itu, aku jadi tak yakin jika seluruh uangku mampu membelinya.”


“Tak apa, lagipula aku memang berniat memberikan tas ini pada generasi muda. Awalnya aku berniat memberikan cuma-cuma pada kalian. Tapi, karena tokoku yang sudah bobrok ini, aku perlu uang untuk memperbaikinya,” senyum sang kakek menutup mata sesaat.


“Tapi kenapa kami!? Banyak generasi muda di luar sana yang jauh lebih baik dari kami?” Rina bertanya sambil memberikan tatapan kecil pada si lelaki lanjut usia.


“Karena kalian lah yang berkunjung ke toko ini. Selain itu, aku juga hanya ingin mewariskan tas ini pada generasi muda yang berhati mulia.”


“Kenapa Kakek bisa yakin jika kami memenuhi kriteria itu–“ khawatir Rina.


“Karena kau seorang Duplicare .... Aku sudah mendengarnya juga, perlakuan dunia pada golongan kalian, dan aku minta maaf sebagai perwakilan masyarakat secara individu. Sungguh kesalahpahaman masyarakat tentang kalian benar-benar memburuk di jaman ini.”


“....” Rina tak menjawab. Hatinya terasa sakit bahkan sampai menjalar ke kedua matanya. Bukan sedih, melainkan bahagia mendengar pertanyaan si kakek.


Hanafi pun hanya menyunggingkan senyuman bahagia melirik adiknya yang seperti itu.


“Kau Kakaknya, kan? Kau juga pasti merasakannya, akan kebaikan hati gadis ini yang bagai jelmaan malaikat,” senyum kakek tua itu ke arah Hanafi. Hanafi menolehkan kepala kembali ke arah sang kakek, lalu menganggukkan kepala, membalas senyuman sang kakek, dan berucap.


“Ya, dia memiliki hati yang hangat dan baik pada sesama. Aku sanggat bangga padanya.”


“....” Wajah Rina memerah setelah mendengar pernyataan Kakaknya, dihiasi juga senyuman kecil yang begitu menenangkan hati siapapun.


“....” Suasana langsung terasa hening setelah ucapan Hanafi. Sang Kakek dan Hanafi saling mengadu pandangan bersahabat, sedangkan Rina hanya terus diam menundukkan kepala dengan wajah memerah.


“Baiklah kau pasti lelah karena ingin beristirahat, Anak Muda! Kita selesaikan dengan cepat transaksi jual beli ini,” senyum sang Kakek sambil memberikan tas dimensi yang ia genggam dengan tangan kanannya.


“Ya tentu saja, tunggu sebentar!” Hanafi menurunkan tasnya, lekas mengeluarkan kantong serut bertali putih pemberian Bella. Mengeluarkan 20 koin emas untuk melakukan pembayaran.



***
           
          Setelah menyelesaikan urusan di toko sebelumnya, Hanafi dan Rina pun memasuki penginapan yang direkomendasikan oleh petugas serikat bernama Ellie.


            Seluruh barang bawaan Hanafi terlihat menghilang, sudah dipindahkan ke dalam tas kecil yang berada di pinggangnya. Seperti tas pinggang di dunia yang ia kenal.


Relik indah di tas tersebut terlihat menghilang. Seolah menyamarkan diri agar tak merepotkan pemiliknya.


Lalu satu hal yang Hanafi sadari jika tas dimensi itu ternyata memiliki kesadarannya sendiri. Entah kenapa Hanafi mengetahui hal itu setelah si kakek menyuruh Hanafi untuk melakukan kontrak dengan tas dimensi.


Biasanya tas dimensi itu berkomunikasi dengan pemiliknya lewat telepati. Tapi kini, meski sudah beberapa kali Hanafi memanggilnya dalam hati, tak ada jawaban lagi dari tas dimensi itu. Hanafi pun hanya bisa menyerah sampai tas dimensi itu kembali mengeluarkan suaranya.


            Dan kini, Hanafi hanya terlihat membawa kantong serut bertali coklat di tangan kanannya yang berisi puluhan koin tembaga.


            Tidak seperti di dalam serikat petualang yang ramai oleh orang-orang. Penginapan di siang hari terlihat lebih tenang, membuat Hanafi dan Rina beberapa kali mengamati seluruh penjuru ruangan.


            Di lantai bawah penginapan tersebut terlihat banyak kursi dan meja. Berpikir jika lantai bawah di penginapan itu biasa digunakan sebagai bar untuk tempat minum-minum.


            “Apa kau seorang petualang? Pasti butuh tempat untuk beristirahat. Terlihat sangat jelas di wajahmu itu.”  Wanita paruh baya dengan wajah sedikit mirip Ellie terlihat. Rambutnya bergelombang diikat ponytail.


            “Ah iya, Ellie yang merekomendasikan penginapan ini. Apa masih ada kamar yang kosong dan berapa harga permalamnya?”


            “Tentu saja ada, tapi hanya tersisa satu kamar dan harganya 5 koin tembaga permalam, tapi karena Ellie yang merekomendasikanmu akan kukasih potongan harga menjadi 3 koin tembaga permalam.”


            “Bagaiman Rina?” Hanafi bertanya cemas melirik adiknya.


            “Bagaimana apanya? Bukankah sudah jelas bagus? Lihat dong Kak tempat ini yang nyaman untuk ditinggali,” Rina menjawab pertanyaan sang kakak.


            “Bukan itu maksudku. Penginapan ini hanya tersisa satu kamar. Apa kau tak keberatan tidur sekamar denganku?”


            “Hah tentu saja, lagipula kasurnya ada dua kan emm .... ?”


            “Lebih tepatnya ada 3 kasur. Dan kalian bisa memanggilku Eleona.”


            “Tuh kan Kak, kita bermalam di sini saja! Kakak juga terlalu lelah kan untuk berkeliling kota?” Rina bertanya cemas.


            “Baiklah, jadi berapa jika dihitung anak ini permalamnya?”  tanya Hanafi sambil memegang kepala Rina dengan tangan kanannya.


            “Karena kalian satu kamar, emm aku kasih harga 4 koin tembaga saja permalamnya.”


            “Baiklah kami setuju,” senyum Hanafi lalu memberikan 8 koin tembaga pada Eleona.


            “Jadi kalian ingin menginap dua malam yah, baiklah nanti akan kusiapkan kamar kalian.”


            “Sambil menunggumu menyiapkan kamar, apa kami bisa memakan makanannya sekarang? Sejujurnya kami belum makan sejak bangun tidur?’ Hanafi kembali bertanya sambil duduk di salah satu kursi dan bermeja lingkaran.


            “Baik, akan kusiapkan!” ucap Eleona sambil sedikit menganggukkan kepala, lalu berjalan ke arah dapur untuk memenuhi keinginan adik kakak tersebut.


            “Eh, kenapa tidak sekalian nanti siang saja?” Rina bertanya sambil duduk berhadapan dengan kakaknya.


            “Jangan biasakan seperti itu, Rina. Usahakan tiap pagi kamu harus makan,” senyum Hanafi sambil menompang dagu dengan tangan kanannya. Menyunggingkan senyuman di wajah untuk sang adik.


            “Karena kakak yang bilang, akan kubiasakan itu. Lalu, bagaimana dengan serikat petualang? Kakak sudah daftar kan?” Rina memalingkan wajah ke samping. Melirik Hanafi dengan tatapan kecil.


            “Sudah, tapi coba dengar ini Rina. Aku diperlakukan seperti orang tak berdaya di sana, bahkan petugas serikat di represionis juga sampai menanyakan beberapa kali soal keputusanku yang ingin mendaftar!”


            “Ahahahaha!” Rina sontak tertawa lepas sampai memegang perutnya. Tingkahnya itu sedikit menarik perhatian beberapa pengunjung sekitar.


            “Hei kenapa kau malah menertawakan Kakakmu!”


            “Habisnya, Kak! Ahahahaha!” Rina masih tertawa dan menutup mata karena kewalahan menahan tawaan.


            “....” Hanafi hanya menghela nafas karena adiknya yang menertawakan dirinya, tapi setelah itu lekas tersenyum menatap Rina. Bahagia melihat adiknya yang bisa seceria itu.


            “Wah wah, kalian kakak beradik yang sangat akrab yah!” Eleona kembali dari dapur sambil membawa beberapa makanan untuk Hanafi dan Rina.


            “Ah tidak terlalu juga kok, Kak! Tadi aku hanya menertawakan Kakakku,” senyum Rina sambil berusaha memperbaiki nafasnya.


            “Itu yang kumaksud akrab, Rina. Dan juga lihat, Kakakmu malah tersenyum melihatmu seperti itu. Bukti dia bahagia melihatmu tertawa,” senyum Eleona sambil menyimpan beberapa piring di tas meja Hanafi dan Rina.


            “Aku tersenyum karena melihat wajah anehnya yang tertawa, Kak Eleona.” Hanafi berucap dengan wajah menghadap ke arah Eleona. Dia sedikit melirik adiknya yang memasang wajah cemberut tak senang. Akan tetapi wajah Rina yang seperti itu malah terlihat menggemaskan bagi Hanafi dan Eleona.


            “Hahaha ..., kamu Kakak yang usil, Hanafi. Tapi maaf jika aku berkata seperti ini. Karena melihat pakaian Rina yang terlihat berbeda dengan pakaian di sekitar sini. Membuatku berpikir jika kalian seperti orang-orang bangsawan.”


            “Ya, Rina memang seorang bangsawan. Sedangkan aku hanya rakyat biasa. Karena suatu hal kami bersumpah untuk menjadi saudara.”


            “Eh be-be-benarkah!?” sontak Eleona bertanya dengan nada sangat terkejut ketika mendengar pernyataan Hanafi. Gugup wajahnya ketika mengetahui seorang bangsawan datang ke penginapannya, akan tetapi.


            “Sudah hentikan leluconmu, Kak!” kesal Rina memberikan tatapan sinis pada Kakaknya. Lalu lekas menatap Eleona yang masih berdiri memegang nampannya dengan tatapan berbeda.


            “Jangan dengarkan dia, Kak Eleona. Aku juga rakyat biasa. Hanya karena aku dianggap rendah oleh sekitar, dia malah membelikkan pakaian termahal di toko pakaian untukku.” Rina menjelaskan sambil menutup matanya perlahan.


            “Be-begitu, tapi bukankah itu bagus? Berarti dia sangat memperhatikanm–“


            “Bagus apanya! Dia terlalu berlebihan! Lalu coba dengar juga, Kak Eleona. Dia memang membelikkanku pakaian mahal tapi dia hanya membeli pakaian murah untuk dirinya sendiri!” Rina mulai membuka mata ketika memotong ucapan Eleona. Melanjutkan perkataannya dengan nada kesal melirik Hanafi.


            Hanafi hanya mengalihkan pandangan. Cukup ketakutan melihat adiknya yang terlihat kesal seperti itu.


            “Sudah sudah, bukankah hal baik jika kau disayangi oleh Kakakmu? Kamu harus menghargai itu, Rina.” Eleona menyungginkan senyuman lebar dengan kedua mata tertutup. Sedikit terhibur melihat percapakan Hanafi dan adiknya.


            “Tapi tetap saja kan ....,” cemas Rina kebingungan melanjutkan ucapan. Dia menatap Kakaknya yang mulai memakan makanan yang disediakan oleh Eleona.


            “Sudah kamu makan saja dulu seperti Kakakmu. Keburu makanannya dingin,” senyum Eleona sambil berjalan kembali menuju dapur.


            Rina sesaat menatap kakaknya yang makan dengan tatapan cemas. Tapi setelah itu dia mulai memperlihatkan senyuman menatap Kakaknya, lekas menyantap makanan yang ada di mejanya.


            Selesai menyantap makanan, keduanya pun memasuki kamar. Hanafi lekas duduk di atas kasur sambil mengambil pakaian sederhana yang dia beli di toko pakaian. Melihat hal itu, Rina lekas keluar kamar. Mengetahui jika sang kakak ingin mengganti pakaian.


            Hanafi pun mengganti pakaian di dalam kamarnya, lalu memasukkan seragam bersama jaket kusamnya ke dalam tas ransel yang ia bawa dari dunia asalnya.


            Dia pun mulai memeriksa seluruh barang bawaannya.


Dalam Tas Dimensi
Luar Tas Dimensi
Dalam Tas  Ransel
Luar Tas Ransel
1.Seragam Sekolah
2.Jaket Kusam
3.Powerbank
4.Handphone
1.Kantong Serut Besar bertali putih berisi 1019 koin perak.
2.Kantong Serut Sedang bertali merah berisi 499 koin perunggu.
3.Kantong Serut Sedang bertali kuning berisi 400 koin kuningan.
1.Kantong Serut Kecil bertali coklat berisi 70 koin tembaga.



            “Sudah belum, Kak!” teriakkan Rina dari luar kamar terdengar.


            “Ah, maaf Rina! Kau bisa masuk sekarang!” cemas Hanafi membalas teriakkan sang adik sambil kembali memasukkan barang-barang ke dalam tas dimensi.


            Rina pun memasuki kamar dengan wajah cemas dan berucap kembali dengan nada penasaran.


            “Kenapa ganti bajunya lama sekali?”


            “Maaf, tadi Kakak memeriksa kembali isi tas dimensi.”


            “Dan melupakan Rina yang berada di luar?” senyum Rina sambil duduk di atas kasur ujung dekat jendela, sedangkan Hanafi yang masih duduk di kasur posisi tengah hanya tertawa kecil menutup mata.


            “Yasudah Kakak lekas istirahat. Rina ingin tiduran sambil membaca buku ini,” senyum Rina sambil memperlihatkan buku yang baru saja dibeli di toko alat sihir sebelumnya.


            Hanafi pun lekas membaringkan tubuhnya di atas kasur, menutup mata, dan beristirahat untuk melepas rasa kantuknya.


***


            BRAAK!!


            Benturan di lantai bawah terdengar keras hingga membangunkan Hanafi dari tidurnya. Dia lekas duduk di atas kasur sambil melirik ke samping kiri.


            Ada Rina yang sedang beristirahat dengan kain tebal coklat menyelimuti tubuh. Perlahan, tatapan Hanafi mulai tertuju ke arah luar melewati jendela dekat kasur adiknya.


            Langit terlihat sudah menggelap. Tanda malam sudah datang. Dia menatap tubuhnya, dan kain tebal seperti milik adiknya terlihat menutupi sebagian tubuh. Dia hanya tersenyum sambil berpikir jika itu adalah ulah adiknya.


            Hanafi lekas beranjak dari kursi. Menyunggingkan senyuman di wajah ke arah adiknya sambil mengelus pelan rambut dia yang berharga tertidur pulas.


            Percakapan di lantai bawah terdengar samar oleh Hanafi. Jam malam sudah datang, maka para petualang sudah berkumpul di lantai bawah yang berubah menjadi bar.


            Hanafi mulai berjalan menuju pintu keluar dan berniat turun ke lantai bawah. Mencari informasi beserta mengisi perutnya yang keroncongan.


            Sesampainya di bar, kelenggangan ruangan di siang hari seolah berubah menjadi keramaian orang-orang yang bersuka ria meminum minuman mereka. Banyak orang yang terlihat seperti penjaga, petualang, penduduk, dan yang lainnya berbaur bersama.


Sambil mengamati sekitar, Hanafi pun mencari tempat duduk yang kosong. Tapi sayangnya seluruh bangku sudah penuh.


            “Wah Hanafi, kau sudah bangun!?” panggilan gadis muda terdengar. Itu dari Ellie yang duduk bersama gadis asing.


            “Lebih tepatnya terbangun, hahaha.” Hanafi menjawab, dan tertawa kecil di akhir ucapan sambil berjalan mendekati Ellie.


            “Duduklah, kursi ini kosong! Kita ngobrol-ngobrol. Ada permbicaraan yang menarik,” senyum Ellie sambil menunjuk kursi di sebelahnya yang kosong.


            “Baiklah sekalian aku ingin makan juga. Apa kau melihat Eleona?” tanya Hanafi mulai duduk sambil memegang perutnya.


            “Eleona? Dia tepat di belakangmu!” senyum Ellie lebar menutup mata dan memperlihatkan gigi rapihnya.


            “Eh!?” Hanafi lekas menengok ke belakang, dan benar saja ada Eleona yang membawa nampan berisi makanan untuknya.


            “Akhirnya kamu bangun juga, Hanafi!” ucap Eleona sambil meletakkan makanan di atas meja.


            “Bagaimana dengan Rina? Apa dia sudah makan?”


            “Dia sudah makan. Kursi yang kau duduki itu bekasnya, dan beberapa menit yang lalu dia sudah kembali ke kamarnya. Apa kau tak bertemu dengannya?” senyum Eleona sambil menatap tangga menuju lantai dua.


            “Hahaha begitu. Aku bertemu, tapi saat aku bangun dia sudah tertidur,” senyum Hanafi menutup mata perlahan.


            “Eh kukira adikmu lah yang membangunkanmu?” Ellie bertanya dengan tatapan sedikit terkejut.


            “Mungkin dia merasa tidak enak membangunkan Kakaknya yang tertidur pulas,” senyum gadis yang satu lagi duduk bersama Hanafi. Dia terlihat menompang dagunya sambil memberikan tatapan kecil pada Hanafi.


            “Emm ....” Hanafi membalas senyuman seolah menunggu sesuatu.


            “Panggil saja aku Letia, dan senang bertemu denganmu Hanafi. Kau kakaknya Rina, kan?” gadis bernama Letia memperkenalkan diri dengan mempertahankan senyuman manisnya. Rambutnya panjang berwarna jingga seperti kulit jeruk masak. Dia juga memakai pakaian yang seragam seperti Ellie. Tanda dari dia yang juga petugas dari serikat petualang.


            “Aku Hanafi, dan iya aku kakaknya Rina.” Hanafi membalas senyuman Letia.


            “Tapi Hanafi. Tak kusangka jika kau memiliki adik yang begitu rupawan seperti itu.” Ellie melebarkan mata dan senyuman ke arah Hanafi yang mulai menyantap makanannya.


            “Benar yang dikatakan Ellie! Aku sedikit terkejut, kukira dia seorang bangsawan karena melihat dari pakaian mewahnya. Bahkan seluruh aktivitas bar ini langsung terhenti ketika dia datang ke sini.” Letia mengemukakan pendapat.


            “Benar-benar! Bahkan setelah itu, orang-orang sekitar terus memperhatikan Rina dengan wajah cemas dan kebingungan.”


            “Eh, benarkah? Apa gadis itu benar-benar menarik perhatian!?” tanya Hanafi sedikit memiringkan kepala dan memperlihatkan ekspresi cukup terkejut.


            “Iya dia benar-benar perhatian. Selain itu wajah ketika dia makan benar-benar menggemaskan. Aku bahkan ingin membawa dia pulang,” senyum Ellie menutup mata. Kepalanya mendongak ke atas dengan ekspresi wajah yang terlihat sedang mengkhayal sesuatu.


            “Dia adwikku!” ucap Hanafi sambil mengunyah roti coklat.


            “Iya aku tau. Aku hanya bercanda!” ucap Ellie membuka mata dan memasang senyuman kecil di wajah.


            “Jadi Letia, bagaimana cerita yang kau maksud barusan. Mengingat kota kita dekat dengan gunung suci, kita pasti sudah mendapatkan informasi lebih cepat, kan?” Ellie melepas ekspresi riangnya dan berubah menjadi keseriusan menatap gadis di samping.


            “Benar juga. Tentang masalah itu kita sudah mendapatkan informasi jika Kelompok Eluser dari berbagai kerajaan akan mendatangi kaki Gunung Skyvia untuk melakukan penyelidikan.”  Letia menjelaskan sambil membalas tatapan serius rekannya.


            Detak jantung Hanafi mulai berdegup kencang setelah mendengar pembicaraan mereka. Sadar jika mereka sedang membicarakan terbelahnya gunung raksasa akibat perbuatannya.


            “Bukankah itu sudah pasti!? Yang aku tanyakan adalah apa sudah ada informasi tentang penyebab gunung itu terbelah? Kalau tidak salah ada Desa Karot di seberang Hutan Asvia. Itu adalah desa yang paling dekat dengan gunung suci itu.”


            “Ada rumor. Atau mungkin ini memang kejadian yang sebenarnya mengingat rumor ini dari para pedagang  yang berhubungan langsung dengan beberapa orang desa itu.”


            “Ru-rumor apa itu?” Ellie bertanya cemas memberikan tatapan penuh pada rekannya.


            “Dengar, aku berpikir jika informasi ini lebih baik tidak tersebar terlalu luas. Aku takut kecemasan warga meningkat karena rumor ini,” pelan Letia dengan wajah penuh was-was.


            “Aku mengerti.” Ellie menganggukkan kepala terlihat paham. Sedangkan Hanafi tetap mendengarkan sambil memakan makanannya.


            “Ada dua rumor yang tersebar diantara para pedagang. Pertama, Gunung Skyvia terbelah bukan karena gempa atau alam. Itu ulah seseorang.”


            “Seseorang!?” cemas Ellie hingga melebarkan mata. Hal itu pun berlaku bagi Hanafi yang memberikan lirikan kecemasan pada Ellie dan Letia.


            “Iya tapi bukan manusia, melainkan sosok Sleazer. Salah satu penduduk desa yang datang ke pasar mengatakan jika itu Sleazer berwujud seperti manusia, dan berbicara seperti manusia. Akan tetapi memiliki tanduk hitam dan sayap kelelawar di punggungnya.”


            “Tu-tu-tunggu dulu, jika dia seperti itu maka!!–“ Ellie berteriak semakin ketakutan, tapi mulutnya lekas tertutup oleh telapak tangan kanan rekannya.


            “Ya, di-dia pasti Sleazer kelas atas. Itu pasti Sleazer Kelas A atau mungkin lebih,” Letia menjelaskan dengan nada gugup. Wajahnya terlihat sedikit membiru seolah sedang diselimuti ketakutan.


            “Bu-bukannya sangat gawat jika apa yang dikatakan pedagang itu adalah kebenaran!! Ka-kau tau kan jika Kelas B saja sudah begitu menakutkan hingga membuat tiga kerajaan besar membentuk aliansi untuk menaklukannya!?” Ellie bertanya pelan. Wajahnya membiru ketakutan dengan mata memerah yang terlihat ingin menangis.


            “Ak-aku juga tau. Maka dari itu aku mengatakan akan lebih baik jika rumor ini tidak tersebar lebih luas!” cemas Letia membalas tatapan ketakutan Ellie.


            “Si-siapa yang bisa melawan mahluk berkekuatan gila seperti itu? Kupikir Eluser Lima Eksekutif juga takkan bisa menghadapinya di saat Draco Flatum menghilang!! Bahkan Seven Arceluser yang tersisa saat ini hanyalah Sesepuh Arina. Dia sudah terlalu tua untuk bertempur!” pelan Ellie berucap dengan nada panik. Tubuhnya terlihat benar-benar bergemetar karena ketakutan.


            Hanafi yang masih memakan makannya hanya menutup mata. Berucap dalam hati dengan perasaan bersalah amat dalam.


            “Ma-maaf, tak perlu khawatir. Karena orang yang membelah gunung itu sedang makan tepat di hadapan kalian ....


            “Tunggu Ellie, tenanglah! Dengarkan! Ceritaku masih belum selesai! Bukankah aku mengatakan dua hal sebelumnya!”


            “Lalu hal apa lagi!? Jangan katakan jika mahluk itu tidak hanya satu?” tanya Ellie yang sudah diselimuti pikiran negatif karena ketakutannya.


            “Bukan. Apa dikatakan penduduk itu adalah adanya seseorang yang berhasil memukul mundur mahluk itu seorang diri! Dan orang itu juga yang menyelamatkan Desa Karot dari kawanan Amygons!”


            “A-ah... Si-sial, aku punya firasat buruk tentang hal ini ...,” batin Hanafi dengan wajah yang mulai membiru ketakutan.


            “Seorang diri?! Kawanan Amygons ganas yang terkenal tak terhentikan itu!? Kau serius tentang hal ini, Letia?!” Ellie mulai memberikan tatapan penuh harapan pada rekannya.


            “Ya, katanya dia sangat kuat! Penduduk itu juga mengatakan dengan nada bangga jika orang tersebut lebih kuat dari Sleazer yang membelah Gunung Skyvia!”


            “....Si-siapa dia?! Apa penduduk itu mengatakan sesuatu tentangnya?!” Ellie bertanya dengan ekspresi wajah penuh harapan.


            “Dia bukan orang sembarangan katanya. Orang itu seorang pangeran dari Kerajaan Osis. Ciri-ciri yang jelas darinya adalah dia memakai pakaian dengan lambang Kerajaan Osis di dada kirinya,” jelas Letia dengan senyuman lebar seolah memberikan lebih banyak harapan pada Ellie.


Mata Ellie pun semakin melebar berkilauan bagai dipenuhi oleh harapan. Senyumannya juga terus melebar hingga terlihat gigi rapihnya yang terlihat indah.


            Wajah Hanafi semakin membiru cemas. Dia hanya bisa mengalihkan pandangan dari dua gadis yang duduk di hadapannya sambil bergumam kembali dalam hati.


            “Be-beruntung aku sudah mengganti pakaianku. Memang benar aku meminta mereka untuk menutupi masalah itu, tapi kenapa jadi seperti ini ....”


            “....”


            “Baiklah, aku takkan pernah memakai seragam itu lagi. Akan sangat merepotkan jika–“


            “Hanafi, bagaimana pendapatmu!? Kau juga mendengar percakapan kami, kan?” Ellie bertanya ke arah Hanafi dengan senyuman yang masih terpampang.


            “Ah iya, ak-aku tidak tahu harus bilang ap-apa,” Hanafi masih mengalihkan pandangan dengan ekspresi kecemasan dan ketakutan di wajah.


            “Hanafi kenapa denganmu? Kau terlihat aneh ketika kita memulai membahas ini, jangan-jangan ...?” Letia mulai menyipitkan mata menatap Hanafi penuh curiga.


            “Aku juga berpikir seperti itu, kau terlihat aneh! Seperti ....” Ellie juga mulai menaruh perasaan curiga pada Hanafi yang semakin berwajah cemas.


            “Ga-gawat jika aku terus bersikap seperti ini, tentu saja mereka pasti akan menyadarinya, kan–“


            ““Ketakutan!?”” ucap Ellie dan Letia bersamaan sambil menunjuk Hanafi dengan jari telunjuk masing-masing.


            “A-ah iya ..., ak-aku masih ketakutan karena mendengar Sleazer yang kau ceritakan itu,” senyum was-was Hanafi menutup mata cukup rapat.


            “Tak aneh, Hanafi! Aku juga sangat ketakutan. Tapi dengan ada sang Pangeran Kerajaan Osis itu, semuanya pasti baik-baik saja.” Ellie tersenyum lebar seolah memberikan harapan pada Hanafi.


Tapi, itu tak membuat Hanafi lebih baik sedikitpun.


            “Tapi Ellie, pernahkah kau mendengar kerajaan ini?” Letia bertanya sambil memperbaiki posisi duduknya.


            “Tidak. Aku memang mendengar masih ada beberapa kerajaan tak diketahui yang tersebar di dataran ini. Mungkin kerajaan ini termasuk salah satunya?”


            “Mungkin benar. Tapi jika semua yang dikatakan oleh pedagang itu benar, maka tak salah lagi jika pangeran ini akan menjadi harapan besar untuk kita selaku umat manusia dan dataran ini.” Letia berucap dengan ekspresi keseriusan.


            “....” Suasana langsung terasa hening diantara mereka setelah ucapan terakhir dari Letia. Ellie terlihat menganggukkan kepala dengan ekspresi keseriusan, syarat membenarkan pernyataan rekan kerjanya. Tidak seperti Hanafi yang tetap mempertahankan senyuman kecemasan dan mengalihkan pandangan dari kedua gadis di hadapannya.


            “Ba-baiklah aku telah selesai makan, kupikir aku akan tidur lagi,” senyum kecil Hanafi mulai beranjak dari kursi, dan tetap membuang pandangan dari Ellie dan Letia.


            “Kenapa terburu-buru sekali? Malam masih panjang, jadi kenapa tidak minum-minum dulu?” senyum Ellie bertanya sambil menompang dagu dengan tangan kanan.


            “Aku bukan peminum, maaf haha!” Hanafi menjawab dengan tertawaan kecil di akhir ucapan.


            “Wah jarang sekali menemukan laki-laki yang bukan peminum?” Letia sedikit terkejut memberikan tatapan pada Hanafi.


            “Haha ..., be-benarkah? Apa memang jarang yah di dunia ini?” Hanafi masih mepertahankan tertawaan kecilnya sambil berjalan mundur mendekati anak tangga.


            “Eh dunia ini?“


            “Ma-maksudku kota ini!” teriak Hanafi sedikit gugup dan membuat Letia dan Ellie tertawa kecil karena tingkah anehnya.


***

1 comment: